(17 Bab Menuju Tamat)Mendengar penuturan Bu Wijaya, sama rasanya tersambar petir. Masa lalu kelam bukan hanya milikku, tetapi telah tercipta sejak wanita itu masih muda. Mungkin, apa yang terjadi padaku adalah salah satu penebusan dosa ibuku di masa lalu."Nara ... jujur saat melihatmu, Mama sempat berpikir kamu adalah anak dari wanita sun dal itu. Beruntungnya bukan, dan Mama nggak akan sanggup jika memiliki menantu dari keturunan wanita yang telah berusaha menghancurkan keluargaku."Azlan meraih tanganku tanpa menoleh, lalu menggenggam erat seolah ingin menegaskan bahwa dia akan selalu ada untukku, dia ingin menguatkan hati yang semakin rapuh ini.Ucapan Bu Wijaya membuatku semakin hancur. Tubuh ini hanya bisa mematung, pikiran semakin kacau balau. Tiba-tiba nyeri di kepala menyerang. Aku memekik akibat rasa sakit yang tiba-tiba menghantam di kepala bagian belakang."Aaauwww!!! Sakit sekali, Azlan!" teriakku seraya memegangi kepala.Teriakanku membuat Azlan dan Bu Wijaya panik. "L
Untuk sesaat aku mematung. Pikiranku mencoba mencerna dan menghubungkan antara cerita nenek dengan cerita Oma barusan."Oma, tapi kata Nenek ... ibu dihamili orang tidak bertanggungjawab, dan akhirnya ditinggalin pacar yang akan menikahinya. Mana yang benar?" tanyaku dengan rasa penasaran yang sangat tinggi.Oma tersenyum. "Aku tahu, pasti Rosmala mengarang cerita untuk menutupi keburukannya. Fadli berniat ingin menikahinya, walaupun tidak mendapatkan restu dari kami. Hanya saja, Rosmala kabur setelah kehamilannya mulai membesar. Bahkan Fadli sempat depresi akibat kepergian Rosmala."Ada raut kesedihan di mata tua itu. "Hingga akhirnya dia memutuskan menikah dengan wanita yang waktu itu terus mengejarnya. Dia seperti kehilangan arah, sudah kehilangan hak waris masih harus kehilangan wanita yang sangat dia cintai.""Lalu, bagaimana dengan Pak Wijaya?" tanyaku kembali, lalu pandangan beralih ke Azlan.Lelaki itu masih sabar mendengarkan percakapan kami, sesekali dia merengkuh bahuku le
Pertemuanku dengan Om Fadli, cukup membuatku lebih tenang. Status siapa ayah biologis-ku telah terungkap, dan kedudukan ibuku di hati Pak Wijaya adalah wanita kedua. Itu artinya, pernikahan antara aku dan Azlan masih bisa diselamatkan.Setelah pertemuan itu, senyumku lebih merekah. Kondisi tubuh juga semakin membaik, kepala mulai tidak sering sakit. Kebahagiaan benar-benar terasa sempurna.Hingga akhirnya ....Sebuah percakapan melalui telepon itu kudengar, bahkan suara wanita dalam telepon yang di-loud speaker pun sangat kukenal. Semua berawal ketika keadaan rumah sepi. Bu Wijaya pergi dengan Azra dan Mbok Sumi. Azlan sudah pergi ke kantor. Aku yang hendak ke dapur untuk mengambil beberapa camilan di kulkas, justru harus menghentikan langkah saat mendengar suara Pak Wijaya.Kali ini suara lelaki paruh baya itu lebih tinggi dari sebelumnya. Dia memaki dengan disertai sumpah serapah, menumpahkan segala rasa kecewa.Aku yang penasaran segera merapatkan telinga ke dekat pintu."Rosmala,
Penuturan Om Fadli yang begitu bijak, mampu membuat Pak Wijaya menutup rapat bibirnya.Dia yang selama ini menuntut test DNA, sekarang harus terdiam saat lelaki lain mengakui aku sebagai putri kandungnya."Apa kamu yakin, Rosmala hamil karena dirimu?" Pak Wijaya kembali mengulang pertanyaan serupa. "Apa perlu aku ulangi lagi jawabanku? Wijaya, sekarang sudah waktunya kita lupakan kebodohan kita yang dulu. Kita pernah melakukan kesalahan, sudah seharusnya sekarang memperbaiki diri. Toh, kita sudah tahu wanita seperti apa Rosmala itu.""Apa kamu masih menemuinya?" tanya Pak Wijaya dengan sorot keingintahuan, entah masih cemburu ataukah ingin memastikan sesuatu.Om Fadli menghela napas berat. "Aku bertemu dengannya lagi empat tahun lalu, saat ingin menyelamatkan Nara dari dunia hitam.""Empat tahun lalu?""Iya, saat pertama kali aku melihat dia menampar seorang gadis yang mirip dengannya. Kemudian membiarkan gadis itu diseret oleh dua orang bertangan kekar."Aku yang menyimak, seketika
