Arjuna membawa Naura ke ruang kerjanya, mereka duduk berhadapan di sofa tengah ruangan. Naura menunggu penjelasan Arjuna selagi pria itu sibuk mengeluarkan beberapa tumpuk kertas di atas meja. "Ini bukti kerjasama gelap Phantom," ujar Arjuna, menunjuk satu persatu kertas. Naura mengerutkan keningnya. "Kebun ganja?" Arjuna mengangguk. "Tirta memiliki perkebunan ganja di pinggir kota, tepatnya di pabrik minuman kemasan yang mereka kelola.""Itu sebabnya mereka tidak terendus pihak kepolisian?" tanya Naura. Arjuna mengangguk lagi. "Bahkan jika pihak kepolisian tahu mereka pasti memilih untuk tetap diam. Kebun itu berada tepat di bawah pabrik, tidak semua pekerja memiliki akses ke sana. Mereka akan aktif beroperasi pada malam hari, dengan tempat seperti itu tidak akan ada yang memiliki kecurigaan bahwa di bawah tanah yang mereka injak adalah ratusan hektar kebun ganja." Naura mengambil salah satu kertas yang berisi kontrak perjanjian resmi antara Tirta dan Phantom, keuntungan bisnis
Hari ini adalah penentuan.Naura masih sibuk memakai antingnya, tak lama suara ketukan pintu terdengar."Masuk."Pintu segera terbuka dan sosok Kate muncul, pria itu tersenyum penuh semangat dan ramah seperti biasanya. "Atas perintah tuan Renjana, mobil sudah siap untuk anda, nona."Naura mengangguk, lalu bergegas keluar kamar yang diikuti oleh Kate. "Semua bukti sudah dibawa?" tanya Naura. Kate mengangguk. "Sudah, nona.""Oh, di mana surat kontrak yang diberikan Tirta?" tanya Naura. Kate dengan cepat membuka tas-nya, lalu menyerahkan selembar surat kontrak yang sempat Tirta berikan untuk Arjuna. "Terima kasih, Kate.""Dengan senang hati, nona."Mobil Naura melaju cepat dari Mansion dengan Damian yang memegang kemudi. Naura menatap dingin ke arah luar jendela, hari ini dia akan mengakhiri permainan Ronald dan Sausan. Mobil Naura sampai di Mansion Tirta sekitar empat puluh menit, seolah tahu Naura akan datang, Leon telah menunggu di depan pintu masuk.Pria itu membukakan pintu N
"Dari mana kamu dapat semua berita itu?" tanya Ronald, mereka sekarang berada di ruang kerja pria itu. Naura berdiri menatap Ronald yang duduk di meja kerjanya, tatapannya tetap sedingin bongkahan es meskipun hatinya merasa terancam. "Kamu takut?" balas Naura, bibirnya sedikit tersenyum tipis. Ronald balas tersenyum tipis. "Renjana berhubungan dengan Phantom, benar?" Naura menyimpan kembali senyumnya, dari mana pria itu tahu? "Hanya Phantom yang dapat mengulik berita-berita itu, karena mereka sendirilah yang melenyapkannya," timpal Ronald, memberikan penjelasan masuk akal."Apa yang kamu inginkan?" tanya Ronald lagi. Naura dengan cepat menjawab,"Hak ibuku sebagai nyonya Tirta dan tarik syarat tidak masuk akal kalian untuk Renjana."Ronald terlihat sedikit keberatan, sepertinya pria itu sedang menimbang permintaan Naura dan tuntutan ibunya. Naura tidak akan membiarkan Ronald lebih condong pada Sausan, dia akan terus mendesak. "Berita-berita ini seharga nyawamu, bukan? Aku tidak
