Semua teka-teki akhirnya terjawab. Rian menghela nafas. Menutup matanya dengan punggung tangan. Satu hal yang mengganjal harus segera ia tanyakan pada Aurel. Karena Rian tidak mungkin menjaga Dina dan orang tuanya selama dua puluh empat jam sampai Aurel berhasil melakukan rencananya.Rian kembali mengetikan pesan yang menjadi keresahannya saat ini. Setidaknya dia bisa mendapat bantuan dari Aurel.[Maaf jika saya bertanya seperti ini padahal anda sudah memercayakan saya untuk menjaga Dina dan kedua orang tuanya. Saya tidak hanya ingin bertanya, apakah ad acara lain saya menjaga Dina? Karena tidak mungkin saya mengawasinya selama dua puluh empat jam per minggu.]Tidak membutuhkah waktu lama untuk Aurelmembalas pesannya. Sepertinya wanita itu sedang memegang ponsel hingga bisa membalas pesan Rian dengan lebih leluasa.[Tenang saja. Aku sudah menempatkan orang suruhan untuk mengawasi gerak-gerik Dina dan orang tuanya. Kamu cukup menjaganya tetap disisimu sebagai pasangan suami istri. Dina
“Mas Rian bangun dong.” Ketukan di pintu ruang kerjanya dan panggilan Dina kembali membuyarkan lamunan Rian tentang masa lalu.Pria itu menghela nafas kesal. Padahal dia berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi lima tahun lalu. Saat Rian pertama kali bertemu dengan Dina. Entah kenapa Rian ingin sekali mengingatnya. Seolah ada jawaban atas semua misteri di masa lalu.“Aneh sekali. Biasanya Mas Rian adalah tipe orang yang gampang terbangun. Apa dia membawa semua pekerjaan ke rumah lalu tertidur karena kelelahan?” Dina bermonolog sendiri lagi.“Ya ampun Dina. Kamu belum tidur?” Suara ibu mertuanya terdengar dari kejauhan. Mungkin Ibu Dina bicara dari lantai dua.“Belum Ma. Aku harus memberikan minuman ini pada Mas Rian malam ini juga karena Pak Hermawan besok akan datang berkunjung.” Perkataan Dina seketika membuat Rian bangkit.Seingat Rian, Aurel mengatakan kalau Pak Hermawan sedang berada diluar negeri. Bagaimana bisa direktur utamanya tiba-tiba pulang dan terbang ke Yogykarta? Tidak
“Oke.” Rian menerima air itu. Dia berjalan masuk lagi ke ruang kerjanya. Pura-pura menuangkan air ke mulut padahal masih tertutup rapat.Dina yang berjalan dibelakangnya tidak bisa melihat apa yang terjadi. Saat Rian masuk lagoi ke ruang kerjanya, Dina mencegah. “Kamu kok kesini lagi Mas? Kamar kita disebelah.”“Aku mau melanjutkan pekerjaan sebentar.” Tanpa menunggu persetujuan istri mudanya, pria itu mendorong pintu hingga terutup rapat.“Mas Rian,” panggil Dina dari luar. Gedoran di pintu tidak kunjung berhenti.“Ada pekerjaan yang masih harus aku selesaikan Din,” hardik Rian kesal karena Dina selalu mengganggunya.“Pekerjaaan apa sih? Aku tahu besok kamu akan dipindahkan ke kantor CV. Anak perusahaan kantor cabang di Yogyakarta. Pekerjaan yang kamu maksud berkaitan dengan CV itukan?” teriak Dina balik meluapkan amarahnya.Di dalam, Rian berjalan ke kamar mandi. Membuang semua air pemberian Dina. Dia meletakan botol itu di meja kerjanya. Tidak lagi menggubris atau menjawab pertanya
