"Apa maksudmu? Orang tua Dina akan jadi gila?" tanya Rian tidak percaya.Matanya mengerjap heran. Ia tidak menyangka bahwa efek gagalnya ritual yang dilakukan oleh bapak dan ibu Dina akan berujung pada kesehatan mental mereka. Riska mengangguk."Awalnya aku juga tidak percaya Mas. Namun Ustadzah menjelaskan beberapal hal yang rumit. Aku tidak bisa menjelaskannya secara gamblang karena beliau memakai hadis dan ayat alquran. Intinya semua yang terjadi pada bapak dan ibu Dina adalah bagian dari konsekuensi yang harus mereka jalani," ucap Riska menjelaskan.Percakapan mereka terhenti sejenak saat mendengar suara pintu yang dibuka dan ditutup. Heri sudah keluar memakai jaket dan masker."Kita antar mertuamu sekarang Mas. Aku bantu," kata Heri menghampiri mereka."Tumben Her. Aku malah semakin merepotkanmu," ujar Rian tidak enak pada adik iparnya itu."Nggak masalah Mas. Biarkan saja Mas Heri mengangarmu. Dia memang suka jalan-jalan sebentar kalau ada pekerjaan. Maklum burn out terus ada di
Rian menghela nafas kesal. Tiba-tiba kepalanya terasa pusing menghadapi sikap istri mudanya yang tidak pernah berubah. Untung saja dia selalu menghindar saat Dina mengajak berhubungan suami istri. Pria itu pura-pura tidak melihat. Rian mengambil ponselnya lalu mengambil ponsel dari saku. Menekan nomor istri mudanya.Dering ponsel Dina yang berasal dari mobil itu membuat Rian pura-pura menoleh. Dia sengaja tidak mendekat. Seandainya Rian tidak tahu apapun, dia pasti sudah melabrak Dina sekarang juga. Namun karena tugas dari Aurel agar ia terus memantau Dina dan keluarganya. Jadi Rian harus pura-pura tidak tahu.Saat melihat mobil itu lagi, tidak terlihat sosok Dina bersama pria tadi. Sepertinya mereka sembunyi dibawah kursi. Rian tetap menghubungi Dina. Setiap sambungan tersambung, maka dering ponsel Dina akan terdengar dari ponsel itu. Rian tersenyum puas karena berhasil mengerjai istri mudanya.Dia berjalan menjauh. Menuju parkiran mobil dan motor yang lebih dekat. Bolak-balik menghu
Meskipun merasa aneh dengan sikap orang tuanya, tapi Dina tidak perduli. Dia menutup pintu lalu duduk di ruang santai lantai dua. Tidak memperdulikan orang tuanya yang tampak sakit. Bagi Dina, mungkin bapak dan ibunya hanya kelelahan karena habis bepergian kerumah Riska dan Heri.Sebagai anak tentu saja Dina tahu rencana orang tuanya. Dia sengaja meminta bapak dan ibunya melakukan rencana itu hari ini. Yaitu saat Rian dan Bu Mirna pergi bersamanya. Jadi kemungkinan rencana orang tuanya gagal jadi lebih kecil. Begitulah pikiran Dina kemarin. Namun dia tidak tahu kalau rencana orang tuanya sudah gagal.Dina tidak tahu kalau Rian sempat pergi ke rumah Heri dan Riska di saat yang bersamaan dengan kepergian orang tuanya. Walaupun merasa heran kenapa orang tuanya tidak kunjung keluar dari kamar mereka, Dina tidak perduli.Dia justru sibuk bermain ponselnya. Membuka video di You*** atau bermain sosial media. Kadang kala Dina kembali sibuk menonton TV. Dia bersenang-senang seperti biasa tanpa
Dina menjerti histeris. Ponsel bapaknya terjatuh begitu saja ke lantai. Wanita itu terus menggoyangkan tubuh bapak dan ibunya berulang kali. Dia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi ke depannya. Karena selama ini bapak dan ibunyalah yang mengurus semua keperluan Dina.“Ibu sadar Bu,” teriak Dina histeris. Dia tidak mau mengurus orang tuanya yang seperti ini. Membayangkannya saja sudah membuat Dina lelah.Ada satu jam Dina menangis histeris sendiri. Wanita itu bahkan tidak sadar kalau sambungan telepon sudah terputus. Akhirnya tidak ada air mata lagi yang keluar. Hanya helaan nafas yang sangat berat yang terdengar.“Aku tidak bisa seperti ini,” gumam Dina seorang diri.Wanita itu bangkit. Membaringkan orang tuanya seperti semula. Lalu menyelimuti merkea hingga ke dada. Dina menggigit bibirnya melihat orang tuanya yang kembali tertidur lelap. Seolah mereka belum bangun dan hanya termenung sejak tadi.“Maafkan aku Pak, Bu. Biarkan aku memahami semua yang terjadi dan menemukan pilihan
