"Aku Maheswari, anak gadis dari sahabat Pak Sudibja yang tinggal di sini."
Setelah mendengar penjelasan dari Mahes, pemuda yang baru saja menyangka bahwa dia pembantu memegang kepala. "Astaga, jadi lo anak yang bakal tinggal di sini jadi adik angkat gue?"
Mahes tentu saja bingung dengan pernyataan barusan, apalagi dia tidak kenal dengan siapa orang yang sedang bicara dengannya saat ini.
"Kenalin!" Dia mengulurkan tangan. "Gue Junior. Anak bungsu di sini. Satu-satunya orang yang paling hidup bebas, nggak pernah terikat dengan apa pun."
"Oh, iya." Mahes merasa sungkan untuk menyambut uluran tersebut. Walaupun Asih bilang dia adalah anak yang sering ke mana-mana tidak jelas, dari kulitnya tetap terlihat berbeda. Dia bersih dan juga terlihat lembut, sementara Mahes hanyalah gadis kampung. Perempuan itu takut jika nanti bersentuhan, Junior akan merasa jijik dengannya. Sama yang seperti Yugo lakukan padanya kemarin.
Daripada sakit hati sendiri, lebih baik Mahes harus menyadari siapa dirinya. Dia hanya menyimpulkan senyum kemudian tanya, "Jadi, kulkas dan dapurnya ada di mana? Biar aku ambilin air minumnya."
"Nggak usah." Junior jalan sendiri. "Lo bukan pembantu di rumah ini. Sorry deh, kalau gue kira lo pembantu." Dia jalan sendiri mengambil minuman di sebuah kulkas--yang ukurannya sangat lebar dan tinggi melebihi badan junior.
Tadinya Junior kira setelah obrolan singkat mereka tadi Mahes langsung pergi. Ternyata, masih berada di tempatnya.
"Ngomong-ngomong." Laki-laki itu kembali bicara setelah menaruh gelas dan juga botol minum kembali ke tempatnya, "lo tidur di kamar yang mana?"
Mahes melihat ke atas. Hanya dengan bahasa tubuh begitu, Junior sudah paham.
"Oh, iya juga. Pantas dari dulu bokap gue sengaja ngerancang kamar di atas tuh ada lebih satu. Kayaknya dia sudah menduga deh bakal ada lo yang mau tinggal di sini."
"Oh iya," sambung Junior lagi, "gue turut berduka cita ya, soal keluarga lo. Jangan sedih-sedih terus, mungkin ini udah takdirnya. Gue bisa jadi teman yang baik kok, buat lo nanti. Kapan-kapan gue ajarin lo untuk lebih gaul di kota ini."
Mahes tertegun. Kalau lebih gaul yang dimaksud adalah hura-hura dan bersenang-senang di dunia malam seperti kebanyakan orang pada umumnya, dia tidak mau.
Mahes sudah janji pada mendiang ibunya bahwa ketika dia dapat kesempatan untuk tinggal di sini, hanya fokus untuk sekolah dan mendapatkan pendidikan yang terbaik. Kemudian mengurus dirinya sendiri tanpa menyusahkan siapa pun.
Sayangnya perempuan yang pemalu itu tidak berani menjawab apa-apa. Dia hanya permisi untuk kembali ke kamarnya.
Junior menggeleng sendiri. "Itu anak kayaknya kena sindrom gagu. Dari tadi gue ajak ngomong kebanyakan diam."
Asyik dengan pikirannya membuat dia tidak menyadari kalau Asih sudah muncul di depannya.
"Ya ampun, Den Junior ke mana aja baru pulang?"
"Eh, Bi Asih yang cantik." Bisa saja Junior membujuk pembantunya. "Laper nih, masakin mie goreng kayak biasa, dong."
"Nggak bisa, ya." Asih mencubit perut Junior. "Ini sudah 3 hari nggak pulang, jangan-jangan udah makan macam-macam. Di rumah malah minta mie goreng."
"Bibi masakin sayur. Makan nasi sama sayur, Den. Biar sehat!" Urusan cerewet Asih melebihi Amarta.
"Junior nggak suka kalau makan sayur kayak begitu. Rasanya otot-otot yang ada dalam tubuh Junior ini malah jadi lembek semua."
"Kebalik, Den Junior." Asih sedikit kesal. "Justru karena kebanyakan makan mie, jadi gampang ada penyakit."
