“Mas Rian bangun dong.” Ketukan di pintu ruang kerjanya dan panggilan Dina kembali membuyarkan lamunan Rian tentang masa lalu.Pria itu menghela nafas kesal. Padahal dia berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi lima tahun lalu. Saat Rian pertama kali bertemu dengan Dina. Entah kenapa Rian ingin sekali mengingatnya. Seolah ada jawaban atas semua misteri di masa lalu.“Aneh sekali. Biasanya Mas Rian adalah tipe orang yang gampang terbangun. Apa dia membawa semua pekerjaan ke rumah lalu tertidur karena kelelahan?” Dina bermonolog sendiri lagi.“Ya ampun Dina. Kamu belum tidur?” Suara ibu mertuanya terdengar dari kejauhan. Mungkin Ibu Dina bicara dari lantai dua.“Belum Ma. Aku harus memberikan minuman ini pada Mas Rian malam ini juga karena Pak Hermawan besok akan datang berkunjung.” Perkataan Dina seketika membuat Rian bangkit.Seingat Rian, Aurel mengatakan kalau Pak Hermawan sedang berada diluar negeri. Bagaimana bisa direktur utamanya tiba-tiba pulang dan terbang ke Yogykarta? Tidak
“Oke.” Rian menerima air itu. Dia berjalan masuk lagi ke ruang kerjanya. Pura-pura menuangkan air ke mulut padahal masih tertutup rapat.Dina yang berjalan dibelakangnya tidak bisa melihat apa yang terjadi. Saat Rian masuk lagoi ke ruang kerjanya, Dina mencegah. “Kamu kok kesini lagi Mas? Kamar kita disebelah.”“Aku mau melanjutkan pekerjaan sebentar.” Tanpa menunggu persetujuan istri mudanya, pria itu mendorong pintu hingga terutup rapat.“Mas Rian,” panggil Dina dari luar. Gedoran di pintu tidak kunjung berhenti.“Ada pekerjaan yang masih harus aku selesaikan Din,” hardik Rian kesal karena Dina selalu mengganggunya.“Pekerjaaan apa sih? Aku tahu besok kamu akan dipindahkan ke kantor CV. Anak perusahaan kantor cabang di Yogyakarta. Pekerjaan yang kamu maksud berkaitan dengan CV itukan?” teriak Dina balik meluapkan amarahnya.Di dalam, Rian berjalan ke kamar mandi. Membuang semua air pemberian Dina. Dia meletakan botol itu di meja kerjanya. Tidak lagi menggubris atau menjawab pertanya
Di meja makan, ibu Dina memasak lauk kesukaannya. Dina mengambil nasi dan lauk untuk sang suami. Seperti kebiasaan Rian yang selalu dilayani. Biasanya mereka akan langsung makan. Jika ada topik yang harus dibicarakan maka akan dilakukan setelah makan. Namun tidak kali ini. Rian belum menyentuh makananya sama sekali.“Ada yang ingin saya bicarakan dengan Bapak dan Ibu,” kata Rian dengan wajah serius.“Makan dulu sarapannya Nak Rian. Kita bicarakan nanti,” jawab ibu Dina dengan wajah serius.“Maaf saya tidak bisa. Saya harus menyampaikannya sekarang juga karena ini perintah langsung salah satu atasan saya,” balas Rian menghela nafasnya. Seolah ada beban berat yang sedang ia tanggung.“Siapa Mas? Tidak mungkin kepala cabang atau Pak Hermawan. Bos tertinggi kita saja masih diluar negeri. Siapa orang yang berani memberi perintah hingga melampaui keputsan Pak Hermawan,” ujar Dina marah. Perkataan Rian berhasil membuat mood Dina buruk.Wanita itu seolah lupa harus memaksa sang suami untuk ma
