Tania merasa tubuhnya sudah lebih baik setelah pindah ke ruang rawat inap. Ia sudah makan dan kini tengah menunggu kedatangan anaknya, anak yang ia benci. Ia tak tahu, setelah melihatnya apakah perasaan benci itu akan terus ada atau hilang sama sekali. Adrian terus dilirik ayah dan ibu. Ia tengah didesak untuk segera jujur pada Tania. Tentu ia akan jujur, tapi menunggu waktu yang tepat. “Bayi bu Tania datang.” perawat mendorong box bayi menuju ranjang. Tania menatap bayi yang memakai kain bedong berwarna biru itu. Perlahan, wajahnya terlihat jelas, membuat Tania mau tak mau menangis saat melihatnya. “Silakan bu Tania.” perawat memberikan baby Noah pada Tania. “Hai.” Adrian menangis, ditemani mama-papa serta ayah dan ibu. Noah tersenyum. Ia seolah tahu kalau yang menggendongnya adalah sang mama. “Ini—mama, sayang.” Adrian mendekati ranjang, “Halo mama, aku—Noah.” Tania menatap Adrian, “Kamu—jadi namain Noah, mas?” Adrian mengangguk, “Kamu suka?” Tania memegangi
Tania menutup botol kedua ketika berhasil memompa asinya untuk stok Noah selama ia pergi. Air susunya terbilang banyak untuk ia yang baru melahirkan. Sedari pagi, ia belum mau bertemu siapapun. Papa yang sudah tahu biduk masalahnya, paham. Papa sudah memberi tahu mama, dan respon mama sama seperti papa. Tania yang sudah siap pergi setelah minta izin yang sulit pada dokter penanggung jawab pertamanya, menghampiri Noah, “Sayang, mama pergi dulu, ya? Mama—mau cari tahu sesuatu. Kamu sama—oma opa dulu disini.” Pintu terbuka. Mama yang diminta Tania untuk menjaga Noah selama ia pergi tak banyak bertanya. Mama tahu, kalau anak bungsunya masih butuh waktu untuk bicara dan meyakinkan diri kalau apa yang terjadi padanya sungguh tidak biasa. “Ma, aku pergi. Aku titip Noah. Aku janji akan pulang cepat saat urusanku selesai.” Mama mengangguk, “Kalau ada apa-apa, kabari mama.” “Pasti.” Tania memeluk mama. Ia tahu, mamanya sudah mengetahui fakta itu. Ia senang mamanya tidak banyak bert
Tania memilih pulang ke rumah sakit dengan mobil terpisah dengan Adrian. Ia tak mau melihat wajahnya setelah tahu fakta kalau lelaki asing bajingan itu ternyata adalah suaminya sendiri. Bodyguard beberapa kali memanggil Tania, tapi tak mendapat jawaban. “Bu, maaf.” ucap bodyguar untuk ke sekian kali. Tania menatap mereka, “Ada apa?” “Kita sudah sampai di rumah sakit.” Tania mengedarkan matanya ke sekeliling, “Oh iya. Terima kasih kalian sudah menemani saya.” “Sama-sama, bu. Kami juga mau mengatakan terima kasih pada ibu.” “Untuk apa?” “Karena ibu, kami masih bekerja disini.” Tania ingat, Adrian mengatakan sudah memecat mereka karena dianggap tak bisa menjaganya yang kecolongan diganggu ODGJ di taman komplek rumah. Ia yang mengetahui itu marah besar dan mengatakan semua bukan salah para bodyguard, tapi karena takdirnya yang memang harus mengalami ini. “Oh itu. Kalian memang tidak salah, jadi kalian tidak berhak di pecat.” “Meski begitu, saat itu kami memang lalai
