Saat keduanya saling merenung, juga meratapi kegelisahan yang membara. Dua orang lelaki dengan perawakan tinggi besar, mendekat ke arah mereka. Untung saja, Rani menyadari hal tersebut. Gegas mencengkeram tangan Una dan menariknya dengan kuat. Keduanya lari tanpa berlama-lama. "Tunggu … tas saya ketinggalan!" teriak Una berusaha melepaskan genggaman wanita yang sudah berlari di depannya. "Sudahlah, kita dalam bahaya!" tandasnya, tak mau membuang kesempatan untuk segera pergi. Suasana tiba-tiba menengang, saat jarak dua lelaki berbaju serba hitam makin dekat. Namun aksi nekat Una tak bisa ditahan, ia tetap kembali untuk mengambil tasnya. Rani tak bisa diam, mau pergi lebih dulu, namun tak tega dengan Una. Ia hanya khawatir, dua lelaki yang tak lain adalah ajudan dari suaminya itu, mengenali Rani juga Una. Berhasil, Una dengan cepat mengambil tas yang dirasa sangat penting untuknya. Bukan karena harganya, tapi ada barang penting di dalamnya. Perjalanan har
Nyaman belum tentu aman atau justru sebaliknya. Rumah mewah itu tak menjamin keselamatan dua wanita yang sedang menghindar dari kejaran manusia berhati batu. Pria dengan topi koboi yang khas, berjalan cepat ke dalam rumah. Satu menit lalu, Una meminta izin ke kamar mandi. Tak lupa mengajak Rani, hingga keduanya berhasil bersembunyi. "Bunda, Una izin ke belakang, boleh? Una mohon, tolong untuk tidak memberitahu siapapun kalau Una berada di rumah ini," pintanya dengan kedua telapak tangan dirapatkan. Keduanya gegas pergi, menuju ruang belakang. Karena dirasa belum aman, Una mengajak Rani untuk naik ke lantai atas. Menuju kamar almarhumah Qia, untung saja pintu tidak sedang dikunci. "Kenapa bisa suamiku datang ke rumah ini? Sebenarnya, siapa pemilik rumah ini, Mbak?" Wajah Rani terlihat pucat. Ia sangat takut saat melihat sang suami juga ada di tempat itu. Una menggeleng lemas. Debaran di jantung masih tak beraturan. Ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Mengatur
Keheningan terjadi cukup lama. Ada yang tertunduk pasrah, ada yang mendongak tak percaya, ada juga yang mengangkat dagu memperlihatkan keangkuhan. Una menggeser posisi wanita di depannya. Ia melangkah maju, tepat di tengah-tengah. Perlahan mengangkat wajahnya, datar. Mengembuskan napas ringan, lalu menoleh ke arah wanita yang masih berdiri di samping Fajrul. Sorotan mata yang merah, mengarah tepat pada kedua manik mata Una. Kedua wanita tengah beradu tatap. Melampiaskan rasa kecewa yang belum sempat dikata. Kedua lutut Una tertekuk, tepat di bawah kaki Bu Halimah yang masih gemetar. "Dengan sangat menyesal, Una meminta maaf pada Bunda. Semua yang dikatakan Tuan Danu adalah benar. Mas Fajrul adalah suami siri Una, Bunda," jelas Una dengan suara tertahan. Mulutnya tak bisa terbuka dengan leluasa. Seperti ada tarikan yang memaksa diri untuk bungkam. Namun Una tetap ingin jujur hari ini juga. Apapun resiko yang akan diterima, Una tak lagi peduli. Kaki yang mulai ren
Tak hanya memeluk, melihat anak lelakinya bergelayut manja di tubuh Una. Memaksa Fajrul untuk menarik kembali sembirnya agar tersenyum. Pertemuan pertama antara Sulaiman dan Una, terasa mengharukan. "Bunda," panggil Sulaiman, sangat fasih. Padahal usianya masih dua tahun. Kepala Una menggeleng. Ia memberi pengertian pada anak lelaki itu, bahwa dirinya bukanlah ibunya. Namun Una tak menolak untuk dipeluk oleh Sulaiman. "Itu Ayah, ini Bunda," tunjuk Sulaiman, dengan tingkah menggemaskan. Sontak Una menoleh lelaki yang duduk di anak tangga. Menatap geram pada Fajrul. Una menghampiri pria itu. "Kenapa dia memanggilku bunda?" Fajrul tersenyum sejenak. Kemudian beranjak, merangkul tubuh mungil putranya. "Alhamdulillah, akhirnya Sulaiman berjumpa dengan Bunda Una. Sudah salim?" tanya Fajrul, dengan jiwa kebapakan yang tulus. Anak lelaki itu kembali memeluk kedua kaki Una. Ia merengek manja, meminta agar Una mau menggendongnya. Melihat wajah anak kecil i