Naura tersenyum dingin di posisinya, dia masih membelakangi Ronald yang menodongnya dengan pistol. Dengan tenang ia mengambil pistol yang tergeletak di lantai, lalu berbalik ke arah Ronald sambil membalas todongan pistol tersebut. "Jangan samakan aku dengan takdir menyedihkanmu, Ronald," ucap Naura, pandangan matanya mendingin. Ronald hanya diam, pandangan matanya sudah menjadi normal seperti biasa, dingin. "Takdir dan deritamu tidak perlu disamakan dengan kehidupanku. Kamu benar, kita memang tidak pernah benar-benar memiliki pilihan, tapi aku setidaknya memiliki kebebasan," ucap Naura tegas. Ronald menggeleng pelan, bibirnya kembali tersenyum tipis. "Tidak ada bedanya--""Ada. Perbedaan kita jauh," potong Naura, lalu melanjutkan,"Setidaknya aku bisa melangkah keluar dari sini, tidak sepertimu yang harus menahan penderitaan dan membusuk selamanya."Ronald mengeratkan genggaman pada pistol miliknya, kedua matanya mulai menunjukkan amarah kembali. "Takdir kita adalah bersaing dan
Persidangan untuk mengadili kasus Tirta diproses satu hari setelah penangkapan. Media dibuat gempar akan kabar yang tiba-tiba muncul, tidak ada yang menyangka bahwa Tirta menyimpan rahasia yang sangat kelam. Naura dan Arjuna hadir sebagai saksi, sementara Ronald dan yang lain telah memakai baju tahanan, duduk di tengah ruang persidangan. Sausan terlihat sangat berantakan meskipun hanya berbeda satu hari dari kejadian kemarin.Wajah wanita itu lemas dan pucat, kekayaan dan kekuasaannya dicabut total. "Apa ada pernyataan lain yang ingin saksi sampaikan?" tanya ketua hakim. Naura menatap Ronald, pandangan mereka bertemu. Ada perasaan getir di dalam hatinya, sulit untuk dijelaskan. Naura beralih menatap hakim, menggeleng. "Tidak ada, yang mulia." Setelah Naura menjawab, persidangan resmi ditutup. "Dengan ini dinyatakan secara resmi bahwa terdakwa Ronald Tirta, Sausan Tirta, dan beberapa jajaran Tirta yang terlibat dalam bisnis gelap perkebunan ganja dinyatakan dipenjara seumur hidu
Keesokannya, Naura dan Arjuna langsung menuju Mansion lain Tirta untuk rapat. Mereka tidak bisa mengadakannya di Mansion utama karena tempat itu masih terpasang garis polisi. Kate membukakan pintu untuk Naura, wanita itu melangkah masuk diikuti Arjuna dari belakang. Begitu memasuki ruang rapat, seluruh anggota Tirta menoleh, tidak ada yang berdiri dari kursi mereka untuk menyambut. Tetapi saat Arjuna muncul, mereka semua terkejut dan berdiri. Naura memperhatikan wajah mereka satu persatu, perasaan seperti meragukan dirinya terasa sangat jelas. Meskipun begitu, wajah terkejut mereka saat melihat Arjuna membuat Naura sedikit puas. Mereka jadi berpikir ulang mengenai kekuatan Naura, karena wanita itu sanggup membuat Renjana berjalan di belakangnya. "Selamat pagi, senang bertemu Anda semua," sapa Naura dengan senyum formal. Para tetua tidak fokus dengan sapaan Naura, mereka hanya tersenyum dan membalas sedasarnya. Mereka justru memperhatikan cincin berwarna ungu yang melingkar di ja
Seminggu kemudian Naura sibuk mengurus bisnisnya dan pemulihan Tirta. Dia dan Mela telah pindah ke Mansion baru Tirta, Mansion lama telah resmi disita negara.Hari ini dia datang ke Mansion Renjana untuk memenuhi panggilan Helena, wanita itu belakangan ini sering mengeluh kesepian setelah Naura pindah. "Selamat datang, Nyonya," sapa Damian saat mereka berpapasan di pintu masuk. Naura balas tersenyum. "Sore, tuan Damian. Apa ada tamu di dalam?" tanya Naura setelah melihat mobil asing terparkir di halaman depan. Damian mengangguk. "Benar, suami dari mendiang sepupu Arjuna.""Oh, apa tidak masalah aku masuk?" tanya Naura lagi, khawatir mengganggu perbincangan mereka. Damian mengangguk lagi. "Tentu, silahkan. Pria itu hanya mampir sebentar."Saat Naura hendak melanjutkan langkahnya, Damian tiba-tiba kembali bicara. "Oh, jika Anda memiliki waktu luang sebaiknya kunjungi Arjuna, pria itu hampir membusuk frustasi di ruangan kerjanya.""Apa ada pekerjaan besar akhir-akhir ini?" tanya Naur
