Sepanjang jalan pulang, Evan memikirkan keberadaan Nida di rumah keluarga Daniel Bragastara."Apa mungkin Papa akan mengajak Nida tinggal bersama kami?" tanya Evan pada diri sendiri. Ia menghela napas berat. Jika Yuda mengajak Nida tinggal ke rumahnya, sama halnya menabur garam pada luka mamahnya. Evan tidak akan membiarkan Nida tinggal bersama mereka. Akan tetapi, jika Evan melarang, kasihan Nida. Walau bagaimana pun, Nida darah daging Yuda apalagi mereka bertahun-tahun berpisah. "Ya Allah, kenapa jadi rumit begini? Aku harus bagaimana? Aku takut kalau papah membawa pulang Nida ke rumah. Bagaimana perasaan mamah?"Pikiran Evan benar-benar berkecamuk. Dia tidak ingin kebahagiaan keluarganya yang dirasakan, harus hancur hanya karena kedatangan Nida. Semoga saja Bianca mau menyampaikan pesannya untuk Daniel agar Nida tinggal di sana saja. Sampai di rumah, Evan mencari keberadaan mamahnya. Langkah kaki Evan terhenti, melihat Gita baru keluar dari kamar, pakaiannya terlihat mau pergi.
"Sayang, kamu ke kamar Bianca dulu. Ajak dia. Mau ikut atau gak?" titah Daniel pada istrinya ketika baru keluar dari kamar. "Iya, Mas Ayang. Aku ke kamar Bianca dulu."Namira berjalan ke pintu kamar Bianca yang ada di lantai bawah. "Ada apa?" tanya Bianca agak dingin. "Kamu mau ikut ke Mall gak?""Enggak. Aku ada janji sama Evan.""Lho bukannya Evan udah pulang?""Udah, tapi dia lagi otewe ke sini lagi."Namira merasa sikap Bianca agak berbeda. Dia menjawab pertanyaan Namira dingin. "Yakin nih gak mau ikut? Nanti kita shoping bareng lho. Yuk lah, Bi!" Namira berusaha memaksa Bianca, namun dengan lembut, Bianca menepis tangan Namira yang mencekal lengannya. "Kalau orang gak mau, jangan dipaksa. Ya udah sih, kamu buat Nida bahagia aja dulu. Enggak usah mikirin aku."Namira terkejut mendengar ucapan Bianca. "Eh, kamu kok ngomong gitu si, Bi?""Udah, ya? Aku mau siap-siap dulu. Evan udah di jalan soalnya."Tanpa menunggu tanggapan Namira, Bianca menutup pintu kamar. Namira menghela
Daniel menoleh ke belakang, melihat istrinya bersama tiga wanita bergaya sosialita. Daniel berusaha mengenali ketiga wanita itu, dia takut kalau diantara mereka ada Mutiara yang sengaja menyakiti hati istrinya."Nida?""Iya, Om?""Kamu pilih-pilih sendiri, ya? Om mau ke sana dulu," kata Daniel pada keponakannya. "Iya, Om."Nida masuk lebih ke dalam toko. Sedangkan Daniel menghampiri istrinya. "Aku ke sini sama ... sama suamiku," jawab Namira melihat Daniel yang tengah berjalan ke arah mereka, senyumnya sumringah. Namira melirik tempat Nida dan Daniel sebelumnya, ternyata gadis itu sudah tidak terlihat. "Selama sore, Pak Daniel," sapa Gita sungkan."Sore. Gita, Yuda masih di kantor. Ada banyak pekerjaan yang belum beres." Daniel tidak ingin Gita berpikiran, Daniel sudah pulang, sedangkan suaminya belum pulang. Khawatir terjadi salah paham diantara Yuda dan Gita. Begitu kira-kira pemikiran Daniel. Berbeda dengan Namira, ia sangat ingin Gita segera pergi, tidak ingin kalau wanita it