Di meja makan, ibu Dina memasak lauk kesukaannya. Dina mengambil nasi dan lauk untuk sang suami. Seperti kebiasaan Rian yang selalu dilayani. Biasanya mereka akan langsung makan. Jika ada topik yang harus dibicarakan maka akan dilakukan setelah makan. Namun tidak kali ini. Rian belum menyentuh makananya sama sekali.“Ada yang ingin saya bicarakan dengan Bapak dan Ibu,” kata Rian dengan wajah serius.“Makan dulu sarapannya Nak Rian. Kita bicarakan nanti,” jawab ibu Dina dengan wajah serius.“Maaf saya tidak bisa. Saya harus menyampaikannya sekarang juga karena ini perintah langsung salah satu atasan saya,” balas Rian menghela nafasnya. Seolah ada beban berat yang sedang ia tanggung.“Siapa Mas? Tidak mungkin kepala cabang atau Pak Hermawan. Bos tertinggi kita saja masih diluar negeri. Siapa orang yang berani memberi perintah hingga melampaui keputsan Pak Hermawan,” ujar Dina marah. Perkataan Rian berhasil membuat mood Dina buruk.Wanita itu seolah lupa harus memaksa sang suami untuk ma
Rian sudah selesai mandi dan berganti baju. Sebelumnya dia sudah memasukan hardisk dan laptop dalam tas kerjanya. Saat sedang bersiap-siap ia sadar jika Dina tengah memperhatikannya."Kenapa kamu berdiri saja disana Din? Kalau sudah selesai lebih baik hari ini kamu cepat bersiap-siap. Beberapa hari lagi kau juga akan resign dari perusahaan. Jadi akan lebih baik kau bisa masuk tepat waktu," saran Rian setelah berhasil memakai dasinya."Kenapa aku harus melakukannya Mas? Toh Lia juga sudah paham kalau aku masuk jam sembilan pagi. Seperti katamu, toh sebentar lagi aku akan keluar dari perusahaan," sangkal Dina menolak."Setidaknya perlihatkan kinerja terbaik walau tinggal beberapa hari lagi," ucap Rian jengah. Pria itu berpaling dan memutar bola matanya. Setidaknya Dina tidak akan melihat perubahan wajahnya. "Ya sudah nanti aku datang lebih pagi. Aku juga membawa bekal. Jadi kita bisa makan bersama," kata Dina membuat gerakan tangan Rian terhenti.Dia kembali memutar otaknya untuk mengh
Hari itu Rian bisa menghindar dari Dina karena dia memang sibuk meeting dengan para manajer lain. Lalu rekan kerjanya mengajak Rian makan siang bersama sebagai tanda perpisahan. Meski begitu Dina tetap merasa senang karena ia merasa sudah mempengaruhi Rian untuk berada dibawah kendalinya lagi.Wanita itu asyik masyuk berkirim pesan dengan Pak Hermawan untuk meminta sejumlah uang. Walau dia sedang tidak membeli banyak barang-barang mahal, Dina mengumpulkan banyak uang sebagai bekalnya dan orang tuanya agar bisa segera pergi dari kota ini.“Kamu sudah makan siang Din?” tanya Lia yang baru kembali dari kantin. Dina mengeluarkan aplikasi pesannya khusus dengan Pak Hermawan.Ia mengangguk dengan mengulas senyum genit yang memuakan untuk Lia. Namun Lia bisa bersikap pura-pura tidak tahu atau menahan perasaan kesalnya pada Dina. Sesungguhnya Lia sudah muak dengan Dina. Dia ingin memaki rekan kerjanya yang sudah bertindak seenaknya selama wanita itu bekerja disini.Mulai dari masuk lebih sian
"Bapak yakin rencana kita akan berhasil?" tanya ibu Dina dengan suara yang cukup pelan.Karena lengangnya jalanan di komplek rumah Heri dan Riska, Rian bisa mendengar perkataan ibu mertuanya dengan sangat jelas. Pria itu bersembunyi dibalik pot besar yang ada disamping dinding pembatas rumah Riska dan tetangganya."Bapak yakin Bu. Lagipula cara ini juga berhasil untuk memikat Rian dulu," jawab bapak Dina yang membuat Rian mengerutkan kening heran.Pria itu hanya tahu kalau Dina sudah membuat Rian tunduk pada istri mudanya itu dengan cara memberi air merah yang dicampur dengan makanan dan minuman. Ternyata ada cara lain yang digunakan orang tua Dina."Kata Dina, adik iparnya Rian punya banyak uang. Dina sudah berusaha dapat banyak uang dari Rian dan Pak Hermawan. Kita juga harus punya bekal sendiri untuk pegangan. Minimal kita bisa dapat lima puluh ribu hari ini," kata bapak Dina menjelaskan.Ternyata kedatangan kedua mertuanya atau orang tua Dina adalah untuk memoroti Riska dan Heri.