Dina gemetar. Dia masih diam. Tidak berani bergerak sama sekali. Wanita itu berharap agar sang suami segera pergi dari sini. Sehingga Dina bisa membawa orang tuanya pergi ke rumah sakit."Dina aku tahu kamu ada di dalam," kata Rian yang masih terus menekan bel rumah kontrakan itu.Dina masih diam. Dia tidak berani membuka pintu. Wanita itu menghela nafasnya berulang kali. Setelah siap, Dina membuka pintu. Bagaimanapun juga mungkin ada barang Rian yang tertinggal. Karena itulah dia kembali ke rumah ini."Tolong buka pintunya Din. Ada barangku yang tertinggal," ucap Rian lagi dari sebrang pintu.Dina membuka pintu. Wanita itu tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang pucat pasi. Mata mereka saling berpandangan. Dina ingin mencari tahu apakah ada kecurigaan di kedua bola mata suaminya.Tidak ada. Justru Rian memandangnya bingung. Tangan pria itu terangkat. Menggerakan tangannya ke kanan dan ke kiri. Tepat di depan wajah Dina."Kamu baik-baik saja Din? Apa ada sesuatu yang buruk terjadi sel
Sesampainya dua mobil di rumah sakit, Rian menepikan mobilnya di tempat parkir terdekat. Sementara itu mobil taksi online yang membawa kedua mertua terus melaju menuju pintu IGD. Sopir taksi memanggil satpam untuk membawa bapak dan ibu kedalam.“Saya lihat dulu kondisinya Pak,” kata Satpam itu. Menunduk di kursi belakang. Mencoba bicara dengan bapak Dina yang duduk di kursi sebelah kiri. Tidak ada respon sama sekali. Bahkan saat satpam bertubuh jangkung itu melambaikan tangannya berulang kali. Bapak Dina tidak merespon.Dia juga melakukan hal yang sama pada ibu Dina. Tidak ada respon sama sekali. Diluar Dina berdiri dengan kedua tangan saling tergenggam karena takut. Tidak lama kemudian Rian berlari menghampiri. Dia melihat Dina yang sangat gelisah.“Tenang saja Din. Semuanya akan baik-baik saja,” kata Rian pura-pura menenangkan. Padahal dia sendiri sudah tahu apa yang terjadi. Bahkan bisa dibilang Rian adalah salah satu penyebab bapak dan ibu Dina jadi seperti ini.“Aku takut sekali
Hati Rian mencelos. Dia tidak menyangka mendapat balasan seperti itu dari sang istri. Walaupun sudah mempersiapkan diri, tetap saja pria itu merasa sangat sedih. Rian menegarkan hati. Dia mengetik pesan balasan untuk istri pertamanya.[Tidak. Aku akan pulang malam ini juga. Kita butuh bicara empat mata. Jika kau keberatan, tolong beri aku waktu maksimal satu jam saja. Jika percakapan kita selesai lebih cepat, aku akan pergi.]Kali ini tidak ada pesan balasan langsung seperti tadi. Tidak lama kemudian Dina keluar dari kamar mandi. Wanita itu tampak lebih segar saat menghampirinya. Meskipun tidak bisa menghapus kesedihan yang di matanya. Kini Dina berdiri disamping tempat tidur bapaknya. Rian memperhatikan gerak-gerik Dina yang menghela nafas dalam.Dina mengusap rambut bapaknya yang terlelap. Lalu wanita itu pergi ke sisi ranjang ibunya. Melakukan hal yang sama. Rian hanya memperhatikan semua sikap istri mudanya. Tidak ada rasa kasihan setitikpun dalam hatinya. Rian sudah terlalu marah