Tania melenggang memasuki rumah papa tanpa menyentuh Noah sedikit pun sedari rumah sakit. Mama yang menggendongnya selama di mobil. Adrian yang ikut pulang kesini, awalnya mengira perut istrinya masih nyeri, sehingga ia membiarkannya. Tapi ternyata begitu sampai rumah, Tania melakukan banyak aktivitas membuatnya yakin, kalau ia enggan menyentuh Noah. “Ma, biar saya yang gendong Noah.” Adrian mengambil alih anaknya. “Adrian, tolong maklumi sikap Tania. Lama-lama dia pasti akan luluh juga.” tutur papa ketika Tania menaiki tangga. “Iya, pa, tidak papa. Saya paham. Dengan Tania membiarkan saya ikut kesini saja sudah lebih dari cukup. Saya tahu, kesalahan saya sangat besar, sampai sulit untuk di maafkan.” “Seharusnya Tania senang, kalau kamu tanggung jawab meski dengan cara yang—berbeda. Seharusnya juga dia senang, kalau ayah biologis anaknya memiliki keturunan yang jelas. Papa tidak bisa bayangkan kalau ternyata lelaki asing itu adalah orang lain, yang kita tidak pernah tahu sifat
Tania bangun ketika jam menunjukkan pukul sepuluh pagi. Ia terjaga sampai dini hari karena mendengar tangisan Noah di kamar lain. Kini saat bangun, ia mendengar suara itu lagi, membuatnya sedikit pusing. “Kenapa anak itu senang sekali menangis?” Tania bangkit dari ranjang. Ketika tangannya membuka handel pintu, ia baru menyadari kalau Adrian tidak ada disini. “Apa dia—di bawah?” Tania keluar kamar. Ia dihampiri mbok Dar yang memangku Noah ditemani mama. “Tan, Noah menangis terus. Kamu susui ya.” Tania menggeleng, “Aku tidak mau.” “Tan! Lihat, asimu rembes.” Tania menatap kedua payudaranya yang basah. “Non, tidak baik membuang asi begitu. Semalaman den Noah menangis karena tidak mau minum susu formula.” Tania menatap Noah yang masih menangis. “Tan, kamu boleh membenci Adrian karena dia tega membohongimu, tapi Noah tidak tahu apapun. Ambil Noah dan kamu susui.” “Aku akan pumping.” “Tania!” bentak mama, “Siapa yang mengajari kamu jadi seperti ini? Noah adalah a
Sore hari setelah dari siang sibuk menyusui Noah, Tania menuruni tangga. Rumah terasa sepi. Ia memangku Noah dan akan makan lebih dulu dari yang lain, karena sudah lapar lagi. Mama benar, busui selalu lapar. “Non, den Noah biar mbok yang pegang.” Mbok Dar membawa Noah dari pangkuan Tania. “Terima kasih, mbok. Mama kemana?” “Ibu pergi arisan, non, di ujung komplek.” Tania menyiuk nasi dan lauk yang sudah disiapkan di meja. “Oyah, non, tadi den Adrian bilang akan ada baby sitter yang akan datang kesini untuk menemui non.” “Kenapa harus menemui saya? Dia tidak langsung bekerja?” “Katanya takut non tidak cocok dengan baby sitternya. Jadi den Adrian membawa tiga kandidat.” Tania berhenti mengunyah, “Tadi dia pulang?” “Iya, non. Tapi katanya gak mau ganggu non Tania yang lagi tidur.” “Saya gak tidur.” tutur Tania. Ia sedikit kecewa Adrian tak menghampirinya ke kamar. “Oyah, non, bodyguard yang di depan itu—harus kita kasih makan?” Tania melotot, “Mbok gak memberi mer
Tania membereskan beberapa baju Noah di kamar. Angga menunggunya di luar. Ia akan pergi membawa Noah dan tinggal di rumah Angga. “Non, mau kemana?” mbok Dar yang mendengar tangisan Noah langsung memasuki kamar. “Saya mau pergi, mbok.” “Pergi kemana, non? Den Adrian sebentar lagi juga pulang bareng bapak.” Tania tak mengindahkan pertanyaan mbok Dar, “Tolong bawa tas saya ke depan.” “Ba-baik, non.” Tania memangku Noah yang masih berusia dua minggu. Ia sudah meneguhkan hati untuk memberikan Noah, anak yang hadir dalam sebuah kesalahannya pada Angga dan Isti. Ia ingin menyelamatkan banyak hati seperti pinta kakaknya. “Non, apa gak sebaiknya non pergi menunggu ibu pulang?” mbok Dar khawatir, dengan perginya Tania yang tanpa pamit, akan menimbulkan masalah baru di rumah ini. Angga membawa tas berisi baju dan keperluan Noah, “Sudah, mbok jangan banyak bicara.” Tania masuk ke dalam mobil yang pintunya sudah dibuka ‘kan Angga. Ia memeluk erat Noah dalam pangkuannya. Sebelum