Waktu berjalan cepat, malam hari tiba. Robin sudah pergi dari tiga jam yang lalu karena harus segera berangkat ke bandara. Naura menemani Ana bermain di kamar yang telah disiapkan Helena, bahkan jam sepuluh malam anak itu masih memiliki energi yang sangat penuh. "Bibi! Ayo kita bermain kejar-kejaran lagi!" Ajak Ana penuh semangat, sementara Naura telah merasa lelah. Entah sudah berapa kali mereka bermain kejar-kejaran mengelilingi Mansion Renjana yang sangat luas. "Sudah larut malam, Ana. Saatnya tidur, bagaimana?" jawab Naura sambil mengulurkan tangannya ke arah Ana. Senyum Ana pudar, bocah itu segera menggeleng. "Tapi aku masih ingin bermain....""Waktu bermain sudah habis, Ana." Suara Arjuna tiba-tiba terdengar, membuat Naura dan Ana menoleh bersamaan ke ambang pintu. "Paman?" tanya Ana, wajahnya kembali tersenyum. Arjuna melangkah masuk, lalu berdiri duduk di samping Naura. "Kamu lelah?" tanya Arjuna sambil memperhatikan wajah Naura. Naura hanya tersenyum dan mengangguk t
"Mama papa keren! Keren! Itu mama papa Zevan!" Suara riang anak kecil terdengar begitu musik dansa berhenti. Naura menggenggam erat tangan Zafir, sementara tangannya yang lain memegang bahu pria itu. Zafir pun sama, dia merangkul erat pinggang rampung Naura dan tangan wanita itu. Keduanya saling tatap, Naura masih menatapnya penuh kebencian. Zafir lagi-lagi tidak keberatan.Zevan berlari lincah ke arah mereka, membuat Naura tersadar dan segera melepas pegangannya dari Zafir. "Mama! Mama cantik sekali!" Puji Zevan dengan senyum lebar, membuat Naura tak bisa menahan senyum. "Jangan berlari lagi, Zevan." Naura mencubit hidung anak itu. Tak lama suara tepuk tangan mulai terdengar, lalu menjadi jauh lebih ramai dan meriah dibandingkan tepuk tangan dansa sebelumnya. Naura mulai sadar dan memperhatikan sekitar, semua orang menatap mereka dengan senyuman. Konyol, ini konyol. Saat hendak memutuskan untuk pergi, tiba-tiba saja tak jauh dari posisi mereka terdengar suara teriakan wanit
"Bagaimana?" tanya Naura saat mereka telah tiba di balkon. Keduanya berdiri bersebelahan, mata masing-masing memperhatikan pemandangan danau di depan. Langit semakin menggelap, udara pun semakin terasa dingin. "Seperti yang Anda lihat," jawab Tiara, kedua tangannya memijit ringan keningnya bersamaan. Naura kali ini memilih diam, Tiara pasti akan mulai mencurahkan seluruh perasaannya seperti panggilan telefon mereka semalam. "Saya tidak mengerti lagi kenapa pria itu semakin berani, wanita itu juga tak ada malunya. Saya baru pergi sehari namun keadaan Mansion sudah banyak berubah, pelayan lebih patuh pada mereka dibanding saya. Beruntung saya cepat kembali, jika tidak maka semuanya akan semakin sulit. Wanita itu, dia berlagak seperti nyonya rumah."Naura tersenyum tipis. "Lalu? Apa yang Anda lakukan?""Tentu saja saya tidak tinggal diam, saya menggunakan saran Anda. Lambat waktu, saya kini memahami betapa berharganya posisi saya," jawab Tiara, matanya seolah memandang jauh sesuatu
