Tiap bangsawan telah berada di atas kudanya masing-masing, kuda Arjuna berada di samping Naura persis.Saat ini Perdana Menteri yang berperan sebagai tangan kanan raja tengah menjelaskan peraturan dari event berkuda tahun ini. Pihak kerajaan telah memasang pita dengan warna-warna tertentu. Tiap warna memiliki jumlah poinnya sendiri. Pita merah bernilai sepuluh poin, pita hijau tiga puluh poin, pita ungu lima puluh poin, dan terakhir pita dengan warna emas bernilai seratus poin. Saat raja menembakkan pistol ke udara, maka acara berkuda berarti telah dimulai. Naura mengendarai kudanya memasuki hutan, Arjuna menyusul kecepatan wanita itu. Mereka beriringan memasuki hutan. "Pita merah!" ucap Naura, bibirnya tersenyum melihat pita biru di dahan pohon. Selagi Naura mengambil pita yang baru saja ia lihat, Arjuna terus melangkah maju untuk mengambil pita miliknya di tempat lain. Pria itu bergerak seolah telah hafal di mana letak para pita."Tunggu di sini," ucap Arjuna. Naura hanya me
"Terima kasih," ucap Naura saat Arjuna menggendongnya. Naura mengutuk tanah licin yang membuatnya terjatuh, kedua kakinya terasa sangat lemas sekarang. Dengan hati-hati pria itu meletakkan tubuhnya kembali di tanah dan bersandar pada batang pohon besar. "Bagaimana bisa kamu kemari?" tanya Arjuna bingung, raut wajahnya terlibat khawatir. Naura balas menatap bingung. "Petunjuknya mengarah kemari, bukan?" Arjuna menggeleng. "Ini area terlarang, Naura. Banyak hewan buas yang berkeliaran di sini." Naura tertegun, area terlarang? Lalu mengapa papan petunjuknya mengarah kemari?"Apa ada bagian tubuhnya yang sakit?" tanya Arjuna, berusaha memastikan bahwa Naura baik-baik saja.Naura menggeleng. "Aku hanya terkejut, tapi... Kaki memang cukup sakit."Arjuna melirik kaki Naura, kemudian perlahan melepas sepatu Naura. "Supaya tidak kaku," ucap Arjuna, lalu duduk di samping Naura setelah selesai melepaskan sepatu. "Tangan," ujar Arjuna lagi, tangan kanannya bergerak mencari sapu tangan di
Suasana yang seharusnya meriah kini menjadi tegang karena Arjuna dan Naura belum juga keluar dari hutan. Raja telah memerintahkan seluruh prajurit untuk menyusuri area berkuda, tapi tidak ada yang berhasil menemukan mereka. Helena pucat pasih, kedua tangannya mencengkeram ujung pakaiannya dengan gelisah. "Tenang, bibi. Arjuna dan nona Naura pasti akan segera kembali." William menghampiri bibinya dan memeluk wanita itu hangat. "Sudah kalian periksa di luar area berkuda?" tanya Catharina yang berada di samping William. Kepala prajurit keamanan itu menggeleng. "Belum, yang mulia. Tetapi sebagian dari kami sudah ada yang bergerak ke arah sana, sebentar lagi pasti akan muncul laporan."Catharina mengangguk singkat, putri Mahkota itu terlihat sangat gelisah seperti Helena dan yang lain. "Di mana Damian?" tanya William setelah menyadari tidak melihat Damian sejak hujan muncul. Catharina terdiam, benar juga. Di mana tangan kanan Arjuna itu? "Mereka pasti sudah bergerak mencari empu-ny