"Ya udah deh, biar adil gini aja. Masak mienya ditambahin sayuran sama makanan berprotein lain. Jadi imbang, 'kan?"
"Mie instan ada pengawetnya, Den."
"Yah, Bi. Tadi bilangnya kurang nutrisi kalau makan mie, masa sekarang sudah ditambahin nutrisi pakai alasan ada pengawet. Kalau tahu begini mending Junior nggak pulang, deh!"
Anak itu paling tahu bagaimana membujuk pembantunya yang sudah bekerja selama lebih dari 10 tahun supaya mau mengikuti apa yang dia pinta.
"Ya sudah, Bibi masakin mie. Tapi, jangan lupa makan nasi sama sayurnya juga.'
"Oke, beres!" Junior berniat untuk duduk di ruang santai sembari menunggu Asih menyiapkan makanan untuknya. Tapi, baru berbalik sudah dapat pelototan tajam dari Amarta.
"Bagus banget buat kamu, Junior, baru pulang sekarang!"
Junior mengangkat bahu. Inilah yang serba salah di rumahnya. Tidak pulang dicari, sekalinya pulang malah cuma dapat omelan.
"Junior bingung di rumah ini. sebenarnya kalau pulang diharapin atau enggak, sih?"
"Jun!" Amarta membentak "Mama setiap hari nungguin kamu pulang dan kamu nggak pernah ngertiin perasaan ini. Kemarin bahkan kamu sengaja nggak mau datang di pertemuan penting keluarga kita, Jun. Yang lain sudah pada berkumpul, Mama sampai malu sendiri karena kamu nggak pernah mau ikutan!"
Junior tidak terlalu menggubris. "Junior memang nggak suka dengan acara itu. Apa sih, kumpul-kumpul kayak gitu. Menunjukkan jabatan apa yang sudah dipegang. Norak."
"Kalau saudara-saudaraku yang lain bisa nyaman begitu, aku nggak suka."
"Kamu nggak bisa semaunya, Jun!"
"Ayolah, Ma. Ini negara merdeka aku sudah umur 20 itu berarti bukan lagi harus diasuh orang tua begini."
"Dua puluh tahun, tetap saja kamu tuh cuma anak-anak di mata Mama."
"Kalau dengan pola pikir begitu, kapan aku bisa dewasa dan kapan aku bisa menentukan pilihan sendiri?"
"Junior kamu enggak tahu apa yang kamu omongin sekarang. Lain kali jangan pernah mangkir dari pertemuan keluarga kita."
"Mama yang harusnya jangan berharap Junior bakalan datang ke acara pertemuan kayak gitu."
"Jun, kamu kalau pulang pasti bikin kepala Mama sakit!" Amarta memijit pangkal hidung menahan kemarahannya.
Asih yang masih ada di sana kemudian membujuk majikannya. "Ibu jangan marah-marah dulu, ya. Kasihan Den Junior baru pulang. Biar dia makan dulu, nanti coba Ibu ngobrol baik-baik."
Bukannya tenang, Amarta malah menunjuk Asih. "Ini juga gara-gara kamu yang terlalu manjain Junior! Lagian kamu tuh nggak sadar atau gimana sih, cuma pembantu di rumah ini berani dekat dengan anakku."
"Bi Asih nggak salah apa-apa, Ma. Junior memang lebih nyaman dengan dia."
Kata-kata dari anaknya tersebut membuat Amarta mengepal tangan hingga tidak bisa bicara apa-apa lalu memilih pergi. Asih jadi tidak enak sendiri. Amarta bisa pingsan kalau meladeninya. Malas berdebat perempuan itu meminta asih untuk segera buatkan minuman hangat untuknya. Dia mau bersantai, tanpa memikirkan soal Junior atau Mahes lagi.
"Den Junior lain kali kalau sama mamanya jangan terlalu keras begitu. Ibu itu sebenarnya khawatir dengan Den Junior. Hampir setiap malam dia nungguin pulang."
"Iya, tahu." Junior memegang bahu Asih. "Ya udah masak, Bi. buruan Nanti Junior keburu mati kelaparan." Urusan makan anak satu itu memang tidak pernah lupa.
Asih masak, Junior kira dia bisa lebih tenang sekarang. Ternyata, belum juga.
Yugo mengadang. "Tahu pulang juga kamu!"
