Cukup lama kami duduk saling diam dengan jarak lebih dari dua meter. Aku sengaja menjaga jarak cukup jauh dengan batu besar di tangan sebagai senjata jika tiba-tiba Mas Azis kembali macam-macam. Hingga akhirnya sebuah mobil milik lelaki yang memberi sejuta harapan namun telah pupus setelah mengetahui maksudnya mendekatiku menepi, dan dia keluar dari kendaraan roda empat tersebut.“Kamu kenapa, Ran? Kamu baik-baik saja kan? Apa Azis menyakiti kamu?” Kak Hamzah berjalan setengah berlari menghampiri. Gurat khawatir terpancar jelas di wajahnya. Andai rasa itu benar-benar tulus, pasti bahagia sekali rasanya hati ini. Sayang. Semua itu hanya sandiwara belaka.“Apa yang udah elo lakuin sama calon istri gue!” Laki-laki bertubuh tegap itu menarik kerah baju mantan suami, menghunus mata Mas Azis dengan tatapannya dan mengangkat kepalan hendak meninju wajah ayah biologisnya Safaras.Silakan kalian bersandiwara sesuka hati kalian. Aku muak dengan kalian berdua yang begitu jago akting.Melangkah m
#AzisMenjambak rambut frustrasi, menyesal karena sudah bertindak gegabah dan hampir saja melakukan tindakan asusila terhadap Rania. Pasti saat ini dia tambah membenci diriku dan akan lebih sulit lagi untuk mendapatkan dia kembali.Bodoh! Aku memang sangat bodoh. Terlalu sembrono dalam bertindak sehingga membuat wanita yang paling dicintai semakin menjauh saja.Arghh!Memukul-mukul kemudi hingga tangan ini memerah juga berdenyut nyeri, tapi mungkin rasa ini tidak seberapa dibandingkan apa yang sudah aku lakukan terhadap mantan istri.Ah, semoga saja dia mempercayai ucapanku kalau Hamzah mendekati dia hanya karena ingin menjadi muhalilku saja, supaya mereka tidak jadi menikah. Apa yang akan terjadi dengan hatiku jika Rania dan Hamzah sampai bersatu. Pasti rasanya sakit sekali.Jangan persatukan mereka, Tuhan. Aku mohon. Biarkan Rania menjadi jodohku dan izinkan aku menebus semua kesalahan yang telah aku perbuat.Dering ponsel dalam saku celana membuatku berjingkat kaget. Ada panggilan
“Kenapa diam, Azis? Apa benar kamu sudah melecehkan Rania?” Ibu kembali bertanya dengan pindaian yang benar-benar tidak bisa aku mengerti. Mungkinkah dia masih mengkhawatirkan diriku?“Iya!” Aku menjawab singkat. Tidak mau berbohong ataupun menutupi apa yang telah terjadi.“Astaga, Azis!”“Sudahlah, Bu. Biar aku hadapi aparat penegak hukum itu sendiri.” Mengayunkan langkah meninggalkan Ibu, dan ternyata dua orang petugas berseragam sudah berada di ruang tamu.Setelah berbasa-basi sebentar. Mereka segera mengapitku keluar dan membawa masuk ke dalam mobil patroli seperti seorang narapidana. Sungguh. Malu rasanya ketika beberapa pasang mata melihatku dengan tatapan mencemooh. Pasti setelah ini akan ada gosip membahana di kompleks tempat tinggalku.Sesampainya di sebuah gedung berlantai dua. Aku di bawa ke ruangan khusus untuk diinterogasi. Semua pertanyaan yang diajukan penyidik aku jawab dengan anggukan serta gelengan. Tidak mau mengelak dengan semua yang sudah kulakukan terhadap mantan