Setelah pergelangan kaki Naura diobati dan puas bercengkerama dengan yang lain, Arjuna, Naura, dan Helena bergegas untuk kembali ke Indonesia. "Pukul saja wajah tampannya jika dia bersikap tidak sopan padamu di masa depan, nona." William terkekeh saat mengatakan ini di detik perpisahan mereka. Setelah dua hingga tiga kalimat perpisahan hangat lainnya, mereka pun bergegas naik ke pesawat. Meskipun Naura merasa lega karena seluruh masalahnya di negara ini telah berakhir, tetapi ia juga sedih karena harus berpisah dengan penghuni Mansion perdana menteri dan pasangan baru menikah itu. Begitu berhasil tiba di Indonesia dengan selamat, tidak ada percakapan panjang yang bermutu. Mereka semua bergegas menuju kamar masing-masing dan beristirahat. Helena memberikan pelukan hangat bergantian untuk Arjuna dan Naura sebelum melenggang pergi ke kamarnya. Jam telah menunjukkan pukul setengah satu malam, Naura pun tidak banyak melakukan kegiatan lain setelah membersihkan diri dan dengan tenang
Naura membuka matanya, untuk pertama kalinya setelah berhasil mendapatkan kesadaran penuh, ia tersenyum. Kedua matanya melirik ke jari manis miliknya, cincin dengan berlian hijau emerald itu masih terpasang sejak semalam. Naura bangkit dari tidurnya menuju kamar mandi, namun belum sempat ia masuk suara ketukan pintu yang terburu-buru terdengar. "Tunggu di situ," ucap Naura, kemudian dengan cepat mencuci wajahnya dan baru membuka pintu. "Ada apa?" tanya Naura begitu melihat raut wajah pucat Kate. "Tirta datang menjemput Anda, nona," jawab Kate cepat. Wajah Naura ikut menegang, kemudian kakinya dengan cepat berlari ke arah jendela. Naura memancingkan kedua matanya begitu melihat asisten pribadi Ronald, Leon sedang berbicara dengan Damian dan Arjuna."Nona, apa yang harus kita lakukan?" tanya Kate sambil menyodorkan mantel ke arah Naura. Naura mengambil mantel tersebut dan menggunakannya, kemudian dia melangkah keluar sambil berkata,"Hadapi, apa lagi?"Sementara Arjuna, pria itu
"Kamu masih punya nyali untuk bertanya?" Sausan menatap tajam Naura, dia sedikit terganggu melihat Naura tetap tenang meskipun baru saja disiram air. Naura menaikkan alis kirinya sekilas, kemudian melirik Ronald. "Jadi ada apa?" Ronald melempar surat kabar internasional ke arah Naura, adegan ini mengingatkan Naura saat kakaknya murka mengenai Evelyn satu tahun yang lalu. "Itu kasus yang sangat memalukan, Naura," ucap Ronald. Naura menatap sekilas surat kabar tersebut, isinya adalah insiden di Belanda beberapa waktu lalu, saat Diandra menjebaknya menggunakan obat terlarang. "Bukankah pihak kerajaan juga sudah mengklarifikasinya? Aku dijebak," jawab Naura tenang. "Tapi seharusnya kamu bisa melindungi diri, tidak dengan bodoh terjebak hal konyol seperti itu. Tubuhmu tersebar jelas di media sambil membawa nama Tirta, ya Tuhan..." Sausan membalas tajam, kemudian menghela napas gusar sambil menggeleng pelan. "Lalu kalian ingin aku melakukan apa? Renjana juga sudah memblokir seluruh b
"Belum ada tanda-tanda ia kembali?" tanya Arjuna, ia duduk di meja kerjanya dengan perasaan gelisah. Damian menggeleng. "Belum, mau coba aku telepon lagi?" Arjuna menghela napas gusar, tidak menjawab. Sekarang sudah jam delapan malam, tapi Naura belum juga kembali sejak pagi. Arjuna sudah mencoba untuk menghubungi wanita itu, panggilan suara, pesan, bahkan email, namun tak satupun yang mendapatkan balasan. "Apa Tirta mencoba untuk mengambil 'nona' mereka kembali setelah membuangnya?" ucap Damian sambil menuangkan air ke gelasnya. Arjuna tidak menjawab lagi, raut wajahnya sudah sangat buruk. Sebenarnya apa yang ingin Tirta lakukan? Tidak ada perasaan baik sedikitpun tiap kali menerka-nerka. "Apa Kate sudah menjawab pesanmu?" tanya Arjuna, mata hijau emerald itu berubah sangat dingin dan tajam, tidak sehangat biasanya. Damian menggeleng. "Belum juga." Arjuna melempar map kosong di atas mejanya ke sembarang arah dengan frustasi. Pria itu bangkit dari duduknya dan berjal