Suara di dapur terdengar nyaring karena Tiara tengah memasak untuk makan siangnya dan anak-anak. Sang suami yang bernama Rian, tengah dinas ke kantor pusat yang ada di Jakarta. Meninggalkan Tiara bersama tiga anak mereka yang masih kecil. Sudah satu minggu berlalu sejak Rian pergi. Suaminya tidak pernah menelepon. Hanya membalas pesan jika Tiara yang mengirim pesan lebih dulu.Suara bel yang berbunyi nyaring membuat Tiara segera mematikan kompor. Kebetulan masakannya sudah matang. Tinggal menyajikan di meja makan. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Dia berjalan melewati kedua anaknya yang tengah bermain di ruang tengah. Sedang si sulung masih berada di sekolah.Rambut panjangnya yang dikuncir asal ke belakang sedikit berantakan. Tiara mencuci tangan lalu mengusapnya asal pada daster yang sudah lusuh. Ia berjalan menuju pintu depan. “Tunggu sebentar.”Pintu perlahan terbuka menampilkan Rian yang sudah pulang. Senyum Tiara mengembang, hendak menyalami tangan suaminya. Namu
Mata Tiara membulat. Ia tidak menyangka Rian akan mengatakan hal itu. Setelah selama ini sang suami bersikap acuh pada anak mereka. Tiara berkata, “Hak asuh anak di bawah umur pasti jatuh pada pihak ibu. Aku yang akan memenangkan hak asuh setelah kita berpisah.”Bibir Rian sedikit terangkat. Tersenyum sinis menatap istri yang dulu sangat ia cintai. Rian melipat tangannya di dada. Bersandar ke pintu yang sudah diketuk anak-anak mereka. Terus memanggil Tiara.“Ibu buka pintunya. Aku takut,” kata anak keduanya.“Ibuuuu,” teriak si bungsu.Tiara merangsek maju hendak membuka pintu. Rian menahan tangannya. Pria itu mendorong Tiara hingga terjepit diantara dinding dan tubuhnya. Tangan Rian mencengkram bahu Tiara hingga membuat sang istri meringis kesakitan. Namun Rian tidak melepaskannya. Dia menatap tajam Tiara.“Aku juga bisa mendapat hak asuh anak-anak karena bekerja dan punya penghasilan besar. Tidak seperti kau yang hanya ibu rumah tangga. Jika kita berpisah dengan membawa anak-anak pe
Tiara membeku. Kejadian yang berlalu sangat cepat membuat Tiara tidak bisa berpikir. Tiba-tiba Rian menamparnya lalu menuduh sudah mengadu pada ibu mertuanya. Tiara tidak senekat itu karena mengetahui kondisi kesehatan ibu mertuanya. Karena Tiara juga sudah menganggap ibu Rian sebagai ibu kandungnya sendiri.“Aku tidak pernah mengadu pada Ibu kalau kau akan menikah dengan Dina.” Tiara menatap Rian marah. Dia tidak gentar sama sekali dengan kemarahan sang suami.“Jangan bohong. Dina sampai stres karena makian Ibu. Selain itu, kamu juga tidak memikirkan kondisi Ibu saat memberi tahu hubunganku dan Dina.” Rian mencengkram bahu Tiara semakin erat. Wanita itu berusaha menahan erangan sakitnya.Dia memilih bertahan menerima perlakuan buruk ini, untuk mendapat bukti kekerasan fisik yang sudah dilakukan sang suami. Meski hatinya terasa sangat sakit, Tiara berusaha tegar. Matanya balas menatap tajam. “Aku berkata jujur. Kalau kau tidak percaya periksa saja ponselku. Buka semuanya. Mulai dari W
Tiara menggeleng. Dia berlutut lalu mengumpulkan semua bukti yang berserakan. Dadanya berdebar penuh ketakutan. ‘Bagaimana kalau Anggrek juga percaya wanita di foto ini adalah aku?’ batinnya bergejolak.Dia tidak mau jika anak sulungnya ikut membenci Tiara tanpa mengkonfirmasi dulu kebenarannya. Seperti yang dilakukan Rian. Tubuhnya kaku saat Anggrek ikut berjongkok. Mengambil salah satu foto dan memperhatikannya dengan seksama. Tiara terlalu takut untuk menatap anaknya. Dia masih berada di posisi semula. Saat Anggrek berdiri, Tiara juga berdiri. Keheningan yang aneh melingkupi kamar. Wanita itu tidak berani bicara. Ia menghela nafas berulang kali. Mengumpulkan kekuatan agar bisa menjelaskan semuanya pada si sulung.“Ibu bisa jelaskan sayang.” Tangannya mengusap bahu Anggrek.Anggrek masih diam. Dia justru memperhatikan tangan Tiara. Rasanya dia ingin pergi saat ini juga, tetapi Tiara terus menguatkan hatinya agar bisa menjelaskan kesalahpahaman ini pada Anggrek. Tiara juga takut jika
