Namira sangat terkejut mendengar nama Gita dari bibir mungil Nida. Apa mungkin Gita yang dimaksud Nida adalah istri Yuda yang tak lain ibu kandung Evan?"Tan-Tante Gita? Nama lengkapnya Gita apa?" telisik Namira penasaran.Nida menggelengkan kepala. Selama ini dia memang tidak tahu nama lengkap Gita. Hanya tahu Tante Gita saja. "Aku gak tau nama lengkapnya dan gak mau cari tau juga. Bagiku, hinaan setiap kali dia datang ke rumah Bu Fatma, sangat menyakitkan. Bikin aku malas cari tau tentang dia. Apalagi kalau ingat ucapannya. Tante Gita seperti ingin aku membenci mamah dan papah. Padahal aku enggak bisa benci mereka sebelum mendengar dan bertemu dengan mereka langsung. Ternyata dugaanku benar, kalau itu hanya rekayasa tante Gita saja supaya aku enggak mencari keluarga kandungku. Supaya hidupku selalu dibawah tekanan dia."Pemaparan yang disampaikan Nida membuat hati Namira tersentuh. Merasa kasihan pada nasib kehidupan Nida selama ini apalagi ketika Namira melihat tas dan sepatu mili
Hati Namira bersedih tapi ia tidak mau menangis di depan gadis remaja itu. "Nida, gimana kalau nanti sore kita ke Mall? Kita beli hape, beli sepatu buat kamu, beli tas dan beli kebutuhan kamu yang lainnya. Kan kamu mau tinggal di sini," ujar Namira merangkul pundak Nida. Gadis itu menoleh, menatap Namira berurai air mata. Nida sangat bahagia sekaligus terharu. Keluarga kandungnya ternyata orang-orang yang baik. Mereka langsung menerimanya tanpa menaruh curiga. Bisa jadi, Nida berpura-pura bagian keluarga Bragastara. Nyatanya, Namira, Daniel dan Yuda menerima Nida tanpa keraguan sedikitpun. "Kamu kok malah nangis?" Pertanyaan itu membuat Nida memeluk tubuh Namira. Ia mengucapkan terima kasih berulang kali dan bersyukur karena Namira sangat baik padanya. "Kamu bagian keluarga suamiku, Nida. Sudah seharusnya aku baik ke kamu. Udah ya, jangan nangis lagi. Seharian ini kamu nangis terus, ya?" kata Namira mengusap lelehan air mata yang membasahi wajah Nida. Mengingat Gita yang menyembun
Daniel terkekeh mendengar pantun istrinya. Setelah sekian lama, Daniel baru mendengar pantun Namira lagi. "Aku juga sayang kamu sampe menutup mata.""Pantunnya?""Aku gak bisa bikin pantun dadakan, Sayang. Nanti aja ya, aku mau mikir dulu.""Iya deh," timpal Namira cemberut. "Assalamualaikum bidadariku.""Waalaikumsalam Mas Ayangku ...."Sambungan telepon terputus. Namira tersenyum mengingat kembali kata-kata mesra suaminya. Namira beranjak ke dapur, membantu bi Rusmi menyiapkan makan siang. "Bibi ... Oh, Bibi ...." panggil Namira bagai anak kecil yang memanggil temannya ketika mengajak main. Bi Rusmi tertawa mendengar panggilan Namira. "Iya, Non? Ada apa?""Bibi udah selesai masak belum?" tanya Namira melihat Bi Rusmi yang masih menggoreng perkedel kentang. "Tinggal goreng ini aja, Non. Non Namira pengen dimasakin sesuatu?" tanya Bi Rusmi sesekali menoleh pada Namira, sesekali menoleh pada gorengannya. "Enggak. Aku mau bantuin Bibi nyiapin makan siang. Oh ya, Bi ... tadi Bibi
