Di meja makan, ibu Dina memasak lauk kesukaannya. Dina mengambil nasi dan lauk untuk sang suami. Seperti kebiasaan Rian yang selalu dilayani. Biasanya mereka akan langsung makan. Jika ada topik yang harus dibicarakan maka akan dilakukan setelah makan. Namun tidak kali ini. Rian belum menyentuh makananya sama sekali.“Ada yang ingin saya bicarakan dengan Bapak dan Ibu,” kata Rian dengan wajah serius.“Makan dulu sarapannya Nak Rian. Kita bicarakan nanti,” jawab ibu Dina dengan wajah serius.“Maaf saya tidak bisa. Saya harus menyampaikannya sekarang juga karena ini perintah langsung salah satu atasan saya,” balas Rian menghela nafasnya. Seolah ada beban berat yang sedang ia tanggung.“Siapa Mas? Tidak mungkin kepala cabang atau Pak Hermawan. Bos tertinggi kita saja masih diluar negeri. Siapa orang yang berani memberi perintah hingga melampaui keputsan Pak Hermawan,” ujar Dina marah. Perkataan Rian berhasil membuat mood Dina buruk.Wanita itu seolah lupa harus memaksa sang suami untuk ma
Rian sudah selesai mandi dan berganti baju. Sebelumnya dia sudah memasukan hardisk dan laptop dalam tas kerjanya. Saat sedang bersiap-siap ia sadar jika Dina tengah memperhatikannya."Kenapa kamu berdiri saja disana Din? Kalau sudah selesai lebih baik hari ini kamu cepat bersiap-siap. Beberapa hari lagi kau juga akan resign dari perusahaan. Jadi akan lebih baik kau bisa masuk tepat waktu," saran Rian setelah berhasil memakai dasinya."Kenapa aku harus melakukannya Mas? Toh Lia juga sudah paham kalau aku masuk jam sembilan pagi. Seperti katamu, toh sebentar lagi aku akan keluar dari perusahaan," sangkal Dina menolak."Setidaknya perlihatkan kinerja terbaik walau tinggal beberapa hari lagi," ucap Rian jengah. Pria itu berpaling dan memutar bola matanya. Setidaknya Dina tidak akan melihat perubahan wajahnya. "Ya sudah nanti aku datang lebih pagi. Aku juga membawa bekal. Jadi kita bisa makan bersama," kata Dina membuat gerakan tangan Rian terhenti.Dia kembali memutar otaknya untuk mengh
Hari itu Rian bisa menghindar dari Dina karena dia memang sibuk meeting dengan para manajer lain. Lalu rekan kerjanya mengajak Rian makan siang bersama sebagai tanda perpisahan. Meski begitu Dina tetap merasa senang karena ia merasa sudah mempengaruhi Rian untuk berada dibawah kendalinya lagi.Wanita itu asyik masyuk berkirim pesan dengan Pak Hermawan untuk meminta sejumlah uang. Walau dia sedang tidak membeli banyak barang-barang mahal, Dina mengumpulkan banyak uang sebagai bekalnya dan orang tuanya agar bisa segera pergi dari kota ini.“Kamu sudah makan siang Din?” tanya Lia yang baru kembali dari kantin. Dina mengeluarkan aplikasi pesannya khusus dengan Pak Hermawan.Ia mengangguk dengan mengulas senyum genit yang memuakan untuk Lia. Namun Lia bisa bersikap pura-pura tidak tahu atau menahan perasaan kesalnya pada Dina. Sesungguhnya Lia sudah muak dengan Dina. Dia ingin memaki rekan kerjanya yang sudah bertindak seenaknya selama wanita itu bekerja disini.Mulai dari masuk lebih sian
"Bapak yakin rencana kita akan berhasil?" tanya ibu Dina dengan suara yang cukup pelan.Karena lengangnya jalanan di komplek rumah Heri dan Riska, Rian bisa mendengar perkataan ibu mertuanya dengan sangat jelas. Pria itu bersembunyi dibalik pot besar yang ada disamping dinding pembatas rumah Riska dan tetangganya."Bapak yakin Bu. Lagipula cara ini juga berhasil untuk memikat Rian dulu," jawab bapak Dina yang membuat Rian mengerutkan kening heran.Pria itu hanya tahu kalau Dina sudah membuat Rian tunduk pada istri mudanya itu dengan cara memberi air merah yang dicampur dengan makanan dan minuman. Ternyata ada cara lain yang digunakan orang tua Dina."Kata Dina, adik iparnya Rian punya banyak uang. Dina sudah berusaha dapat banyak uang dari Rian dan Pak Hermawan. Kita juga harus punya bekal sendiri untuk pegangan. Minimal kita bisa dapat lima puluh ribu hari ini," kata bapak Dina menjelaskan.Ternyata kedatangan kedua mertuanya atau orang tua Dina adalah untuk memoroti Riska dan Heri.