Adrian tidak tahu harus memberikan reaksi apa pada ucapan Angga. Ia sungguh masih tak percaya, Tania akan meninggalkannya, setelah apa yang sudah ia lakukan selama ini. Dua bodyguard menatap Adrian dengan iba. Ia terlalu sering mendengar desas-desus mengenai boss mereka tidak bisa memiliki anak. Ternyata itu bukan hanya isapan jempol belaka. Tania keluar, ia mendekati Adrian, “Mas?” “Tan?” “Aku akan mengikuti mau kamu. Aku akan pulang.” “Tan!” Angga menarik lengan Tania kasar, “Kamu ini senang sekali mempermainkan aku.” Tania melepaskan cengkraman Angga dilengannya, “Hanya aku yang akan pulang, kak. Noah akan aku tinggalkan disini bersama kak Isti.” Isti keluar memangku Noah, “Tania benar, dia akan ikut pulang bersamamu, Adrian. Tapi Noah akan tinggal bersama kami.” Adrian menatap Tania, “Tan, bisa-bisanya kamu meninggalkan Noah disini. Dia harus mendapatkan asi eksklusif, dia harus dekat denganmu.” “Aku sudah menyiapkan asi untuk Noah, kamu tenang saja. Kamu pikir a
Tania menyiapkan makan malam saat Adrian sibuk bermain dengan Noah dan Seraphina di ruang keluarga. “Non, bagaimana kondisi non Wini?” tanya mbok Sayem sambil menata meja. “Dokter bilang ada perkembangan baik. Kita doakan saja, mbok.” “Tentu, non. Mbok selalu mendoakan yang terbaik untuk non Wini.” “Meja siap, saya panggil mas Adrian dan anak-anak dulu.” “Iya, non.” Tania melenggang mendekati ruang keluarga. Noah sedang menghujami Adrian dengan banyak pertanyaan. Ia tertawa mendengar setiap pertanyaan polos anak sulungnya, membuat Adrian harus putar otak untuk menjawabnya. “..pa, kalo mama Wini bangun terus karena tidur terlalu lama, perasaannya jadi tidak bagus, bagaimana?” “Bagaimana mungkin sebuah perasaan berubah begitu saja hanya karena terlalu lama tidur?” “Aku lihat di tivi begitu. Ketika orang tidur terlalu lama perasaannya jadi buruk. Aku hanya takut mama Wini tidak suka aku dan adik Sera.” “Maksudmu?” “Aku memiliki dua ibu, aku lahir dari rahim mama Tan
Tiga tahun kemudian.... “Mama! Aku mau liat mama Wini ke rumah sakit!” teriak Noah sambil berlari-lari membawa selembar kertas yang sudah ia gambar. “Iya, tapi adek harus mandi dulu.” tutur Tania sambil membuka baju Seraphina, adik Noah. “Memang adek boleh ikut?” “Nggak, adek di rumah sama nenek. Tapi adek harus mandi dulu. Kakak Noah tunggu di depan ya, sama pak Udin.” “Oke.” Noah berlari ke depan, memamerkan gambarnya berisi dua mama, satu ayah, dirinya dan Seraphina. “Sayang...” “Aku di kamar bawah, mas!” Adrian menghampiri Tania. Ia mengecup pucuk kepala istrinya dari belakang, “Noah mana?” “Dia di depan. Dia begitu tidak sabar bertemu Wini.” Adrian tertawa. “Dia begitu tidak sabaran mirip kamu.” “Apa yang kamu katakan? Bukankah itu kamu?” Tania mendelik kesal, “Kalau kita tidak sabaran, Seraphina tidak akan ada di dunia ini.” “Mau aku tolong mandikan Sera?” “Tidak. Kamu temani Noah saja. Dia membawa oleh-oleh untuk Wini.” “Baiklah. Aku tunggu di de
