“Kenapa diam, Azis? Apa benar kamu sudah melecehkan Rania?” Ibu kembali bertanya dengan pindaian yang benar-benar tidak bisa aku mengerti. Mungkinkah dia masih mengkhawatirkan diriku?“Iya!” Aku menjawab singkat. Tidak mau berbohong ataupun menutupi apa yang telah terjadi.“Astaga, Azis!”“Sudahlah, Bu. Biar aku hadapi aparat penegak hukum itu sendiri.” Mengayunkan langkah meninggalkan Ibu, dan ternyata dua orang petugas berseragam sudah berada di ruang tamu.Setelah berbasa-basi sebentar. Mereka segera mengapitku keluar dan membawa masuk ke dalam mobil patroli seperti seorang narapidana. Sungguh. Malu rasanya ketika beberapa pasang mata melihatku dengan tatapan mencemooh. Pasti setelah ini akan ada gosip membahana di kompleks tempat tinggalku.Sesampainya di sebuah gedung berlantai dua. Aku di bawa ke ruangan khusus untuk diinterogasi. Semua pertanyaan yang diajukan penyidik aku jawab dengan anggukan serta gelengan. Tidak mau mengelak dengan semua yang sudah kulakukan terhadap mantan
Membuka mata perlahan lalu menutupnya kembali menyesuaikan cahaya yang masuk nan menyilaukan. Netraku terus saja menyisir ke seluruh penjuru ruangan berbau khas obat-obatan, mencoba untuk duduk akan tetapi kaki ini terasa kaku serta ngilu luar biasa.‘Astagfirullah, ada apa dengan kakiku?’ Membatin sendiri dalam hati, mencoba terus menggerakkan kaki ini.Tidak lama kemudian seorang perawat dengan wajah super jutek masuk untuk memeriksa cairan intravena yang menggantung di tiang infus. Dia sama sekali tidak menyapa diriku, apalagi menerbitkan sedikit senyuman. Wajah suster tersebut terlihat masam. Dia juga tidak menunjukkan keramahan seperti ketika berada di rumah sakit lainnya.Apa karena aku seorang narapidana sehingga mendapatkan perlakuan seperti ini?Menghela napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan, memberi rongga dada yang terasa sesak seperti terimpit benda berat, ditambah lagi ketika melihat luka lebam bekas patukan ular yang terlihat sudah ungu kehitaman. Merasa ngeri
#RaniaHari ini sidang pertamaku digelar. Kak Hamzah selalu setia menemani, tidak peduli dengan cacian serta makian yang terlontar dari Ibu ketika kami saling berpapasan di depan gedung pengadilan agama. Dia hanya memberi isyarat supaya aku tenang, tidak terpancing emosi apalagi sampai berbuat kasar seperti ketika di pusat perbelanjaan tempo hari.“Heh, Rania.” Ibu menarik kasar lenganku ketika aku melewatinya.“Sekarang, kamu cabut tuntutan kamu terhadap Azis. Timbang mau dip*rkosa doang aja pake dikasusin segala. Lagian ‘kan si Azis belum sampai melakukan apa-apa sama kamu. Nggak usah berlebihan seperti itulah. Saya tahu kok, sebenarnya kamu juga pasti mau jika diapa-apakan oleh anak saya!” katanya sambil memasang wajah congkak.Aku menepis kasar tangan Ibu.Heran. Kok ada ya wanita yang mempunyai pikiran seperti itu ya?“Saya tidak akan mencabut tuntutan saya, Bu. Mas Azis harus menerima hukuman atas perbuatannya. Memangnya Ibu mau kalau anak Ibu ada yang melecehkan dan laki-laki y
“Kamu mau ke mana, Ran?” tanya Kak Hamzah ketika melihatku melepas sabuk pengaman.“Aku pengen liat keadaan Fika, Kak. Soalnya biar bagaimanapun, dia pernah menjadi bagian dari keluarga aku,” jawabku seraya membuka pintu mobil.Ragu-ragu mengayunkan langkah menuju orang-orang yang sedang menyemut, membelah kerumunan dan aku lihat Rafika sudah terbujur dengan kondisi yang cukup parah.Ekor mata wanita berambut bergelombang itu melirik ke arahku, seperti memberi isyarat supaya aku segera menolongnya. Aku lihat air mata juga berbondong-bondong merebak dari balik kelopak mantan adik ipar, bercampur dengan cairan berwarna merah berbau anyir yang membuatku hampir pingsan saking banyaknya darah yang berceceran di aspal.“Kita harus segera bawa Fika ke rumah sakit, Kak. Kasihan dia!” ujarku sembari menggenggam jemari adik bungsu Mas Azis yang sudah kian melemah.“Tapi bagaimana caranya, Ran. Mobil Kakak ada di belakang. Terjebak macet. Nggak mungkin Kakak bisa keluar dari kemacetan dan membaw
