Seminggu kemudian Naura sibuk mengurus bisnisnya dan pemulihan Tirta. Dia dan Mela telah pindah ke Mansion baru Tirta, Mansion lama telah resmi disita negara.Hari ini dia datang ke Mansion Renjana untuk memenuhi panggilan Helena, wanita itu belakangan ini sering mengeluh kesepian setelah Naura pindah. "Selamat datang, Nyonya," sapa Damian saat mereka berpapasan di pintu masuk. Naura balas tersenyum. "Sore, tuan Damian. Apa ada tamu di dalam?" tanya Naura setelah melihat mobil asing terparkir di halaman depan. Damian mengangguk. "Benar, suami dari mendiang sepupu Arjuna.""Oh, apa tidak masalah aku masuk?" tanya Naura lagi, khawatir mengganggu perbincangan mereka. Damian mengangguk lagi. "Tentu, silahkan. Pria itu hanya mampir sebentar."Saat Naura hendak melanjutkan langkahnya, Damian tiba-tiba kembali bicara. "Oh, jika Anda memiliki waktu luang sebaiknya kunjungi Arjuna, pria itu hampir membusuk frustasi di ruangan kerjanya.""Apa ada pekerjaan besar akhir-akhir ini?" tanya Naur
Waktu berjalan cepat, malam hari tiba. Robin sudah pergi dari tiga jam yang lalu karena harus segera berangkat ke bandara. Naura menemani Ana bermain di kamar yang telah disiapkan Helena, bahkan jam sepuluh malam anak itu masih memiliki energi yang sangat penuh. "Bibi! Ayo kita bermain kejar-kejaran lagi!" Ajak Ana penuh semangat, sementara Naura telah merasa lelah. Entah sudah berapa kali mereka bermain kejar-kejaran mengelilingi Mansion Renjana yang sangat luas. "Sudah larut malam, Ana. Saatnya tidur, bagaimana?" jawab Naura sambil mengulurkan tangannya ke arah Ana. Senyum Ana pudar, bocah itu segera menggeleng. "Tapi aku masih ingin bermain....""Waktu bermain sudah habis, Ana." Suara Arjuna tiba-tiba terdengar, membuat Naura dan Ana menoleh bersamaan ke ambang pintu. "Paman?" tanya Ana, wajahnya kembali tersenyum. Arjuna melangkah masuk, lalu berdiri duduk di samping Naura. "Kamu lelah?" tanya Arjuna sambil memperhatikan wajah Naura. Naura hanya tersenyum dan mengangguk t
Mereka mulai kembali ke kesibukan masing-masing. Arjuna dan Naura mengurus pekerjaannya, sementara Ana pergi ke sekolah Paud untuk belajar. Naura saat ini berada di kantor pusat terbesar Tirta, dia mulai bekerja di sini sejak seminggu yang lalu. Tetapi perhatiannya pada toko butik tidak putus. Di tengah kesibukannya memeriksa desain-desain pakaian terbaru yang masuk ke butik, ponsel Naura tiba-tiba berdering. Naura segera mengangkat panggilan tersebut, keningnya sedikit terlipat saat Arjuna lah yang meneleponnya. "Ada apa?" tanya Naura. "Guru Ana baru saja meneleponku, anak itu terlibat kasus di sekolah. Apa yang harus aku lakukan? Memanggil polisi?" tanya Arjuna, dari nada bicaranya Naura bisa merasakan bahwa pria itu khawatir. Naura memperdalam lipatan di keningnya. "Kasus?" Dia bertanya-tanya, kasus apa yang sekiranya terjadi pada anak umur empat tahun? "Iya, aku dipanggil ke sana sebagai walinya. Tetapi tiga puluh menit lagi aku harus tiba di Singapura," jawab Arjuna. Naur