Tidak ada orang disana. Rian dan Heri mengucapkan doa yang mereka bisa. Perlahan pintu tertutup. Hingga Ustadzah datang bersama Riska. Menahan pintu itu. Membaca bacaaan Alquran dan ayat kursi. Rian hanya bisa terpaku memperhatikan semuanya. Dia baru menyadari kalau suasana ruangan ini mendadak berubah jadi dingin. Sedingin es dimusim hujan yang turun terus menerus. Padahal saat ini adalah musim panas.Ustadzah terus membaca doa-doa hingga udara di ruangan ini tidak lagi dingin. Rian menghela nafas lega. Entah apa yang terjadi, tapi dia salut pada Heri yang masih fokus dengan pekerjaannya. Ditambah lagi pria itu yang sudah mengambil ponsel Rian untuk memberikan akses agar kakak iparnya bisa melihat rekaman kamera CCTV di rumah Dina.“Semuanya sudah aman. Mereka tidak bisa mengganggu kalian lagi,” kata Ustadzah berbadan mungil itu.“Alhamdulillah,” ucap Rian dan Riska serempak.“Apa yang sebenarnya terjadi Us?” tanya Rian penasaran.Dia masih heran kenapa mertuanya tiba-tiba berubah li
Tiara berdandan di depan meja riasnya. Menutup matanya yang gelap karena sering bangun pagi untuk mengetik novel. Dia memakai pelembap, sunscreen, foundation baru yang terakhir bedak. Setidaknya wanita itu ingin menunjukkan pada orang tuanya kalau kondisinya sekarang sudah baik-baik saja. Terlepas dari prahara yang sempat membuat emosinya naik turun selama beberapa tahun terakhir.Wanita itu memakai gamis berwarna biru muda yang dipadukan dengan jilbab berwarna abu-abu. Tidak lupa ia memakai sandal tinggi untuk menunjang penampilannya dalam hal tinggi badan. Dia mengambil tas, memasukan dompet dan ponselnya kesana. Tidak lupa mengambil kunci motor dari laci.Saat keluar dari kamarnya, suasana ruang tengah terasa sepi. Tidak terdengar celoteh anak-anak karena Angggrek dan Lily sedang sekolah. Hanya Nana sendiri di lantai dua bermain ditemani kakung dan utinya. Wanita itu memutuskan untuk naik ke lantai dua guna berpamitan pada putri bungsu dan kedua mertuanya.Benar saja tebakan Tiara,
Aktivitas Tiara pagi ini berjalan seperti biasa. Sebelum subuh dia sudah menyelesaikan dua bab novel dan mengedit bab sebelumnya. Lalu keluar kamar untuk salat subuh. Saat bertemu dengan Rian tadi, hati Tiara sempat berdebar sebentar. Entah apa penyebabnya. Mas Rian mengatakan kalau dia akan tinggal disini selama rumah kontrakan itu belum dibersihkan.Ada yang berdenyut nyeri dalam sudut hatinya saat Rian mengatakan kalau dia akan tinggal disana selama menunggu keputusan Tiara. Rian tidak ingin membuat Tiara merasa tersiksa dengan keegoisannya. Padahal Rian sudah ikhlas melepasnya setelah tahun-tahun menyakitkan yang harus ia lalui. Namun kenapa Tiara justru merasa sedih.“Kamu jadi pergi ke rumah orang tuamu Nduk?” tanya Bu Mirna saat mereka tengah membuat sarapan bersama. Tiara tidak perlu khawatir dengan anak-anak karena mereka bermain di lantai dua bersama Pak Joko. Persiapan sekolah Anggrek dan Lily juga sudah disiapkan. Jadi dia bisa memasak dengan tenang bersama Bu Mirna.“Jadi