"Apa sih, Bang. Udah deh, nggak usah cari masalah. Gue pulang atau nggak, itu nggak ada urusan dengan lo. Yang tanggung biaya hidup gue ini papa dan dia juga pernah protes, kok."
"Itu karena Papa terlalu lembek dengan kamu."
"Dan lo adalah anak kesayangan mama. Udah deh, itu yang paling adil. Lo terus cari perhatian ke mama, turutin apa yang dia mau dan bakalan dinobatkan sebagai anak yang paling berbakti. Biarin aja gue hidup dengan cara gue sendiri."
Junior melintasi kakaknya begitu saja, sudah penat berdiri dengan pembahasan yang tidak jelas.
"Kamu udah ketemu sama anak angkat papa?" Yugo masih ingin bicara.
"Udah, barusan."
"Menurut kamu, gimana dia di sini?"
"Nggak gimana-gimana. Gue cuma ketemu sebentar, nggak sempat ngobrol."Junior lanjut melangkah, dia duduk di sofa mengeluarkan ponselnya asyik bermain game. Beberapa menit kemudian Asih sudah selesai masak mie, dia bisa nikmati. Untungnya Yugo tidak mengusik ketenangannya kali ini.Tadinya Asih mau langsung pergi, tapi Junior malah memintanya untuk duduk. Berhubung Asih sadar kalau dia cuma pembantu, tidak mungkin duduk di kursi. Makanya hanya menempelkan bokong di lantai.Terpaksa Junior juga harus duduk di lantai supaya bisa lebih enak ngobrolnya."Den Junior ngapain ikut-ikutan duduk di bawah begini?""Ya habisnya kalau Bibi di bawah, Junior nunduk banget!" Junior menggunakan alasan tinggi badannya yang membuat dia tidak nyaman untuk bicara ketika Asih berada di bawah. Padahal, dia hanya bersikap lebih sopan pada pembantunya tersebut."Bi, cewek yang diangkat papa jadi anak itu emang orangnya diem kayak gitu, ya?""Den Junior ngapain tanya-tanya? Asih curiga. "Jangan iseng ya, Den.
Lenguhan wanita itu terdengar jelas."Ah, iya terus Sayang ...." Dengan rintihan tertahan dia meminta agar dipuaskan."Kamu nakal, ya. Hemh .....""Nggak nakal, Beb." Suaranya sangat menggoda, terdengar sensual. "Kamu yang bikin aku ketagihan.""Yugo nggak bisa, 'kan, bikin kamu begini?""CK! Ngapain bahas Yugo di saat aku lagi gini?" Dia terdengar kesal. "Yugo tuh lemah. Aku ajak dia masa nggak mau. Bilangnya nanti nunggu nikah aja. Ya, kali aku ajak enak nggak mau! Apa coba, namanya kalau dia bukan gay?""Ya, mana tahu dia laki-laki baik." Lelaki itu berujar tidak jelas karena dia mulai mencecapi leher jenjang sang wanita."Ya kalau dia nggak nafsu sama cewek, aku yang sengsara nanti kalau dijadiin istri dia. Lagian, dia nyebelin karena nurut banget ke mamanya yang kayak Mak Lampir itu!""Udah ah, nggak usah ngomong terus. Mending lanjut." Wanita yang telah polos tanpa apa pun melingkarkan tangan di leher lelaki yang berada di atasnya.Sang laki-laki pada akhirnya membuat wanita yan
Mahes hanya ingat dia dilecehkan berkali-kali hingga beberapa detik sebelum pingsan dia merasa ada sesuatu yang hangat masuk dalam tubuhnya.Pagi ini dia membuka mata dalam kondisi sudah berbaring di kamarnya, pakaian pun sudah diganti dengan yang lain. Apa, Yugo yang melakukannya untuk menghilangkan bukti?Asih, apa dia tahu apa yang terjadi antara Yugo dan Mahes semalam?"Mahes!" Junior pulang paginya ini sudah siang gadis itu belum juga keluar dari kamar. "Oi, bungsu pengganti gue, bangun, Kebo!"Mahes berbaring, seluruh tubuhnya terasa sakit apalagi hatinya. Kalau dia ceritakan apa yang terjadi, apa yang Yugo lakukan padanya apa ada orang yang akan percaya padanya?"Mahes, Kebo!" Junior masih memanggil. "Astaga lo kebo banget, deh. Ini udah jam tujuh belum bangun juga."Mahes menutup telinga, saat ini mendengar suara laki-laki siapa pun itu membuat dadanya seperti ditusuk ratusan jarum.Pintu dibuka, kebetulan tidak dikunci. Junior cuma bisa geleng-geleng lihat Mahes masih menutup