"Sebaiknya masalah ini tidak perlu dibesar-besarkan," ucap Naura setelah beberapa detik hening karena semuanya merasa terintimidasi diam-diam. Naura kembali menatap Ana, mengelus kepala anak itu. "Ayo, Ana. Minta maaf, kamu sudah melukai temanmu, loh...."Ana mencengkeram erat pakaian Naura, terlihat keberatan. Tetapi kemudian Ana mendekati temannya dan mengulurkan tangan. "Maafkan aku," ucap Ana. Anak laki-laki itu menatap ibunya terlebih dahulu, kemudian dia membalas uluran tangan Ana. "Aku juga minta maaf." Setelah kedua anak itu saling memberi maaf, Naura kembali meminta Ana untuk menghampirinya. "Anak baik," ucap Naura, mengelus lembut kepala Ana sekali lagi. "Apa Anda masih memiliki hal lain yang ingin disampaikan, nyonya?" tanya Naura, beralih menatap orangtua anak tersebut. Wanita itu menggeleng, wajahnya terlihat segan untuk kembali banyak bicara. "Tidak." Naura tersenyum puas, lalu menatap sang kepala sekolah. "Terima kasih, bu." Kepala sekolah itu mengangguk. "Sam
Naura melangkah keluar dari Caffe tak lama setelah Ana dan Robin pergi, saat hendak membuka tas-nya untuk mencari kunci mobil, langkahnya terhenti dengan suara yang tak asing. "Naura?"Naura menoleh, tubuhnya segera terpaku begitu melihat sosok Zafir. Pria itu menggendong anaknya, Zevan. "Kamu di sini?" tanya pria itu, kembali berbicara. Naura dengan cepat mendapatkan kembali kesadarannya, mengangguk. "Iya, keponakanku baru saja pergi.""Keponakan?" tanya Zafir bingung, karena seingatnya Naura sama sekali tidak memiliki keponakan. Naura tersenyum tipis, menggeleng pelan. "Ah, tidak. Dia keponakan Arjuna, hanya saja sangat dekat denganku."Zafir terdiam saat nama Arjuna disebut, lalu kemudian dia mengangguk dan balas tersenyum. "Bagaimana denganmu?" tanya Naura, lalu pandangannya memperhatikan sekitar untuk mencari keberadaan Evelyn. "Ah, aku--""Susu Zevan hampir tertinggal." Suara Evelyn terdengar, memotong kalimat Zafir. Zafir dengan cepat menoleh, Naura pun segera tersenyum
Dua hari sebelum ulang tahun Zevan dimulai, Naura berusaha mencari kado yang cocok untuk anak itu. Dia memilih pakaian, kali ini ditemani Helena. Arjuna tidak bisa menemaninya karena memiliki urusan pekerjaan, akhir-akhir ini pria itu sangat sibuk. Naura dan Helena melangkah beriringan ke dalam Mall terbesar yang ada di Jakarta, setiap toko pakaian bayi mereka jelajahi. "Lihat ini, lucu sekali," ucap Helena sambil mengayunkan kaus kaki mungil. Naura mengangguk, terkekeh tipis. "Astaga, iya." "Ibu, bagaimana dengan ini?" tanya Naura, menunjukkan pilihannya setelah sempat beberapa menit terpisah menjelajahi toko bayi. Helena tiba-tiba tertawa, lalu mengambil baju bayi sleepsuit jumper tersebut. "Ini baju kodok, bukan?"Naura mengangguk. "Benar, bukankah lucu?"Helena menggeleng. "Aku pernah memakaikan baju seperti ini saat Arjuna masih bayi, anak itu sedang bersemangat-semangatnya berusaha berdiri. Tetapi sayang harus terpeleset karena bahannya yang licin." Lalu dia tertawa lagi d
Naura hadir sebagai perwakilan Tirta di dalam acara ulang tahun tuan muda Wajendra itu, Zevan. Dia mengenakan dress sederhana berwarna biru, namun tetap terlihat sangat cantik dan pangling. Naura melangkah turun dari mobilnya, tatapan matanya datar saat setelah sekian lama ia kembali menginjakkan kaki di Mansion Wajendra. Mansion yang dulu menjadi teritori kekuasaannya, kini ia hadir menjadi tamu undangan. "Biar saya bantu, nyonya," ucap Kate, membantu Naura membawa hadiah untuk Zevan. Naura mengangguk singkat, tersenyum. Setelahnya dia segera melangkah masuk, Kate mengikuti dari belakang. Kedatangannya segera menjadi pusat perhatian, seluruh pembicaraan masing-masing dari mereka terhenti hanya untuk melihat Naura. Naura tidak mempedulikan tatapan mereka, ia tetap tersenyum dan melangkah masuk dengan percaya diri. Arjuna tidak bisa menemaninya, lagi-lagi pria itu sibuk dengan pekerjaannya. Tetapi dia berjanji akan menjemput Naura setelah pekerjaannya selesai. Naura tidak kebe