"Bi, barusan papahmu telepon," kata Evan setelah sambungan telepon terputus. Mereka sedang di pinggir pantai. Bianca lagi malas pulang meskipun dari tadi Evan mengajaknya."Aku lagi males pulang, Van. Orang rumah sekarang lebih peduli pada Nida," kata Bianca. Intonasi suaranya tampak kesal. "Enggak boleh gitu. Itu cuma perasaanmu saja. Lagian kan, Nida baru datang hari ini. Menurutku wajar kalau mamih dan papahmu memerhatikan Nida."Evan berusaha menenangkan hati Bianca. Gadis itu bergeming. Ia benar-benar tidak ingin pulang. "Bianca, aku mohon kita pulang sekarang. Aku gak mau papahmu berpikir macam-macam tentang kita. Ini udah jam 10 malam, Bian. Aturan dari papahmu sampe jam 9. Kita pulang sekarang, ya?" Evan tak putus asa membujuk gadis pujaan hatinya agar mau pulang sekarang. "Bianca, please ... kita pulang sekarang. Oke?" Lagi, Evan membujuk Bianca. Ia takut kalau nantinya Daniel akan marah besar. "Van, aku mau tanya sama kamu."Bukannya mengiyakan ajakan pulang Evan, Bianc
"Bianca!" Panggilan Daniel membuat langkah kaki anak kandungnya berhenti. Perlahan, Bianca membalikkan badan, menatap papahnya yang sudah berdiri di hadapan. "Kamu tau sekarang jam berapa?" tanya Daniel, suaranya terdengar dingin. Bianca merunduk, melirik arloji. "Jam sebelas lewat dua puluh menit," jawab Bianca pelan. Daniel menghela napas berat. Dia tidak biasa memarahi anak gadisnya. "Tidurlah! Mulai besok kamu gak boleh keluar malam lagi. Pulang kuliah, di dalam rumah. Kalau mau keluar rumah, harus siang hari."Tanpa menunggu tanggapan Bianca, Daniel membalikkan badan, meninggalkan Bianca yang masih mematung. Gadis itu menghentakkan kaki, kesal akan keputusan papahnya. Masuk ke dalam kamar, Daniel menghela napas panjang. Ia benar-benar mengkhawatirkan Bianca. Gadis itu sudah berani melanggar aturannya. "Bianca sudah pulang, Mas Ayang?" sapa Namira yang baru keluar dari dalam toilet. Daniel duduk di sisi ranjang, menatap lurus ke depan. "Udah, baru aja dia pulang." Jawaban
"Bi ... Bianca ...." Namira menghela napas panjang, menggelengkan kepala. Melihat jam dinding kamar, sudah pukul 06.20 menit. Tapi, Bianca masih tidur.Namira melangkah masuk, duduk di sisi ranjang, memerhatikan Bianca yang masih menutup mata."Bi, Bianca, bangun, Bi ... udah siang tau!"Bianca bergeming, kedua matanya masih terpejam. "Bianca, sarapan dulu yuk! Jam delapan kan kamu harus ke kampus. Nanti Evan udah datang jemput, kamu malah masih tidur. Bangun, yuk!" ajak Namira tanpa menyentuh Bianca.Lagi, telinga Bianca seolah tuli, tidak mendengar ucapan Namira. Jangankan menimpali ucapan Namira, membuka kedua matanya saja tidak. Namira berdiri, membuka gorden agar cahaya matahari pagi masuk ke dalam kamar anak sambungnya. Menoleh ke belakang, Bianca masih saja bergeming. Masih berada di posisi semula. "Bianca ... bangun dong. Udah siang ... Bianca ... Bi ...." Namira kembali duduk di sisi ranjang. Sebelah tangannya terulur menepuk pipi Bianca namun kedua mata Namira membeliak s
Jam 8 pagi, kondisi Bianca sudah lebih baik. Suhu badannya tidak terlalu tinggi. Satu jam lalu juga, Daniel memanggil dokter keluarga. Dokter mengatakan kalau Bianca hanya demam biasa. Mungkin karena terkena angin malam. Dia memang tidak biasa pulang larut malam, ditambah sampai jam empat Subuh, Bianca menangis. Gadis itu merasa kesepian. Bubur yang dimasak Nida juga sisa setengah. Usai makan bubur, Bianca minum obat yang diresepkan oleh dokter Jatmika, dokter pribadi keluarga Bragastara. "Sayang, aku keluar kamar dulu. Mau telepon Yuda kalau hari ini aku gak masuk kantor," ucap Daniel pada istrinya. "Iya, Mas.""Pah, aku udah baikan. Papah ke kantor aja. Aku gak apa-apa kok," sela Bianca yang raut wajahnya sudah tidak memerah karena panas seperti sebelumnya. "Enggak apa-apa. Papah gak bisa kerja dengan tenang kalau kondisimu kayak gini."Namira dan Bianca tak menimpali lagi. Dari dulu, Daniel selalu memprioritaskan Bianca di atas segalanya. Jangankan Bianca sakit demam seperti ini
