Di saat suasana menegang ...."Kalian ini kenapa? Lihat Ryan kok kayak lihat hantu!" celetuk Bu Wijaya yang memang tidak tahu menahu masalah di masa lalu kami."Untuk apa kamu di sini?" tanya Azlan ke Ryan tanpa memedulikan pertanyaan dari ibunya."Azlan, Azlan ... bukannya bertanya kabar ke teman lama, malah bertanya seperti itu. Pertanyaan macam apa itu, hah?!" ujar Ryan dengan ekspresi santai.Dia berdiri dengan kedua di tangan masuk ke dalam saku. Mimik wajah yang menunjukkan seolah-olah dia tak punya salah, membuat Azlan merasa semakin kesal. Hanya saja, aku berusaha mencegah Azlan dengan memegangi lengannya."Saya tidak butuh teman seperti kamu!" teriak Azlan."Terserah, aku di sini juga hanya karena menolong bocah kecil itu saja." Ryan menggerakkan dagu ke arah Azra.Pandangan kami kembali ke Azra. Menyadari Azra yang ketakutan dengan sikap ayahnya, aku pun langsung memeluk Azra untuk memberi ketenangan."Ayah, jangan marahi Om Iyan. Tadi waktu jatuh, Om Iyan yang nolongin Azra
POV AzlanUntuk ketiga kalinya menghadapi kecemasan. Nara yang tengah hamil besar mengalami kontraksi. Sebenarnya kelahiran bayi ketiga diperkirakan masih bulan depan. Hanya saja, saat Nara mencoba melerai aku dengan Ryan, dia tiba-tiba dia langsung teriak kesakitan.Kondisinya mengingatkan saat hendak melahirkan Azra. Hal tersebut yang selalu membuat aku cemas saat dia melahirkan. Ketika melahirkan Tasya--anak kedua kami, keadaan Nara jauh lebih baik. Mungkin karena dia dalam kondisi batin yang baik-baik saja.Sedangkan saat ini, dia sempat syok dengan kehadiran Ryan. Lelaki dari masa lalu Nara, dan parahnya dia pernah memadu asmara dengan wanita yang saat ini berstatus istriku.Aku tahu dan paham betul, banyak resiko saat memutuskan menikah dan mencintai mantan wanita bayaran itu. Di antaranya adalah kenyataan pahit, teman sekaligus orang kepercayaanku sendiri juga merupakan penikmat keindahan tubuh istriku.Masih teringat dalam benakku, saat sakit itu merajam batin. Ryan yang aku s
POV AzlanHari demi hari, rasa kasihku terhadap Azra semakin terpupuk, seakan tak ada keraguan yang menyelimuti untuk terus menyayangi bocah kecil itu.Seminggu berlalu ....Aku melangkah kembali ke rumah sakit. Sebenarnya ada sedikit keraguan saat hendak mengambil hasil test DNA Azra. Bahkan ketika masuk ke ruang dokter, jantungku mulai berdebar tak karuan.Gugup dan cemas membuat tingkahku seperti orang yang kebingungan."Pak Azlan ya?" tanya dokter laki-laki muda tersebut dengan mengulas senyum ramah."I ... iya, Dok.""Begini, Pak Azlan. Hasil test DNA sudah keluar, dan ini hasilnya." Dokter menyerahkan sebuah amplop putih panjang.Segera aku membukanya, kemudian membaca seluruh hasil pemeriksaan."Dokter ... ini ... ini apa maksudnya?" Aku masih belum yakin dengan apa yang aku lihat.Dokter itu tersenyum kembali. "Iya, Pak. Anda adalah ayah biologis dari ananda Azra Putra Wijaya."Seketika kelegaan menggulung seluruh kekhawatiran yang kurasakan selama ini. Suka cita memenuhi ruan
POV AzlanHari berlalu, minggu demi minggu, hingga tahun berganti. Lima tahun sudah kehidupanku bersama Nara aku lalui. Hari-hari penuh canda tawa bahagia. Tak ada lagi keraguan terhadap cinta Nara ataupun benih siapa yang dulu tumbuh di rahimnya.Rahasia antara Nara dengan Om Fadli juga tetap terjaga. Bahkan hubungan Papa dengan Om Fadli telah membaik. Hubungan Papa dan Mama juga semakin harmonis, begitu pun Om Fadli dengan istrinya. Kurasa mereka telah menyadari bahwa selama ini salah mencintai, sehingga akhirnya mereka memilih menghabiskan waktu menua bersama pasangan.Hubungan pernikahanku dengan Nara juga semakin harmonis, ditambah lahirnya Tasya Putri Wijaya anak kedua kami. Kehadiran anak gadis dengan wajah imut menggemaskan. Masih teringat dalam memori indah, tepat saat malam ulang tahun Nara. Setelah sekian lama menunggu kesiapannya, akhirnya kondisi Nara semakin membaik dan siap kembali mengarungi lautan asmara bersamaku.Malam itu, dengan mengenakan lingerie merah maroon d