"Kita sudah sampai," ucap Damian begitu mobil mereka berhenti di halaman depan Mansion Tirta. Seorang pelayan membukakan pintu mobil Arjuna, pria itu segera turun dengan ekspresi datar seperti biasa. Di hadapannya, Leon telah berdiri dengan senyum siap menyambut. "Selamat datang, tuan Renjana. Suatu kehormatan dapat--" "Di mana tuan Tirta?" Potong Arjuna. Tanpa merasa tersinggung, Leon mengangguk. "Mari ikuti saya, tuan Renjana. Tuan Tirta telah menunggu Anda di ruang tengah." Arjuna segera mengikuti langkah Leon tanpa bicara yang kemudian disusul Damian. "Tuan Renjana, selamat datang." Suara Sausan khas wanita paruh baya terdengar, wanita itu segera bangkit dari duduknya dan mengulurkan tangan ke arah Arjuna. Arjuna membalas singkat sambil mengangguk, kemudian duduk tanpa peduli sudah dipersilahkan atau belum. "Kami mohon maaf sekali karena kemarin menjemput Naura secara tiba-tiba, selain itu kami juga sangat berterima kasih soal--" "Di mana Naura?" Arjuna memotong ka
"Nyonya, bukankah itu tuan Renjana?" ucap Kate dari kursi depan, membuat Naura membuka matanya dan mencoba melihat ke depan. "Benar, itu beliau. Sepertinya tuan Renjana menunggu kepulangan Anda cukup lama, nyonya," balas tuan Benjamin yang menyetir mobil. Dari dalam mobil Naura melihat sosok Arjuna telah berdiri menunggunya di depan pintu masuk. "Sudah berapa lama ia di situ?" tanya Mela yang juga ikut terkejut. Setelah mobilnya berhenti, Naura dengan cepat turun dan melangkah mendekati Arjuna. "Kamu di sini?" tanyanya bingung. "Astaga, apa kamu sudah menunggu kami lama, nak?" tanya Mela khawatir. Arjuna tersenyum tipis, lalu menggeleng. "Tidak, aku juga baru saja tiba." Naura menaikkan alis kirinya, lalu menggeser tatapannya ke arah Damian yang seolah tertekuk rapat. Sepertinya Arjuna berbohong agar tidak membuat ibunya khawatir. "Kamu baru pulang bekerja?" tanya Mela lagi, menatap Arjuna penuh perhatian. Arjuna mengangguk. "Benar, aku kemari karena ada beberapa hal y
Zafir masuk ke dalam ruangan kerja Evelyn dengan raut wajah datar, pandangan matanya mendingin. Saat tatapan mereka bertemu, dengan cepat pria itu bertanya,"Itu ulahmu?"Evelyn dengan mata sembabnya berusaha tenang, meskipun air matanya tidak lagi mengalir deras seperti sebelumnya. "Kamu bicara soal apa, Zafir?" tanya Evelyn, pandangan matanya mulai sedikit kosong tiap kali menatap Zafir. Zafir mengepalkan tangannya. "Tidak perlu bertingkah polos! Itu ulahmu, bukan? Kamu yang sengaja mengatakannya pada Naura?!"Evelyn mengerutkan keningnya, lalu tak lama ia kembali membalas dengan tatapan datar. "Oh? Soal kamu ingin menikah lagi dengannya?" tanya Evelyn. Zafir menggertak kan giginya marah, lalu melangkah mendekati Evelyn dan menggebrak meja kerja wanita itu. BRAK!"Jadi benar? Kamu yang membuat Naura berpaling dariku?!" tanya Zafir, dia marah total karena Evelyn mengacaukan rencananya. Evelyn masih menatap Zafir dengan tenang meskipun kedua tangannya diam-diam gemetar di bawah