"Apa? Mutiara sakit jiwa?" Tidak hanya Yuda yang terkejut, Daniel juga sama. Tidak menyangka kalau Mutiara mengalami penyakit jiwa. "Iya, Pak. Tadi saya sempat merekamnya. Nanti saya kirim lewat pesan singkat. Sekarang saya mau ke rumah sakit jiwa, mau meminta pihak rumah sakit mengevakuasi Mutiara, Pak," jelas Yuda menyampaikan rencananya. "Ya sudah, lebih baik ditangani oleh pihak rumah sakit jiwa daripada nantinya dia luntang-lantung di jalanan.""Iya, Pak."Sambungan telepon terputus, tidak berselang lama, terdengar notifikasi pesan masuk. Daniel langsung membuka pesan berupa rekaman video Mutiara yang tengah meraung-raung menyebut namanya. Daniel langsung menghapus video tersebut karena jijik melihat kondisi Mutiara. Yuda dan beberapa petugas rumah sakit jiwa telah berada di rumah Mutiara. Namun, Yuda tidak mau keluar dari dalam mobil. Ia takut sekaligus jijik melihat kondisi Mutiara. Belum lagi, ada kotoran Mutiara yang melekat di kedua kakinya seolah sudah kering dan bau. Su
"Lima juta kamu bilang cuma?" tanya Hanif setengah tidak percaya adiknya berbicara demikian. Selama ini Hanif tipikal orang yang berhemat. "Iyalah, Mas. Uang Mas Hanif lebih dari segitu. Apalah arti uang lima juta buat Mas Hanif dan Mbak Friska," ucap Hanifa tanpa beban. Hanif menghela napas berat, memijat pelipis. Hanifa tidak tahu saja kalau dirinya tidak punya tabungan bahkan ketika mendaftarkan proses perceraian harus mencuri uang Friska dari dalam brankas. "Aku enggak ada uang." Hanif berbicara datar. Mendengar jawaban kakaknya, Hanifa mendengus kesal. Ternyata benar kata ibu Ros kalau Hanif orangnya pelit. "Mas Hanif aku mohon. Suamiku belum gajian. Nanti uangnya aku ganti kok kalau mas Tedi udah gajian. Aku mohon, Mas ...." Hanifa tak mungkin menyerah. Malam ini juga dia harus mendapatkan uang untuk anak-anak besok. Meski dirinya tak ada uang, tetapi Hanif tak tega mendengar adiknya memohon seperti itu. Selama ini, Hanifa maupun Haifa tidak pernah meminta uang padanya. Tanp
Di mata Rangga, Haifa wanita bodoh dan mudah dibohongi. Bukan satu dua kali Rangga ketahuan selingkuh tetapi dengan mulut manisnya, Rangga dapat meyakinkan Haifa jika dirinya tidak akan mengulangi bahkan Rangga sering berjanji akan membuat rumah tangganya jauh lebih baik dan memiliki perekonomian yang mencukupi. "Ya udah, Mas. Sekarang kamu mandi. Kamu tadi beli nasi kan?""Beli dong. Aku tadi beli pecel lele. Lelenya dibagi dua aja ya sama anak kita. Kamu jangan makan banyak kalau malam. Aku enggak mau kalau kamu sampe gendut," ujar Rangga mengedipkan sebelah mata. Sontak, Haifa tersipu malu, menganggukkan kepala, mengiyakan kemodusan suaminya. Di kamar lain, Hanifa pun sedang berbincang dengan sang suami, Tedi namanya. "Jadi Mamamu udah tau sertifikatnya kita gadai ke Bank?" tanya Tedi, usai Hanifa bercerita tentang kejadian tadi siang. Hanifa tampak santai. Sebatang rokok terselip di antara ruas jarinya. "Iya. Dia baru sadar, hehehe ...."Hanifa mengembuskan asap rokok ke wajah
