Lelaki mana yang akan tinggal diam, melihat wanita yang dicintai pergi setelah sekian lama mereka berpisah. Menyalakan mesin mobilnya, gegas mengikuti arah yang dilalui Una. Sekelebat masih terlihat, saat Fajrul memutar arah mobilnya, sosok wanita bergamis hitam telah menghilang. Firasat menduga, sang istri bersembunyi di sekitar rumah Bu Halimah. Tak mungkin, Una bisa menghilang jauh hanya dengan dua kaki tanpa bantuan kendaraan apapun. Menelisik ke sana ke mari, tetap tak menemukan wanitanya. Sementara ada Sulaiman yang tak henti-hentinya memanggil bunda Una. Tangis makin menjadi, pikiran Fajrul kian berantakan. Mobil berhenti di tepi jalan menuju masjid. Azan berkumandang, mengundang para insan yang taat berjamaah di sana. Berbondong dengan keadaan tubuh bersih berseri. Berebut tempat terdepan, demi mendapat ganjaran yang dijanjikan. Tangis Sulaiman telah reda. Ia begitu tenang tatkala suara azan menggema. Menggetarkan batin sang bayi yang belum ternodai. Kedipan
Pikiran Una sempat melayang. Hingga ia hanyut dalam lamunan panjang. Lima kali, panggilan dari sang suami tak mendapat sahutan. Hingga akhirnya, kedatangan Sulaiman berhasil membuyarkan lamunan Una. Tetap mencari alasan agar ia bisa pulang. Hingga akhirnya, Fajrul mengizinkan istrinya kembali ke tempat tinggalnya. Namun, lelaki itu tetap mengawalnya dari kejauhan. Agar bisa mengetahui di mana tempat tinggal Una selama dua tahun ini. *** Kejadian kemarin, menenangkan hati Una. Apa yang menjadi beban pikiran selama ini, akhirnya terpecahkan. Pagi ini dipenuhi semangat menggelora. Tak seperti biasa, Una terus memamerkan senyum berseri di depan Laila. Layaknya wanita yang tengah dilanda kasmaran untuk pertama kalinya. Begitulah Laila menafsirkan tingkah Una hari ini. "Semangat sekali, Un. Kesambet apaan, sih?" ledek Laila dengan lirikan menggoda. Una meringis, menunjukkan giginya yang putih. Ia masih enggan berbagi cerita. Lebih baik dipendam sendiri, menunggu wak
Lelaki berkaca mata menatap kosong dinding rumahnya. Kekhawatiran yang belum pernah disampaikan pada orang lain, termasuk istrinya, membuat Pak Luqman dilema. Sebenarnya, beliau merahasiakan sesuatu yang cukup besar. Selama ini, Pak Luqman berusaha keras menutupinya dengan berbagai cara. Puluhan tahun lalu, Pak Luqman pernah mendatangi kampung Sahara. Jauh sebelum beliau mengenal Bu Fatimah kemudian mempersuntingnya. Saat itu, kehidupan Pak Luqman belum semujur sekarang. Suatu ketika, Pak Luqman mendatangi Mbah Aab---kakek Una. Waktu itu, usia Mbah Aab belum tergolong lansia. Keduanya pernah bekerjasama untuk mengelola tanah di kampung Sahara. Kerjasama berjalan baik, hingga mereka sampai di titik kejayaan. Hasil panen dari perkebunan yang mereka kelola bersama, melejit di luar target. Uang, membutakan segalanya. Pak Luqman mulai mengakali Mbah Aab dengan cara halus. Sedikit demi sedikit mencari keuntungan lebih, tak sesuai dengan bagi hasil yang mereka sepakat