Naura melangkah menuju lokasi pesta kembali, suasana hatinya terasa kosong sekarang. Pembicaraannya dengan Evelyn sangat menguras energi. Dia sengaja berhenti di bibir tangga, memperhatikan para tamu yang sibuk bercengkerama. Tak lama suara pria yang tak asing terdengar dari arah belakangnya, begitu menoleh Naura mendapati sosok Zafir sedang tersenyum ke arahnya. "Ada apa?" tanya Zafir begitu mendapati Naura berdiam diri di bibir tangga. Naura memperhatikan pria itu sejenak, ia kembali teringat dengan cerita Evelyn. Diam-diam hatinya bertanya, bagaimana bisa wajah setenang ini yang dulu sangat ia cintai berubah jadi sosok yang bahkan sulit untuk Naura kenali kembali?"Naura, kamu baik-baik saja?" tanya Zafir bingung setelah melihat Naura hanya diam menatapnya. Naura tersadar, dia dengan cepat menarik pandangannya dari Zafir dan tersenyum formal. "Iya, maafkan saya.""Kamu sedang tidak enak badan?" tanya Zafir khawatir, lalu mencoba untuk menyentuh kening Naura. Naura dengan ce
Evelyn terisak hebat saat menceritakan apa yang terjadi di rumah tangganya, sementara Naura hanya diam menyimak. Pandangan matanya mendingin setelah mendengar Zafir dan Malini ingin menjadikan dirinya nyonya Wajendra kembali setelah mereka menggantikannya dengan Evelyn. Bahkan mereka menekankan posisi 'nyonya' dan 'ibu'? Itu menjijikan. Melihat Evelyn yang lemas karena terlalu lama menangis membuat hati Naura sedikit terenyuh, dia dapat memahami rasa sakitnya. Tetapi haruskah ia peduli? Mereka lah yang menginginkan takdir seperti ini, semua rasa sakit mereka timbul karena pilihan sendiri. "Jadi, aku mohon... Bantu aku untuk menjadi sepertimu, aku hanya ingin mempertahankan posisiku," ucap Evelyn, wanita itu kembali memohon. Naura mengerutkan keningnya samar, kondisi terisak wanita itu sukses membuat Naura teringat dengan dirinya sendiri. Dulu dia juga menangis seperti itu, menyalahkan dirinya sendiri atas kekurangannya. Padahal mereka lah yang menginjak-injak dirinya. "Apa yan
Pesta berlangsung meriah meskipun ada kedinginan yang diam-diam menyelimuti mereka. Naura menikmati suasana pesta meskipun Malini terus menerus 'mengusiknya'. Dia masih belum mengetahui alasan Malini melakukan hal itu. Naura mencoba untuk menyingkir dari pusat pesta, dia menepi sejenak untuk kemudian melangkah mencari kamar kecil. Mansion ini dulu adalah miliknya, dia tidak memerlukan bantuan siapapun untuk mencari sesuatu di sini. Sebelum benar-benar pergi ke kamar kecil, Naura sempat memperhatikan Zafir. Pria itu tersenyum seperti biasa, menyapa para tamu mendampingi Malini. Tetapi entah bagaimana Naura merasa ada yang aneh di sini, entah itu situasi ataupun perilaku mereka.Lagi-lagi, Naura mencoba mengabaikannya. Meskipun Evelyn telah mengatakan hal tidak masuk akal saat di Solo kemarin, Naura masih tetap tidak bisa mempercayainya. Untuk apa pria itu menginginkannya lagi? Mereka lah yang membuang Naura. Tidak ada alasan untuk menyesal. Naura meninggalkan area pesta untuk
Hari ulang tahun nyonya besar Wajendra itu akhirnya tiba, acara dilaksanakan di Mansion utama Wajendra. Naura ikut hadir untuk mendampingi ibunya, kedatangan mereka pun segera menjadi pusat perhatian. Naura menatap sekitaran Mansion, tidak banyak yang berubah sejak terakhir kali ia kemari untuk mendatangi ulang tahun Zevan. Malini yang melihat kehadiran Naura dan Mela pun segera menghampirinya, tindakan ini pun langsung menjadi pusat perhatian lebih luas. Pasalnya, semua tamu undangan yang hadir tidak ada yang disambut secara langsung seperti Naura dan Mela. "Astaga, kalian sudah datang? Bagaimana kabarmu, nak?" tanya Malini, lalu memeluk Naura. Naura mengerutkan keningnya tidak nyaman, apa-apaan wanita itu?Tak lama Malini menatap Mela, bibirnya tersenyum lebih dalam. "Ini pertemuan pertama kita, benar?"Mela mengangguk. "Benar, selamat ulang tahun, nyonya besar Wajendra."Malini terkekeh tipis. "Aku sudah terlalu tua untuk mendapatkan ucapan seperti itu, terima kasih banyak, n