Tiara terdiam. Dia tidak menyangka akan mendapat pertanyaan itu keluar dari mulut Rian saat ini juga. Walaupun dia sudah menyangka kalau sang suami akan menebak keptusannya ini setelah mengetahui kalau Tiara sudah menjadi penulis online. Walaupun Rian belum tahu detail pekerjaan dan berapa gajinya per bulan.“Kamu sudah bisa menebaknya Mas,” jawab Tiara lirih.Entah kenapa dia tidak kuasa melihat wajah sang suami yang sedih. Padahal sebelumnya Tiara benar-benar bersikap apatis pada sang suami. Namun perasaan itu hanya melingkup hatinya selama beberapa saat. Karena sedetik kemudian hati Tiara kembali membeku. Melindungi pertahanan dirinya agar tidak terluka untuk yang kesekian kalinya.“Memang. Aku sudah bisa menebaknya,” jawaban Rian kian lirih. Hampir tidak terdengar dan terbang terbawa desau angin. Seandainya keheningan mala mini tercemar suara berisik, Tiara tidaka akan bisa mendengar perkataan sang suami.“Lalu apa yang kau bicarkan lagi jika sudah tahu semuanya Mas?” tanya Tiara
Aurel kembali duduk di kursi kerjanya. Hanya tinggal sedikit perbaikan maka pekerjaannya hari ini akan selesai. Satu jam menunggu sembari matanya melirik tablet yang memperlihatkan kamar asisten rumah tangga yang tengah ditiduri Dina. Luasnya hanya dua kali tiga meter. Dulu kamar itu digunakan sebagai gudang sebelum rumah ini direnovasi jadi lebih luas.Tidak lama kemudian ada orang yang mengetuk pintu. Aurel mematikan laptopnya lalu membawa tablet yang masih memperlihatkan live dari kamera CCTV di kamar Dina. Dia berdiri di balik pintu. Melihat melalui layar intercom yang terpasang di depan ruang kerjanya.“Bu Jumi?” tanya Aurel memastikan. Ia melihat sosok yang mirip dengan Bu Jumi tengah berdiri di depan ruang kerjanya. Hanya saja Aurel tidak bisa melihat sosoknya dengan sangat jelas karena Bu Jumi terlihat menunduk.Tubuhnya meremang. Entah kenapa perasaannya tidak enak. Mata Aurel terus tertuju ke layar intercom lalu beralih pada layar tablet. Dina masih tidur di atas tempat tidu
Sedetik kemudian Dina berubah menjadi dirinya yang semula. Wanita itu tampak linglung kenapa dia berdiri dibalik pintu. Berusaha membukanya yang sudah pasti terkunci dari luar. Lagipula tidak akan ada orang yang menjawab dan mau membukakan pintu kamar ini untuknya.Dina bersandar ke pintu. Tubuhnya terasa sangat lemas. Dia tidak ingat apa yang terjadi barusan. Ingatan terakhir Dina adalah saat Bu Jumi baru selesai menelepon Pak Hermawan. Dia menangis sesenggukan saking takutnya. Setelah itu, Dina lupa semuanya.Tiba-tiba kepalanya berdenyut sakit. Dina memilih merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dia tidak ingin memikirkan semua kejadian yang menimpanya akhir-akhir ini. Dina butuh waktu istirahat sebentar saja untuk mengistirahatkan tubuh dan batinnya yang lelah. Apalagi tadi tubuhnya baru saja dihajar oleh Bu Jumi. Sehingga masih menyisakan luka lebam di sekujur tubuh Dina.Dering ponselnyta yang berbunyi menarik perhatian wanita muda itu. Ada pesan masuk dari Dukun Deri. Rasany
Tubuh Dina seketika bergetar ketakutan. Rasa jumawa dan sombongnya jatuh ke tanah begitu saja. Tidak ada lagi yang bisa ia banggakan di depan Bu Jumi saat Pak Hermawan terang-terangan mengatakan tidak perduli lagi padanya.“Oh begitu,” jawab Bu Jumi tertawa manis, tapi matanya menatap penuh ejekan pada Dina.“Memang kenapa sih kamu menanyakan hal itu? Jangan bilang karena Aurel lagi. Apa anak itu tidak percaya kalau aku sudah tidak punya hubungan apapun dengan Dina?” tanya Pak Hermawan yang terdengar lelah dari sebrang telepon.“Bukan. Tenang saja Pak. Bu Aurel sedang mengurus hal lain. Walaupun ini ada hubungannya dengan Dina,” kata Bu Jumi lagi.Wanita paruh baya itu menceritakan tentang posisi Dina di rumah ini. Apa yang terjadi kemarin hingga hari ini lalu Dina yang dikurung di gudang pingsan. Sekarang Bu Jumi ada di ruangan yang sama dengan Dina untuk mengkonfirmasi apakah Pak Hermawan masih berada di bawah kendali wanita itu atau tidak.“Oh begitu,” jawab Pak Hermawan tak acuh.