Sudah satu minggu semua masih sama. Wini masih di ICU setelah dilakukan operasi untuk mengeluarkan pendarahan dalam jaringan otaknya. Ia terus berada di kesadaran koma, membuat Adrian dan Tania kehilangan minat hidup seperti semestinya. Mereka sama-sama tidak bicara dengan siapapun. Baik Adrian maupun Tania, merasa apa yang menimpa Wini belum bisa mereka terima. “Tania, Adrian, lebih baik kalian pulang. Mama yakin Wini akan segera bangun.” “Betul. Kita tidak pernah putus mendoakannya disini. Pulanglah, demi Noah.” Adrian melirik mama dan papa. Mereka terus menemaninya dan Tania di rumah sakit. Sedang ayah dan ibu belum bisa datang karena masih harus menyelesaikan urusan mereka di luar negeri. “Mama tahu kalian terpukul. Tapi Wini tidak akan pernah mau kalian begini. Sudah satu minggu kalian tidak pulang. Kasihan Noah.” Adrian menggenggam tangan Tania, “Mama dan papa ada benarnya. Kita pulang. Kita masih memiliki tanggung jawab pada Noah.” “Wini...” “Iya, aku tahu kamu
Tania tidak bisa tidur mengingat ancaman mama Wini. Tadi begitu ia jatuh, ia langsung bangkit dan pergi. Ia menahan rasa nyeri dan takut pada Wini dan Adrian. Ia tidak mau merusak momen. Ceklek. “Kamu belum tidur?” Adrian mendekati ranjang. “Mas? Kenapa kesini? Ini jadwalmu bersama Wini.” Adrian tersenyum, “Kami sudah selesai.” “Lalu?” Tania takut Adrian akan minta jatah saat pikirannya sedang kalut. Adrian mengelus lengan Tania, “Tidak, aku tidak akan mengganggumu. Aku hanya ingin tidur disini, memelukmu sampai pagi.” “Mas, lebih baik kamu tidur bersama Wini. Kamu bisa memeluknya sampai pagi.” “Dia memintaku kesini. Dia kelelahan dan tidak ingin diganggu.” “Hm begitu. Tidurlah disini.” Adrian benar-benar memeluk Tania sampai pagi. Malam ini Noah tidak terbangun untuk minum susu. Ketika di cek popoknya di pagi hari, tidak begitu penuh. Suaminya masih tidur. Tania yang terjaga semalaman enggan membangunkannya. Pintu terbuka. Wini tampak berbeda hari ini. Rambutn
Tania mengumumkan ia dan Adrian tidak jadi bercerai pada semua orang di rumah, juga pada mama-papa. Mereka menyambut berita dengan penuh suka cita. “Bagaimana untuk merayakan ini kita semua makan diluar?” Adrian menawari. “Aku setuju, mas. Aku rasa sedang malas masak. Jadi idemu sangatlah bagus.” “Aku juga setuju. Sepertinya kita perlu menunjukkan pada orang-orang, kalau memiliki dua istri dan berbagi suami tidak selamanya buruk.” Adrian tersenyum. Ia merentangkan kedua tangannya siap dipeluk kedua istrinya. Wini dan Tania memeluk Adrian. “Aku harap hubungan kita terus seperti ini, mas.” Wini menuturkan doanya. “Aku juga. Masalah pasti ada, tapi aku percaya kalau kita pasti selalu bisa melalui semuanya dengan baik.” Tania juga menuturkan doanya. “Pasti. Kita hanya perlu bersabar. Ayo bersiap. Aku tunggu istri-istri cantikku bersama tuan muda, Noah.” Semua tertawa. Wini dan Tania sudah siap. Mereka mengenakan gaun yang sudah dipesan Adrian secara khusus. Semua asi
Tania melirik Adrian, “Mas Adrian bilang, Noah—sakit.” Wini tersenyum, “Noah sehat. Mas Adrian yang sakit.” Tania lagi-lagi melirik Adrian, “Kamu tega membohongiku?” “Aku pikir kamu tidak akan datang, jika aku tidak bilang Noah sakit.” “Kamu tidak perlu bohong!” “Gendonglah Noah. Kamu berikan asi langsung. Aku tidak tahu harus mengatakan apa jika dia bertanya ketika besar, siapakah yang mengurusnya saat ia masih bayi.” Tania menatap Noah. Ia menerimanya dari Wini, “Jaket ini...” “Noah selalu menangis jika baumu hilang, Tan. Mamamu sering datang kesini membawa baju-baju bekasmu untuk menemani Noah dan—mas Adrian tidur.” Wajah Adrian merah padam. “Jadi sekarang yang merindukanku ada dua orang?” pancing Tania. Wini tertawa, “Aku tinggal, aku akan buatkan kamu masakan yang enak. Berbincanglah dengan mas Adrian.” Tania dan Adrian diam saja setelah Wini pergi. Masing-masing dari mereka tidak tahu harus membicarakan apa. “Kamu tidak perlu memberikanku bodyguard lagi.
