Share

Garis Dua

"Okey, habis ini kutemui. Dimana beliau?" tanya Hana yang masih di dalam toilet.

"Di ruang tunggu lantai bawah, Han."

Hana merapikan penampilannya, lantas bergegas menemui mama Alga yang ternyata datang bersama dengan suaminya, papa Alga.

"Tante, Om, maaf sudah membuat nunggu lama," ucap Hana seraya menyalami keduanya.

"Kok gak panggil mama dan papa lagi, Han?"

"Maaf, sudah gak berhak lagi soalnya sekarang Om, Tante. Oh iya, kalau boleh tau ada apa Tante dan Om ingin bertemu dengan Hana?"

"Han, maafkan kami ya, Sayang. Kami gak bisa berbuat apa apa dengan keputusan kakek. Kami juga memikirkan kondisi kakek. Kami benar benar minta maaf atas apa yang terjadi antara kamu dan Alga."

Hana menampilkan senyum termanisnya di depan kedua orang tua Alga untuk menutupi kesakitannya. "Mungkin memang ini yang terbaik buat Hana dan Alga. Alga bukan jodoh Hana, melainkan jodoh Sukma."

"Kami mohon ya, Sayang. Meskipun bukan kamu yang menikah dengan Alga, kamu tetap kami anggap sebagai keluarga, kamu berhak panggil kami dengan sebutan mama dan papa lagi seperti biasanya. Kamu sudah kami anggap sebagai anak kami sendiri, Sayang. Dan tolong jangan membenci kami atas apa yang terjadi ya!" Hana kembali mengangguk dan Anggi pun memeluk Hana begitu erat. Keduanya memang sudah sangat akrab, bahkan kerab kali yang dikira anaknya adalah Hana dibanding Alga. "Jangan berubah pada kami ya, Sayang!" mohon Anggi.

"In syaa Allah," jawab Hana dengan senyum tipisnya

"Mama sama papa datang ke sini mau memberikan undangan pernikahan Alga, acaranya minggu depan. Mama harap kamu bisa datang ya, kamu akan menjadi tamu spesial bagi kami dan bahkan bagi Alga."

"In syaa Allah ya, Ma."

"Kamu gak mau tanya keadaan Alga?" Hana menggeleng. "Dia bingung mencari tahu kabar tentang kamu, katanya kamu susah sekali dihubungi. Padahal dia ingin menghabiskan sisa hari sebelum menikah bersama kamu, Sayang." Hana tersenyum, tapi air matanya mengalir tanpa permisi.

"Ma, Pa, maaf bukan niat Hana untuk mengusir, tapi Hana harus kembali bekerja takutnya nanti Hana dipecat lagi." Alasannya, padahal yang terjadi Hana tidak kuat melihat papa dan mama Alga. Sakit banget rasanya.

"Oh iya, Mama sama papa yang minta maaf karena sudah mengganggu waktu kerja kamu." Lagi lagi Hana hanya tersenyum dengan lelehan air matanya. "Kami pamit ya, Sayang. Kapan kapan kalau Mama kangen kamu, Mama boleh menemui kamu di sini, kan?" Hana kembali merespon dengan anggukan kepala saja. Mereka pun pamit pulang pada Hana.

Seperginya orang tua Alga, Hana pun kembali ke ruangannya. Di sana Sindy rupanya sudah duduk manis menunggunya.

"Lo gak balik ke ruang kerja lo, Sin?" tanya Hana.

"Lo gak perlu terlihat sekuat ini, Han. Gue ini sahabat lo, pundak gue ada untuk lo bersandar kapan pun. Masalah jangan dipendam sendiri!" Hana pun langsung memeluk tubuh ringkih Sindy, lalu ia pun menceritakan semua yang terjadi pada hubungannya dengan Alga. "Kalau lo mau izin pulang duluan gak apa apa, gue izinkan ke kabag, Han."

"Gak apa apa, Sin. Gue masih bisa kontrol kok."