Laila menatap serius wanita yang berdiri tegap di sampingnya. Ia sudah hafal dengan gelagat Una yang akan memaksanya. Rona di wajahnya seketika luntur. "Pak Andi benar-benar serius denganmu, Mbak. Tolonglah, buka hati Mbak Laila sedikit saja. Beliau akan datang bersama keluarganya, jika Mbak Laila bersedia," papar Una setelah sekian kali di desak oleh salah satu guru dari sekolah lain. Lelaki yang berniat mempersunting Laila. Namun selalu mendapat penolakan karena beberapa alasan. Laila merasa minder dengan Andi, karena lelaki itu masih bujang. Sementara Laila adalah seorang janda. Khawatir jika dirinya ditinggal untuk kedua kalinya. Bukan kali pertama, Una memberi masukan pada Laila agar tak menolak lamaran Pak Andi. Karena Una melihat ketulusan dari lelaki yang memang terpaut usia tiga tahun lebih muda dari Laila. "Nanti kupikirkan lagi. Semoga hatiku masih bisa menerima lelaki lain," balas Laila, datar. Una tersenyum lega. Berharap Laila benar-benar bersedia
Sengaja Una memasang wajah seolah-olah ayah mertuanya telah menyakiti hatinya. Fajrul tak bisa tenang. Ia bahkan menanyakan langsung pada yang bersangkutan. Pak Luqman tampak kebingungan dengan pertanyaan putranya. Sementara beliau merasa tak melakukan kesalahan apapun pada Una. Sulaiman memejamkan mata dengan rapat. Ia sudah tertidur pulas, setelah mendengar lantunan salawat merdu yang dibawakan langsung oleh Rizquna. Kemerduan suara wanita itu tak kalah indahnya dengan tarikan suara sang suami. Fajrul berdiri di ambang pintu kamar putranya. Menanti wanita yang sudah tega membuatnya khawatir. Memasang raut cemberut, membalas keusilan sang istri yang terkadang menyebalkan. Lelaki itu melipat kedua tangan di depan dada. Bibirnya mengerucut hingga berkumpul di tengah. Bukannya takut atas kekesalan sang suami, Una malah terkikik puas melihat wajah Fajrul yang menggemaskan. "Masya Allah, tampan sekali ciptaanMu ini," puji Una masih cengengesan. Tangan kanan sibuk menutu
Akad kedua, telah terlaksana beberapa jam lalu. Dihadiri ratusan tamu undangan khusus. Begitu sakral tanpa ada halangan suatu apapun. Wanita yang baru saja bebersih diri, setelah seharian diratukan oleh semua orang. Kini berdiri seorang diri di dalam kamar. Terngiang kembali saat ia duduk anggun dengan balutan gaun putih yang indah. Rancangan desainer khusus yang handal, menyulap penampilan Rizquna bak boneka hidup yang cantik jelita. Saatnya istirahat, halaman rumah yang masih sebagian dibersihkan kini terpantau sepi. Hanya ada beberapa satpam yang berjaga di depan sana. Una menutup gorden bermotif bunga melati putih. Sebelum akhirnya ia mematikan lampu utama di kamar yang disediakan khusus untuknya. Lampu tidur dengan pencahayaan remang, baru saat dinyalakan. Una menengadah menghadap kiblat, melangitkan doa-doa yang tak pernah ditinggalkan dalam tiap malamnya. Diakhiri dengan pengusapan seluruh wajah dengan kedua telapak tangannya yang lembut. Wanita itu bersiap m
Apa yang lebih indah dari kebahagian? Mungkin semua orang akan menjawab, tak ada. Sejatinya hidup tetap butuh bahagia. Begitupun Una, terus berharap akan kebahagiaan juga ketenangan dalam menjalani hari-harinya. Liku-liku kehidupan sudah sering ia lalui. Tanjakan hingga turunan terjal, hampir membuatnya pasrah dan putus asa. Namun kesabaran untuk bertahan kini membuahkan hasil yang nyata. "Sulaiman sudah pernah diajak ke makam Qia, Mas?" tanya Una di sela-sela menyiapkan sarapan pagi ini. "Sudah beberapa kali. Tapi akhir-akhir ini dia selalu menolak untuk ikut." Dahi Una mengernyit tipis. Sembari menyajikan nasi goreng buatannya, ia melontarkan pertanyaan selanjutnya. "Mas sudah menjelaskan ke Sulaiman, soal bundanya?" Fajrul menggeleng pelan. Karena ia merasa belum saatnya menjelaskan semua itu pada Sulaiman. Ia masih kecil, Fajrul menunggu saat yang pas untuk membeberkan semuanya. "Nanti kita ke makam Qia, ya, Mas. Una belum pernah ke sana soalnya," pi