"Biasa aja kali, Ma. Enggak usah kaget gitu," kata Hanifa santai. Mereka berdua tidak merasa bersalah sedikit pun. Aneh juga, kenapa Hanifa dan Haifa bisa membawa sertifikat itu ke Bank tanpa sepengetahuan ibu Ros?"Kamu bilang enggak usah kaget??" desis ibu Ros berusaha menahan emosi. Biar bagaimana pun ia tak mau cucu-cucunya mendengar keributan ini. "Udah deh, Ma. Lagipula semuanya udah ada di Bank. Mau gimana lagi? Ya kami bisa saja menebusnya tapi Mama punya enggak uang buat nebusnya?"Tanpa rasa bersalah dan rasa penyesalan, Haifa bertanya demikian. Hanifa yang mendengar ucapan sang adik, menyunggingkan senyum mengejek. "Kurang ajar! Kalian anak kurang ajar! Uangnya kalian pake buat apa? Semua keperluan dan kebutuhan rumah ini kan pake uang Mama. Bahkan kalian juga sering minta uang ke Mama. Terus, uang pinjaman dari Bank itu digunakan buat apa? Buat apaaaa?" Sangat kesal ibu Ros berkata. Wajahnya memerah karena emosi yang sudah menguasai diri. Hanifa dan Haifa terdiam sesa
Kedua mata ibu Ros membeliak dibentak anak keduanya yakni Hanifa. Sorot mata Hanifa yang tajam dibalas serupa oleh wanita yang telah melahirkannya. "Durhaka kamu, Nifa!" balas ibu Ros tak kalah tinggi intonasi suaranya. "Berani sekali kamu ngebentak Mama? Marahin Mama! Kamu pikir ini rumah siapa, heuh? Ini rumah Mama!" tandas ibu Ros yang tak mau terlihat lemah di depan Hanifa. Anak kandungnya mencebik, melipat kedua tangan di depan dada. "Nanti juga akan menjadi milikku dan Haifa kalau Mama udah mati," timpal Hanifa tersenyum miring. "Apa kamu bilang?" Lagi, emosi ibu Ros semakin meluap. "Kamu bilang aku mati?" ulang ibu Ros, meyakinkan yang didengarnya. "Ini apaan sih? Siang-siang malah ribut?"Tiba-tiba dari arah belakang Hanifa, terdengar suara adiknya yang baru keluar dari kamar sambil menguap. Menghampiri mereka. "Mama nih, siang begini malah nangis sambil teriak. Kan berisik," jawab Hanifa memutar bola mata malas. "Ck, kebiasaan nih Mama. Udahlah, jangan diladenin. Harap
Sepanjang jalan pulang, Axel cemberut. Kesal pada adiknya dan Arfan. Bisa-bisanya mereka menguping pembicaraan Axel di depan pusara Daniel dan Namira. Alea sekarang satu mobil dengan Axel. Sedangkan Arfan, pulang sendirian padahal lelaki itu berharap bisa mengantar Alea pulang sampai rumah supaya lebih lama bersama. "Kak?" panggil Alea, menatap Axel dari samping. Namun, Axel bergeming. "Kak Axel?" Alea mengulang pertanyaan karena wajah Axel masih masam. "Kak Axeeeell!" teriak Alea tepat di depan telinga kakaknya. Axel langsung menancap rem mendadak. "Astaghfirullah, Lea!" pekik Axel melotot. Lalu menoleh ke belakang, khawatir ada mobil di belakang yang dekat dengan mobilnya. "Kamu udah gila, Lea! Teriak di depan telinga. Kalau kita kecelakaan gimana?" semprot Axel kesal, melajukan kembali kendaraannya. "Ya habisnya ditanya dieeeemm ... aja. Cemberuuutt aja. Kayak cewek lagi dateng bulan. Kalau ditanya jawab napa!"Bukannya minta maaf, Alea justru memarahi Axel. "Mau tanya apa em
Di depan pusara kedua orang tua kandung, Axel menumpahkan kesedihan dan masalah yang tengah dihadapi. Sebelumnya ia membaca Quran Surat Yasin dan memanjatkan doa-doa untuk Daniel dan Namira. Alea mencegah pergerakan Arfan. Ia menggelengkan kepala, memberi isyarat pada Arfan agar tidak mendekati kakaknya. Alea mengajak Arfan duduk agak jauh dari Axlel. Ia ingin memerhatikan kakaknya. Bukan Alea tak mau mendoakan, hanya ingin tahu apa yang akan diungkapkan Axel. Benar saja, selesai berdoa, tangisan Axel pecah. Pun Alea. Gadis itu menahan dalam diam. Membekap mulut agar suara tangisannya tak terdengar Axel. Arfan tak tega, ingin merengkuh pundak Alea tetapi tak ada keberanian. Ia cukup tahu batasan. Arfan hanya mengusap pelan Alea agar tetap tenang. "Kenapa mama dan papa pergi begitu cepat? Apa mama dan papa enggak sayang kami? Apa aku dan Alea anak yang enggak kalian inginkan? Kenapa kalian enggak bertahan hidup demi kami? Paling tidak, salah satu dari kalian harus hidup. Kenapa kali
