#RaniaHari ini sidang pertamaku digelar. Kak Hamzah selalu setia menemani, tidak peduli dengan cacian serta makian yang terlontar dari Ibu ketika kami saling berpapasan di depan gedung pengadilan agama. Dia hanya memberi isyarat supaya aku tenang, tidak terpancing emosi apalagi sampai berbuat kasar seperti ketika di pusat perbelanjaan tempo hari.“Heh, Rania.” Ibu menarik kasar lenganku ketika aku melewatinya.“Sekarang, kamu cabut tuntutan kamu terhadap Azis. Timbang mau dip*rkosa doang aja pake dikasusin segala. Lagian ‘kan si Azis belum sampai melakukan apa-apa sama kamu. Nggak usah berlebihan seperti itulah. Saya tahu kok, sebenarnya kamu juga pasti mau jika diapa-apakan oleh anak saya!” katanya sambil memasang wajah congkak.Aku menepis kasar tangan Ibu.Heran. Kok ada ya wanita yang mempunyai pikiran seperti itu ya?“Saya tidak akan mencabut tuntutan saya, Bu. Mas Azis harus menerima hukuman atas perbuatannya. Memangnya Ibu mau kalau anak Ibu ada yang melecehkan dan laki-laki y
“Kamu mau ke mana, Ran?” tanya Kak Hamzah ketika melihatku melepas sabuk pengaman.“Aku pengen liat keadaan Fika, Kak. Soalnya biar bagaimanapun, dia pernah menjadi bagian dari keluarga aku,” jawabku seraya membuka pintu mobil.Ragu-ragu mengayunkan langkah menuju orang-orang yang sedang menyemut, membelah kerumunan dan aku lihat Rafika sudah terbujur dengan kondisi yang cukup parah.Ekor mata wanita berambut bergelombang itu melirik ke arahku, seperti memberi isyarat supaya aku segera menolongnya. Aku lihat air mata juga berbondong-bondong merebak dari balik kelopak mantan adik ipar, bercampur dengan cairan berwarna merah berbau anyir yang membuatku hampir pingsan saking banyaknya darah yang berceceran di aspal.“Kita harus segera bawa Fika ke rumah sakit, Kak. Kasihan dia!” ujarku sembari menggenggam jemari adik bungsu Mas Azis yang sudah kian melemah.“Tapi bagaimana caranya, Ran. Mobil Kakak ada di belakang. Terjebak macet. Nggak mungkin Kakak bisa keluar dari kemacetan dan membaw
Dering ponsel dalam genggaman mampu membuatku berjingkat kaget. Ada panggilan masuk dari Bunda. Mungkin dia merasa khawatir karena hingga saat ini aku belum juga sampai di rumah.“Assalamualaikum! Kamu di mana, Ran?” tanya ibuku terdengar panik.“Di rumah sakit, Bun. Adiknya Mas Azis kecelakaan dan tadi aku sama Kak Hamzah yang membawanya ke sini!” sahutku supaya Bunda tidak terlalu mencemaskan.“Oh, kirain kamu ke mana? Soalnya sudah sore begini belum sampai rumah juga. Ya sudah, kalau begitu. Kamu hati-hati di jalan. Bilang sama Hamzah nggak usah ngebut-ngebut nyetirnya.”“Iya, Bun. Faras bobok?”“Iya. Dia habis mimik susu terus langsung bobok. Itu lagi ditemani Mbah Akungnya.”“Titip ya, Bun. Mungkin aku pulang telat. Soalnya keluarga Rafika belum ada yang datang menjenguk.”“Kamu tidak usah khawatir. Faras aman sama utinya.”“Terima kasih.”“Kembali kasih, Sayang.”Aku menutup sambungan telepon setelah mengucapkan salam.Beruntungnya aku memiliki keluarga yang begitu peduli, perha
Karena capek meladeni Ibu, kami berdua akhirnya segera pulang sebab jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sembilan malam. Badan sudah terasa letih ditambah otak harus mendidih.“Semoga Fika baik-baik saja ya, Kak. Kasihan dia. Keluarganya nggak ada yang peduli sama sekali!” ucapku kepada Kak Hamzah ketika kami sudah berada di dalam mobil.“Aamiin. Semoga juga setelah kecelakaan ini dia mendapatkan hidayah dari Allah, meninggalkan pekerjaan kotornya dan menjadi wanita baik-baik. Semoga juga Allah membukakan serta melembutkan hati Tante Sulis,” jawab lawan bicaraku sembari memasang sabuk pengaman kemudian segera menyalakan mesin kendaraan roda empatnya.Deru mesin kendaraan membawa kami menjauh dari parkiran rumah sakit. Sengaja kusandarkan tubuh serta kepala di sandaran jok mobil, memejamkan mata karena lelah serta rasa kantuk yang kian mendera.“Ran, Rania!”Membuka mata perlahan, mengernyitkan dahi serta beringsut menjauh melihat Mas Azis sudah berada di hadapanku.“Kamu mau apala