Mengalah, Fajrul tak lagi menentang pendapat Una. Akhirnya perhelatan berakhir damai. Tanpa ada rasa ingin memenangkan pendapat masing-masing. Beranjak pulang sebelum Sulaiman merengek untuk kesekian kalinya. Meninggalkan makam Qia yang selalu mengeluarkan bau harum. Mobil melaju tanpa halangan. Mempercepat perjalanan pulang mereka. Ketiganya pulang dengan selamat lahir dan batin. Begitupun dengan Sulaiman yang terlihat lebih semringah dari sebelumnya. Aura kebahagiaan dapat dilihat dari sinaran matanya. "Mas mau minum jus atau teh manis?" tawar Una sebelum melangkah ke dapur. "Em, sepertinya jus lebih menggoda, Dek." Una tersenyum sejenak. Sebelum pergi dari hadapan sang suami. Bergerak cepat memenuhi apa yang diinginkan Fajrul, karena tak mau jika suaminya harus menunggu lama. Sekitar tujuh menit berlalu, akhirnya jus sudah siap diteguk. Tenggorokan Fajrul makin tercekat karena tak sabar ingin menikmati sensasi dinginnya jus mangga dikala terik matahari ki
*Beberapa bulan kemudian* Perut Una kian membesar. Wanita itu jauh lebih sehat dari sebelumnya. Semua keluarga besar Una dan Fajrul tak sabar menantikan kehadiran malaikat kecil di tengah keluarga mereka. Pipinya yang sempat tirus, kini makin berisi nan menggemaskan. Aura kecantikan terpancar dari wajah Una yang berseri. Hari-hari dihabiskan bersama sang suami juga Sulaiman yang mulai mengerti bahwa ia akan dikaruniai adik dari rahim bundanya. Malam semakin sunyi, sepasang suami istri masih bercengkerama di dalam kamar dengan pencahayaan remang. Duduk berdua sembari bersenandung kecil melantunkan salawat. Fajrul tergugah dari duduk bersandarnya. Rona kebahagiaan muncul saat tangannya merasakan gerakan kecil dari perut Una. "Nendang-nendang, Dek," girang Fajrul sambil meraba perut istrinya. Una tersenyum tipis, lalu memainkan anak rambut sang suami dengan lembut. Tatapan Una begitu dalam, dengan perasaan campur aduk dalam dada. Haru, bahagia, takut, khawatir, cemas dan l
"Loh, Mbak Laila!" panggil Una dengan raut tak menduga. Wanita yang berdiri di samping lelaki paruh baya itu gegas menoleh ke arah Una. Ia juga terkejut bisa bertemu Una secara tak sengaja. "Ya Allah, Rizquna. Akhirnya kita bertemu di sini," girang wanita itu sembari merentangkan dua tangan ingin melepas kerinduan dengan berpelukan. Tubuh keduanya langsung menyatu di atas halaman berkabin. Pelukan mereka begitu erat, membuat Fajrul langsung turun dari mobilnya. Gegas berlari menghampiri Una dan Laila. Lalu memberi peringatan untuk mereka, agar tak kegirangan berlebihan. "Jangan lupa, Dek. Kamu sedang hamil, dijaga perutnya!" seru Fajrul sebelum berhenti di dekat mereka. Laila pun langsung melepaskan pelukannya. Ia tak berhenti meminta maaf atas kelalaian yang ia lakukan. Una pun menganggapnya bukan masalah serius, tak perlu khawatir berlebih dengan kondisi perut yang memang sedikit terhimpit. Ada satu hal yang membuat Una merasa kecewa. Saat mendapati Laila s