"Bagaimana?" tanya Arjuna setelah mereka berhasil keluar dari kawasan Mansion Wajendra. Naura melirik Arjuna yang tengah sibuk mengemudi. "Apa?""Apa acaranya berjalan lancar?" tanya Arjuna lagi. Naura mengangguk. "Iya, semuanya lancar. Anak mereka sangat aktif."Arjuna ikut mengangguk. "Apa ada yang membuatmu tidak nyaman?" Naura menggeleng pelan. "Tidak ada, semuanya baik-baik saja." Bibirnya tersenyum cukup dalam saat menyadari Arjuna khawatir. "Bagaimana pekerjaanmu?" Kali ini Naura yang bertanya. "Lancar seperti biasa, aku juga berhasil mendapatkan investor asing untuk Tirta. Mereka akan menghubungimu besok atau lusa," jawab Arjuna. Naura mengangguk singkat. "Terima kasih banyak, maaf jika aku merepotkanmu." Arjuna melirik Naura sekilas, keningnya sedikit terlipat. "Tidak perlu, ini kemauan ku.""Tapi kamu jadi ikut terlalu--""Kamu sudah cukup bekerja sangat keras, bantuanku ini tidak seberapa, Naura." Potong Arjuna, lalu tak lama mobil mereka berhenti di sudut pinggir ko
Arjuna tidak memiliki kegiatan penting apa pun yang mengharuskan ia keluar Mansion. Pria itu hanya berkutat di ruang kerjanya sambil sesekali menggeser kursor laptop. "Sudah semua?" tanya Arjuna, melirik Damian yang terlihat suntuk di depan komputer kerjanya. Damian mengangguk singkat. "Ya, sudah. Semua laporan bulan ini baik-baik saja, bahkan melebihi target."Arjuna balas mengangguk puas, lalu berdiri dari kursinya. "Kunci mobil?"Damian menaikkan alis kirinya sekilas, lalu meraih kunci mobil yang ada di atas mejanya untuk ia lempar ke arah Arjuna. "Menjemput nyonya Tirta?" tanya Damian. Arjuna mengangguk, setelah itu melangkah keluar ruang kerjanya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Helena yang sedang sibuk bercengkerama dengan pegawai toko perhiasan langganan wanita itu di ruang tamu. "Kamu mau menjemput Naura?" tanya Helena begitu melihat putranya. "Iya," jawab Arjuna, lalu melangkah mendekati ibunya. Berbagai macam bentuk perhiasan dipamerkan di atas meja. Perak, emas,
"Nyonya, bukankah itu tuan Renjana?" ucap Kate dari kursi depan, membuat Naura membuka matanya dan mencoba melihat ke depan. "Benar, itu beliau. Sepertinya tuan Renjana menunggu kepulangan Anda cukup lama, nyonya," balas tuan Benjamin yang menyetir mobil. Dari dalam mobil Naura melihat sosok Arjuna telah berdiri menunggunya di depan pintu masuk. "Sudah berapa lama ia di situ?" tanya Mela yang juga ikut terkejut. Setelah mobilnya berhenti, Naura dengan cepat turun dan melangkah mendekati Arjuna. "Kamu di sini?" tanyanya bingung. "Astaga, apa kamu sudah menunggu kami lama, nak?" tanya Mela khawatir. Arjuna tersenyum tipis, lalu menggeleng. "Tidak, aku juga baru saja tiba." Naura menaikkan alis kirinya, lalu menggeser tatapannya ke arah Damian yang seolah tertekuk rapat. Sepertinya Arjuna berbohong agar tidak membuat ibunya khawatir. "Kamu baru pulang bekerja?" tanya Mela lagi, menatap Arjuna penuh perhatian. Arjuna mengangguk. "Benar, aku kemari karena ada beberapa hal y