Mahes hanya ingat dia dilecehkan berkali-kali hingga beberapa detik sebelum pingsan dia merasa ada sesuatu yang hangat masuk dalam tubuhnya.Pagi ini dia membuka mata dalam kondisi sudah berbaring di kamarnya, pakaian pun sudah diganti dengan yang lain. Apa, Yugo yang melakukannya untuk menghilangkan bukti?Asih, apa dia tahu apa yang terjadi antara Yugo dan Mahes semalam?"Mahes!" Junior pulang paginya ini sudah siang gadis itu belum juga keluar dari kamar. "Oi, bungsu pengganti gue, bangun, Kebo!"Mahes berbaring, seluruh tubuhnya terasa sakit apalagi hatinya. Kalau dia ceritakan apa yang terjadi, apa yang Yugo lakukan padanya apa ada orang yang akan percaya padanya?"Mahes, Kebo!" Junior masih memanggil. "Astaga lo kebo banget, deh. Ini udah jam tujuh belum bangun juga."Mahes menutup telinga, saat ini mendengar suara laki-laki siapa pun itu membuat dadanya seperti ditusuk ratusan jarum.Pintu dibuka, kebetulan tidak dikunci. Junior cuma bisa geleng-geleng lihat Mahes masih menutup
Satu minggu terlewati, Mahes tidak pernah mau bilang Apa yang sebenarnya terjadi padanya. Sampai Junior nekat datang ke sekolah Mahes melaporkan ke gurunya bahwa mungkin saja ada kekerasan di sekolah yang menyebabkan Mahes trauma.Guru memeriksa beberapa orang yang kenal dekat dengan Mahes satu per satu ditanyakan, apakahada di antara mereka yang melihat atau menjadi pelaku perundungan terhadap Mahes.Sayangnya, tidak satu pun yang mengatakan mengetahui kejadian itu mereka cuma bilang kalau tiga hari setelah Mahes tidak masuk sekolah saat datang kembali wajahnya sudah kelihatan lebam dan juga dia jauh lebih diam dari biasanya.Junior menunggu konfirmasi, dia hanya mendapat laporan bahwa tidak ada satu pun siswa di sekolah ini yang melakukan perisakan atau menyiksa Mahes seperti yang dituduhkan. Kalaupun ada, sudah pasti terekam CCTV ataupun seandainya dilakukan di luar sekolah, itu berarti di luar kendali para guru ataupun staf di sini. Yang jelas Junior sebagai keluarga harus memasti
Junior orang yang acak. Dia biasa melakukan apa-apa tidak teratur. Untuk mencari Mahes yang belum pulang, dia mulai menyusuri dari sekolah sampai mencari teman sekolahnya yang mungkin tahu di mana gadis itu berada.Beda dengan Yugo. Dia yang sudah jauh lebih dewasa berusaha untuk tenang dulu memikirkan kemungkinan terbesar di mana Mahes saat ini.Yugo tentu menyimpan alamat Mahes karena sebelum gadis itu masuk ke rumah dia sudah membicarakan ini dengan Sudibja.Seseorang yang tidak punya siapa-siapa dan tidak tahu mau ke mana, ke mana lagi kalau bukan pulang ke rumah lamanya.Ya, benar saja ketika dia ke sana Mahes tengah duduk sendiri di teras rumah, wajahnya pucat dia mungkin kelaparan.Yugo memberikan jaketnya. Mahes merangkak mundur, urat-urat di wajahnya menegang."Kamu mikirin apa?" Yugo bertanya dingin. "Jangan kamu kira kalau aku akan mengulangi kecerobohan yang kemarin!"Mahes menutup dirinya. Perempuan itu jengkel sendiri karena dia tidak punya kekuatan untuk memaki atau men
