Laila menatap serius wanita yang berdiri tegap di sampingnya. Ia sudah hafal dengan gelagat Una yang akan memaksanya. Rona di wajahnya seketika luntur. "Pak Andi benar-benar serius denganmu, Mbak. Tolonglah, buka hati Mbak Laila sedikit saja. Beliau akan datang bersama keluarganya, jika Mbak Laila bersedia," papar Una setelah sekian kali di desak oleh salah satu guru dari sekolah lain. Lelaki yang berniat mempersunting Laila. Namun selalu mendapat penolakan karena beberapa alasan. Laila merasa minder dengan Andi, karena lelaki itu masih bujang. Sementara Laila adalah seorang janda. Khawatir jika dirinya ditinggal untuk kedua kalinya. Bukan kali pertama, Una memberi masukan pada Laila agar tak menolak lamaran Pak Andi. Karena Una melihat ketulusan dari lelaki yang memang terpaut usia tiga tahun lebih muda dari Laila. "Nanti kupikirkan lagi. Semoga hatiku masih bisa menerima lelaki lain," balas Laila, datar. Una tersenyum lega. Berharap Laila benar-benar bersedia
Sengaja Una memasang wajah seolah-olah ayah mertuanya telah menyakiti hatinya. Fajrul tak bisa tenang. Ia bahkan menanyakan langsung pada yang bersangkutan. Pak Luqman tampak kebingungan dengan pertanyaan putranya. Sementara beliau merasa tak melakukan kesalahan apapun pada Una. Sulaiman memejamkan mata dengan rapat. Ia sudah tertidur pulas, setelah mendengar lantunan salawat merdu yang dibawakan langsung oleh Rizquna. Kemerduan suara wanita itu tak kalah indahnya dengan tarikan suara sang suami. Fajrul berdiri di ambang pintu kamar putranya. Menanti wanita yang sudah tega membuatnya khawatir. Memasang raut cemberut, membalas keusilan sang istri yang terkadang menyebalkan. Lelaki itu melipat kedua tangan di depan dada. Bibirnya mengerucut hingga berkumpul di tengah. Bukannya takut atas kekesalan sang suami, Una malah terkikik puas melihat wajah Fajrul yang menggemaskan. "Masya Allah, tampan sekali ciptaanMu ini," puji Una masih cengengesan. Tangan kanan sibuk menutu
Akad kedua, telah terlaksana beberapa jam lalu. Dihadiri ratusan tamu undangan khusus. Begitu sakral tanpa ada halangan suatu apapun. Wanita yang baru saja bebersih diri, setelah seharian diratukan oleh semua orang. Kini berdiri seorang diri di dalam kamar. Terngiang kembali saat ia duduk anggun dengan balutan gaun putih yang indah. Rancangan desainer khusus yang handal, menyulap penampilan Rizquna bak boneka hidup yang cantik jelita. Saatnya istirahat, halaman rumah yang masih sebagian dibersihkan kini terpantau sepi. Hanya ada beberapa satpam yang berjaga di depan sana. Una menutup gorden bermotif bunga melati putih. Sebelum akhirnya ia mematikan lampu utama di kamar yang disediakan khusus untuknya. Lampu tidur dengan pencahayaan remang, baru saat dinyalakan. Una menengadah menghadap kiblat, melangitkan doa-doa yang tak pernah ditinggalkan dalam tiap malamnya. Diakhiri dengan pengusapan seluruh wajah dengan kedua telapak tangannya yang lembut. Wanita itu bersiap m
Apa yang lebih indah dari kebahagian? Mungkin semua orang akan menjawab, tak ada. Sejatinya hidup tetap butuh bahagia. Begitupun Una, terus berharap akan kebahagiaan juga ketenangan dalam menjalani hari-harinya. Liku-liku kehidupan sudah sering ia lalui. Tanjakan hingga turunan terjal, hampir membuatnya pasrah dan putus asa. Namun kesabaran untuk bertahan kini membuahkan hasil yang nyata. "Sulaiman sudah pernah diajak ke makam Qia, Mas?" tanya Una di sela-sela menyiapkan sarapan pagi ini. "Sudah beberapa kali. Tapi akhir-akhir ini dia selalu menolak untuk ikut." Dahi Una mengernyit tipis. Sembari menyajikan nasi goreng buatannya, ia melontarkan pertanyaan selanjutnya. "Mas sudah menjelaskan ke Sulaiman, soal bundanya?" Fajrul menggeleng pelan. Karena ia merasa belum saatnya menjelaskan semua itu pada Sulaiman. Ia masih kecil, Fajrul menunggu saat yang pas untuk membeberkan semuanya. "Nanti kita ke makam Qia, ya, Mas. Una belum pernah ke sana soalnya," pi