Tidak ada orang disana. Rian dan Heri mengucapkan doa yang mereka bisa. Perlahan pintu tertutup. Hingga Ustadzah datang bersama Riska. Menahan pintu itu. Membaca bacaaan Alquran dan ayat kursi. Rian hanya bisa terpaku memperhatikan semuanya. Dia baru menyadari kalau suasana ruangan ini mendadak berubah jadi dingin. Sedingin es dimusim hujan yang turun terus menerus. Padahal saat ini adalah musim panas.Ustadzah terus membaca doa-doa hingga udara di ruangan ini tidak lagi dingin. Rian menghela nafas lega. Entah apa yang terjadi, tapi dia salut pada Heri yang masih fokus dengan pekerjaannya. Ditambah lagi pria itu yang sudah mengambil ponsel Rian untuk memberikan akses agar kakak iparnya bisa melihat rekaman kamera CCTV di rumah Dina.“Semuanya sudah aman. Mereka tidak bisa mengganggu kalian lagi,” kata Ustadzah berbadan mungil itu.“Alhamdulillah,” ucap Rian dan Riska serempak.“Apa yang sebenarnya terjadi Us?” tanya Rian penasaran.Dia masih heran kenapa mertuanya tiba-tiba berubah li
"Apa maksudmu? Orang tua Dina akan jadi gila?" tanya Rian tidak percaya.Matanya mengerjap heran. Ia tidak menyangka bahwa efek gagalnya ritual yang dilakukan oleh bapak dan ibu Dina akan berujung pada kesehatan mental mereka. Riska mengangguk."Awalnya aku juga tidak percaya Mas. Namun Ustadzah menjelaskan beberapal hal yang rumit. Aku tidak bisa menjelaskannya secara gamblang karena beliau memakai hadis dan ayat alquran. Intinya semua yang terjadi pada bapak dan ibu Dina adalah bagian dari konsekuensi yang harus mereka jalani," ucap Riska menjelaskan.Percakapan mereka terhenti sejenak saat mendengar suara pintu yang dibuka dan ditutup. Heri sudah keluar memakai jaket dan masker."Kita antar mertuamu sekarang Mas. Aku bantu," kata Heri menghampiri mereka."Tumben Her. Aku malah semakin merepotkanmu," ujar Rian tidak enak pada adik iparnya itu."Nggak masalah Mas. Biarkan saja Mas Heri mengangarmu. Dia memang suka jalan-jalan sebentar kalau ada pekerjaan. Maklum burn out terus ada di
Rian menghela nafas kesal. Tiba-tiba kepalanya terasa pusing menghadapi sikap istri mudanya yang tidak pernah berubah. Untung saja dia selalu menghindar saat Dina mengajak berhubungan suami istri. Pria itu pura-pura tidak melihat. Rian mengambil ponselnya lalu mengambil ponsel dari saku. Menekan nomor istri mudanya.Dering ponsel Dina yang berasal dari mobil itu membuat Rian pura-pura menoleh. Dia sengaja tidak mendekat. Seandainya Rian tidak tahu apapun, dia pasti sudah melabrak Dina sekarang juga. Namun karena tugas dari Aurel agar ia terus memantau Dina dan keluarganya. Jadi Rian harus pura-pura tidak tahu.Saat melihat mobil itu lagi, tidak terlihat sosok Dina bersama pria tadi. Sepertinya mereka sembunyi dibawah kursi. Rian tetap menghubungi Dina. Setiap sambungan tersambung, maka dering ponsel Dina akan terdengar dari ponsel itu. Rian tersenyum puas karena berhasil mengerjai istri mudanya.Dia berjalan menjauh. Menuju parkiran mobil dan motor yang lebih dekat. Bolak-balik menghu