Yugo mengambil alih situasi. Dia sudah menduga kalau memang Amarta akan marah besar padanya. Laki-laki itu memang tidak menyukai Mahes, tapi bukan berarti tidak punya hati nurani."Junior benar, Ma. Ini udah malam. Mama nggak perlu marahi dia sekarang.""Yugo, kamu kenapa sekarang ikut-ikutan adik dan papa kamu?"Yugo mengangkat bahu. Dia memeluk Amarta untuk berpamitan. "Aku capek, besok masih ada urusan.""Kamu mau pulang?""Hmh."Amarta mencebik. Dia pikir Mahes malam ini sangat beruntung karena baik Junior atau Yugo membelanya. Belum lagi Sudibja yang langsung menyuruh Mahes masuk dan istirahat.Yugo melintasi Junior."Tumben, lo bisa kompak dengan gue." Junior menyindir Yugo. Biasanya, apa pun yang dilakukan Junior akan bertolak belakang dengan pilihan Yugo. Itu sebabnya Amarta selalu menjadikan dia anak kebanggaan.Yugo menyipitkan mata. "Kamu nggak usah terlalu ikut campur dengan dia.""Lo nggak ada hak buat ngatur gue."Junior masuk menyusul Mahes. Menunggu sampai satu jam set
Mata Mahes terbuka perlahan, mengungkapkan lingkungan yang familiar; kamarnya. Namun, bukannya memberikan rasa nyaman, kesadaran ini justru membuatnya tersentak kaget. Dia duduk tegak di tempat tidur, merasa bingung dan linglung. "Lo sudah bangun?" suara Junior terdengar dari luar kamar. Dia mengintip melalui celah pintu, hati-hati memastikan tidak melanggar batas privasi Mahes. Meski dia adalah kakak angkat, tetap saja Mahes adalah perempuan dan Junior tahu betul dia tidak bisa sembarangan masuk ke kamarnya. Mahes belum merespon, dan itu cukup bagi Junior untuk menebak apa yang sedang dia pikirkan. Dengan ekspresi serius dan penuh kekhawatiran, Junior berdiri di ambang pintu, berusaha memberikan penjelasan yang masuk akal. "Lo jatuh ke kolam tadi, terus Bi Asih yang bantuin Lo ganti baju dan lainnya. Gue nggak lihat apa-apa, kok," kata Junior dengan nada meyakinkan. Dia berusaha menenangkan Mahes, meyakinkan gadis itu bahwa dia tidak melakukan apa-apa yang tidak pantas. "Suer!"
Angela yakin bahwa rencananya akan berjalan dengan sempurna. Dia telah merancang skenario yang cermat untuk memecah belah Yugo dan Andara, berharap bisa menghancurkan hubungan mereka. Tapi, realitas yang pahit harus dia hadapi. Angela gagal. Setelah segala usaha dan taktiknya, Angela harus mengakui bahwa dia tidak berhasil membuat Siena membenci Andara. Sebaliknya, Siena yang polos dan berhati baik, tetap menerima Andara dengan tangan terbuka. Siena, dengan kepolosannya, melihat Andara bukan sebagai musuh, tapi sebagai calon ibunya. Dia melihat kebaikan hati Andara dan cinta yang tulus dari Andara kepada ayahnya. Angela, yang selalu berusaha menanamkan keraguan dan kebencian pada hati Siena, harus menerima kenyataan bahwa dia tidak bisa mengubah pandangan Siena terhadap Andara. **** Hari itu, kantor tampak lebih sibuk dari biasanya. Telepon berdering tanpa henti, mesin fotokopi berbunyi keras, dan suara keyboard yang dipukul oleh jari-jari cepat menciptakan simfoni yang khas di r
Yugo mempersiapkan dirinya untuk menjemput Andara. Mobilnya, yang berkilauan bersih dan rapi, terasa seperti ekstensi dari dirinya sendiri, siap untuk mengambil peran penting dalam hari ini. Dia memeriksa jam tangan dan tersenyum puas. Tepat waktu.Dia memacu mobilnya melalui jalanan yang biasa dia lalui, tetapi kali ini dengan suasana hati yang berbeda. Dia menikmati setiap putaran, setiap lampu lalu lintas, dan setiap detik dalam perjalanan ini. Tiba di rumah Andara, dia melihat sosok yang sudah dinantikan berdiri di depan rumah, menunggu.Yugo memarkir mobilnya dengan hati-hati dan turun. Dia menutup pintu mobil dan berjalan menuju Andara. Dia menatapnya, membiarkan matanya meresap ke dalam kecantikan Andara yang mempesona. Sebuah pujian meluncur dari bibirnya, "Kamu cantik hari ini."Andara tersenyum, pipinya sedikit memerah. Dia berterima kasih dan membalas pujian Yugo, "Makasih, Mas Yugo. Kamu juga tampak tampan." Ada rona bahagia di wajahnya yang membuat Yugo merasa berharga.Y