Membuka mata perlahan lalu menutupnya kembali menyesuaikan cahaya yang masuk nan menyilaukan. Netraku terus saja menyisir ke seluruh penjuru ruangan berbau khas obat-obatan, mencoba untuk duduk akan tetapi kaki ini terasa kaku serta ngilu luar biasa.‘Astagfirullah, ada apa dengan kakiku?’ Membatin sendiri dalam hati, mencoba terus menggerakkan kaki ini.Tidak lama kemudian seorang perawat dengan wajah super jutek masuk untuk memeriksa cairan intravena yang menggantung di tiang infus. Dia sama sekali tidak menyapa diriku, apalagi menerbitkan sedikit senyuman. Wajah suster tersebut terlihat masam. Dia juga tidak menunjukkan keramahan seperti ketika berada di rumah sakit lainnya.Apa karena aku seorang narapidana sehingga mendapatkan perlakuan seperti ini?Menghela napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan, memberi rongga dada yang terasa sesak seperti terimpit benda berat, ditambah lagi ketika melihat luka lebam bekas patukan ular yang terlihat sudah ungu kehitaman. Merasa ngeri
#RaniaHari ini sidang pertamaku digelar. Kak Hamzah selalu setia menemani, tidak peduli dengan cacian serta makian yang terlontar dari Ibu ketika kami saling berpapasan di depan gedung pengadilan agama. Dia hanya memberi isyarat supaya aku tenang, tidak terpancing emosi apalagi sampai berbuat kasar seperti ketika di pusat perbelanjaan tempo hari.“Heh, Rania.” Ibu menarik kasar lenganku ketika aku melewatinya.“Sekarang, kamu cabut tuntutan kamu terhadap Azis. Timbang mau dip*rkosa doang aja pake dikasusin segala. Lagian ‘kan si Azis belum sampai melakukan apa-apa sama kamu. Nggak usah berlebihan seperti itulah. Saya tahu kok, sebenarnya kamu juga pasti mau jika diapa-apakan oleh anak saya!” katanya sambil memasang wajah congkak.Aku menepis kasar tangan Ibu.Heran. Kok ada ya wanita yang mempunyai pikiran seperti itu ya?“Saya tidak akan mencabut tuntutan saya, Bu. Mas Azis harus menerima hukuman atas perbuatannya. Memangnya Ibu mau kalau anak Ibu ada yang melecehkan dan laki-laki y
“Kamu mau ke mana, Ran?” tanya Kak Hamzah ketika melihatku melepas sabuk pengaman.“Aku pengen liat keadaan Fika, Kak. Soalnya biar bagaimanapun, dia pernah menjadi bagian dari keluarga aku,” jawabku seraya membuka pintu mobil.Ragu-ragu mengayunkan langkah menuju orang-orang yang sedang menyemut, membelah kerumunan dan aku lihat Rafika sudah terbujur dengan kondisi yang cukup parah.Ekor mata wanita berambut bergelombang itu melirik ke arahku, seperti memberi isyarat supaya aku segera menolongnya. Aku lihat air mata juga berbondong-bondong merebak dari balik kelopak mantan adik ipar, bercampur dengan cairan berwarna merah berbau anyir yang membuatku hampir pingsan saking banyaknya darah yang berceceran di aspal.“Kita harus segera bawa Fika ke rumah sakit, Kak. Kasihan dia!” ujarku sembari menggenggam jemari adik bungsu Mas Azis yang sudah kian melemah.“Tapi bagaimana caranya, Ran. Mobil Kakak ada di belakang. Terjebak macet. Nggak mungkin Kakak bisa keluar dari kemacetan dan membaw
Dering ponsel dalam genggaman mampu membuatku berjingkat kaget. Ada panggilan masuk dari Bunda. Mungkin dia merasa khawatir karena hingga saat ini aku belum juga sampai di rumah.“Assalamualaikum! Kamu di mana, Ran?” tanya ibuku terdengar panik.“Di rumah sakit, Bun. Adiknya Mas Azis kecelakaan dan tadi aku sama Kak Hamzah yang membawanya ke sini!” sahutku supaya Bunda tidak terlalu mencemaskan.“Oh, kirain kamu ke mana? Soalnya sudah sore begini belum sampai rumah juga. Ya sudah, kalau begitu. Kamu hati-hati di jalan. Bilang sama Hamzah nggak usah ngebut-ngebut nyetirnya.”“Iya, Bun. Faras bobok?”“Iya. Dia habis mimik susu terus langsung bobok. Itu lagi ditemani Mbah Akungnya.”“Titip ya, Bun. Mungkin aku pulang telat. Soalnya keluarga Rafika belum ada yang datang menjenguk.”“Kamu tidak usah khawatir. Faras aman sama utinya.”“Terima kasih.”“Kembali kasih, Sayang.”Aku menutup sambungan telepon setelah mengucapkan salam.Beruntungnya aku memiliki keluarga yang begitu peduli, perha