Lelaki mana yang akan tinggal diam, melihat wanita yang dicintai pergi setelah sekian lama mereka berpisah. Menyalakan mesin mobilnya, gegas mengikuti arah yang dilalui Una. Sekelebat masih terlihat, saat Fajrul memutar arah mobilnya, sosok wanita bergamis hitam telah menghilang. Firasat menduga, sang istri bersembunyi di sekitar rumah Bu Halimah. Tak mungkin, Una bisa menghilang jauh hanya dengan dua kaki tanpa bantuan kendaraan apapun. Menelisik ke sana ke mari, tetap tak menemukan wanitanya. Sementara ada Sulaiman yang tak henti-hentinya memanggil bunda Una. Tangis makin menjadi, pikiran Fajrul kian berantakan. Mobil berhenti di tepi jalan menuju masjid. Azan berkumandang, mengundang para insan yang taat berjamaah di sana. Berbondong dengan keadaan tubuh bersih berseri. Berebut tempat terdepan, demi mendapat ganjaran yang dijanjikan. Tangis Sulaiman telah reda. Ia begitu tenang tatkala suara azan menggema. Menggetarkan batin sang bayi yang belum ternodai. Kedipan
Pikiran Una sempat melayang. Hingga ia hanyut dalam lamunan panjang. Lima kali, panggilan dari sang suami tak mendapat sahutan. Hingga akhirnya, kedatangan Sulaiman berhasil membuyarkan lamunan Una. Tetap mencari alasan agar ia bisa pulang. Hingga akhirnya, Fajrul mengizinkan istrinya kembali ke tempat tinggalnya. Namun, lelaki itu tetap mengawalnya dari kejauhan. Agar bisa mengetahui di mana tempat tinggal Una selama dua tahun ini. *** Kejadian kemarin, menenangkan hati Una. Apa yang menjadi beban pikiran selama ini, akhirnya terpecahkan. Pagi ini dipenuhi semangat menggelora. Tak seperti biasa, Una terus memamerkan senyum berseri di depan Laila. Layaknya wanita yang tengah dilanda kasmaran untuk pertama kalinya. Begitulah Laila menafsirkan tingkah Una hari ini. "Semangat sekali, Un. Kesambet apaan, sih?" ledek Laila dengan lirikan menggoda. Una meringis, menunjukkan giginya yang putih. Ia masih enggan berbagi cerita. Lebih baik dipendam sendiri, menunggu wak
Lelaki berkaca mata menatap kosong dinding rumahnya. Kekhawatiran yang belum pernah disampaikan pada orang lain, termasuk istrinya, membuat Pak Luqman dilema. Sebenarnya, beliau merahasiakan sesuatu yang cukup besar. Selama ini, Pak Luqman berusaha keras menutupinya dengan berbagai cara. Puluhan tahun lalu, Pak Luqman pernah mendatangi kampung Sahara. Jauh sebelum beliau mengenal Bu Fatimah kemudian mempersuntingnya. Saat itu, kehidupan Pak Luqman belum semujur sekarang. Suatu ketika, Pak Luqman mendatangi Mbah Aab---kakek Una. Waktu itu, usia Mbah Aab belum tergolong lansia. Keduanya pernah bekerjasama untuk mengelola tanah di kampung Sahara. Kerjasama berjalan baik, hingga mereka sampai di titik kejayaan. Hasil panen dari perkebunan yang mereka kelola bersama, melejit di luar target. Uang, membutakan segalanya. Pak Luqman mulai mengakali Mbah Aab dengan cara halus. Sedikit demi sedikit mencari keuntungan lebih, tak sesuai dengan bagi hasil yang mereka sepakat
Laila menatap serius wanita yang berdiri tegap di sampingnya. Ia sudah hafal dengan gelagat Una yang akan memaksanya. Rona di wajahnya seketika luntur. "Pak Andi benar-benar serius denganmu, Mbak. Tolonglah, buka hati Mbak Laila sedikit saja. Beliau akan datang bersama keluarganya, jika Mbak Laila bersedia," papar Una setelah sekian kali di desak oleh salah satu guru dari sekolah lain. Lelaki yang berniat mempersunting Laila. Namun selalu mendapat penolakan karena beberapa alasan. Laila merasa minder dengan Andi, karena lelaki itu masih bujang. Sementara Laila adalah seorang janda. Khawatir jika dirinya ditinggal untuk kedua kalinya. Bukan kali pertama, Una memberi masukan pada Laila agar tak menolak lamaran Pak Andi. Karena Una melihat ketulusan dari lelaki yang memang terpaut usia tiga tahun lebih muda dari Laila. "Nanti kupikirkan lagi. Semoga hatiku masih bisa menerima lelaki lain," balas Laila, datar. Una tersenyum lega. Berharap Laila benar-benar bersedia