Ting!Ponselku berbunyi. Ada satu pesan masuk dari Kak Hamzah.[Assalamualaikum, calon istriku. Sudah tidur? Lusa Ummi dan Abi rencananya akan datang ke rumah untuk melamar kamu secara resmi. Kamu siap-siap ya. Kamu juga jangan khawatir kalau aku akan memberi harapan palsu sama kamu, sebab aku tidak mau menambah luka di hati kamu. Kakak justru akan menjadi penyembuh luka kamu, Ran. Selamat malam.]Aku mengulum senyum membaca pesan dari Kak Hamzah. Rasanya sudah seperti anak baru gede yang sedang kasmaran. Padahal ini lamaran keduaku, setelah dulu menerima lamaran dari Mas Azis dan menjalani pernikahan selama enam pekan.Secepat inikah perasaan untuk Kak Hamzah timbul di hati, ataukah ini hanya cinta sesaat saja? Apakah Tuhan akan kembali menakdirkan aku menjadi janda setelah menikah dengan laki-laki itu?Tidak! Aku harus menepis jauh-jauh segala prasangka buruk terhadap Kak Hamzah. Dia seorang laki-laki yang begitu baik serta perhatian. Dia tidak akan mungkin menorehkan luka seperti m
Setelah berbasa-basi sebentar dan Pak ustaz yang dipinta Om Beni sebagai perwakilan keluarganya menyampaikan maksud tujuan mereka datang dan Ayah menerima lamaran Kak Hamzah, Tante Nafsiah segera menyematkan cincin berlian di jari manisku, mendaratkan kecupan di puncak kepala serta menghujani pipi ini ciuman penuh dengan kasih sayang.“Alhamdulillah. Sebentar lagi kamu benar-benar akan menjadi menantu tante. Terima kasih sudah bersedia menerima pinangan putra semata wayang Tante ya, Ran,” ucap perempuan bermata teduh dengan aura surga itu dengan intonasi sangat lembut.“Aku yang seharusnya berterima kasih, karena Tante dan Om merestui hubungan kami berdua,” jawabku sambil menoleh sekilas ke arah Kak Hamzah yang ternyata sedang memperhatikan kami, hingga tanpa sengaja pandangan kami saling bertaut, menghadirkan debar-debar aneh di dalam dada.“Jangan dipandangi terus, Zah. Belum halal. Sabar!” celetuk Om Beni membuat pria tampan itu terlihat salah tingkah.Pun dengan diriku yang segera
Aku membuka kaca mobil, ingin tahu apa yang sedang dilakukan oleh mantan mertuaku itu, karena sepertinya dia sedang mencaci maki Tante Nafsiah.“Ini dia orangnya. Kamu yang sudah membawa Fika ke rumah sakit, tapi tidak mau bertanggung jawab dan membayar biaya pengobatan anakku. Dasar sinting!” teriak Ibu ketika Kak Hamzah menghampirinya.Astagfirullah ... Sebenarnya otak Ibu itu terbuat dari apa sih? Kenapa dia tidak pernah bisa berpikir dengan benar. Rafika kecelakaan dan kami menolongnya, tapi bukannya berterima kasih dia malah menuntut kami untuk membiayai seluruh pengobatan Rafika.Karena penasaran sekaligus geregetan, segera turun dari mobil, menghampiri Ibu ingin membela Kak Hamzah.“Ini dia nih, perempuan hobi gonta-ganti pasangan. Wanita ganjen sok kecakepan. Sekarang, bayar pengobatan Fika atau kamu saya tuntut karena sudah menelantarkan anak saya yang sedang sekarat!” Ibu memaki serta mengancam, membuat dahi ini mengernyit bingung.“Ya sudah, sekarang begini saja, Bu. Biar k
“Ya sudah. Sebentar lagi aku pulang kok, Bun.”“Ya sudah. Aku pulang sekarang.”Segera mengakhiri panggilan telepon setelah mengucapkan salam lalu mengajak Kak Dimas serta calon suami pulang.“Ada apa, Ran?” tanya Kak Hamzah penasaran.“Ada Mbak Zalfa di rumah, Kak.”“Mau ngapain dia ke rumah, Ran?” Kak Dimas menimpali.“Nggak tahu, Kak.” Mengedikkan bahu sebab aku sendiri tidak tahu ada maksud apa tiba-tiba mantan kakak ipar bertandang ke rumah. Biasanya dia paling anti menginjakkan kaki di rumah Bunda, tapi hari ini entah angin apa yang mendorong dia datang ke rumahku.Deru mesin kendaraan membawaku menjauh dari parkiran pusat perbelanjaan. Kali ini giliran Kak Dimas yang menyetir sedangkan Kak Hamzah duduk di kursi penumpang depan, bercanda ria dengan pamanku membicarakan masa sekolah mereka dulu.Aku hanya menyimak dan sesekali menerbitkan senyuman ketika mereka menceritakan hal-hal konyol yang menggelitik perut, hingga tanpa sadar mobil yang aku tumpangi sudah menepi di halaman r