Karena capek meladeni Ibu, kami berdua akhirnya segera pulang sebab jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sembilan malam. Badan sudah terasa letih ditambah otak harus mendidih.“Semoga Fika baik-baik saja ya, Kak. Kasihan dia. Keluarganya nggak ada yang peduli sama sekali!” ucapku kepada Kak Hamzah ketika kami sudah berada di dalam mobil.“Aamiin. Semoga juga setelah kecelakaan ini dia mendapatkan hidayah dari Allah, meninggalkan pekerjaan kotornya dan menjadi wanita baik-baik. Semoga juga Allah membukakan serta melembutkan hati Tante Sulis,” jawab lawan bicaraku sembari memasang sabuk pengaman kemudian segera menyalakan mesin kendaraan roda empatnya.Deru mesin kendaraan membawa kami menjauh dari parkiran rumah sakit. Sengaja kusandarkan tubuh serta kepala di sandaran jok mobil, memejamkan mata karena lelah serta rasa kantuk yang kian mendera.“Ran, Rania!”Membuka mata perlahan, mengernyitkan dahi serta beringsut menjauh melihat Mas Azis sudah berada di hadapanku.“Kamu mau apala
“Azis?” Mulutnya terus terbuka setelah menyebut nama anaknya.“Iya, Bu. Aku Azis. Anak Ibu.”Sulis menghambur ke dalam pelukan pria berkaus hitam itu, menumpahkan tangisnya di dada bidangnya sambil berkali-kali mengucap maaf karena merasa telah gagal menjadi seorang Ibu.Mendengar suara tangis Ibu yang terdengar mengharu biru, seorang perempuan berkerudung merah keluar ingin tahu apa yang sedang terjadi. Dia tersenyum bahagia kala melihat sang kakak kembali, lalu ikut menghambur ke dalam dekapan Azis.“Fika, ini kamu?” Lelaki berjambang tipis itu menangkupkan wajah si adik, menatap lamat-lamat wajahnya yang terlihat memesona dengan balutan hijab.Senyum Rafika mengingatkan Azis kepada Rania, wanita yang begitu dia cintai dan telah lama tidak ia temui.“Iya, Mas. Ini aku, Fika, adiknya Mas Azis.” Wanita itu menerbitkan senyuman.“Maa syaa Allah... Kamu cantik sekali, Fik.”“Terima kasih.”“Bayi ini?” Azis menatap bayi dalam gendongan Sulis sambil mengelus pipi tembamnya.“Anak aku, Mas
“Hai, Sayangku, tumben datang ke bengkel?”“Iya, Kak. Aku kangen sama Kakak, sekalian kepengen makan siang bersama suami tercinta.”“Emmm... Memangnya Sayangku bawa apa?”“Nasi sama goreng ayam, perkedel juga oseng sawi.”“Alhamdulillah. Kebetulan perut Kakak sudah lapar sekali. Ayo, kita makan berdua.”“Iya, Kak.” Aku beranjak dari dudukku hendak menyiapkan makanan untuk suami, akan tetapi pria berjambang tipis itu melarangnya dan menyuruhku tetap duduk lalu menyuapiku Sebab saat ini Safaras sedang meminum ASI dan suami tidak mau sampai aku menghentikan aktivitasku menyusui.Terima kasih, ya Allah. Karena Engkau telah mengirimkan jodoh terbaik untukku. Mengangkatku dari duka yang membelenggu, lalu menerbitkan pelangi di kehidupanku yang baru.Keesokan harinya.Setelah dipikir secara matang juga mendapat dukungan dari Bunda, aku akhirnya memutuskan menyetujui untuk pindah ke bengkel. Binar bahagia terpancar jelas di wajah suami ketika kami sudah benar-benar tinggal di tempat yang dia