Tiara menggeleng. Dia menyembunyikan getar tangannya dibalik punggung. “Tidak. Bagaimana aku bisa masuk jika kamar selalu kau kunci?”“Jangan bohong. Tadi pagi aku meninggalkan ponsel di kamar. Karena terburu-buru aku tidak sempat mengambilnya dan lupa mengunci pintu. Siapa lagi yang akan mengambil ponsel itu selain kamu.”“Kalau tidak percaya periksa saja kamar ini. Geledah semuanya.” Tantang Tiara seolah tidak ada ponsel Rian yang ia sembunyikan.Rian mendengkus kesal. Berjalan ke tempat tidur. Meraba setiap inci seprai. Memeriksa bantal dan guling. Membuka semua laci lalu kembali ke hadapan Tiara. “Minggir.”Pria itu membuka lemari kanan. Memeriksa semua pakain Tiara yang tergantung. Lalu memeriksa pintu kiri. Mengeluarkan semua pakaian Tiara yang sudah terlipat rapi. Tiara hanya bisa menghela nafas. Mengambil semua pakaiannya lalu meletakan di tempat tidur. Saat berbalik, Tiara melihat Rian jongkok. Tubuh suaminya seperti mematung dengan pandangan tertuju pada kotak berisi foto pe
Di meja makan, ibu Dina memasak lauk kesukaannya. Dina mengambil nasi dan lauk untuk sang suami. Seperti kebiasaan Rian yang selalu dilayani. Biasanya mereka akan langsung makan. Jika ada topik yang harus dibicarakan maka akan dilakukan setelah makan. Namun tidak kali ini. Rian belum menyentuh makananya sama sekali.“Ada yang ingin saya bicarakan dengan Bapak dan Ibu,” kata Rian dengan wajah serius.“Makan dulu sarapannya Nak Rian. Kita bicarakan nanti,” jawab ibu Dina dengan wajah serius.“Maaf saya tidak bisa. Saya harus menyampaikannya sekarang juga karena ini perintah langsung salah satu atasan saya,” balas Rian menghela nafasnya. Seolah ada beban berat yang sedang ia tanggung.“Siapa Mas? Tidak mungkin kepala cabang atau Pak Hermawan. Bos tertinggi kita saja masih diluar negeri. Siapa orang yang berani memberi perintah hingga melampaui keputsan Pak Hermawan,” ujar Dina marah. Perkataan Rian berhasil membuat mood Dina buruk.Wanita itu seolah lupa harus memaksa sang suami untuk ma
“Oke.” Rian menerima air itu. Dia berjalan masuk lagi ke ruang kerjanya. Pura-pura menuangkan air ke mulut padahal masih tertutup rapat.Dina yang berjalan dibelakangnya tidak bisa melihat apa yang terjadi. Saat Rian masuk lagoi ke ruang kerjanya, Dina mencegah. “Kamu kok kesini lagi Mas? Kamar kita disebelah.”“Aku mau melanjutkan pekerjaan sebentar.” Tanpa menunggu persetujuan istri mudanya, pria itu mendorong pintu hingga terutup rapat.“Mas Rian,” panggil Dina dari luar. Gedoran di pintu tidak kunjung berhenti.“Ada pekerjaan yang masih harus aku selesaikan Din,” hardik Rian kesal karena Dina selalu mengganggunya.“Pekerjaaan apa sih? Aku tahu besok kamu akan dipindahkan ke kantor CV. Anak perusahaan kantor cabang di Yogyakarta. Pekerjaan yang kamu maksud berkaitan dengan CV itukan?” teriak Dina balik meluapkan amarahnya.Di dalam, Rian berjalan ke kamar mandi. Membuang semua air pemberian Dina. Dia meletakan botol itu di meja kerjanya. Tidak lagi menggubris atau menjawab pertanya