Niat awal Evelyn mendatangi suami dan ibu mertuanya adalah untuk meminta maaf.Tetapi... Mendengar percakapan mereka membuat Evelyn mengurungkan niatnya. Dengan lemas wanita itu melangkah mundur, tangan kanannya menutup mulutnya agar tidak mengeluarkan suara tangis sedikitpun. Air matanya mengalir deras, perlahan ia menjauh dari ruang kerja Zafir hingga akhirnya benar-benar berlari. Evelyn terus berlari, ia tidak memiliki tujuan pasti. Para pelayan yang melihat sosoknya pun bingung dan segera bertanya-tanya, apa yang sekiranya baru saja terjadi lagi?Evelyn berhenti secara tidak sengaja di pintu yang selalu dilarang Zafir untuk dimasuki siapapun. Evelyn menatap dingin pintu itu, air matanya masih terus mengalir. Sebenarnya apa yang ada di balik pintu ini hingga suaminya bahkan melarang dirinya untuk masuk?Tak lama Evelyn teringat dengan Naura. Apa yang sekiranya akan Naura lakukan di posisi ini? Apa dia akan mentolerir rahasia seperti ini?Setelah dipikirkan, jawabannya adalah
Berbeda suasananya dengan Mansion Wajendra, Mansion Tirta justru terlihat sangat tenang dan ceria. Naura hari ini tidak pergi ke kantor, dia memutuskan ingin menghabiskan waktu di rumah bersama ibunya. Naura dan Mela mengenakan pakaian berkebun, mereka sibuk menanam tanaman bersama di halaman depan dan belakang Wajendra. Tak lama sosok Arjuna muncul, pria itu seperti biasa mengenakan setelan jas formal berwarna hitam."Kamu tidak ke kantor?" tanya Naura saat melihat pria itu tiba-tiba muncul. Arjuna mengangguk. "Tidak ada jadwal penting hari ini, jadi aku memutuskan untuk mampir kemari setelah mengetahui kamu juga tidak pergi ke kantor."Naura mengangguk mengerti, lalu tersenyum tipis. "Mau bergabung?"Arjuna mengangguk. "Tentu saja, kenapa tidak?""Kamu bisa berkebun?" tanya Mela, dia jarang melihat pria dengan status tinggi menyukai kegiatan seperti ini. Arjuna mengangguk ragu. "Kita bisa mencobanya bersama."Naura terkekeh. "Dari jawabannya itu berarti tidak bisa, bu."Arjuna
Keesokan harinya semua kesibukan berjalan seperti biasa. Zafir kembali fokus pada pekerjaannya dan Evelyn pada jadwal belajar serta putranya. Wanita itu tengah duduk di halaman belakang Mansion sambil mengajak Zevan bermain. Tak lama, suara wanita paruh baya terdengar dari belakangnya. "Astaga, cucuku tersayang!" Evelyn dengan cepat menoleh, dia dengan cepat berdiri untuk menyambut Malini. "Ibu? Kapan ibu tiba di sini?" tanya Evelyn. Malini menjawabnya sambil menggendong Zevan. "Apa itu penting? Yang terpenting adalah bertemu cucuku sekarang."Evelyn hanya tersenyum, dia tidak lagi menjawab dan kembali duduk. "Ibu mau dibuatkan minuman? Aku akan meminta pelayan untuk--""Tidak perlu, aku bisa memintanya sendiri nanti." Potong Malini, lalu duduk tidak jauh dari posisi Evelyn sambil memangku Zevan. "Aku dengar akhir-akhir ini kamu sering bertengkar dengan Zafir, ada apa?" tanya Malini. Senyum Evelyn berubah menjadi sedikit kaku, di momen ini Malini juga menyadari ada sesuatu ya