Keramaian kantor dipenuhi oleh suara keyboard yang berdenting dan bisikan-bisikan dari rekan-rekan kerja yang saling berkomunikasi. Di tengah kebisingan itu, Andara mendengar suara lembut namanya dipanggil melalui sistem interkom. Yugo meminta Andara untuk datang ke ruangannya, ada hal penting yang ingin dibicarakannya.Andara berjalan menuju ruangan Yugo dengan berbagai pikiran yang berkecamuk di kepalanya. Mungkinkah ada tugas tambahan yang harus dikerjakan? Atau mungkin ada proyek baru yang perlu dibahas? Namun, ketika dia membuka pintu ruangan Yugo, suasana yang ia temui tidak sesuai dengan apa yang ia perkirakan. Yugo, dengan serius, malah membicarakan soal kehidupan pribadi mereka."Umh, Siena ingin mengajakmu makan malam di rumah," kata Yugo tiba-tiba, tanpa adanya pembukaan pembicaraan.Andara tampak tercengang, merasa kikuk. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa penasaran dan sedikit bingung yang terpampang di wajahnya. "Kamu mau ajak aku makan malam?" tanyanya, dengan suara yan
Andara menatap Yugo dengan rasa penasaran yang mendalam. Matanya menyapu kontur wajah Yugo, mencari-cari sesuatu yang berbeda. Dia merasa ada yang tidak biasa tentang Yugo hari ini."Kamu kenapa?" tanya Yugo, mencoba meraba-raba apa yang mungkin terjadi.Andara menatap balik Yugo, matanya bersinar dengan semacam ketidaknyamanan yang sulit diartikulasikan. "Nggak kenapa-napa," jawabnya, seringai paksa menghiasi wajahnya.Yugo merasa seperti ada sesuatu yang disembunyikan Andara."Apa tempat ini kurang nyaman buatmu?" tanya Yugo, mencoba mencari tahu apa yang membuat Andara merasa tidak nyaman.Andara menatap sekeliling, memperhatikan suasana sekitar mereka. "Nyaman, kok, Pak," jawabnya, mencoba menenangkan Yugo. Sayangnya, dia menggunakan panggilan yang salah untuk kekasihnya itu hingga membuat dia memberengut.Sadar akan kesalahannya, Andara segera meralat panggilannya. "Oh, oke, akj nggak panggil 'Pak'. Aku akan panggil kamu Mas. Oke?" ujar Andara dengan nada yang lebih ringan, menco
Yugo hari ini mengantarkan Siena ke rumah Angela. Selain karena memang hari ini jatahnya untuk bersama ibunya, dia juga ada acara dengan Andara. Tidak enak kalau Siena diajak. Ini pasti akan membuat tidak nyaman baik antara Siena ataupun Andara."Aku titip Siena."Angela mendengkus. Yugo ini sungguh bersikap tidak pantas dengan berkata seperti itu pada sosok wanita yang merupakan ibu kandungnya Siena."Aku ini ibunya, kamu nggak perlu cemas." Angela merangkul pundak Siena, menunjukkan keakraban di antara mereka.Yugo merotasi mata. Angela itu bukan ibu yang bisa dipercaya. Buktinya saja, saat acara ulang tahun Siena, dia malah memilih untuk buru-buru pergi."Papa akan jemput nanti malam," ujar Yugo kepada Siena."Iya, Pa," jawab Siena dengan senyum manisnya. Yugo pergi meninggalkan rumah besar tersebut. Mobil hitamnya menghilang di belokan jalan, meninggalkan debu putih yang berterbangan di udara.Sementara itu, Angela mengajak Siena masuk ke dalam rumah dan menuju taman belakang yan