"Terima kasih udah percaya kalau saya adalah anak kandung mama Dania."Hari ini juga, Nida baru tahu nama kedua orang tua yang ia rindukan. Dania dan Yuda. "Sama-sama, Non. Bibi yakin, orang lain juga akan percaya kalau Nona Nida adalah anak kandung Non Dania. Nona wajahnya sangat mirip dengan almarhumah. Bukan cuma wajah, suaranya pun mirip. Kalau di film Cina, Non Nida kayak ... kayak renkarnasi-nya Non Dania."Nida menahan tawa, mendengar ucapan Bi Rusmi. Tetapi, ia bersyukur karena terlahir memiliki wajah yang mirip dengan mamanya. Wanita yang telah melahirkan Nida. "Nida, kamu udah bangun?" suara yang berasal dari belakang membuat Nida dan Bi Rusmi membalikkan badan. Ternyata Namira. Wanita yang tengah mengandung benih Daniel itu menghampiri."Udah, Kak. Ini lagi ngobrol sama Bibi." Jawaban Nida membuat Namira menganggukkan kepala.Cepat-cepat Bi Rusmi menyeka bekas air matanya. Tidak ingin kalau Namira mengetahuinya menangis. "Sekarang ngobrolnya udahan?""Udah, Non. Saya mau
"Non Bianca udah pulang?" Tiba-tiba dari arah belakang tubuh Nida ada seorang wanita yang usianya hampir setengah abad. "Udah, Bi. tadinya mau nyuruh Bibi buatin jus Mangga dua. Satu buatku, satunya buat Evan," jawab Bianca sesekali melirik Nida yang tertunduk lesu. "Oh siap, Non. Bibi bikinan sekarang." Sangat cekatan Bi Rusmi membuatkan pesanan anak majikannya itu. Tanpa bertanya lagi pada Nida, Bianca pergi dari dapur, menemui lelaki yang dicintainya duduk di kursi teras depan rumah.Bianca menghempaskan b0k0ng di atas kursi depan teras. Ekor matanya melirik pada Evan. Lelaki yang membuatnya mengalami jatuh cinta untuk pertama kali. "Van, di dalam sana ada anaknya Bi Rusmi. Matamu jangan jelalatan. Awas saja!" ancam Bianca yang sekarang sudah menjadi kekasih Evan. Mereka meresmikan hubungan menjadi kekasih saat Evan di rumah sakit. Evan terkekeh mendengar kekasih hatinya tampak cemburu. "Anak Bi Rusmi? Emang Bi Rusmi masih punya anak gadis? Siapa?" tanya Evan penasaran. Bukan j
"Namaku Evan. Aku ... Aku juga anak Papah Yuda."Tubuh Nida mundur selangkah. Ia menelan saiva. Namira memejamkan kedua mata sesaat, lalu merangkul pundak Nida. Mengusapnya berulang kali. Namira berharap, Evan tidak menyebut nama mama kandungnya. Bisa gawat, kalau Evan mengatakannya di depan Nida."Hm ... Nida, mamah kamu kan ... udah lama meninggal dunia. Wa-wajar kalau ... kalau papamu nikah lagi. Benar 'kan?" Namira berusaha menenangkan Nida. Gadis itu menoleh pada Namira.Dalam hati, Namira juga berdoa, semoga Nida tidak terpikirkan usia Evan yang lebih tua dari pada Nida. Gadis itu menatap Namira lalu merunduk, dan pandangannya kembali pada Evan. "Kakak benar. Wajar kalau Papahku nikah lagi karena Mamahku kan udah lama meninggal." Namira menganggukan kepala. Lalu, Nida menghampiri Evan, meraih telapak tangan Evan dan mencium punggung tangannya takzim."Kakak sama aku saudara kandung bukan saudar tiri karena kita satu ayah, hanya beda ibu," ucap Nida pada lelaki yang masih bengon
"Boleh, Kak. Boleh ...." Nida sangat antusias, ia sampai mengubah posisi duduk, lebih menghadap Namira. "Jadi, dulu itu ... Papahku partner bisnis Om kamu sejak lama. Nah, suatu saat ada musibah yang membuat kedua orang tuaku meninggal. Sebelum papaku mengembuskan napas terakhir, papah nitipin aku ke Om kamu. Akhirnya sejak aku SMP sampai masuk kuliah tinggal di sini. Ya ... karena kami sering bersama, kemana-mana bersama, aku kok jadi suka gitu sama Om kamu."Namira tersipu malu. Wajahnya terasa memanas dan memerah. "Tapi, kan ... usia Om aku jauh lebih tua dari Kakak? Kok bisa sih jatuh cinta sama Om?"Namira tidak merasa tersinggung dengan pertanyaan Nida. Namira justru terkekeh. "Gak tau aku juga. Cinta emang buta.""Terus, Kak? Gimana lagi?""Nah, si Bianca ini ... dia malah ... kepikiran nyuruh aku nikah sama papahnya. Awalnya emang, papahnya gak mau karena kan ... udah anggep aku kayak anak sendiri. Aku dan Bianca terus-menerus meyakinkan om kamu kalau cinta aku ke dia, atau