Lagi-lagi Dina terbangun di kamarnya yang kecil yang ada di rumah mewah Aurel. Dia tidak lagi dikurung di gudang yang gelap dan pengap. Entah kenapa wanita itu menghela nafas lega. Dina beranggapan kalau bukan Aurel yang membuatnya ada di kamar ini, melainkan majikannya yang lain yaitu Pak Hermawan.“Sepertinya Pak Hermawan masih berada di pihakku,” gumam wanita itu seorang diri.Dina bangkit dari tempat tidur dengan santai. Seolah ia adalah majikan di rumah itu. Bahkan saat kepala pelayan masuk kamar sambil berkacak pinggang. Ia tidak takut enatap wanita paruh baya yang menatapnya penuh kemarahan.“Cepat tutup pintunya klau ada yang mau kamu bicarakan denganku,” kata Dina dengan nada sinis.Kepala pelayan yang bernama Bu Jumi itu berjalan denngan langkah lebar. Ttangan dengan kulit yang sudah berkerut menjambak rambut Dina dengan sangat amat keras. Hingga rasanya rambut Dina seperti akan tercabut dari kulit kepalanya.“Apa yang kau lakukan wanita tua? Sakit tahu,” teriak Dina kesakit
Mari simpan sejenak kebahagiaan pasangan Rian dan Tiara. Karena sekarang kita akan melihat bagaimana sengsaranya Dina setelah rencana wanita itu gagal memberikan guna-guna untuk semua pegawai Aurel. Sekarang wanita yang merupakan mantan ustri kedua Rian itu benar-benar terkurung dalam rumah.Aurel meminta para pengawal menempatkan Dina di gudang. Tidak boleh ada yang membantunya karena Aurel sendiri yang akan memberikan pelajaran pada Dina. Saat Aurel masih mengobrol di ruang kantor Rian yang ada di dalam toko oleh-olehnya, Dina sedang menggedor pintu agar dibukakan dan bisa bebas dari gudang yang pengap dan gelap.Saklar di gudang ini tidak bisa dinyalakan. Dengan kata lain entahg saklar atau lampunya yang bermasalah, lampu di gudang ini benar-benar tidak bisa dinyalakan. Karena itulah jarang ada asisten rumah tangga yang berani masuk sendirian ke gudang ini. Biasanya pasti datang berdua, bertiga atau lebih dengan salah satu menyalakan senter hp.“Sialan kalian semua. Buka pintunya s
“Lanjutkanlah. Aku mau melihat-lihat isi toko. Masa sebagai istri aku tidak tahu apa jenis usahamu,” kata Tiara yang membuat dada Rian buncah dengan kebahagiaan. Dia tidak menyangka akan mendengar kalimat itu dari bibir sang istri.“Tentu saja. Kamu bisa mengambil kue apapun yang kamu mau digudang. Toh aku belum menghitungnya sebagai stok barang,” ujar Rian yang sangat bersemangat seperti anak muda. Membuat Tiara tertawa geli melihat tingkah sang suami yang kembali seperti di awal perkenalan mereka dulu.Inilah sifat lain Rian yang menyenangkan. Salah satu hal yang membuat Tiara mau menerima pinangan Rian tiga belas tahun lalu. Selain perhatian dan penyayang, Rian adalah sosok jenaka yang selalu bisa menghidupkan suasana. Tujuh tahun pernikahan mereka benar-benar disuguhi dengan kebahagiaan. Jika ada konflik tidak pernah berlarut-larut.“Terima kasih Mas. Kamu lanjutkan saja pekerjaanmu sekarang,” ucap Tiara bangkit dari kursinya.“Iya. Kalau mau lihat-lihat di luar, rantang makananny