"Boleh saya tahu nama Anda, nona?" tanya salah satu kepala keluarga saat Tiara dan Jovan telah berkumpul bersama mereka. Sela melingkarkan tangannya erat di lengan Jovan, berusaha sembunyi pada pria itu karena malu. Sosoknya yang mungil dan wajah cantik manisnya sekilas membuat semua orang menganggapnya gemas. Naura hanya diam memperhatikan, dia merasa lucu karena Jovan benar-benar berani membawa selingkuhannya lagi setelah keributan di mega grand opening Zafir. Berbeda dengan Jovan yang tersenyum, Tiara justru hanya memasang raut wajah datar. Meskipun tidak saling bicara, Naura tahu bahwa saat ini Tiara tengah mengatur emosinya setengah mati. "Kemari, tidak perlu takut. Ada aku," ucap Jovan lembut pada Sela, seketika membuat semua orang saling tatap dan menatap penasaran ke arah Tiara. "Mama... Kenapa tante itu murung?" tanya Zevan tiba-tiba, menggoyangkan kecil genggaman tangan mereka. Naura menoleh, lalu tersenyum tipis. "Dengar, Zevan. Jika kamu dewasa nanti, jangan pernah
"Mama!" Zevan tersenyum riang ke arahnya, membuat Naura tak memiliki pilihan lain selain membalas senyumannya. Naura mengelus kepala Zevan lembut. "Jangan berlari seperti tadi lagi, ya. Berbahaya."Zevan mengangguk. "Kalau begitu Zevan harus menggandeng tangan mama!" ucapnya sambil meraih tangan Naura. Tak lama, dari kejauhan Naura melihat sosok Zafir yang melangkah ke arahnya. Pria itu tersenyum, setelah tiba tepat di hadapan Naura, Zafir menarik lembut anaknya. "Maafkan anakku, nyonya. Dia sepertinya sangat menyukai nyonya," ujarnya. "Anda membiarkan anak sendiri lepas berlarian itu sangat berbahaya, tuan Wajendra. Lain kali tolong lebih diperhatikan." Kalimat Naura mengandung sindiran yang tersirat untuk Zafir. Tetapi seolah tak mengerti, Zafir hanya terkekeh dan membalas santai. "Kalau Anda sebegitu khawatirnya dengan Zevan, mengapa tidak Anda saja yang menggandengnya? Putra saya juga sepertinya memiliki selera yang cukup bagus, jarang sekali ia bersedia disentuh oleh semba
Setelah semalam puas bercerita pada Naura, Tiara kini perlu kembali pada realita kehidupannya. Wanita itu menatap datar dirinya sendiri di cermin sebelum akhirnya berdiri dan melangkah keluar kamar. Dia menuruni tangga dengan tenang, kupingnya menangkap suara tawa bahagia milik suami dan kekasih gelapnya. Tiba di ruang makan, kedua sudut alis Tiara sedikit menyatu saat melihat Jovan berani mendudukkan wanita itu satu meja dengan ibunya. Meskipun hubungan Tiara dan ibunya sendiri pun tidak begitu baik, tetapi tidak sampai saling membenci. "Selamat pagi, nyonya Bara." Sela menyapa ramah Tiara dari kursinya, sedangkan Tiara hanya melirik singkat tanpa membalas. Dia duduk dengan tenang di kursi utama meja makan, kemudian menatap dingin suaminya. "Sejak kapan keluarga ini bertindak seenaknya?'Jovan yang awalnya tidak melirik Tiara sedikitpun menoleh ke istrinya, seluruh mata kita tertuju padanya. Ibu Tiara, sang nyonya besar Bara hanya diam dan terus menikmati makanannya. Wanita i
Naura baru saja selesai mengurus pekerjaannya, dia kini duduk di hadapan meja rias setelah usai membersihkan diri. Di tengah ini, tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar. Naura menoleh sekilas, itu pasti bukan Kate karena wanita itu sudah berpamitan saat dirinya mandi. "Masuk," jawab Naura. Tak lama pintu terbuka, sesuai dugaannya, yang mengetuk adalah pelayan Mansion. "Ada apa?" tanya Naura sambil menyisir rambutnya. "Ada kiriman bouquet bunga, nyonya. Saya sudah memerintahkan mereka untuk meletakkannya di ruang tengah." Naura menaikkan alis kirinya sekilas, lalu dia segera berdiri dan melangkah menuju ruang tengah.Bibirnya tersenyum samar, Naura menebak bunga itu adalah pemberian Arjuna. Sampai di ruang tengah, Naura tersenyum tipis. Bouquet mawar putih besar bersandar jelas di sofa ruangannya. Tak lama ponselnya berdering, panggilan dari Arjuna masuk. "Bagaimana, apa kau suka?" tanya Arjuna begitu sambungan mereka terhubung. Naura menyentuh lembut kelopak bunga mawar t
