Share

Bab 2

Aku membuka Instagram dan melihat John baru saja memposting sesuatu.

Dalam foto itu, meski sudah berusia tujuh puluh tahun lebih, dia masih tegap dan gagah seperti pohon pinus tua di pegunungan.

Dari penampilannya, masih bisa terlihat sedikit bayangan dirinya saat muda.

Dia adalah seorang profesor senior di jurusan sastra, sedangkan Angel adalah kritikus sastra.

Mereka sering duduk bersama seperti ini dan membahas karya sastra.

John yang biasanya selalu tampak serius, saat ini justru tersenyum lebar penuh kebahagiaan.

Dari kejauhan, terlihat anakku yang biasanya tak pernah membantu di rumah sedang sibuk memangkas dahan pohon besar di halaman rumah Angel.

Dia begitu bersemangat, sampai-sampai tak sempat mengelap keringatnya.

Padahal aku ingat jelas, saat aku memintanya memotong dahan di rumah, dia bilang dirinya fobia ketinggian.

Rasanya dadaku sakit sekali, punggungku terasa tak kuat menopang tubuhku.

Air mata menetes begitu saja.

Tiba-tiba, aku merasa semua yang telah kukorbankan selama ini begitu sia-sia.

Aku selalu bangun pukul lima pagi untuk menyiapkan sarapan keluarga setiap harinya, tanpa pernah absen.

Setelah sarapan selesai, aku harus segera mencuci piring dan merapikan dapur. Anak dan menantuku harus pergi kerja, jadi aku juga harus buru-buru mengantar cucu ke sekolah.

Di perjalanan pulang, aku mampir ke supermarket untuk belanja bahan makanan. Setibanya di rumah, aku harus membereskan kamar dan mencuci pakaian.

Setelah itu, aku harus cepat-cepat menyiangi sayuran, mencucinya dan menyiapkan makan siang.

Makan siang siap, aku masih harus menjemput cucu.

Cucuku suka pilih-pilih makanan, selalu minta dibuatin bakso empat rasa, terong goreng atau udang goreng.

Makanan yang dia suka biasanya lebih susah dibuat. Terkadang aku sibuk dan tak sempat, aku pernah meminta John untuk menjemput cucu, tetapi dia selalu merengut, merasa terganggu saat sedang membaca di ruang kerjanya.

Aku bekerja tanpa henti, seperti gasing yang berputar terus-menerus. Meski sering kelelahan hampir tumbang, aku tak pernah mengeluh sekalipun.

Namun, inilah balasan yang aku dapatkan.

Harus diakui, aku bukan hanya istri yang tidak dianggap, tapi juga ibu yang diabaikan.

Setelah menyadari posisiku yang sebenarnya, tiba-tiba aku merasa begitu sadar.

Aku tak ingin lagi membuang waktu sedikitpun untuk orang-orang yang tak berharga ini.

Mulai sekarang, aku harus lebih baik pada diriku sendiri.

Aku pergi ke mal dan membelikan pakaian baru untuk diriku sendiri.

Saat pulang, aku merasa agak lapar, jadi aku mampir ke sebuah restoran dan memesan beberapa hidangan.

Selama bertahun-tahun, demi menghemat uang dan agar keluarga makan sehat, aku hampir selalu menghabiskan waktu di dapur. Selain acara pernikahan atau pesta, aku tak pernah benar-benar menikmati makanan di luar selama empat puluh tahun ini.

Mulai sekarang, aku tak akan lagi menjadikan dapur sebagai tempatku terikat.

Ketika sampai di rumah, aku menonton beberapa video pendek di ponsel.

Langit mulai gelap, aku bangkit untuk mengambil segelas air, lalu mendengar suara kunci memutar di pintu.

John berjalan masuk.

Dia tak terlihat penuh senyuman ramah seperti di foto tadi. Wajahnya kembali serius dengan kacamata berbingkai emas, memberikan kesan dingin yang membuat orang segan mendekat.

Dia selalu tampak angkuh dan dingin padaku. Dulu aku lumayan takut padanya, bahkan setelah baru menikah, aku pernah mengatakan hal itu padanya.

Dia bilang dirinya memang tidak pandai mengekspresikan perasaan, tetapi dia menyimpan rasa cinta padaku di dalam hatinya.

Setelah melihat bagaimana dia memperlakukan Angel dengan penuh kelembutan dalam video, aku tak akan pernah lagi percaya bahwa dia hanya sekedar tak pandai mengekspresikan perasaan. Sekarang, aku hanya merasa dia sangat menjijikkan dan munafik.

Sambil memijat keningnya, dia berkata dengan santai, “Seduh teh madu, aku baru saja minum alkohol, perutku nggak enak.”

Biasanya, aku pasti akan langsung bangkit dan menuruti perintahnya. Tapi aku hanya diam saja kali ini.

Melihatku tak bergerak, John mengernyit dan melanjutkan, “Aku bicara denganmu!”

Dulu, aku pasti langsung merasa gugup melihat sikap kesalnya seperti itu.

Namun hari ini, aku merasa sangat tenang.

“Seduh saja sendiri, aku sedang sibuk.”

John tampak sangat terkejut. Tentu saja dia terkejut, ini pertama kalinya aku menolak permintaannya.

Ekspresinya langsung menjadi serius dan bertanya, “Ada apa denganmu hari ini? Kamu bahkan nggak mengangkat telepon dari anakmu.”

“Kamu saja makan di luar hari ini dan nggak perlu masak. Masih nggak cukup istirahat sehari?”

Baru saja aku ingin bicara, anakku dan keluarga kecilnya pulang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status