Dua bulan kemudian... Tania belum juga berani mengurus perceraiannya dengan Adrian. Ia malah menyibukkan diri bekerja di sebuah perusahaan yang masih terpaut dengan keluarga Kiehl. Ia tentu sudah mencari perusahaan yang tak mengenal Adrian sama sekali, tapi sulit. Ia pun akhirnya tahu, kalau kuasa keluarga Kiehl sangatlah besar, hingga koneksinya ada dimana-mana. Ia bekerja di divisi finance. “Tan, asi untuk Noah sudah ‘kan? Mama akan pergi sebentar lagi.” “Sudah, ma.” Tania melirik mama yang siap pergi, “Aku—akan ke kantor sekarang.” “Iya, hati-hati.” Tania menunggu mama menawarinya ikut ke rumah Wini, “Ma, aku belum sarapan.” “Kamu bisa bekal makan dari rumah dan sarapan di kantor. Nanti akan mbok siapkan.” Mama menenteng tas berisi asi dan baju-baju yang Tania belikan untuk Noah, “Mama pergi sekarang, ya? Mama kangen sekali dengan Noah. Papamu juga. Papa akan kesana sekalian ke kantor.” Tania mengangguk. Ia menatap punggung mama yang bergerak mendekati mobil. Tan
Tania selalu terbangun setiap jam karena mencari orang yang tidur disebelahnya. Kasur kosong dan terasa dingin. Hatinya menjadi sedih, mengingat biasanya Adrian atau Noah ada disampingnya, kini ia hanya tidur sendirian. “Tidak, Tan, kamu hanya belum terbiasa. Setelah ini kamu pasti akan menikmati hidup menjadi single parents dan independent woman.” Ia tak sabar mengurus perpindahan kerja dari perusahaan Adrian ke kantor lain. Ia akan berdiri diatas kakinya sendiri. Pengalaman kerjanya sudah cukup mumpuni untuk kembali memulai hidup yang baru. Ia akan membuktikan pada orang-orang, bahwa ia bisa hidup tanpa Adrian. Semalaman Tania merasa tidur bukanlah pilihan yang baik. Ia duduk termenung diatas ranjang, menatap kosong ke arah televisi yang menyala. “Noah sekarang sedang apa, ya?” ia melirik ponsel yang sedari tadi mati. Tidak ada notifikasi pesan masuk dari Wini ataupun Adrian yang memberi kabar soal Noah. “Apa mereka akan membawa Noah jauh dariku? Apa mereka akan pergi ke s
Tania menatap Noah yang sedang dipangku papa. Papa dan mama sama sekali tak mengecam keputusan Tania untuk memberikan Noah pada Adrian dan Wini. Mereka ingin melihat seberapa yakin anaknya ingin berpisah dengan Noah. Mobil Adrian datang. Ia masuk ke dalam rumah bersama Wini. Mata Adrian sama sekali dan melirik Tania, “Hai Noah. Mulai hari ini kamu ikut papa dan mama—Wini, ya?” Wini menatap Tania, “Tan, aku tidak akan membawa Noah jika kamu tidak mengizinkan.” “Ambillah. Aku tidak bisa menerima ayahnya. Aku takut sifat Noah akan menurun dengan baik. Aku takut menyakitinya. Semua baju, dan stok asi sudah aku taruh di tas. Aku akan kirimkan ke rumah melalui kurir, dan sesekali menjenguknya.” Papa memberikan Noah pada Wini. “Halo Noah, untuk sementara kamu sama mama Wini dulu, ya. Nanti kita akan hidup bersama lagi dengan papa Adrian dan mama Tania.” “Tidak ada kesempatan itu lagi, Win. Aku juga tidak akan membawa Noah. Adrian adalah papa kandungnya. Dia bilang ingin mene