Meskipun merasa aneh dengan sikap orang tuanya, tapi Dina tidak perduli. Dia menutup pintu lalu duduk di ruang santai lantai dua. Tidak memperdulikan orang tuanya yang tampak sakit. Bagi Dina, mungkin bapak dan ibunya hanya kelelahan karena habis bepergian kerumah Riska dan Heri.Sebagai anak tentu saja Dina tahu rencana orang tuanya. Dia sengaja meminta bapak dan ibunya melakukan rencana itu hari ini. Yaitu saat Rian dan Bu Mirna pergi bersamanya. Jadi kemungkinan rencana orang tuanya gagal jadi lebih kecil. Begitulah pikiran Dina kemarin. Namun dia tidak tahu kalau rencana orang tuanya sudah gagal.Dina tidak tahu kalau Rian sempat pergi ke rumah Heri dan Riska di saat yang bersamaan dengan kepergian orang tuanya. Walaupun merasa heran kenapa orang tuanya tidak kunjung keluar dari kamar mereka, Dina tidak perduli.Dia justru sibuk bermain ponselnya. Membuka video di You*** atau bermain sosial media. Kadang kala Dina kembali sibuk menonton TV. Dia bersenang-senang seperti biasa tanpa
“Iya. Ayah sengaja menyewa tukang kebun untuk membersihkan halaman rumah kalian. Beliau juga punya tugas khusus untuk memeriksa semua rekaman CCTV dan mengambil barang aneh jika ada yang menanam. Seperti yang dilakukan Dina hari ini,” kata Pak Joko menjelaskan hal ini pada menantunya.“Maaf jika Ayah belum memberi tahumu. Namun tadi Rian sudah tahu rencana ini. Apa kalian belum bertemu jadi dia tidak memberi tahumu?” tanya Pak Joko kali ini dengan raut wajah keheranan.Tiara menggeleng. Dia memang bertemu dengan Rian dan bahkan mereka berangkat ke tujuan masing-masing dengan mobil yang sama, tapi Rian sama sekali tidak menceritakan hal ini padanya. Wanita itu lalu berkata, “Tadi kami pergi bersama naik mobil Yah, tapi Mas Rian tidak bercerita apapun. Mungkin dia lupa. Sekarang dimana tukang kebunnya Yah?” tanya Tiara penasaran. Melongok ke belakang tubuh sang auah mertua untuk melihat tukang kebun yang dimaksud. Namun tidak ada siapapun disana. Pak Joko hanya sendiri berdiri di hadapa
Mendengar jawaban Tiara, Eni tidak berani bertanya lagi. Begitu juga dengan tetangga lain. Mia langsung mengalihkan percakapan tentang anak-anak. Membuat wanita itu menghela nafas lega karena tidak pernah menceritakan aib rumah tangga pada banyak orang. Sehingga mereka mencecarnya hanya untuk mendapat gosip terbaru.Untungnya tidak lama kemudian nama Eni dipanggil petugas puskesmas. Jadi wanita itu tidak lagi bisa mengatakan hal-hal jelek tentang Tiara dan keluarganya. Tidak lama kemudian nama Mia dan ibu-ibu paruh haya juga dipanggil dokter jaga yang berbeda. Tinggal Tiara sendiri disana. Wanita itu menghela nafas lega.Ia masih harus menunggu setengah jam lagi sampai namanya dipanggil hingga Tiara bisa mendapatkan surat rujukan ke rumah sakit terdekat dimana Psikiater bertugas disana.Sesuai dengan perkataannya pada Rian tadi, Tiara mampir ke minimarket terdekat untuk membeli stok cemilan untuk anak-anaknya. Dia dengan santai melangkah menyusuri trotoar menuju minimarket karena jara