Mengalah, Fajrul tak lagi menentang pendapat Una. Akhirnya perhelatan berakhir damai. Tanpa ada rasa ingin memenangkan pendapat masing-masing. Beranjak pulang sebelum Sulaiman merengek untuk kesekian kalinya. Meninggalkan makam Qia yang selalu mengeluarkan bau harum. Mobil melaju tanpa halangan. Mempercepat perjalanan pulang mereka. Ketiganya pulang dengan selamat lahir dan batin. Begitupun dengan Sulaiman yang terlihat lebih semringah dari sebelumnya. Aura kebahagiaan dapat dilihat dari sinaran matanya. "Mas mau minum jus atau teh manis?" tawar Una sebelum melangkah ke dapur. "Em, sepertinya jus lebih menggoda, Dek." Una tersenyum sejenak. Sebelum pergi dari hadapan sang suami. Bergerak cepat memenuhi apa yang diinginkan Fajrul, karena tak mau jika suaminya harus menunggu lama. Sekitar tujuh menit berlalu, akhirnya jus sudah siap diteguk. Tenggorokan Fajrul makin tercekat karena tak sabar ingin menikmati sensasi dinginnya jus mangga dikala terik matahari ki
Serempak menoleh ke arah wanita bercadar hitam dengan perut besar. Melangkah setengah berlari ke arah kerumunan. Tatapan tegas siap untuk membela yang dianggap benar. Menuntaskan semua tuduhan yang selama ini mendarah daging di otak para warga kampung Sahara. Alih-alih unjuk kebolehan, wanita itu tak membalas buruk. Cukup dengan satu kalimat, mampu melumpuhkan mulut manusia yang dengan kasar mengusir Una. "Sungguh fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan, pasti pertanggung jawabannya jauh lebih berat, bukan?" tegas Rani, dengan tubuh tegapnya ia berdiri di samping Una. Wanita berbadan gemuk tampak membuang muka. Lalu pergi tanpa meninggalkan permintaan maafnya. Tak ada rasa bersalah yang disadari. Hanya karena sungkan berhadapan dengan wanita bertahta di kampung itu, gegas berlalu dengan langkah menggebu. Sebuah pelukan hangat Una berikan pada Rani. Wanita yang ditakdirkan Tuhan untuk mempersatukan Una dan Fajrul kembali. Perutnya yang besar, membuat pelukan U
Tit … tit! Takdir tak sesuai harap. Bayangan hangat dari bibir lembut Handanu kini lenyap. Belum sampai sang buah hati terlahir ke dunia, sang ayah lebih dulu berpulang tanpa berpamitan. Sesak, dada Rani semakin kesulitan mengatur napasnya. Tubuh tak bernyawa belum sempat ditangani. Namun kematian menghampiri tepat di gerbang rumah sakit yang ramai. Tangan Fajrul gemetar setelah mematikan mesin mobilnya. Menoleh ke bangku belakang. Jasad dalam pangkuan wanita bercadar terlihat melotot sempurna. Sedetik kemudian, Rani mengusap wajah Handanu untuk terakhir kalinya. Dua netra tertutup bersamaan. "Innalillahi wainnailaihi rajiun." Sepenggal kalimah Tarji terdengar lirih dari mulut Una yang hanya berkecamuk. Untuk kali pertama, ia menjadi saksi nyata manusia mengembuskan napas untuk terakhir kalinya. Sementara Rani masih memeluk jasad lelaki yang semakin lemas. Perut besarnya terhimpit namun tak dihiraukan. Gegas Fajrul turun dari mobilnya. Memanggil petugas untuk memban
Langkah wanita itu semakin lamban. Masih dengan tatapan kosong ke depan. Sulaiman terduduk di atas ubin yang disusun rapi menutupi tanah di pelataran. Tangisnya sudah reda, namun ia masih mengamati pintu gerbang yang terbuka. Berharap sosok ayahnya segera kembali dalam dekapannya. Rani, berjalan menghampiri Una yang tampak terperangah. Tetap dengan jubah besar warna hitam dilengkapi nikab yang menutupi parasnya nan ayu. "Assalamualaikum, Mbak," salamnya dengan uluran kedua tangan untuk bersalaman. Una gegas menyalaminya. Namun senyum belum muncul dari sudut bibirnya yang bungkam. Rani merasa tak enak hati, karena dirasa ia datang disaat yang tidak tepat. Ia bisa menafsirkan keadaan, jika di dalam rumah itu baru saja terjadi pertikaian. "Waalaikumsalam," jawab Una, singkat. Tak ada imbuhan kata lain untuk sekadar menanyakan kabar. Detik terus berlalu, Una masih dengan keadaan yang sama. Membuat Rani makin serba salah. Ia pun beranjak pamit. Karena Una tak menyamb