“Ya Allah, Sayang. Kakak bukan tipe laki-laki seperti itu. Kamu percaya sama Kakak. Kita tidak akan berpisah sampai kapan pun, kecuali maut yang memisahkan kita berdua.” Diusapnya air mata yang terus saja berlomba-lomba meluncur dari pelupuk, menarik tubuh ini ke dalam pelukannya dan mengusap lembut rambutku yang tergerai.“Jangan pernah ceraikan aku, Kak.”“Nggak, Sayang. Kita akan menua bersama.”Lelaki dengan wajah tampan itu membingkai wajahku, mendaratkan bibir di tempat yang sama kemudian entah siapa yang memulai duluan, kamu sudah berada dalam satu selimut.“Bismillah allahumma jannibnassyaithaan wa jannibissyaithaana maa razaqtanaa.” Kak Hamzah membaca doa sebelum akhirnya meminta haknya sebagai suami untuk yang pertama kalinya.Lamat-lamat terdengar suara sang muazin mengumandangkan azan subuh. Gegas menyibak selimut, duduk di tepi ranjang karena di dalam kamar mandi terdengar Kak Hamzah sedang membasuh badan.Tidak lama kemudian seraut wajah tampan muncul dari balik pintu, m
Beberapa bulan kemudian.Memantas diri di depan cermin, menatap bayangan wajahku yang terlihat cantik memesona dengan balutan hijab putih serta kebaya buatan Tante Nafsiah. Rasanya bagaikan mimpi karena hari ini aku akan resmi menyandang status nyonya Hamzah. Semoga saja rumah tangga yang kami bina langgeng sampai maut menjemput. Aamiin.Melalui pengeras suara, terdengar pembawa acara mulai membacakan susunan acara. Suara sang Qori terdengar begitu menyejukkan hati, membuat mata ini tanpa terasa sudah menitikkan air hangat nan asin saking merdunya.Hingga tiba waktunya yang paling ditunggu-tunggu yaitu ijab qobul, dimana Kak Hamzah akan mengambil alih tanggung jawab serta dosa-dosaku, mengucap janji suci dengan disaksikan oleh beberapa orang saksi juga kerabat serta tetangga.“Saya terima nikah dan kawinnya Rania Humaira binti Haji Zubair dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” ucap Kak Hamzah dengan lantang tanpa hambatan, lalu para hadirin ramai gemuruh mengucap kata ‘sah’.Alhamd
“Ya sudah. Sebentar lagi aku pulang kok, Bun.”“Ya sudah. Aku pulang sekarang.”Segera mengakhiri panggilan telepon setelah mengucapkan salam lalu mengajak Kak Dimas serta calon suami pulang.“Ada apa, Ran?” tanya Kak Hamzah penasaran.“Ada Mbak Zalfa di rumah, Kak.”“Mau ngapain dia ke rumah, Ran?” Kak Dimas menimpali.“Nggak tahu, Kak.” Mengedikkan bahu sebab aku sendiri tidak tahu ada maksud apa tiba-tiba mantan kakak ipar bertandang ke rumah. Biasanya dia paling anti menginjakkan kaki di rumah Bunda, tapi hari ini entah angin apa yang mendorong dia datang ke rumahku.Deru mesin kendaraan membawaku menjauh dari parkiran pusat perbelanjaan. Kali ini giliran Kak Dimas yang menyetir sedangkan Kak Hamzah duduk di kursi penumpang depan, bercanda ria dengan pamanku membicarakan masa sekolah mereka dulu.Aku hanya menyimak dan sesekali menerbitkan senyuman ketika mereka menceritakan hal-hal konyol yang menggelitik perut, hingga tanpa sadar mobil yang aku tumpangi sudah menepi di halaman r
Aku membuka kaca mobil, ingin tahu apa yang sedang dilakukan oleh mantan mertuaku itu, karena sepertinya dia sedang mencaci maki Tante Nafsiah.“Ini dia orangnya. Kamu yang sudah membawa Fika ke rumah sakit, tapi tidak mau bertanggung jawab dan membayar biaya pengobatan anakku. Dasar sinting!” teriak Ibu ketika Kak Hamzah menghampirinya.Astagfirullah ... Sebenarnya otak Ibu itu terbuat dari apa sih? Kenapa dia tidak pernah bisa berpikir dengan benar. Rafika kecelakaan dan kami menolongnya, tapi bukannya berterima kasih dia malah menuntut kami untuk membiayai seluruh pengobatan Rafika.Karena penasaran sekaligus geregetan, segera turun dari mobil, menghampiri Ibu ingin membela Kak Hamzah.“Ini dia nih, perempuan hobi gonta-ganti pasangan. Wanita ganjen sok kecakepan. Sekarang, bayar pengobatan Fika atau kamu saya tuntut karena sudah menelantarkan anak saya yang sedang sekarat!” Ibu memaki serta mengancam, membuat dahi ini mengernyit bingung.“Ya sudah, sekarang begini saja, Bu. Biar k