Siang hari, tubuh ibu Ros menggigil. Sejak tadi pagi, badannya tak enak. Mulutnya pun pahit. Di dalam kamar, ibu Ros meringkuk. Belum ada makanan yang masuk ke dalam perut padahal ia sangat kelaparan. Kedua mata memanas, hidung pilek bersin-bersin, mungkin karena ibu Ros terlalu sering menangis. Tubuh ringkih itu menyibak selimut. Memegang perut yang terasa lapar. Kemudian, dengan langkah tertatih, ia berjalan ke arah pintu, membuka pintu kamar. Kepalanya melongok ke kanan dan ke kiri. Sepi. "Kemana Hanifa dan Haifa? Apa mereka lagi tidur?" gumam ibu Ros, keluar dari kamar, lalu berjalan pelahan melewati ruangan demi ruangan. Sampai di dapur, ibu Ros tak mendapati kedua anak perempuannya. Kemana mereka? lagi pertanyaan ibu Ros tak ada jawaban. Wanita tua itu berjalan ke ruang meja makan. Membuka tudung saja, tidak ada lauk pauk. Kemudian berjalan ke rice cooker, tidak ada nasi. "Apa mereka enggak masak nasi?" Ibu Ros kembali bertanya pelan. Pandangannya beralih pada tempat penyim
Jam pulang sekolah tiba. Alea menyambangi kelas kakaknya. Ia menunggu di depan. Arfan yang melihat Alea dari kejauhan menghampiri. "Lagi nungguin Axel?" tanya Arfan saat berdiri di samping Alea. "Iya. Lama banget tuh orang keluarnya. Emang ngeselin! Kamu sendiri belum pulang? Ada rapat?" Alea bertanya balik. "Enggak ada rapat. Kalau lama, Kenapa kamu enggak masuk ke dalam kelasnya?" Arfan bertanya lagi. Mengalihkan ke topik awal. "Males," jawab Alea singkat. "Kalau aku masuk kelas kak Axel, suka jadi pusat perhatian teman-temannya," jawab Alea cemberut. Mengingat kembali waktu ia pernah masuk ke dalam kelas Axel. Ada beberapa teman sekelas Axel yang cowok, minta kenalan. Atau enggak, teman-teman kelas Axel yang cewek, menatap Alea sinis. Padahal mereka tak saling kenal. Sejak saat itu, Alea malas masuk kelas kakaknya. "Mungkin karena kamu terlalu cantik, Lea."Ucapan Arfan membuat Alea terhenyak. "Ck, apaan sih kamu, Fan? Enggak juga kali." Alea malu-malu. Ia membuang wajah ke a
Gilang telah menyiapkan delivery order atas nama Nida. Wanita itu memang tak sempat keluar kantor untuk makan siang. Pekerjaannya sangat banyak. Terlebih mulai besok ia harus kerja di lapangan. Gilang telah siap berangkat. Namun, langkah kakinya terhenti ketika berpapasan dengan Bianca dan Evan di depan cafe. "Selamat siang, Ibu Bianca, Pak Evan," sapa Gilang sopan, agak membungkukkan badan. "Siang, Gilang. Kamu mau nganterin makanan?" balas Evan sambil bertanya. Sedangkan Bianca bersidekap sambil membuang muka. Gilang mengulum senyum, "Iya, Pak. Mau anterin makan siang.""Oh begitu.""Mas, mau makan siang apa mau ngobrol sama pelayan?" tanya Bianca ketus. Sorot matanya tampak tak suka pada Gilang. Evan tak enak hati mendengar pertanyaan sang istri. "Maaf, Pak. Saya permisi." Gilang tak mau lama-lama berhadapan dengan Bianca. Selalu saja makan hati. "Oh iya, silakan. Hati-hati Gilang.""Iya, Pak. Terima kasih."Bianca masuk ke cafe lebih dulu. Wajahnya bersungut kesal. Evan yang