"Pergi lalu datang tiba-tiba, memalukan! Kini kamu menampar Sela hanya karena masalah ringan? Tidak puaskah kamu bertingkah hingga membuat masalah internal kita tersebar?!" Jovan menatap muak ke arah istrinya, lalu menarik Sela ke dalam pelukannya. "Sudah marahnya?" tanya Tiara tenang, menatap datar suami serta orang ketiga di pernikahannya. Melihat respon Tiara yang cukup berbeda dari sebelumnya, keduanya pun sempat tertegun. Tiara tidak mempedulikan ekspresi mereka, dia segera melirik Sela sekilas dan kembali menatap Jovan. "Ajari kekasihmu untuk tidak menyentuh sesuatu yang bukan miliknya. Kedepannya aku tidak akan mentoleransi kesalahan seperti ini lagi, bahkan aku tidak ragu mengusir kalian dari sini." Tegas Tiara, lalu melangkah melewati Jovan dan Sela. Diam-diam hatinya kembali berdenyut sambil berdarah, tetapi dia mengingat pesan Naura dan kembali membulatkan keberanian. Jovan dan Sela menatap heran ke arah Tiara, kenapa wanita itu tidak mengamuk dan pecah seperti sebel
Naura duduk berhadapan dengan Zafir di ruang tengah Tirta. Zafir benar-benar terlihat santai, pria itu selalu tersenyum setiap kali mata mereka bertemu. Naura hanya diam dan memasang raut wajah tidak bersahabat, dia tidak mengerti mengapa Zafir bergerak lebih agresif dibandingkan sebelumnya. "Apa kamu sudah menerima email yang pihak kami kirim?" tanya Zafir, membuka pembicaraan. Naura tanpa ekspresi menjawab. "Ya, tapi aku tidak bisa menyetujuinya.""Kenapa?" tanya Zafir. Naura mengerutkan keningnya. "Anda lah yang kenapa, bukankah dulu yang membatalkan semuanya adalah Anda?"Zafir mengangguk ringan. "Itu benar, tetapi aku akui itu adalah sebuah kesalahan. Tidak seharusnya aku memutuskan hubungan dua keluarga begitu saja. Wajendra dan Tirta sudah berhubungan sangat lama, namun kemarin emosiku sedang sangat tidak stabil, aku minta maaf. Tujuanku kemari hanya ingin mengembalikan semuanya seperti semula, aku tidak ingin mengecewakan upaya para senior keluarga di masa lalu."Naura me
"Terima kasih banyak, nyonya Tirta. Maaf... Aku merepotkanmu. Sejujurnya aku merasa sangat malu." Tiara tersenyum lemah ke arah Naura, mereka berdua berdiri di halaman depan Mansion Tirta. Setelah diskusi serta diiringi dorongan semangat dari Naura, Tiara pun berani melangkah kembali ke Mansion Bara. Meskipun rasa takut dan gugup menggerogotinya, pada akhirnya dia tidak bisa menghindar dari takdirnya sebagai kepala keluarga. "Bukan masalah besar, terkadang perempuan memang tidak memiliki tempat untuk kembali di situasi seperti ini," jawab Naura, sekali lagi dia mulai mengingat kepingan masa sulitnya. "Saya tidak tahu harus bagaimana berterima kasih pada Anda, jika--""Berjanjilah pada saya untuk menjadi pemenang di masalah ini. Setelah selesai, Anda baru bisa memikirkan bagaimana caranya berterima kasih pada saya." Potong Naura, kembali memberikan dorongan pada Tiara. Tiara tertegun, lalu ia mengangguk mantap. "Tentu." Setelahnya, Tiara masuk ke dalam mobil yang diperintahkan N