Setelah berbasa-basi sebentar dan Pak ustaz yang dipinta Om Beni sebagai perwakilan keluarganya menyampaikan maksud tujuan mereka datang dan Ayah menerima lamaran Kak Hamzah, Tante Nafsiah segera menyematkan cincin berlian di jari manisku, mendaratkan kecupan di puncak kepala serta menghujani pipi ini ciuman penuh dengan kasih sayang.“Alhamdulillah. Sebentar lagi kamu benar-benar akan menjadi menantu tante. Terima kasih sudah bersedia menerima pinangan putra semata wayang Tante ya, Ran,” ucap perempuan bermata teduh dengan aura surga itu dengan intonasi sangat lembut.“Aku yang seharusnya berterima kasih, karena Tante dan Om merestui hubungan kami berdua,” jawabku sambil menoleh sekilas ke arah Kak Hamzah yang ternyata sedang memperhatikan kami, hingga tanpa sengaja pandangan kami saling bertaut, menghadirkan debar-debar aneh di dalam dada.“Jangan dipandangi terus, Zah. Belum halal. Sabar!” celetuk Om Beni membuat pria tampan itu terlihat salah tingkah.Pun dengan diriku yang segera
Ting!Ponselku berbunyi. Ada satu pesan masuk dari Kak Hamzah.[Assalamualaikum, calon istriku. Sudah tidur? Lusa Ummi dan Abi rencananya akan datang ke rumah untuk melamar kamu secara resmi. Kamu siap-siap ya. Kamu juga jangan khawatir kalau aku akan memberi harapan palsu sama kamu, sebab aku tidak mau menambah luka di hati kamu. Kakak justru akan menjadi penyembuh luka kamu, Ran. Selamat malam.]Aku mengulum senyum membaca pesan dari Kak Hamzah. Rasanya sudah seperti anak baru gede yang sedang kasmaran. Padahal ini lamaran keduaku, setelah dulu menerima lamaran dari Mas Azis dan menjalani pernikahan selama enam pekan.Secepat inikah perasaan untuk Kak Hamzah timbul di hati, ataukah ini hanya cinta sesaat saja? Apakah Tuhan akan kembali menakdirkan aku menjadi janda setelah menikah dengan laki-laki itu?Tidak! Aku harus menepis jauh-jauh segala prasangka buruk terhadap Kak Hamzah. Dia seorang laki-laki yang begitu baik serta perhatian. Dia tidak akan mungkin menorehkan luka seperti m
Karena capek meladeni Ibu, kami berdua akhirnya segera pulang sebab jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sembilan malam. Badan sudah terasa letih ditambah otak harus mendidih.“Semoga Fika baik-baik saja ya, Kak. Kasihan dia. Keluarganya nggak ada yang peduli sama sekali!” ucapku kepada Kak Hamzah ketika kami sudah berada di dalam mobil.“Aamiin. Semoga juga setelah kecelakaan ini dia mendapatkan hidayah dari Allah, meninggalkan pekerjaan kotornya dan menjadi wanita baik-baik. Semoga juga Allah membukakan serta melembutkan hati Tante Sulis,” jawab lawan bicaraku sembari memasang sabuk pengaman kemudian segera menyalakan mesin kendaraan roda empatnya.Deru mesin kendaraan membawa kami menjauh dari parkiran rumah sakit. Sengaja kusandarkan tubuh serta kepala di sandaran jok mobil, memejamkan mata karena lelah serta rasa kantuk yang kian mendera.“Ran, Rania!”Membuka mata perlahan, mengernyitkan dahi serta beringsut menjauh melihat Mas Azis sudah berada di hadapanku.“Kamu mau apala