Sepanjang jalan pulang, Evan memikirkan keberadaan Nida di rumah keluarga Daniel Bragastara."Apa mungkin Papa akan mengajak Nida tinggal bersama kami?" tanya Evan pada diri sendiri. Ia menghela napas berat. Jika Yuda mengajak Nida tinggal ke rumahnya, sama halnya menabur garam pada luka mamahnya. Evan tidak akan membiarkan Nida tinggal bersama mereka. Akan tetapi, jika Evan melarang, kasihan Nida. Walau bagaimana pun, Nida darah daging Yuda apalagi mereka bertahun-tahun berpisah. "Ya Allah, kenapa jadi rumit begini? Aku harus bagaimana? Aku takut kalau papah membawa pulang Nida ke rumah. Bagaimana perasaan mamah?"Pikiran Evan benar-benar berkecamuk. Dia tidak ingin kebahagiaan keluarganya yang dirasakan, harus hancur hanya karena kedatangan Nida. Semoga saja Bianca mau menyampaikan pesannya untuk Daniel agar Nida tinggal di sana saja. Sampai di rumah, Evan mencari keberadaan mamahnya. Langkah kaki Evan terhenti, melihat Gita baru keluar dari kamar, pakaiannya terlihat mau pergi.
"Lima juta kamu bilang cuma?" tanya Hanif setengah tidak percaya adiknya berbicara demikian. Selama ini Hanif tipikal orang yang berhemat. "Iyalah, Mas. Uang Mas Hanif lebih dari segitu. Apalah arti uang lima juta buat Mas Hanif dan Mbak Friska," ucap Hanifa tanpa beban. Hanif menghela napas berat, memijat pelipis. Hanifa tidak tahu saja kalau dirinya tidak punya tabungan bahkan ketika mendaftarkan proses perceraian harus mencuri uang Friska dari dalam brankas. "Aku enggak ada uang." Hanif berbicara datar. Mendengar jawaban kakaknya, Hanifa mendengus kesal. Ternyata benar kata ibu Ros kalau Hanif orangnya pelit. "Mas Hanif aku mohon. Suamiku belum gajian. Nanti uangnya aku ganti kok kalau mas Tedi udah gajian. Aku mohon, Mas ...." Hanifa tak mungkin menyerah. Malam ini juga dia harus mendapatkan uang untuk anak-anak besok. Meski dirinya tak ada uang, tetapi Hanif tak tega mendengar adiknya memohon seperti itu. Selama ini, Hanifa maupun Haifa tidak pernah meminta uang padanya. Tanp
Di mata Rangga, Haifa wanita bodoh dan mudah dibohongi. Bukan satu dua kali Rangga ketahuan selingkuh tetapi dengan mulut manisnya, Rangga dapat meyakinkan Haifa jika dirinya tidak akan mengulangi bahkan Rangga sering berjanji akan membuat rumah tangganya jauh lebih baik dan memiliki perekonomian yang mencukupi. "Ya udah, Mas. Sekarang kamu mandi. Kamu tadi beli nasi kan?""Beli dong. Aku tadi beli pecel lele. Lelenya dibagi dua aja ya sama anak kita. Kamu jangan makan banyak kalau malam. Aku enggak mau kalau kamu sampe gendut," ujar Rangga mengedipkan sebelah mata. Sontak, Haifa tersipu malu, menganggukkan kepala, mengiyakan kemodusan suaminya. Di kamar lain, Hanifa pun sedang berbincang dengan sang suami, Tedi namanya. "Jadi Mamamu udah tau sertifikatnya kita gadai ke Bank?" tanya Tedi, usai Hanifa bercerita tentang kejadian tadi siang. Hanifa tampak santai. Sebatang rokok terselip di antara ruas jarinya. "Iya. Dia baru sadar, hehehe ...."Hanifa mengembuskan asap rokok ke wajah