Sudah hampir dua minggu lamanya Hana tidak pernah komunikasi apalagi bertemu dengan Alga, dia terus menyibukkan diri agar terbiasa tanpa Alga. Kadang dirinya juga merindukan Alga, namun Hana berusaha tidak mengikuti keinginan hawa nafsunya untuk menghubungi Alga. Sepulang kerja, Hana duduk di sofa yang biasa diduduki oleh Alga ketika datang ke apartnya. Apalagi kejadian panas pada malam itu juga bermula dari sofa sini. Tak terasa air matanya kembali menetes. Lantas, Hana mengambil undangan yang tadi diberikan oleh orang tua Alga, ditatapnya undangan itu hingga basah oleh tetesan air matanya, kemudian ia meremasnya.

“Harusnya namaku yang tertulis di undangan ini, bukan nama Sukma, Ya Allah.” Hana lepas kontrol, dia membanting semua benda yang ada di hadapannya beserta semua foto dirinya dan Alga yang ada di apartnya. Hana berteriak kencang seraya mengacak rambutnya asal. Namun, detik kemudian perutnya tidak enak. Hana pun berlari ke kamar mandi dan memuntahkan seluruh isi perutnya. Meski Hana rasa isi perutnya sudah kosong, tapi mualnya masih kerasa banget sampai tubuh Hana lemas. Sepertinya dia ingat sesuatu, buru buru dia melihat kalender dan menghitung jadwal tamu bulanannya. Dia melupakan bahwa sudah dua bulan lebih dirinya tidak datang bulan. Tangan dan tubuh Hana pun bergetar, takut bila mana yang tidak dia inginkan terjadi. Secepatnya Hana harus memastikan. Dia membenahi penampilannya untuk pergi ke apotek terdekat. Setelah apa yang dia butuhkan sudah di tangan, Hana pun kembali ke apart. Dia ingin cepat cepat tahu hasilnya. Tak menunggu lama, setelah membaca step by step cara pemakaiannya, Hana pun langsung mempraktekkannya. Setelah menunggu beberapa detik, dengan harap harap cemas Hana mengeceknya. Dan ternyata hasilnya tidak sesuai dengan harapannya. Hana pun mencoba sampai 3 kali untuk memastikan, dan semua hasilnya sama, garis dua. Hana langsung mendudukkan tubuhnya di dinginnya lantai kamar mandi, rasanya kakinya tak lagi mampu menopang berat tubuhnya, lunglai tak bertenaga.

“Cobaan apalagi ini, Gusti? Aku hamil? Padahal ayah dari janin yang aku kandung ini akan menikah dengan perempuan lain dalam hitungan beberapa hari lagi, Gusti. Apa yang harus aku lakukan, Gusti? Aku tak sanggup menerima kemarahan dan kekecewaan dari orang tuaku. Dan aku pun tak bisa meminta pertanggung jawaban dari Alga. Persiapan pernikahannya pasti sudah 90 persen dan aku gak jadi orang jahat yang menggagalkan pernikahannya itu, pasti akan sangat beresiko bagi kesehatan kakek Umar. Apa aku sanggup menjalani ini semua? Atau aku gugurkan saja janin ini?” Hana meringkuk memeluk kakinya sendiri sambil meremas benda kecil bergaris 2 tersebut. Saat ini dia benar benar rapuh, terlalu berat cobaan yang menimpanya. Sampai tak terasa Hana ketiduran di kamar mandi sampai pagi.

Matahari mulai menampakkan diri dari sela jendela kamar mandi dan langsung mengenai tubuh Hana. Hana terbangun dengan wajah sembam. Tubuhnya yang tidur dengan posisi tidak semestinya membuatnya bangun dalam keadaan pegal pegal. Hana mengingat apa gerangan yang membuatnya sampai tertidur di kamar mandi dan ia pun menemukan jawabannya dari benda kecil yang tergeletak di depannya. Dengan prustasi Hana berjalan gontai menuju kamar. Sepertinya kehancuran hidupnya akan berawal dari sini. Satu hal yang ada di pikiran Hana sekarang, menggugurkan janin yang dikandungnya mungkin adalah solusi terbaik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status