POV AzlanAku menatap wajah wanita yang melahirkanku, tetapi juga wanita yang mengatur seluruh kehidupan dan masa depanku.Rasanya tidak ikhlas membiarkan Nara terus berjuang melahirkan para pewaris tahta kerajaan bisnis Wijaya Pratama. Takut akan kehilangan mendominasi hati dan pikiran ini.Di tengah kecemasan yang melanda, ditambah sikap Mama yang masih mempertahankan ego, suatu peristiwa di luar dugaan pun terjadi. Kurasakan dunia begitu sempit.Sosok Bu Rosmala dengan wajah sayu, dia didorong menggunakan kursi roda. Aku pikir, aku adalah orang pertama yang melihat dia, sehingga hendak mengalihkan pandangan Mama. Nyatanya, aku telat.Mama telah melihat wanita yang pernah menghancurkan rumah tangganya. Wanita dari masa lalu yang begitu pahit. Kedua bola manik Mama pun membulat, ada ekspresi terkejut bercampur rasa penuh kebencian.Mama berdiri dari duduknya, kemudian menghampiri Bu Rosmala yang datang bersama seorang wanita muda di belakangnya. Entah siapa dia, karena aku pun baru
POV AzlanSaat ini aku terjebak dalam situasi sulit. Ingin tetap menutupi rahasia, tetapi sang pemilik sumber telah hadir. Tak ada jalan menghindar, mungkin hari ini adalah takdir terbongkarnya rahasia.Aku pasrah. Tak tahu lagi harus bersikap bagaimana. "Azlan, jawab Mama! Apa benar Nara adalah anak dia?!" tanya Mama penuh penekanan dengan telunjuk mengarah pada Bu Rosmala.Aku terdiam, hanya bisa menjawab dengan anggukan. Tanpa disangka, anggukanku membuat Mama kaget hingga tubuhnya limbung dan hampir jatuh.Papa berusaha menolong, tetapi Mama menolak. Dia memegangi pelipisnya, lalu sedikit mengurut."Jadi benar, yang di dalam sana adalah Nara anakku?" tanya Bu Rosmala dengan nada senang karena melihat anggukanku tadi."Jadi ... jadi ... anak ini adalah cucuku?" Bu Rosmala kembali bertanya dengan tatapan ke arah Azra."Cukup! Dia bukan cucumu! Aku tidak sudi berbesan dengan wanita macam kamu!" teriak Mama seraya mengambil Azra dari tanganku."Azlan, segera ceraikan istrimu! Aku tid
POV AzlanAku melangkah kembali ke ruang operasi. Menunggu Nara selesai pemulihan dan diantar ke ruang rawat inap.Tepat saat kaki berdiri di depan ruang itu, dua petugas keluar membawa Nara menggunakan brankar. Aku membuntuti dari belakang. Wajah Nara begitu sayu, aku tak tahu hal apa yang sudah dia lewati di dalam sana. Yang aku tahu hanya satu, perutnya terluka demi melahirkan anak keturunanku.Ingin sekali kupeluk dia, memberikan tempat ternyaman dari segala kelelahan. Namun, saat ini mata Nara hanya terpejam. Ada bulir bening yang diam-diam menetes dari sudut matanya.Aku harap, itu adalah air mata bahagia karena anak ketiga telah lahir dengan selamat. Sesampainya di ruang VVIP, Nara dipindahkan ke tempat yang tersedia. Mama memang baik, memberikan fasilitas terbaik untuk menantunya.Setelah selesai, petugas pun berpamitan. Tak lupa aku ucapkan pada dua petugas itu.Suasana begitu tenang, tak ada hiruk pikuk suara berisik mengganggu. Aku mendekat ke Nara, kemudian duduk di kursi
Tampak wajah Della menunjukkan rasa tidak percaya. Dia menggeleng, menampik semua kenyataan yang aku sampaikan."Kalian pasti hanya ingin memfitnah Budhe Ros! Kalian jahat! Orang sebaik Budhe Ros tidak akan melakukan hal sehina itu!" teriak Della tidak terima."Sekarang ikut aku, akan aku tunjukkan di mana Nara. Kamu bisa tanya dia, dan di sana juga ada ayahnya Nara!" tantangku seraya menarik lengan Della.Gadis muda itu masih menolak ajakanku. Dia berusaha menepis tangan dengan sangat kasar. Della benar-benar tidak terima dengan apa yang aku jelaskan."Kalian itu sama saja! Buat apa aku percaya kalian yang baru saja aku kenal? Aku ... aku yang sekian lama mengenal Budhe Ros! Dia orang yang baik!" Della masih bersikukuh dengan pendapatnya."Baiklah kalau kamu tidak percaya. Kamu tidak mau juga aku ajak ketemu Nara untuk mengetahui kebenaran. Lebih baik, tanyakan pada Budhe-mu itu saja!" ujarku seraya tersenyum sinis.Gadis lugu itu terdiam sesaat. Ada keraguan di sorot matanya. "Kena