"Biasa aja kali, Ma. Enggak usah kaget gitu," kata Hanifa santai. Mereka berdua tidak merasa bersalah sedikit pun. Aneh juga, kenapa Hanifa dan Haifa bisa membawa sertifikat itu ke Bank tanpa sepengetahuan ibu Ros?"Kamu bilang enggak usah kaget??" desis ibu Ros berusaha menahan emosi. Biar bagaimana pun ia tak mau cucu-cucunya mendengar keributan ini. "Udah deh, Ma. Lagipula semuanya udah ada di Bank. Mau gimana lagi? Ya kami bisa saja menebusnya tapi Mama punya enggak uang buat nebusnya?"Tanpa rasa bersalah dan rasa penyesalan, Haifa bertanya demikian. Hanifa yang mendengar ucapan sang adik, menyunggingkan senyum mengejek. "Kurang ajar! Kalian anak kurang ajar! Uangnya kalian pake buat apa? Semua keperluan dan kebutuhan rumah ini kan pake uang Mama. Bahkan kalian juga sering minta uang ke Mama. Terus, uang pinjaman dari Bank itu digunakan buat apa? Buat apaaaa?" Sangat kesal ibu Ros berkata. Wajahnya memerah karena emosi yang sudah menguasai diri. Hanifa dan Haifa terdiam sesa
Kedua mata ibu Ros membeliak dibentak anak keduanya yakni Hanifa. Sorot mata Hanifa yang tajam dibalas serupa oleh wanita yang telah melahirkannya. "Durhaka kamu, Nifa!" balas ibu Ros tak kalah tinggi intonasi suaranya. "Berani sekali kamu ngebentak Mama? Marahin Mama! Kamu pikir ini rumah siapa, heuh? Ini rumah Mama!" tandas ibu Ros yang tak mau terlihat lemah di depan Hanifa. Anak kandungnya mencebik, melipat kedua tangan di depan dada. "Nanti juga akan menjadi milikku dan Haifa kalau Mama udah mati," timpal Hanifa tersenyum miring. "Apa kamu bilang?" Lagi, emosi ibu Ros semakin meluap. "Kamu bilang aku mati?" ulang ibu Ros, meyakinkan yang didengarnya. "Ini apaan sih? Siang-siang malah ribut?"Tiba-tiba dari arah belakang Hanifa, terdengar suara adiknya yang baru keluar dari kamar sambil menguap. Menghampiri mereka. "Mama nih, siang begini malah nangis sambil teriak. Kan berisik," jawab Hanifa memutar bola mata malas. "Ck, kebiasaan nih Mama. Udahlah, jangan diladenin. Harap
Sepanjang jalan pulang, Axel cemberut. Kesal pada adiknya dan Arfan. Bisa-bisanya mereka menguping pembicaraan Axel di depan pusara Daniel dan Namira. Alea sekarang satu mobil dengan Axel. Sedangkan Arfan, pulang sendirian padahal lelaki itu berharap bisa mengantar Alea pulang sampai rumah supaya lebih lama bersama. "Kak?" panggil Alea, menatap Axel dari samping. Namun, Axel bergeming. "Kak Axel?" Alea mengulang pertanyaan karena wajah Axel masih masam. "Kak Axeeeell!" teriak Alea tepat di depan telinga kakaknya. Axel langsung menancap rem mendadak. "Astaghfirullah, Lea!" pekik Axel melotot. Lalu menoleh ke belakang, khawatir ada mobil di belakang yang dekat dengan mobilnya. "Kamu udah gila, Lea! Teriak di depan telinga. Kalau kita kecelakaan gimana?" semprot Axel kesal, melajukan kembali kendaraannya. "Ya habisnya ditanya dieeeemm ... aja. Cemberuuutt aja. Kayak cewek lagi dateng bulan. Kalau ditanya jawab napa!"Bukannya minta maaf, Alea justru memarahi Axel. "Mau tanya apa em
Di depan pusara kedua orang tua kandung, Axel menumpahkan kesedihan dan masalah yang tengah dihadapi. Sebelumnya ia membaca Quran Surat Yasin dan memanjatkan doa-doa untuk Daniel dan Namira. Alea mencegah pergerakan Arfan. Ia menggelengkan kepala, memberi isyarat pada Arfan agar tidak mendekati kakaknya. Alea mengajak Arfan duduk agak jauh dari Axlel. Ia ingin memerhatikan kakaknya. Bukan Alea tak mau mendoakan, hanya ingin tahu apa yang akan diungkapkan Axel. Benar saja, selesai berdoa, tangisan Axel pecah. Pun Alea. Gadis itu menahan dalam diam. Membekap mulut agar suara tangisannya tak terdengar Axel. Arfan tak tega, ingin merengkuh pundak Alea tetapi tak ada keberanian. Ia cukup tahu batasan. Arfan hanya mengusap pelan Alea agar tetap tenang. "Kenapa mama dan papa pergi begitu cepat? Apa mama dan papa enggak sayang kami? Apa aku dan Alea anak yang enggak kalian inginkan? Kenapa kalian enggak bertahan hidup demi kami? Paling tidak, salah satu dari kalian harus hidup. Kenapa kali