Zafir masuk ke dalam ruangan kerja Evelyn dengan raut wajah datar, pandangan matanya mendingin. Saat tatapan mereka bertemu, dengan cepat pria itu bertanya,"Itu ulahmu?"Evelyn dengan mata sembabnya berusaha tenang, meskipun air matanya tidak lagi mengalir deras seperti sebelumnya. "Kamu bicara soal apa, Zafir?" tanya Evelyn, pandangan matanya mulai sedikit kosong tiap kali menatap Zafir. Zafir mengepalkan tangannya. "Tidak perlu bertingkah polos! Itu ulahmu, bukan? Kamu yang sengaja mengatakannya pada Naura?!"Evelyn mengerutkan keningnya, lalu tak lama ia kembali membalas dengan tatapan datar. "Oh? Soal kamu ingin menikah lagi dengannya?" tanya Evelyn. Zafir menggertak kan giginya marah, lalu melangkah mendekati Evelyn dan menggebrak meja kerja wanita itu. BRAK!"Jadi benar? Kamu yang membuat Naura berpaling dariku?!" tanya Zafir, dia marah total karena Evelyn mengacaukan rencananya. Evelyn masih menatap Zafir dengan tenang meskipun kedua tangannya diam-diam gemetar di bawah
Naura melangkah menuju lokasi pesta kembali, suasana hatinya terasa kosong sekarang. Pembicaraannya dengan Evelyn sangat menguras energi. Dia sengaja berhenti di bibir tangga, memperhatikan para tamu yang sibuk bercengkerama. Tak lama suara pria yang tak asing terdengar dari arah belakangnya, begitu menoleh Naura mendapati sosok Zafir sedang tersenyum ke arahnya. "Ada apa?" tanya Zafir begitu mendapati Naura berdiam diri di bibir tangga. Naura memperhatikan pria itu sejenak, ia kembali teringat dengan cerita Evelyn. Diam-diam hatinya bertanya, bagaimana bisa wajah setenang ini yang dulu sangat ia cintai berubah jadi sosok yang bahkan sulit untuk Naura kenali kembali?"Naura, kamu baik-baik saja?" tanya Zafir bingung setelah melihat Naura hanya diam menatapnya. Naura tersadar, dia dengan cepat menarik pandangannya dari Zafir dan tersenyum formal. "Iya, maafkan saya.""Kamu sedang tidak enak badan?" tanya Zafir khawatir, lalu mencoba untuk menyentuh kening Naura. Naura dengan ce
Evelyn terisak hebat saat menceritakan apa yang terjadi di rumah tangganya, sementara Naura hanya diam menyimak. Pandangan matanya mendingin setelah mendengar Zafir dan Malini ingin menjadikan dirinya nyonya Wajendra kembali setelah mereka menggantikannya dengan Evelyn. Bahkan mereka menekankan posisi 'nyonya' dan 'ibu'? Itu menjijikan. Melihat Evelyn yang lemas karena terlalu lama menangis membuat hati Naura sedikit terenyuh, dia dapat memahami rasa sakitnya. Tetapi haruskah ia peduli? Mereka lah yang menginginkan takdir seperti ini, semua rasa sakit mereka timbul karena pilihan sendiri. "Jadi, aku mohon... Bantu aku untuk menjadi sepertimu, aku hanya ingin mempertahankan posisiku," ucap Evelyn, wanita itu kembali memohon. Naura mengerutkan keningnya samar, kondisi terisak wanita itu sukses membuat Naura teringat dengan dirinya sendiri. Dulu dia juga menangis seperti itu, menyalahkan dirinya sendiri atas kekurangannya. Padahal mereka lah yang menginjak-injak dirinya. "Apa yan
Pesta berlangsung meriah meskipun ada kedinginan yang diam-diam menyelimuti mereka. Naura menikmati suasana pesta meskipun Malini terus menerus 'mengusiknya'. Dia masih belum mengetahui alasan Malini melakukan hal itu. Naura mencoba untuk menyingkir dari pusat pesta, dia menepi sejenak untuk kemudian melangkah mencari kamar kecil. Mansion ini dulu adalah miliknya, dia tidak memerlukan bantuan siapapun untuk mencari sesuatu di sini. Sebelum benar-benar pergi ke kamar kecil, Naura sempat memperhatikan Zafir. Pria itu tersenyum seperti biasa, menyapa para tamu mendampingi Malini. Tetapi entah bagaimana Naura merasa ada yang aneh di sini, entah itu situasi ataupun perilaku mereka.Lagi-lagi, Naura mencoba mengabaikannya. Meskipun Evelyn telah mengatakan hal tidak masuk akal saat di Solo kemarin, Naura masih tetap tidak bisa mempercayainya. Untuk apa pria itu menginginkannya lagi? Mereka lah yang membuang Naura. Tidak ada alasan untuk menyesal. Naura meninggalkan area pesta untuk