Aku menggeram, menahan kesal terhadap sandiwara ibuku. Bagaimana bisa dia mengaku sebagai pembantu di rumah tersebut, serta mengakui teman kumpul kebonya sebagai bos.Azlan yang melihat ekspresi dan napasku yang mulai tak beraturan, dia segera merangkulku. Lelaki halalku selalu berusaha menenangkan diri ini.Fokusku kembali ke suara di seberang sana."Rosmala, ini adalah kesempatan terakhirmu. Jika kamu ingin kembali denganku, maka keluarlah sekarang! Jika tidak, maka jangan pernah kamu cari aku lagi!" Pak Wijaya berusaha mengancam."I ... iya, Mas. Sebentar, aku keluar dulu. Tapi tunggu ya, aku ... aku ijin dulu."Kurasa bukan ijin, melainkan bicara dengan pasangan kumpul kebonya. Bisa jadi, mereka merencanakan sesuatu juga.Tak berapa lama, tampak dari kejauhan dapat kulihat pintu terbuka. Muncul sosok yang sangat kukenal dan sudah tiga tahun lebih tak lagi kulihat. Ternyata, banyak sekali perubahan pada wanita itu. Dandanan seorang Nyonya Rosmala tak lagi kudapati. Sekarang, dia le
Melihat wajah ibu yang memelas, bukannya kasian justru rasa muak yang muncul. Sejenak mata ini menatap tajam ke arahnya, ada luka batin yang sebenarnya ingin kulampiaskan. Namun, urung niat tersebut karena jiwa ini sudah terlalu lelah. "Nara, tidak usah kamu gubris permintaannya!" Aku menoleh ke arah Azlan, lalu mengangguk dan berjalan ke arahnya."Anak durhaka! Kalau sampai kamu tidak menyerahkan uang tiga ratus juta itu, jangan harap akan jadi anakku lagi!" ancam wanita itu.Aku berhenti dan menoleh. Tawaku seketika meledak."Hahaha ... asal Anda tahu saja ya, saya tidak pernah berharap jadi anak Anda, Nyonya Rosmala!" ledekku dengan penekanan di setiap kalimat.Setelah itu aku abaikan sumpah serapahnya. Aku memilih tetap melangkah, meninggalkan masa lalu dan bagiannya. Saat ini, aku sudah bertekad untuk menjalani kehidupanku bersama Azlan dan Azra. Rahasia tentang asal usul diriku, semua telah sepakat menyembunyikan dari berbagai pihak termasuk Bu Wijaya.Kejadian hari ini, menga
Di saat suasana menegang ...."Kalian ini kenapa? Lihat Ryan kok kayak lihat hantu!" celetuk Bu Wijaya yang memang tidak tahu menahu masalah di masa lalu kami."Untuk apa kamu di sini?" tanya Azlan ke Ryan tanpa memedulikan pertanyaan dari ibunya."Azlan, Azlan ... bukannya bertanya kabar ke teman lama, malah bertanya seperti itu. Pertanyaan macam apa itu, hah?!" ujar Ryan dengan ekspresi santai.Dia berdiri dengan kedua di tangan masuk ke dalam saku. Mimik wajah yang menunjukkan seolah-olah dia tak punya salah, membuat Azlan merasa semakin kesal. Hanya saja, aku berusaha mencegah Azlan dengan memegangi lengannya."Saya tidak butuh teman seperti kamu!" teriak Azlan."Terserah, aku di sini juga hanya karena menolong bocah kecil itu saja." Ryan menggerakkan dagu ke arah Azra.Pandangan kami kembali ke Azra. Menyadari Azra yang ketakutan dengan sikap ayahnya, aku pun langsung memeluk Azra untuk memberi ketenangan."Ayah, jangan marahi Om Iyan. Tadi waktu jatuh, Om Iyan yang nolongin Azra
POV AzlanUntuk ketiga kalinya menghadapi kecemasan. Nara yang tengah hamil besar mengalami kontraksi. Sebenarnya kelahiran bayi ketiga diperkirakan masih bulan depan. Hanya saja, saat Nara mencoba melerai aku dengan Ryan, dia tiba-tiba dia langsung teriak kesakitan.Kondisinya mengingatkan saat hendak melahirkan Azra. Hal tersebut yang selalu membuat aku cemas saat dia melahirkan. Ketika melahirkan Tasya--anak kedua kami, keadaan Nara jauh lebih baik. Mungkin karena dia dalam kondisi batin yang baik-baik saja.Sedangkan saat ini, dia sempat syok dengan kehadiran Ryan. Lelaki dari masa lalu Nara, dan parahnya dia pernah memadu asmara dengan wanita yang saat ini berstatus istriku.Aku tahu dan paham betul, banyak resiko saat memutuskan menikah dan mencintai mantan wanita bayaran itu. Di antaranya adalah kenyataan pahit, teman sekaligus orang kepercayaanku sendiri juga merupakan penikmat keindahan tubuh istriku.Masih teringat dalam benakku, saat sakit itu merajam batin. Ryan yang aku s