Dina akhirnya dibawa pergi bersama orang tuanya. Rian berjalan mengikuti di belakang mereka. Tidak ada perawat atau dokter jaga yang menghentikan mereka. Rian hanya mengamati dalam diam. Aurel berhenti di ruang tunggu IGD. Pria itu memilih berdiri di belakang mantan atasannya itu.“Kita bisa bicara disini,” kata Aurel lalu duduk di kursi paling belakang.Rian mengikuti lalu duduk disampingnya. Suasana hening tidak membuat kecanggungan diantara mereka. Rian mengeluarkan sebotol air dari tasnya lalu memberikan botol itu pada Aurel.“Minum dulu Bu,” ucap Rian perhatian.Aurel mengangguk. Dia menerima botol pemberian Rian lalu berkata, “Terima kasih.”“Maaf aku menggagalkan pernikahanmu,” kata Aurel setelah hening yang cukup lama.“Tidak masalah Bu. Sebenarnya saya juga yang menyebabkan orang tua Dina sakit. Seandainya saya tidak punya niat pergi ke rumah keluarga adik saya, mungkin rencana orang tua Dina bisa berjalan mulus dan kami terpaksa tetap melangsungkan pernikahan,” kata Rian ten
Apakah Dina sedih dengan kenyataan kalau dia akan berpisah dari Rian? Tentu saja sangat sedih. Namun Dina tidak bisa melakukan apapun. Setelah bicara seperti itu, Aurel justru diam saja. Dia bangkit dari kursinya lalu berbalik mendekati ranjang bapak Dina. Mata mengintimidasinya sudah sirna, berganti dengan kebencian yang mengendap setelah mengetahui semua dalang kerusuhan orang tuanya bulan lalu. Itulah bapak Dina.“Pindahkan mereka ke panti jompo milik Luna. Bawa sekalian wanita ini,” kata Aurel memberi perintah.“Baik Bu,” jawab pengawal dibelakangnya.Dina mendongak. Tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Tubuhnya yang sudah membaik kembali gemetar hebat. Mulutnya terbuka dan tertutup. Ingin mengatakan sesuatu tapi tidak ada satu patah katapun yang keluar. Bibirnya hanya bergerak seperti ikan koi. Tenaga Dina yang masih lemas juga belum kembali saat ada beberapa orang berbaju hitam masuk. Dua wanita yang memakai baju yang sama dengan rambut disanggul membantu Dina ber
Tubuh Dina bergetar. Wanita yang berdiri di hadapannya benar-benar mengintimidasi. Tubuh Dina terasa lemah hingga ke tulang. Saat berusaha berdiri, ia justru terjatuh. Bersimpuh di kaki Aurel yang mengenal high heels tinggi untuk menunjang penampilannya.“Kenapa kau ketakutan seperti itu? Apakah wajahku terlihat sangat menyeramkan?” tanya Aurel dengan nada manis.Seorang pria botak bertubuh tinggi dengan badan kekar dan kacamata yang menutup matanya, mengambil kursi yang tadi ditempati oleh Dina. Aurel duduk di kursi itu. Menyilangkan kaki jenjangnya tepat di hadapan Dina. Dia menunjuk tirai yang akan menutup bed tiga dan empat di sebrang. Untunglah para keluarga yang berjaga masih tidur.Jadi mereka tidak bisa mendengar keributan di ruangan yang sama. Setidaknya Dina tidak akan merasa malu karena diperhatikan banyak orang. Dalam hatinya, wanita itu bersyukur karena Rian tidak ada disana. Jadi sang suami tidak perlu melihatnya dalam keadaan seperti ini.Dina memperbaiki posisi dudukny
Dua jam sebelumnya saat Rian baru sampai di rumah Tiara, Dina mengikuti para perawat yang membawa orang tuanya ke ruang perawatan lantai dua. Ia sibuk berkirim pesan dengan staff panti jompo.[Saya tidak pernah membatalkan reservasi saya. Hanya ini nomor saya satu-satunya yang bisa menghubungi anda. Jadi tidak mungkin saya yang membatalkan pesanan reservasi.]Tidak membutuhkan waktu lama saat pesannya dibalas. Sambil bersandar ke dinding lift, Dina fokus menatap layar ponselnya.[Maaf Bu. Saya juga sudah mengatakan hal itu pada kepala yayasan. Selama ini pembatalan reservasi selalu lewat staff. Say sendiri tidak bisa menolak keputusan kepala yayasan. Sekali lagi saya minta maaf.]Pesan balasan dari staff disana membuat kepala Dina terasa semakin berdenyut. Langkahnya terasa melayang saat ranjang orang tuanya keluar dari dua lift yang berbeda. Mereka masuk ke ruang melati nomor satu. Sudah ada dua pasien lain yang lebih dulu menempati ruang rawat itu. Ranjang bapak dan Ibu Dina diletak