Dering ponsel dalam genggaman mampu membuatku berjingkat kaget. Ada panggilan masuk dari Bunda. Mungkin dia merasa khawatir karena hingga saat ini aku belum juga sampai di rumah.“Assalamualaikum! Kamu di mana, Ran?” tanya ibuku terdengar panik.“Di rumah sakit, Bun. Adiknya Mas Azis kecelakaan dan tadi aku sama Kak Hamzah yang membawanya ke sini!” sahutku supaya Bunda tidak terlalu mencemaskan.“Oh, kirain kamu ke mana? Soalnya sudah sore begini belum sampai rumah juga. Ya sudah, kalau begitu. Kamu hati-hati di jalan. Bilang sama Hamzah nggak usah ngebut-ngebut nyetirnya.”“Iya, Bun. Faras bobok?”“Iya. Dia habis mimik susu terus langsung bobok. Itu lagi ditemani Mbah Akungnya.”“Titip ya, Bun. Mungkin aku pulang telat. Soalnya keluarga Rafika belum ada yang datang menjenguk.”“Kamu tidak usah khawatir. Faras aman sama utinya.”“Terima kasih.”“Kembali kasih, Sayang.”Aku menutup sambungan telepon setelah mengucapkan salam.Beruntungnya aku memiliki keluarga yang begitu peduli, perha
Karena capek meladeni Ibu, kami berdua akhirnya segera pulang sebab jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sembilan malam. Badan sudah terasa letih ditambah otak harus mendidih.“Semoga Fika baik-baik saja ya, Kak. Kasihan dia. Keluarganya nggak ada yang peduli sama sekali!” ucapku kepada Kak Hamzah ketika kami sudah berada di dalam mobil.“Aamiin. Semoga juga setelah kecelakaan ini dia mendapatkan hidayah dari Allah, meninggalkan pekerjaan kotornya dan menjadi wanita baik-baik. Semoga juga Allah membukakan serta melembutkan hati Tante Sulis,” jawab lawan bicaraku sembari memasang sabuk pengaman kemudian segera menyalakan mesin kendaraan roda empatnya.Deru mesin kendaraan membawa kami menjauh dari parkiran rumah sakit. Sengaja kusandarkan tubuh serta kepala di sandaran jok mobil, memejamkan mata karena lelah serta rasa kantuk yang kian mendera.“Ran, Rania!”Membuka mata perlahan, mengernyitkan dahi serta beringsut menjauh melihat Mas Azis sudah berada di hadapanku.“Kamu mau apala
Ting!Ponselku berbunyi. Ada satu pesan masuk dari Kak Hamzah.[Assalamualaikum, calon istriku. Sudah tidur? Lusa Ummi dan Abi rencananya akan datang ke rumah untuk melamar kamu secara resmi. Kamu siap-siap ya. Kamu juga jangan khawatir kalau aku akan memberi harapan palsu sama kamu, sebab aku tidak mau menambah luka di hati kamu. Kakak justru akan menjadi penyembuh luka kamu, Ran. Selamat malam.]Aku mengulum senyum membaca pesan dari Kak Hamzah. Rasanya sudah seperti anak baru gede yang sedang kasmaran. Padahal ini lamaran keduaku, setelah dulu menerima lamaran dari Mas Azis dan menjalani pernikahan selama enam pekan.Secepat inikah perasaan untuk Kak Hamzah timbul di hati, ataukah ini hanya cinta sesaat saja? Apakah Tuhan akan kembali menakdirkan aku menjadi janda setelah menikah dengan laki-laki itu?Tidak! Aku harus menepis jauh-jauh segala prasangka buruk terhadap Kak Hamzah. Dia seorang laki-laki yang begitu baik serta perhatian. Dia tidak akan mungkin menorehkan luka seperti m
Setelah berbasa-basi sebentar dan Pak ustaz yang dipinta Om Beni sebagai perwakilan keluarganya menyampaikan maksud tujuan mereka datang dan Ayah menerima lamaran Kak Hamzah, Tante Nafsiah segera menyematkan cincin berlian di jari manisku, mendaratkan kecupan di puncak kepala serta menghujani pipi ini ciuman penuh dengan kasih sayang.“Alhamdulillah. Sebentar lagi kamu benar-benar akan menjadi menantu tante. Terima kasih sudah bersedia menerima pinangan putra semata wayang Tante ya, Ran,” ucap perempuan bermata teduh dengan aura surga itu dengan intonasi sangat lembut.“Aku yang seharusnya berterima kasih, karena Tante dan Om merestui hubungan kami berdua,” jawabku sambil menoleh sekilas ke arah Kak Hamzah yang ternyata sedang memperhatikan kami, hingga tanpa sengaja pandangan kami saling bertaut, menghadirkan debar-debar aneh di dalam dada.“Jangan dipandangi terus, Zah. Belum halal. Sabar!” celetuk Om Beni membuat pria tampan itu terlihat salah tingkah.Pun dengan diriku yang segera