Pikiran Una sempat melayang. Hingga ia hanyut dalam lamunan panjang. Lima kali, panggilan dari sang suami tak mendapat sahutan. Hingga akhirnya, kedatangan Sulaiman berhasil membuyarkan lamunan Una. Tetap mencari alasan agar ia bisa pulang. Hingga akhirnya, Fajrul mengizinkan istrinya kembali ke tempat tinggalnya. Namun, lelaki itu tetap mengawalnya dari kejauhan. Agar bisa mengetahui di mana tempat tinggal Una selama dua tahun ini. *** Kejadian kemarin, menenangkan hati Una. Apa yang menjadi beban pikiran selama ini, akhirnya terpecahkan. Pagi ini dipenuhi semangat menggelora. Tak seperti biasa, Una terus memamerkan senyum berseri di depan Laila. Layaknya wanita yang tengah dilanda kasmaran untuk pertama kalinya. Begitulah Laila menafsirkan tingkah Una hari ini. "Semangat sekali, Un. Kesambet apaan, sih?" ledek Laila dengan lirikan menggoda. Una meringis, menunjukkan giginya yang putih. Ia masih enggan berbagi cerita. Lebih baik dipendam sendiri, menunggu wak
Lelaki berkaca mata menatap kosong dinding rumahnya. Kekhawatiran yang belum pernah disampaikan pada orang lain, termasuk istrinya, membuat Pak Luqman dilema. Sebenarnya, beliau merahasiakan sesuatu yang cukup besar. Selama ini, Pak Luqman berusaha keras menutupinya dengan berbagai cara. Puluhan tahun lalu, Pak Luqman pernah mendatangi kampung Sahara. Jauh sebelum beliau mengenal Bu Fatimah kemudian mempersuntingnya. Saat itu, kehidupan Pak Luqman belum semujur sekarang. Suatu ketika, Pak Luqman mendatangi Mbah Aab---kakek Una. Waktu itu, usia Mbah Aab belum tergolong lansia. Keduanya pernah bekerjasama untuk mengelola tanah di kampung Sahara. Kerjasama berjalan baik, hingga mereka sampai di titik kejayaan. Hasil panen dari perkebunan yang mereka kelola bersama, melejit di luar target. Uang, membutakan segalanya. Pak Luqman mulai mengakali Mbah Aab dengan cara halus. Sedikit demi sedikit mencari keuntungan lebih, tak sesuai dengan bagi hasil yang mereka sepakat
Laila menatap serius wanita yang berdiri tegap di sampingnya. Ia sudah hafal dengan gelagat Una yang akan memaksanya. Rona di wajahnya seketika luntur. "Pak Andi benar-benar serius denganmu, Mbak. Tolonglah, buka hati Mbak Laila sedikit saja. Beliau akan datang bersama keluarganya, jika Mbak Laila bersedia," papar Una setelah sekian kali di desak oleh salah satu guru dari sekolah lain. Lelaki yang berniat mempersunting Laila. Namun selalu mendapat penolakan karena beberapa alasan. Laila merasa minder dengan Andi, karena lelaki itu masih bujang. Sementara Laila adalah seorang janda. Khawatir jika dirinya ditinggal untuk kedua kalinya. Bukan kali pertama, Una memberi masukan pada Laila agar tak menolak lamaran Pak Andi. Karena Una melihat ketulusan dari lelaki yang memang terpaut usia tiga tahun lebih muda dari Laila. "Nanti kupikirkan lagi. Semoga hatiku masih bisa menerima lelaki lain," balas Laila, datar. Una tersenyum lega. Berharap Laila benar-benar bersedia
Sengaja Una memasang wajah seolah-olah ayah mertuanya telah menyakiti hatinya. Fajrul tak bisa tenang. Ia bahkan menanyakan langsung pada yang bersangkutan. Pak Luqman tampak kebingungan dengan pertanyaan putranya. Sementara beliau merasa tak melakukan kesalahan apapun pada Una. Sulaiman memejamkan mata dengan rapat. Ia sudah tertidur pulas, setelah mendengar lantunan salawat merdu yang dibawakan langsung oleh Rizquna. Kemerduan suara wanita itu tak kalah indahnya dengan tarikan suara sang suami. Fajrul berdiri di ambang pintu kamar putranya. Menanti wanita yang sudah tega membuatnya khawatir. Memasang raut cemberut, membalas keusilan sang istri yang terkadang menyebalkan. Lelaki itu melipat kedua tangan di depan dada. Bibirnya mengerucut hingga berkumpul di tengah. Bukannya takut atas kekesalan sang suami, Una malah terkikik puas melihat wajah Fajrul yang menggemaskan. "Masya Allah, tampan sekali ciptaanMu ini," puji Una masih cengengesan. Tangan kanan sibuk menutu