Selepas kepergian Rian, Tiara merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Sayangnya walaupun sudah berbaring, matanya tidak bisa kunjung terpejam. Tiara masih memikirkan perkataan Rian tadi.Padahal dia harus bangun dua jam kemudian agar bisa mengetik novel. Walaupun Rian sudah tahu tentang pekerjaannya, tapi pria itu tidak menanyakan berapa yang didapat Rian sekarang. Tiara juga tidak cerita. Jadi dia tidak memberi tahu berapa penghasilannya sekarang.Karena tidak bisa tidur, Tiara justru ingin buang air kecil. Dia turun dari kasur lalu berjalan menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar mereka. Setelah menyelesakan urusannya, Tiara langsung kembali ke tempat tidur. Dia justru berdiri didepan nakas kecil yang berjejer dua foto. Foto pertama adalah foto orang tuanya dan yang kedua adalah foto keluarga kecil mereka. Foto yang penuh kepalsuan. Karena saat itu Rian masih bersikap tidak acuh pada mereka. Saat itu Tiara merasa sangat senang karena Rian mau melakukan foto keluarga lengkap sejak N
Tiara menulis apa saja yang disukai ketiga buah hatinya dan apa saja yang tidak mereka sukai. Meskipun hatinya sudah mantap untuk berpisah dari Rian, tapi Tiara tetap menyambut baik niat sang suami untuk memperbaiki hubungan dengan anak-anak mereka. Wanita itu bisa merasakan jika sejak tadi Rian terus memandang wajahnya.Kini tidak ada lagi beban di hati Tiara. Dia tidak tahu apakah masih ada cinta atau tidak dalam hatinya. Namun untuk sekarang Tiara hanya ingin menjauh dari Rian. Dia tidak ingin memberi harapan pada sang suami kalau rumah tangga mereka akan kembali seperti dulu lagi.Bagi Tiara saat ini dia sudah tidak ada beban yang mengganjal di hatinya karena sudah mendapat permintaan maaf yang tulus dari Rian. Yang teprenting saat ini adalah kebahagiaan Anggrek, Lily dan Nana yang akan mendapat kasih sayang mereka kembali setelah beberapa tahun berlalu.“Ini barang-barang yang merkea sukai. Sudah aku lingkari. Sedangkan kertas yang satu lagi adalah barang-barang serta makanan yan
Tiara terdiam. Dia tidak menyangka akan mendapat pertanyaan itu keluar dari mulut Rian saat ini juga. Walaupun dia sudah menyangka kalau sang suami akan menebak keptusannya ini setelah mengetahui kalau Tiara sudah menjadi penulis online. Walaupun Rian belum tahu detail pekerjaan dan berapa gajinya per bulan.“Kamu sudah bisa menebaknya Mas,” jawab Tiara lirih.Entah kenapa dia tidak kuasa melihat wajah sang suami yang sedih. Padahal sebelumnya Tiara benar-benar bersikap apatis pada sang suami. Namun perasaan itu hanya melingkup hatinya selama beberapa saat. Karena sedetik kemudian hati Tiara kembali membeku. Melindungi pertahanan dirinya agar tidak terluka untuk yang kesekian kalinya.“Memang. Aku sudah bisa menebaknya,” jawaban Rian kian lirih. Hampir tidak terdengar dan terbang terbawa desau angin. Seandainya keheningan mala mini tercemar suara berisik, Tiara tidaka akan bisa mendengar perkataan sang suami.“Lalu apa yang kau bicarkan lagi jika sudah tahu semuanya Mas?” tanya Tiara