Hari ulang tahun nyonya besar Wajendra itu akhirnya tiba, acara dilaksanakan di Mansion utama Wajendra. Naura ikut hadir untuk mendampingi ibunya, kedatangan mereka pun segera menjadi pusat perhatian. Naura menatap sekitaran Mansion, tidak banyak yang berubah sejak terakhir kali ia kemari untuk mendatangi ulang tahun Zevan. Malini yang melihat kehadiran Naura dan Mela pun segera menghampirinya, tindakan ini pun langsung menjadi pusat perhatian lebih luas. Pasalnya, semua tamu undangan yang hadir tidak ada yang disambut secara langsung seperti Naura dan Mela. "Astaga, kalian sudah datang? Bagaimana kabarmu, nak?" tanya Malini, lalu memeluk Naura. Naura mengerutkan keningnya tidak nyaman, apa-apaan wanita itu?Tak lama Malini menatap Mela, bibirnya tersenyum lebih dalam. "Ini pertemuan pertama kita, benar?"Mela mengangguk. "Benar, selamat ulang tahun, nyonya besar Wajendra."Malini terkekeh tipis. "Aku sudah terlalu tua untuk mendapatkan ucapan seperti itu, terima kasih banyak, n
Niat awal Evelyn mendatangi suami dan ibu mertuanya adalah untuk meminta maaf.Tetapi... Mendengar percakapan mereka membuat Evelyn mengurungkan niatnya. Dengan lemas wanita itu melangkah mundur, tangan kanannya menutup mulutnya agar tidak mengeluarkan suara tangis sedikitpun. Air matanya mengalir deras, perlahan ia menjauh dari ruang kerja Zafir hingga akhirnya benar-benar berlari. Evelyn terus berlari, ia tidak memiliki tujuan pasti. Para pelayan yang melihat sosoknya pun bingung dan segera bertanya-tanya, apa yang sekiranya baru saja terjadi lagi?Evelyn berhenti secara tidak sengaja di pintu yang selalu dilarang Zafir untuk dimasuki siapapun. Evelyn menatap dingin pintu itu, air matanya masih terus mengalir. Sebenarnya apa yang ada di balik pintu ini hingga suaminya bahkan melarang dirinya untuk masuk?Tak lama Evelyn teringat dengan Naura. Apa yang sekiranya akan Naura lakukan di posisi ini? Apa dia akan mentolerir rahasia seperti ini?Setelah dipikirkan, jawabannya adalah
Berbeda suasananya dengan Mansion Wajendra, Mansion Tirta justru terlihat sangat tenang dan ceria. Naura hari ini tidak pergi ke kantor, dia memutuskan ingin menghabiskan waktu di rumah bersama ibunya. Naura dan Mela mengenakan pakaian berkebun, mereka sibuk menanam tanaman bersama di halaman depan dan belakang Wajendra. Tak lama sosok Arjuna muncul, pria itu seperti biasa mengenakan setelan jas formal berwarna hitam."Kamu tidak ke kantor?" tanya Naura saat melihat pria itu tiba-tiba muncul. Arjuna mengangguk. "Tidak ada jadwal penting hari ini, jadi aku memutuskan untuk mampir kemari setelah mengetahui kamu juga tidak pergi ke kantor."Naura mengangguk mengerti, lalu tersenyum tipis. "Mau bergabung?"Arjuna mengangguk. "Tentu saja, kenapa tidak?""Kamu bisa berkebun?" tanya Mela, dia jarang melihat pria dengan status tinggi menyukai kegiatan seperti ini. Arjuna mengangguk ragu. "Kita bisa mencobanya bersama."Naura terkekeh. "Dari jawabannya itu berarti tidak bisa, bu."Arjuna