Menantuku menampar suaminya, “Cepat minta maaf dengan ibu! Dia adalah ibu yang telah melahirkan dan merawatmu, bisa-bisanya kamu mengatakan ucapan sebodoh itu. Kamu benar-benar sudah menyakiti hati ibu.”“Bu, maafkan aku. Aku sudah tahu salah dan sangat menyesali semua perbuatanku.”“Menyesal? Kamu benar-benar menganggapku sebagai ibu? Atau hanya merasa rumahmu kehilangan seorang pembantu gratisan? Kamu bukan benar-benar menyesal. Yang kamu sesali adalah bahwa Angel nggak bisa menjadi pembantu yang penurut.”“Kamu lupa apa yang kamu katakan waktu kecil? Kamu bilang akan menemani ibu, selalu menyayangi ibu dan nggak akan membiarkan ibu menderita. Tapi lihat apa yang kamu lakukan? Kamu sama saja dengan ayahmu yang tak tahu malu, egois dan munafik itu. Aku nggak akan pernah memaafkan kalian. Kalau anakmu butuh diantar jemput, carilah pembantu. Jangan harap aku menjadi pembantu gratis kalian lagi.”“Sekarang, aku hanya ingin hidup untuk diriku sendiri. Aku juga sudah punya karirku sendiri,
Penggemarku semakin banyak dan dengan pencapaianku yang luar biasa di usia tujuh puluhan, banyak orang yang bersimpati padaku. Komentar di media sosial penuh dengan hujatan untuk John dan Angel.John dan Angel akhirnya benar-benar jatuh dari singgasana mereka, dihujat habis-habisan di media sosial, hingga mereka memutuskan untuk mundur sepenuhnya dari media sosial.Aku mengira masalah itu akan mereda dengan sendirinya, tapi ternyata laptop John rusak.Ketika dia membawanya ke tempat servis, teknisi yang memperbaikinya menemukan folder berisi video-video itu.Kebetulan, teknisi tersebut adalah salah satu penggemarku. Dia pun membocorkan semua video itu ke publik.Kabar itu kembali meledak di media sosial, memicu gelombang kecaman baru terhadap John dan Angel.Tempat kerja John pun akhirnya mengetahui hal ini dan semua gelar serta penghargaan yang pernah diberikan padanya dicabut.Tak lama kemudian, anak dan menantuku datang lagi ke rumah. Kali ini, mereka bersama John.Mereka membawa b
Aku memandang layar dengan tak percaya, tangan yang memegang mouse pun gemetaran.Setiap video diberi nama dengan hari, bulan dan tahun yang detail.Suamiku yang sudah beruban, menindih sahabatku yang juga sudah berambut putih.Dengan penuh kasih mencium lehernya dan dengan lembut menyentuh tubuhnya.Saat aku menggulir ke video paling bawah, gambarnya buram dan tua. Terlihat jelas wajah mereka masih sangat muda.Ada foto pernikahanku dan John di samping ranjang.Namun, wanita yang ditelanjangi dengan kasar di ranjang itu bukanlah aku.John menindihnya, keduanya saling berpelukan dengan begitu erat, seakan ingin menyatu menjadi satu.Aku terjatuh, rasa sesak yang luar biasa menyerangku, membuatku terengah-engah.Aku sesak napas, tetapi rasanya sebesar apapun aku membuka mulut, oksigen tak bisa masuk ke dadaku.Air mata pun menetes ke punggung tanganku.Waktu itu, saat dia bilang tak bisa berhubungan intim lagi, aku sempat ragu. Tetapi, aku tak rela dia kesakitan.Demi dirinya, aku berta
Aku membuka Instagram dan melihat John baru saja memposting sesuatu.Dalam foto itu, meski sudah berusia tujuh puluh tahun lebih, dia masih tegap dan gagah seperti pohon pinus tua di pegunungan.Dari penampilannya, masih bisa terlihat sedikit bayangan dirinya saat muda.Dia adalah seorang profesor senior di jurusan sastra, sedangkan Angel adalah kritikus sastra.Mereka sering duduk bersama seperti ini dan membahas karya sastra.John yang biasanya selalu tampak serius, saat ini justru tersenyum lebar penuh kebahagiaan.Dari kejauhan, terlihat anakku yang biasanya tak pernah membantu di rumah sedang sibuk memangkas dahan pohon besar di halaman rumah Angel.Dia begitu bersemangat, sampai-sampai tak sempat mengelap keringatnya.Padahal aku ingat jelas, saat aku memintanya memotong dahan di rumah, dia bilang dirinya fobia ketinggian.Rasanya dadaku sakit sekali, punggungku terasa tak kuat menopang tubuhku.Air mata menetes begitu saja.Tiba-tiba, aku merasa semua yang telah kukorbankan sela
Anakku marah karena aku tak membalas pesannya.Cucuku berlari riang ke dapur, siap makan bakso empat rasa, tapi keluar dengan kecewa.“Nenek, di mana bakso empat rasaku? Cepat berikan padaku, aku mau makan!”“Aku nggak buat.”Mendengar jawabanku, cucuku langsung menangis keras.Menantuku langsung menggendongnya dan mencoba menenangkannya.Anakku berdiri di depanku dengan ekspresi tak percaya.“Bu, kamu gila hari ini? Menolak panggilanku, nggak membalas pesanku, bahkan nggak membuat bakso untuk Joel. Apa saja yang ibu kerjakan seharian di rumah?”Dia memarahiku tanpa henti, seolah-olah aku bukan ibunya, melainkan pembantu yang dia pekerjakan.Aku menatapnya dengan tenang, tidak menjawab pertanyaannya, melainkan bertanya, “Bukannya kamu fobia ketinggian?”Dia terdiam sejenak, lalu dengan canggung mengalihkan pandangannya.“Jadi, kamu berbohong dirimu fobia ketinggian hanya supaya nggak perlu membantu memangkas dahan di rumah?”“Tapi kamu mau-mau saja memanjat pohon di rumah orang lain?”