Tiga purnama berlalu penuh haru biru. Wanita yang tengah berbadan dua itu merasakan kenikmatan yang tiada tara. Tiap pagi disambut rasa mual yang berkepanjangan. Tiap satu suap makanan yang masuk lewat mulutnya, hanya berhenti di kerongkongan kemudian muntah dengan sendirinya. Beberapa kali Una harus jatuh pingsang karena metabolisme menurun secara tiba-tiba. Belum lagi kandungan yang ada dalam rahim, mengalami perkembangan yang lemah. Tak jarang istri dari Fajrul itu harus dilarikan ke rumah sakit karena kondisi yang mengkhawatirkan. Semua dilewati Una dengan sabar. Tak pernah sekalipun ia mengeluh atas kondisinya yang tengah hamil muda. Syukurlah, dalam dua minggu terakhir ini, kondisi Una makin membaik. Wanita itu tak harus lagi memaksa diri untuk makan. Tubuhnya yang kurus perlahan menggembul. Pipi Una yang tembam membuatnya semakin menggemaskan. "Mas … bagaimana perkembangan pembangunan madrasah di kampung Sahara?" tanya Una saat keduanya tengah bersantai ria d
Masih berdiri dengan benda pipih di tangan. Tiba-tiba kepala pening, mata kunang-kunang. Gegas meraba tembok dan bersandar di sana. Ringis kesakitan karena tak biasanya ia seperti itu. Sejenak menenangkan diri, Una merasa pening di kepala sudah berkurang. Beranjak menemui Rani yang sudah menunggunya di luar. Tak enak hati belama-lama meninggalkan tamunya, dengan langkah tertatih Una menuju taman. Wajah cantik tak lagi memancarkan rona kebugaran, Una tampak pucat pasi. Perubahan jelas dapat dilihat Rani. Gegas wanita berbadan dua itu memapah Una dengan cekatan. "Ada apa, Mbak?" tanya Rani, khawatir. Una menggeleng, berlagak dirinya baik-baik saja padahal kepalanya kembali pusing. Rani berinisiatif meminta bantuan pada Bu Fatimah. Tanpa permisi, wanita bercadar itu mencarinya sambil berteriak memanggil. Terlihat Pak Luqman dan istrinya panik, menenuhi panggilan Rani. Langsung membawa anak menantunya ke rumah sakit karena takut terjadi apa-apa. Pak Luqman menge
Langkah wanita itu semakin lamban. Masih dengan tatapan kosong ke depan. Sulaiman terduduk di atas ubin yang disusun rapi menutupi tanah di pelataran. Tangisnya sudah reda, namun ia masih mengamati pintu gerbang yang terbuka. Berharap sosok ayahnya segera kembali dalam dekapannya. Rani, berjalan menghampiri Una yang tampak terperangah. Tetap dengan jubah besar warna hitam dilengkapi nikab yang menutupi parasnya nan ayu. "Assalamualaikum, Mbak," salamnya dengan uluran kedua tangan untuk bersalaman. Una gegas menyalaminya. Namun senyum belum muncul dari sudut bibirnya yang bungkam. Rani merasa tak enak hati, karena dirasa ia datang disaat yang tidak tepat. Ia bisa menafsirkan keadaan, jika di dalam rumah itu baru saja terjadi pertikaian. "Waalaikumsalam," jawab Una, singkat. Tak ada imbuhan kata lain untuk sekadar menanyakan kabar. Detik terus berlalu, Una masih dengan keadaan yang sama. Membuat Rani makin serba salah. Ia pun beranjak pamit. Karena Una tak menyamb
Tit … tit! Takdir tak sesuai harap. Bayangan hangat dari bibir lembut Handanu kini lenyap. Belum sampai sang buah hati terlahir ke dunia, sang ayah lebih dulu berpulang tanpa berpamitan. Sesak, dada Rani semakin kesulitan mengatur napasnya. Tubuh tak bernyawa belum sempat ditangani. Namun kematian menghampiri tepat di gerbang rumah sakit yang ramai. Tangan Fajrul gemetar setelah mematikan mesin mobilnya. Menoleh ke bangku belakang. Jasad dalam pangkuan wanita bercadar terlihat melotot sempurna. Sedetik kemudian, Rani mengusap wajah Handanu untuk terakhir kalinya. Dua netra tertutup bersamaan. "Innalillahi wainnailaihi rajiun." Sepenggal kalimah Tarji terdengar lirih dari mulut Una yang hanya berkecamuk. Untuk kali pertama, ia menjadi saksi nyata manusia mengembuskan napas untuk terakhir kalinya. Sementara Rani masih memeluk jasad lelaki yang semakin lemas. Perut besarnya terhimpit namun tak dihiraukan. Gegas Fajrul turun dari mobilnya. Memanggil petugas untuk memban