Hari ini adalah hari yang cukup sibuk bagi Yugo. Dia memiliki urusan di luar kantor yang harus diselesaikan. Untungnya, sekretarisnya, Irena, telah menyiapkan segalanya dengan baik. Dari jadwal pertemuan hingga dokumen-dokumen yang diperlukan. Sehingga, semua berjalan lancar dan tidak ada masalah yang muncul.Tapi, meski segala sesuatunya tampak berjalan baik-baik saja, Irena merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ekspresi wajah Yugo tampak berbeda dari biasanya. Biasanya dia tampak tenang dan percaya diri tetapi hari ini ada kerutan di dahi dan matanya terlihat lelah seolah-olah sedang memikirkan sesuatu yang serius.Irena merasa curiga dan mulai bertanya-tanya dalam hati apakah dia telah melakukan kesalahan atau ada sesuatu yang belum ia selesaikan dengan baik sehingga membuat bosnya itu tampak gelisah. "Pak," tanyanya ketika mereka dalam perjalanan kembali ke kantor setelah menyelesaikan urusan di luar tadi. Suaranya dipenuhi kekhawatiran.Yugo menoleh padanya, tanpa menjawab langsung
Pagi itu, Yugo terlihat terenyum sendiri. Cahaya matahari pagi yang hangat menyinari wajahnya yang tampak bersemu. Dia duduk di meja makan dengan secangkir kopi di tangannya, matanya menatap jauh ke luar jendela.Sementara itu, Siena, putri kecil Yugo, sedang memperhatikan ayahnya dari ujung meja. Matanya yang bulat besar tampak penuh rasa penasaran dan bingung. "Papa kenapa?" tanya Siena dengan nada polos. Yugo menoleh dan melihat Siena dengan senyum lembut di wajahnya. "Papa nggak kenapa-napa," jawabnya sambil mengelus kepala Siena lembut. "Tapi aku lihat Papa senyum terus dari tadi," sahut Siena sambil mengerucutkan bibirnya, seolah tidak percaya dengan jawaban ayahnya. Yugo hanya tertawa mendengar perkataan putrinya tersebut. "Itu cuma perasaanmu," balas Yugo sambil kembali menyeruput kopinya.Namun dalam hati, Yugo merasa bahagia, senyumannya adalah refleksi dari perasaan bahagianya karena Andara telah membalas cintanya. Setelah menyelesaikan kopinya, Yugo bangkit dari kurs
Yugo tidak bisa mengelak dari pertanyaan yang diajukan oleh Andara. Dia merasa terjepit dan sadar bahwa kebenaran harus dihadapi. Dengan senang hati Yugo mengangguk sebagai tanggapan atas pertanyaan Andara."Kamu menyadarinya?" tanya Yugo dengan suara yang lemah.Andara mengiyakan. Dia telah menyadari kebenaran yang tersembunyi sejak awal melihat fitur-fitur wajah anak itu dan langsung tahu kemiripannya dengan Yugo. "Sejak awal saya bertemu dengannya, wajah anak itu terlihat familiar, dan saya langsung sadar bahwa itu adalah fitur-fitur wajah Bapak."Yugo menipiskan bibirnya. Dia tahu bahwa masa lalu kelamnya telah mempengaruhi kehidupan orang-orang di sekitarnya, termasuk putra yang tidak pernah mengetahui hubungan biologis mereka."Itu masa lalu, Pak," kata Andara dengan lembut. Dia ingin Yugo tahu, meskipun masa lalu kelam itu ada di sana, Andara ingin memastikan bahwa mereka bisa melanjutkan hidup dan menciptakan masa depan yang lebih baik.Yugo tersenyum hangat saat mendengar ka
Andara merasakan wajahnya memerah, panas oleh rasa malu yang menghampiri. Dia membungkukkan badan, meminta maaf pada Yugo."Maaf, Pak." Andara merasa benar-benar kikuk dan napasnya juga tidak beraturan."Andara!" Yugo sedikit menyentak karena dia tidak mau wanita itu merasa bersalah. Yugo memegang bahunya, mencoba membuat dia tenang. "Tenanglah," ujarnya pelan.Andara merasa seolah-olah oksigen di sekitarnya semakin habis. Rasa cemas dan takutnya membuatnya sulit bernapas secara normal.Yugo menarik sudut bibirnya membentuk senyuman tipis. Dia berbahagia sekaligus mencoba mengerti dan simpati. Dia tahu betul bahwa Andara sedang mengalami tekanan emosional yang besar dan dia berusaha sebaik mungkin untuk menjadi penenang baginya."Jangan masuk dulu," ucap Yugo sambil bersandar di mobil, matanya menatap langit yang gelap. Ada sesuatu yang membuatnya terpesona dan terpikirkan. Andara merasa ragu, tapi dia memutuskan untuk mengikuti apa yang Yugo lakukan.Dia bergabung dengan Yugo, men