Aku biasanya selalu bicara lembut padanya, mana pernah aku membentaknya seperti tadi. Dia terkejut dan membelalakkan matanya.Dan yang lainnya pun terdiam, seolah ketakutan melihat reaksiku.Mendengar jawabanku, anakku merasa dipermalukan, pergi dengan membanting pintu karena marah.Menantuku yang melihatku begitu berbeda, tidak berani berbicara lagi, segera menggendong cucuku dan pergi.John memandangku dengan tidak senang.Lalu menegurku, “Anak-anak sudah pergi karenamu, puas?”Melihatku tidak meladeninya, wajahnya langsung berubah dingin.“Sisilya, sebaiknya kamu berhenti bertingkah, jangan sampai menyusahkan dirimu sendiri.”Nada bicaranya sangat kesal, seolah-olah sudah kehabisan semua kesabarannya.“Kamu nggak mengerti bahasa manusia? Sudah kubilang kita cerai, jangan omong kosong lagi.”Dia adalah profesor terhormat, selalu terlihat berwibawa. Meski marah, dia tidak pernah berkata kasar.Namun, aku bisa. Saat ini, aku sangat ingin mengeluarkan semua kata-kata paling kasar yang a
Selesai bercocok tanam, aku membeli kue kecil untuk diriku sendiri dan merayakan hidup baruku.Mulai sekarang, aku tidak ingin hidup demi mereka lagi. Aku tidak ingin hidup demi siapa pun.Aku ingin hidup untuk diriku sendiri.Sebelum menjadi seorang istri dan ibu, aku adalah diriku sendiri.Setelah makan kue, aku berbaring di sofa dan menikmati hidup dengan menonton televisi.Terlihat lautan yang indah dan luas di layar televisi. Tiba-tiba menyadari bahwa diriku belum pernah pergi berlibur sekalipun seumur hidupku.Langsung saja aku mencari panduan perjalanan dan akhirnya memilih Pulau Tama.Aku ingin melihat lautan di sana.Tanpa berpikir panjang, aku pergi ke stasiun kereta, membeli tiket, membawa barang bawaanku dan langsung berangkat.Berdiri di tepi laut, aku merentangkan tangan, menikmati angin sepoi-sepoi, merasakan kebebasan dan keleluasaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya.Seketika, aku merasa seolah baru menemukan arti hidup yang sesungguhnya, baru benar-benar merasaka
Keesokan paginya, begitu aku bangun dan keluar dari kamar hotel, aku melihat John duduk di lantai depan pintu kamarku.Dia langsung berdiri dan tampak canggung.“Kalau kamu bukan datang untuk membahas soal perceraian, pergi saja!”“Sisilya, aku … benar-benar nggak bisa memberiku kesempatan lagi?”“John, bisakah kamu berhenti berpura-pura? Untuk apa kamu berpura-pura lagi? Kalau kita cerai, bukankah kamu justru bisa bersama perempuan itu? Bukannya seharusnya kamu senang?”“Kamu benar-benar nggak akan memberitahu anak-anak, ‘kan?Aku memandang pria di depanku, yang meskipun sudah lanjut usia tetap terlihat tampan dan gagah. Tiba-tiba, aku merasa betapa menyedihkannya diriku karena pernah mencintai pria seperti dia.“Jangan omong kosong lagi. Sekarang juga tandatangani surat cerainya atau aku akan pergi ke kampusmu dan memampang pengumuman besar-besaran yang membuat hancur reputasimu.”Akhirnya, dia setuju untuk bercerai denganku.Dengan syarat aku menjaga nama baiknya, dia akan menyerahk