“Mas Rian bangun dong.” Ketukan di pintu ruang kerjanya dan panggilan Dina kembali membuyarkan lamunan Rian tentang masa lalu.Pria itu menghela nafas kesal. Padahal dia berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi lima tahun lalu. Saat Rian pertama kali bertemu dengan Dina. Entah kenapa Rian ingin sekali mengingatnya. Seolah ada jawaban atas semua misteri di masa lalu.“Aneh sekali. Biasanya Mas Rian adalah tipe orang yang gampang terbangun. Apa dia membawa semua pekerjaan ke rumah lalu tertidur karena kelelahan?” Dina bermonolog sendiri lagi.“Ya ampun Dina. Kamu belum tidur?” Suara ibu mertuanya terdengar dari kejauhan. Mungkin Ibu Dina bicara dari lantai dua.“Belum Ma. Aku harus memberikan minuman ini pada Mas Rian malam ini juga karena Pak Hermawan besok akan datang berkunjung.” Perkataan Dina seketika membuat Rian bangkit.Seingat Rian, Aurel mengatakan kalau Pak Hermawan sedang berada diluar negeri. Bagaimana bisa direktur utamanya tiba-tiba pulang dan terbang ke Yogykarta? Tidak
Semua teka-teki akhirnya terjawab. Rian menghela nafas. Menutup matanya dengan punggung tangan. Satu hal yang mengganjal harus segera ia tanyakan pada Aurel. Karena Rian tidak mungkin menjaga Dina dan orang tuanya selama dua puluh empat jam sampai Aurel berhasil melakukan rencananya.Rian kembali mengetikan pesan yang menjadi keresahannya saat ini. Setidaknya dia bisa mendapat bantuan dari Aurel.[Maaf jika saya bertanya seperti ini padahal anda sudah memercayakan saya untuk menjaga Dina dan kedua orang tuanya. Saya tidak hanya ingin bertanya, apakah ad acara lain saya menjaga Dina? Karena tidak mungkin saya mengawasinya selama dua puluh empat jam per minggu.]Tidak membutuhkah waktu lama untuk Aurelmembalas pesannya. Sepertinya wanita itu sedang memegang ponsel hingga bisa membalas pesan Rian dengan lebih leluasa.[Tenang saja. Aku sudah menempatkan orang suruhan untuk mengawasi gerak-gerik Dina dan orang tuanya. Kamu cukup menjaganya tetap disisimu sebagai pasangan suami istri. Dina
Rian menghubungkan semua percakapannya dengan Aurel. Termasuk rencana atasannya untuk menahan Dina agar tetap di kota ini. Aurel selalu menjelaskan sepotong demi sepotong. Seolah ia ingin Rian memecahkan teka-teki yang sudah ia susun. Kali ini teka-teki itu adalah tentang dompet Aurel yang berada di kamarnya dan Dina.Hanya ada kartu KTP dan kertas-ketas nota berisi pengambilan uang yang kosong. Rian merasa aneh karena Dina bisa menguras semua uang di kartu-kartu ini. Tidak mungkin Aurel teledor membiarkan orang lain tahu kartu pinnya.“Kecuali kalau ini adalah jebakan,” gumam Rian yang baru menyadari rencana Aurel.Pria itu meletakan dompet Aurel di tempatnya semula. Dia keluar dari kamar dan kembali ke ruang kerjanya. Pria itu merasa perlu menghubungi atasannya. Bagaimanapun juga dia harus tahu detail rencana Aurel.Dia mengirim pesan pada Aurel. Tanpa mereka sadari hubungan atasan dan bawahan sudah berubah selayaknya rekan kerja setara. Sejujurnya Rian merasa Aurel adalah orang yan
Rian bisa masuk ke ruang kerjanya dengan mudah. Menyembunyikan botol air dan makanan ke lemari berisi dokumen. Rian juga tidak menyingkirkan semua dokumen itu meski dia sudah resign. Setelah memasukan semua cemilan ke lemari, dia menguncinya dua kali lalu mencabut kunci yang sudah jadi satu dengan kunci mobil dan rumah.Jam tujuh tepat, Dina mengetuk pintu. Waktunya makan malam. Rian pura-pura tidur. Dia masih harus mencari banyak cara agar tidak memakan makanan yang mereka berikan. Karena tidak ada sahutan dari sang suami, Dina membuka pintu. Melihat Rian yang kepalanya rebah di atas meja.“Yah. Mas Rian ketiduran.” Suara Dina terdengar semakin jelas saat masuk ke ruangannya.Tidak lama kemudian Dina keluar. Rian masih bertahan dengan posisinya. Dina masuk lagi lalu meletakan makanan yang sudah ibunya masak di atas nakas. “Aku harap kau mau melunak pada kami Mas,” gumam Dina di telinga Rian. Dia tidak sadar kalau Rian tidak terlelap. Pria itu bisa mendengar dengan jelas perkataan ist