Siang hari, tubuh ibu Ros menggigil. Sejak tadi pagi, badannya tak enak. Mulutnya pun pahit. Di dalam kamar, ibu Ros meringkuk. Belum ada makanan yang masuk ke dalam perut padahal ia sangat kelaparan. Kedua mata memanas, hidung pilek bersin-bersin, mungkin karena ibu Ros terlalu sering menangis. Tubuh ringkih itu menyibak selimut. Memegang perut yang terasa lapar. Kemudian, dengan langkah tertatih, ia berjalan ke arah pintu, membuka pintu kamar. Kepalanya melongok ke kanan dan ke kiri. Sepi. "Kemana Hanifa dan Haifa? Apa mereka lagi tidur?" gumam ibu Ros, keluar dari kamar, lalu berjalan pelahan melewati ruangan demi ruangan. Sampai di dapur, ibu Ros tak mendapati kedua anak perempuannya. Kemana mereka? lagi pertanyaan ibu Ros tak ada jawaban. Wanita tua itu berjalan ke ruang meja makan. Membuka tudung saja, tidak ada lauk pauk. Kemudian berjalan ke rice cooker, tidak ada nasi. "Apa mereka enggak masak nasi?" Ibu Ros kembali bertanya pelan. Pandangannya beralih pada tempat penyim
Jam pulang sekolah tiba. Alea menyambangi kelas kakaknya. Ia menunggu di depan. Arfan yang melihat Alea dari kejauhan menghampiri. "Lagi nungguin Axel?" tanya Arfan saat berdiri di samping Alea. "Iya. Lama banget tuh orang keluarnya. Emang ngeselin! Kamu sendiri belum pulang? Ada rapat?" Alea bertanya balik. "Enggak ada rapat. Kalau lama, Kenapa kamu enggak masuk ke dalam kelasnya?" Arfan bertanya lagi. Mengalihkan ke topik awal. "Males," jawab Alea singkat. "Kalau aku masuk kelas kak Axel, suka jadi pusat perhatian teman-temannya," jawab Alea cemberut. Mengingat kembali waktu ia pernah masuk ke dalam kelas Axel. Ada beberapa teman sekelas Axel yang cowok, minta kenalan. Atau enggak, teman-teman kelas Axel yang cewek, menatap Alea sinis. Padahal mereka tak saling kenal. Sejak saat itu, Alea malas masuk kelas kakaknya. "Mungkin karena kamu terlalu cantik, Lea."Ucapan Arfan membuat Alea terhenyak. "Ck, apaan sih kamu, Fan? Enggak juga kali." Alea malu-malu. Ia membuang wajah ke a
Gilang telah menyiapkan delivery order atas nama Nida. Wanita itu memang tak sempat keluar kantor untuk makan siang. Pekerjaannya sangat banyak. Terlebih mulai besok ia harus kerja di lapangan. Gilang telah siap berangkat. Namun, langkah kakinya terhenti ketika berpapasan dengan Bianca dan Evan di depan cafe. "Selamat siang, Ibu Bianca, Pak Evan," sapa Gilang sopan, agak membungkukkan badan. "Siang, Gilang. Kamu mau nganterin makanan?" balas Evan sambil bertanya. Sedangkan Bianca bersidekap sambil membuang muka. Gilang mengulum senyum, "Iya, Pak. Mau anterin makan siang.""Oh begitu.""Mas, mau makan siang apa mau ngobrol sama pelayan?" tanya Bianca ketus. Sorot matanya tampak tak suka pada Gilang. Evan tak enak hati mendengar pertanyaan sang istri. "Maaf, Pak. Saya permisi." Gilang tak mau lama-lama berhadapan dengan Bianca. Selalu saja makan hati. "Oh iya, silakan. Hati-hati Gilang.""Iya, Pak. Terima kasih."Bianca masuk ke cafe lebih dulu. Wajahnya bersungut kesal. Evan yang