Akad kedua, telah terlaksana beberapa jam lalu. Dihadiri ratusan tamu undangan khusus. Begitu sakral tanpa ada halangan suatu apapun. Wanita yang baru saja bebersih diri, setelah seharian diratukan oleh semua orang. Kini berdiri seorang diri di dalam kamar. Terngiang kembali saat ia duduk anggun dengan balutan gaun putih yang indah. Rancangan desainer khusus yang handal, menyulap penampilan Rizquna bak boneka hidup yang cantik jelita. Saatnya istirahat, halaman rumah yang masih sebagian dibersihkan kini terpantau sepi. Hanya ada beberapa satpam yang berjaga di depan sana. Una menutup gorden bermotif bunga melati putih. Sebelum akhirnya ia mematikan lampu utama di kamar yang disediakan khusus untuknya. Lampu tidur dengan pencahayaan remang, baru saat dinyalakan. Una menengadah menghadap kiblat, melangitkan doa-doa yang tak pernah ditinggalkan dalam tiap malamnya. Diakhiri dengan pengusapan seluruh wajah dengan kedua telapak tangannya yang lembut. Wanita itu bersiap m
Apa yang lebih indah dari kebahagian? Mungkin semua orang akan menjawab, tak ada. Sejatinya hidup tetap butuh bahagia. Begitupun Una, terus berharap akan kebahagiaan juga ketenangan dalam menjalani hari-harinya. Liku-liku kehidupan sudah sering ia lalui. Tanjakan hingga turunan terjal, hampir membuatnya pasrah dan putus asa. Namun kesabaran untuk bertahan kini membuahkan hasil yang nyata. "Sulaiman sudah pernah diajak ke makam Qia, Mas?" tanya Una di sela-sela menyiapkan sarapan pagi ini. "Sudah beberapa kali. Tapi akhir-akhir ini dia selalu menolak untuk ikut." Dahi Una mengernyit tipis. Sembari menyajikan nasi goreng buatannya, ia melontarkan pertanyaan selanjutnya. "Mas sudah menjelaskan ke Sulaiman, soal bundanya?" Fajrul menggeleng pelan. Karena ia merasa belum saatnya menjelaskan semua itu pada Sulaiman. Ia masih kecil, Fajrul menunggu saat yang pas untuk membeberkan semuanya. "Nanti kita ke makam Qia, ya, Mas. Una belum pernah ke sana soalnya," pi
Mengalah, Fajrul tak lagi menentang pendapat Una. Akhirnya perhelatan berakhir damai. Tanpa ada rasa ingin memenangkan pendapat masing-masing. Beranjak pulang sebelum Sulaiman merengek untuk kesekian kalinya. Meninggalkan makam Qia yang selalu mengeluarkan bau harum. Mobil melaju tanpa halangan. Mempercepat perjalanan pulang mereka. Ketiganya pulang dengan selamat lahir dan batin. Begitupun dengan Sulaiman yang terlihat lebih semringah dari sebelumnya. Aura kebahagiaan dapat dilihat dari sinaran matanya. "Mas mau minum jus atau teh manis?" tawar Una sebelum melangkah ke dapur. "Em, sepertinya jus lebih menggoda, Dek." Una tersenyum sejenak. Sebelum pergi dari hadapan sang suami. Bergerak cepat memenuhi apa yang diinginkan Fajrul, karena tak mau jika suaminya harus menunggu lama. Sekitar tujuh menit berlalu, akhirnya jus sudah siap diteguk. Tenggorokan Fajrul makin tercekat karena tak sabar ingin menikmati sensasi dinginnya jus mangga dikala terik matahari ki
Serempak menoleh ke arah wanita bercadar hitam dengan perut besar. Melangkah setengah berlari ke arah kerumunan. Tatapan tegas siap untuk membela yang dianggap benar. Menuntaskan semua tuduhan yang selama ini mendarah daging di otak para warga kampung Sahara. Alih-alih unjuk kebolehan, wanita itu tak membalas buruk. Cukup dengan satu kalimat, mampu melumpuhkan mulut manusia yang dengan kasar mengusir Una. "Sungguh fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan, pasti pertanggung jawabannya jauh lebih berat, bukan?" tegas Rani, dengan tubuh tegapnya ia berdiri di samping Una. Wanita berbadan gemuk tampak membuang muka. Lalu pergi tanpa meninggalkan permintaan maafnya. Tak ada rasa bersalah yang disadari. Hanya karena sungkan berhadapan dengan wanita bertahta di kampung itu, gegas berlalu dengan langkah menggebu. Sebuah pelukan hangat Una berikan pada Rani. Wanita yang ditakdirkan Tuhan untuk mempersatukan Una dan Fajrul kembali. Perutnya yang besar, membuat pelukan U