“Bapak yakin cara ini akan manjur?” tanya Dina heran. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Rian segera sembunyi dibalik tembok. Tidak ingin ketahuan sedang mengintip kegiatan istri muda dan orang tuanya.“Kita coba saja dulu. Toh foto yang kamu berikan bukan milik mereka. Kita sudah memotret Rian, Tiara dan keluarganya diam—diam lalu menceoatmk foto itu sendiri,” jawab bapak Dina menjelaskan semuanya.“Kenapa kita harus melakukan hal ini Pak? Toh kita juga akan pindah ke Lombok.”“Kamu kira bisa pergi dengan bebas saat kamu masih menikah dengan Rian? Kamu itu sadar atau tidak sih Din kalau itu sudah diawasi sejak pindah kesini sama mertuamu. Bapak baru tahu kalau ada kamera CCTV tersembunyi di rumah. Semua pergerakan kita akan ketahuan.” Bapak Dina menoleh sejenak. Rian bisa melihat dengan jelas wajahnya yang cemong dengan asap pembakaran.Bau menyengat yang semakin menusuk membuat Rian menutup hidungnya. Dia baru sadar kalau ini adalah bau kemenyan. Tiba-tiba bulu kuduknya bergidi
Rian bisa bekerja dengan tenang. Dia melajutkan pekerjaannya. Membuat rekap selama setahun terakhir, termasuk menyertakan kesalahan yang sempat ia perbuat. Walau menurut Aurel penggantinya sudah dipersiapkan untuk menjaga rahasia mereka. Namun dia tidak mau orang baru itu menghubunginya hanya untuk menanyakan tentang masa lalu yang hampir menjebloskannya ke penjara.Sore harinya pekerjaan sudah selesai. Lia membuka pintu. Sudah memakai jaket dan maskernya. Bersiap hendak pulang. Seperti biasa wanita itu hendak pamit pada atasannya jika beluk keluar dari ruangan.“Pak Rian mau lembur ya?” tanyanya memastikan. Di belakang Lia, Dina melongok ke dalam. Memastikan sang suami nanti bisa pulang bersamanya.“Iya. Kamu bisa tolong saya sebentar Lia. Soalnya tadi pagi kamu yang memegang pekerjaan ini,” pinta Rian menunjukkan berkas yang diletakan Lia di mejanya sebagai alasan.“Baiklah,” jawab Lia ringan. Sudah biasa baginya jika ada pekerjaan tambahan.“Kalau begitu saya duluan Pak,” pamit Di
“Apa?” Danu hampir menyemburkan makanannya. Untung saja pria itu bisa menelan smeuanya hingga tandas.“Kamu bencanda Yan?” tanya Danu tidak percaya. Rian menggeleng. Wajahnya masih serius seperti tadi.“Aku nggak bercanda Dan. Aku serius.” Rian menghela nafas lalu menceritakan semuyanya pada Danu.Dia tidak perduli jika Danu tidak percaya dengan ceritanya. Karena satu-satunya orang yang bisa ia percaya di kantor hanya Danu. Apalagi Danu juga bekerja untuk Aurel. Di titik dimana Rian sadar hari ini kalau sudah mendapat guna-guna dari Dina.Ia ingin berpisah dari Dina sekarang juga atau mencampakan istri mudanya di hari pernikahan mereka. Namun perjanjiannya dengan Aurel membuat Rian tidak bisa mewujudkan keinginannya.“Aku masih harus menjaga Dina untuk satu bulan ke depan. Sampai Bu Aurel selesai melakukan pekerjaannya yang entah aku tidak tahu apa. Aku bingung Dan. Bagaimana caraku membohongi Dina?”Danu masih diam. Tangannya bertumpu di atas meja. Dia tidak bisa banyak berkomentar d