Tiara terdiam. Bibirnya tetap menyunggingkan senyum meskipun Rian tahu dia memendam banyak tanya. Entah kenapa Rian jadi panik. Tidak bisa bicara sedikitpun. Padahal ada banyak hal yang ingin pria itu jelaskan pada sang istri.Di luar dugaan Aurel sudah berdiri. Wajah wanita cantik itu yang merupakan mantan atas Rian sangat bersinar. Tidak hanya karena mekap mahal yang dipakainya, tapi juga karena aura Aurel yang sangat terpancar. Memancarkan aura old money dari keluarga konglomerat yang terpandang.Aurel berjalan menghampiri Tiara. Wanita itu mengulurkan tangannya pada istri Rian lalu berkata, "Anda pasti istri Rian. Perkenalkan nama saya Aurel. Saya adalah direktur keuangan sekaligus sekarang menjabat sebagai CEO sementara di perusahaan tempat Rian dulu bekerja."Senyum di bibir Tiara seketika tersungging dengan lebarnya. Wajah wanita yang sudah melahirkan tiga putri cantik dari pernikahannya dengan Rian bersinar cerah. Bukan sinar matahari yang menyengat kulit di tengah hari, tapi
“Bagaimana bisa?” tanya Rian tidak percaya. Dia masih tidak menyangka kalau Dina bisa lepas dari kejaran Aurel. Bahkan keluar dari perangkap yang dibuat mantan atasannya itu untuk sang manttan istri kedua.Aurel balas tersenyum. Dia juga tidak menyangka kalau Dina bisa keluar dari jebakannya. Padahal dia sudah susah payah untuk menjebak wanita itu. Ia juga berpikir kalau menyerahkan semua pengwasan Dina pada kepla asisten rumah tangga di rumahnya sendiri sudah lebih dari cukup. Namun ternyata Dina bisa melakukan guna-guna juga pada semua penawal yag mnjaganya selama ini.“Dina memberikan makanan yang sudah diguna-guna pada semua pengawal sejak beberapa hari lalu. Aku tidak tahu kapan tepatnya. Karena itulah yang disampaikan orang pintar yang menbantuku,” kata Auel melanjutkan ceritanya.“Namun satu hal yang kutahu pasti kalau Dina berhasil menyuruh semua pengawal berpuura-pura bersikap biasanya padanya. Semuanya berjalan seperti biasa. Aku dan kepala pengawal tidak curiga sama sekali
“Aku boleh mampir ke tokomu.” Suara Dina yang manja seperti terdengar dari kejauhan.Rian merasa déjà vu. Dia seperti pernah mengalami kejadian yang sama. Pria itu langsung membaca surat al fatihah dalam hatinya. Seketika pesona Dina luntur. Rasa kesal di hati pada mantan istri keduanya itu kembali muncul. Rian menatap Dina tidak suka.“Jadi ini kantornya Bu Aurel?” tanya Dina dengan nada menyindir.Rian tidak menjawab apapun. Dia mengeluarkan ponsel lalu menghubungi Aurel. Melihat aksinya, mata Dina membulat kaget. Wanita itu beringsut mundur. “Kau benar-benar tidak akan mengajakku masuk ke kantormu Mas?” tanya Dina lagi.Kali ini wanita itu menyemprotkan parfum ke tubuhnya. Membuat suasana jadi terasa lebih dingin. Bukan Rian yang menatap Dina penuh kekaguman. Melainkan para pegawai pabrik yang mengantar barang dan beberapa pria yang membeli oleh-oleh dari tokonya.“Lebih baik kamu pergi dari sini. Aku sibuk,” kata Rian yang akhirnya bersuara.Pria itu ingin masuk ke toko yang dijad