“Dek. Bagaimana? Apa kamu setuju?” tanya Rian sambil melambaikan tangannya di depan wajah sang istri.Tiara gelagapan melihat jarak mereka yang sudah cukup dekat. Wanita itu seolah tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Mereka berada di posisi itu sampai akhirnya Tiara mengangguk. Rian lalu memundurkjan tubuhnya. Tiara menghela nafas lega walaupun dadanya masih berdebar dengan gemuruh yang menyenangkan.“Oke. Aku setuju Mas,” jawab Tiara pelan lalu menangguk.Mereka berpamitan pada Bu Mirna dan ketiga anak mereka lalu berjalan menuju pintu keluar. Rian masuk ke mobilnya lebih dulu. Sedangkan Tiara yang membukakan pagar. Setelah itu, Tiara harus menutup pagar tinggi itu baru masuk ke mobil Rian. Selama di perjalanan suasana sempat hening sesaat. Ada nuansa kecanggungan yang dapat Rian rasakan dari sang istri.Pria itu sadar tidak mudah mengembalikan hubungan mereka seperti dulu. Meskipun Tiara sudah memaafkannya, mereka harus membangun kemistri sebagai pasangan suami istri lebih dulu d
Sarapan pagi itu di rumah Tiara berjalan dengan penuh canda tawa. Hal yang sudah tidak pernah mereka lakukan sejak lama. Sejak perubahan sikap Rian karena pengaruh guna-guna Dina pada pria itu yang membuat keluarga mereka hampir hancur berantakan.Seperti kemarin, Rian yang mengantar Anggrek pergi ke sekolah. Tiara sibuk membersihkan rumah. Dia tidak ingin Bu Mirna kelelahan. Jadilah sang mertua berdiam diri di lantai dua menemani Lily dan Nana membaca buku cerita yang baru dibelikan Rian kemarin.Jam setengah delapan pagi Tiara bisa menyelesaikan semua pekerjaannya. Rian pulang terlambar karena harus belanja semua barang yang habis sesuai daftar belanja yang diberikan Bu Mirna tadi.“Kamu sudah belanja Mas?” tanya Tiara heran. Tidak mengetahui hal tersebut.“Sudah. Ibu yang menyuruhku tadi. Sekalian belajar bagaimana dinamika pasar pada produk kita,” jawab Rian sedikit ambigu karena Tiara tidak memahami semua perkataanya. Walaupun Tiara tau kalau hal itu berhubungan dengan usaha yang
Tiara mengkerutkan kening heran. Mertuanya sudah tahu? Matanya mengerjap bingung. Wanita itu tidak tahu harus merespon bagaimana. “Ehm. Ibu tahu darimana?” tanya Tiara gugup bercampur malu.“Dari ibumu. Kemarin malam sebelum tidur beliau telepon bertanya apa kamu sudah bicara tentangy keputuasnmu setelah mendengar nasihat bapakmu. Ibumu juga menceritakan semuanya,” kata Bu Mirna menghentikan kegiatannya.Wanita paruh baya itu menatap sang menantu dalam. Penuh kasih sayang dan kelembutan. Setelah semua makanan tersaji di atas meja dan bekal untuk anak-anak siap, Bu Mirna meraih tangan Tiara dalam genggamannya.“Baik kamu berpisah dari Rian atau tidak, Ibu tetap menganggap kamu sebagai menantu dan anak Ibu sendiri. Namun dengan kamu memberi maaf pada Rian, entah kenapa membuat Ibu merasa sangat senang sekali. Karena kamu sudah mulai menghilangkan segala beban kebencian di hatimu,” kata Bu Mirna panjang kali lebar.Tiara mengangguk dengan air mata haru yang menggenang di pelupuk matanya.