Serempak menoleh ke arah wanita bercadar hitam dengan perut besar. Melangkah setengah berlari ke arah kerumunan. Tatapan tegas siap untuk membela yang dianggap benar. Menuntaskan semua tuduhan yang selama ini mendarah daging di otak para warga kampung Sahara. Alih-alih unjuk kebolehan, wanita itu tak membalas buruk. Cukup dengan satu kalimat, mampu melumpuhkan mulut manusia yang dengan kasar mengusir Una. "Sungguh fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan, pasti pertanggung jawabannya jauh lebih berat, bukan?" tegas Rani, dengan tubuh tegapnya ia berdiri di samping Una. Wanita berbadan gemuk tampak membuang muka. Lalu pergi tanpa meninggalkan permintaan maafnya. Tak ada rasa bersalah yang disadari. Hanya karena sungkan berhadapan dengan wanita bertahta di kampung itu, gegas berlalu dengan langkah menggebu. Sebuah pelukan hangat Una berikan pada Rani. Wanita yang ditakdirkan Tuhan untuk mempersatukan Una dan Fajrul kembali. Perutnya yang besar, membuat pelukan U
Mengalah, Fajrul tak lagi menentang pendapat Una. Akhirnya perhelatan berakhir damai. Tanpa ada rasa ingin memenangkan pendapat masing-masing. Beranjak pulang sebelum Sulaiman merengek untuk kesekian kalinya. Meninggalkan makam Qia yang selalu mengeluarkan bau harum. Mobil melaju tanpa halangan. Mempercepat perjalanan pulang mereka. Ketiganya pulang dengan selamat lahir dan batin. Begitupun dengan Sulaiman yang terlihat lebih semringah dari sebelumnya. Aura kebahagiaan dapat dilihat dari sinaran matanya. "Mas mau minum jus atau teh manis?" tawar Una sebelum melangkah ke dapur. "Em, sepertinya jus lebih menggoda, Dek." Una tersenyum sejenak. Sebelum pergi dari hadapan sang suami. Bergerak cepat memenuhi apa yang diinginkan Fajrul, karena tak mau jika suaminya harus menunggu lama. Sekitar tujuh menit berlalu, akhirnya jus sudah siap diteguk. Tenggorokan Fajrul makin tercekat karena tak sabar ingin menikmati sensasi dinginnya jus mangga dikala terik matahari ki
Apa yang lebih indah dari kebahagian? Mungkin semua orang akan menjawab, tak ada. Sejatinya hidup tetap butuh bahagia. Begitupun Una, terus berharap akan kebahagiaan juga ketenangan dalam menjalani hari-harinya. Liku-liku kehidupan sudah sering ia lalui. Tanjakan hingga turunan terjal, hampir membuatnya pasrah dan putus asa. Namun kesabaran untuk bertahan kini membuahkan hasil yang nyata. "Sulaiman sudah pernah diajak ke makam Qia, Mas?" tanya Una di sela-sela menyiapkan sarapan pagi ini. "Sudah beberapa kali. Tapi akhir-akhir ini dia selalu menolak untuk ikut." Dahi Una mengernyit tipis. Sembari menyajikan nasi goreng buatannya, ia melontarkan pertanyaan selanjutnya. "Mas sudah menjelaskan ke Sulaiman, soal bundanya?" Fajrul menggeleng pelan. Karena ia merasa belum saatnya menjelaskan semua itu pada Sulaiman. Ia masih kecil, Fajrul menunggu saat yang pas untuk membeberkan semuanya. "Nanti kita ke makam Qia, ya, Mas. Una belum pernah ke sana soalnya," pi