Dada Rian berdetak semakin kencang. Mulutnya terbuka lebar dengan mata menganga. Dia masih menatap tidak percaya perkataan Tiara tadi. Sang istri setuju untuk mengikuti saran bapaknya? Rasanya Rian ingin berteriak kesenangan saat ini juga. Namun tubuhnya seperti kaku dan tidak bisa digerakan sama sekali. Seolah ia sudah berubah menjadi patung.“Kamu baik-baik saja Mas?” tanya Tiara khawatir melihat respon sang suami yang seperti ini. Wanita itu melambaikan tangan di depan Rian berulang kali.Rian menggeleng lalu mengangguk. Pria itu menepuk pipinya berulang kali agar bisa meyakinkan diri kalau semua yang terjadi di depannya memang nyata. Akhirnya Rian bisa bergerak. Dengan gerakan sangat cepat hingga hampir tidak tertangkap mata, Rian mendekap erat tubuh sang istri. Membawa Tiara dalam pelukannya yang hangat.“Terima kasih banyak sayang. Terima kasih banyak untuk kesempatan keduanya,” kata Rian terharu. Dia tidak bisa lagi membendung air matanya yang berdesakan ingin keluar. Rian mera
Rian turun dari tempat tidur lalu masuk ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Dia menunaikan salat tahajud saat Tiara tengah sibuk mengetik novel dengan menggunakan ponselnya. Pria itu sama sekali tidak berniat mengganggu kesibukan sang istri. Dia justru mengambil kitab suci lalu mengaji dengan suara pelan.Meskipun sedang menjalankan kegiatan masing-masing, bukan berarti Rian dan Tiara lupa akan keberadaan satu sama lain. Mereka tetap sadar tengah berada di ruangan yang sama. Hingga tidak terasa adzan subuh berkumandang dari masjid terdekat."Aku pergi ke masjid dulu Ra," kata Rian bangkit lalu memasukan kitab suci ke rak lemari paling atas."Iya Mas," jawab Tiara sangat pelan yang hampir serupa dengan bisikan. Walaupun begitu Rian masih bisa tetap mendengar suara sang istri.Rian melangkah keluar. Membuka dan menutup pintu dengan suara perlajan. Meskipun bunyi derit pintunya tetap terdengar. Setelah sosok sang suami hilang dibalik pintu, Tiara menghela nafas lega. Dari luar terdenga
“Ba—bagaimana bisa? Siang ini saya tidak sengaja bertemu dengan Dina di dalam sebuah mobil mewah yang kemungkinan besar milik Bu Aurel. Saat mata kami tidak sengaja berpandangan, dia terus memanggil namaku,” ucap Tiara tidak percaya.Rian, Pak Joko dan Bu Mirna hanya diam mendengarkan. Mereka ingin mendengar balasan Ustad Aba dan Ustad Abi tentang masalah ini. Pasalahnya menurut Rian, dia juga yakin Dina tidak akan bisa melakukan apapun dibawah pengawasan Aurel yang akan balas dendam padanya.“Benar. Itu bisa saja terjadi. Seperti yang saya katakan tadi kalau Bu Dina bisa mengganggu anda karena rumah ini memang pernah diganggu. Namun untuk masalah dia tidak bisa kabur dari orang yang mengurungnya, saya rasa ada hal lain yang anda semua tidak tahu. Dan saya rasa anda semua memang tidak perlu tahu kenapa Bu Dina tidak bisa kabur dari sana. Lebih banyak tidak tahu akan lebih baik untuk kita,” jawab Ustad Abi berteka-teki.Entah kenapa Rian dan Tiara seketika punya pikiran yang sama. Jika
Mata Tiara terbelalak tidak percaya mendengar perkataan ibu mertuanya. Dina juga bemain dukun sekarang. Tidak lagi hanya menjadi perantara orang tuanya. Itu berarti gangguan yang sempat ia alami tadi karena ulah Dina. Bagaimana bisa? Padahal Tiara ingat kalau sore ini dia baru melihat Dina di dalam mobil mewah.Layaknya seorang sandera yang tidak kabur. Namun di jaman modern seperti ini. Bisa saja Dina meminta lewat telepon atau pesan pada dukun itu untuk melakukan guna-guna pada Tiara dan keluarganya. Begitulah pikiran wanita itu.“Rian tadi juga mengalami kejadian aneh saat kami akan pergi ke rumah Rian dan Riska. Masa dia melihatg bapaknya Dina mengintip dari balik. Itukan tidak mungkin,” kata Bu Mirna lagi.“Oh begitu,” balas Tiara mengangguk dengan pandangan kosong.“Ibu tidak tahu apa yang terjadi. Sepertinya kamu mengalami hal yang buruk saat pulang lebih dulu tadi,” ujar Bu Mirna mengusap bahu sang menantu dengan sayang. Layaknya ibu kandung pada putrinya. Terlihat sekali keak