Jam 8 pagi, kondisi Bianca sudah lebih baik. Suhu badannya tidak terlalu tinggi. Satu jam lalu juga, Daniel memanggil dokter keluarga. Dokter mengatakan kalau Bianca hanya demam biasa. Mungkin karena terkena angin malam. Dia memang tidak biasa pulang larut malam, ditambah sampai jam empat Subuh, Bianca menangis. Gadis itu merasa kesepian. Bubur yang dimasak Nida juga sisa setengah. Usai makan bubur, Bianca minum obat yang diresepkan oleh dokter Jatmika, dokter pribadi keluarga Bragastara. "Sayang, aku keluar kamar dulu. Mau telepon Yuda kalau hari ini aku gak masuk kantor," ucap Daniel pada istrinya. "Iya, Mas.""Pah, aku udah baikan. Papah ke kantor aja. Aku gak apa-apa kok," sela Bianca yang raut wajahnya sudah tidak memerah karena panas seperti sebelumnya. "Enggak apa-apa. Papah gak bisa kerja dengan tenang kalau kondisimu kayak gini."Namira dan Bianca tak menimpali lagi. Dari dulu, Daniel selalu memprioritaskan Bianca di atas segalanya. Jangankan Bianca sakit demam seperti ini
"Apa? Mutiara sakit jiwa?" Tidak hanya Yuda yang terkejut, Daniel juga sama. Tidak menyangka kalau Mutiara mengalami penyakit jiwa. "Iya, Pak. Tadi saya sempat merekamnya. Nanti saya kirim lewat pesan singkat. Sekarang saya mau ke rumah sakit jiwa, mau meminta pihak rumah sakit mengevakuasi Mutiara, Pak," jelas Yuda menyampaikan rencananya. "Ya sudah, lebih baik ditangani oleh pihak rumah sakit jiwa daripada nantinya dia luntang-lantung di jalanan.""Iya, Pak."Sambungan telepon terputus, tidak berselang lama, terdengar notifikasi pesan masuk. Daniel langsung membuka pesan berupa rekaman video Mutiara yang tengah meraung-raung menyebut namanya. Daniel langsung menghapus video tersebut karena jijik melihat kondisi Mutiara. Yuda dan beberapa petugas rumah sakit jiwa telah berada di rumah Mutiara. Namun, Yuda tidak mau keluar dari dalam mobil. Ia takut sekaligus jijik melihat kondisi Mutiara. Belum lagi, ada kotoran Mutiara yang melekat di kedua kakinya seolah sudah kering dan bau. Su
"Ferry, aku gak mau tinggal di sini. Aku pengen pulang, Ferry ... tolong aku. Tolong bebasin aku ...." rengek Hesti ketika dirinya sudah berada di dalam sel penj4ra sendirian. Hati Ferry sebenarnya tak tega meninggalkan Hesti di sini, tapi apa daya, dia tidak bisa berbuat banyak apalagi sekarang Ferry juga tidak memiliki banyak uang."Sayang, tadinya kalau ada Pak Daniel, aku akan memohon lagi padanya agar kamu bebas bersyarat. Jangan sampai tinggal di sini. Tapi, kata Pak pengacara, Pak Daniel tidak bisa datang karena anaknya jatuh sakit."Hesti sangat terkejut mendengar anak kandungnya sedang jatuh sakit. "Bi-Bianca sakit?" tanya Hesti memastikan ucapan Ferry. "Iya. Tadi pengacaranya bilang kayak gitu. Makanya Pak Daniel enggak bisa datang ke sini karena harus menunggu Bianca," ucap Ferry pada wanita yang sekarang di dalam ruangan jeruji besi. Setetes air mata membasahi wajah Hesti. Tiba-tiba saja dia teringat Bianca. Anak yang selama ini disia-siakan. "Tante, aku mohon jangan n
"Pak Daniel, saya minta maaf gara-gara Bianca pulang larut malam, dia jatuh sakit," ucap Evan menyesali perbuatannya yang tidak dapat memaksa Bianca cepat pulang. Malam itu, Bianca hanya iri dengan kedatangan Nida. Harusnya sikap Bianca tidak boleh demikian. Semestinya Bianca senang karena keponakan Daniel yang selama ini dicari-cari, telah datang sendiri tanpa dicari lagi. Namun, yang dirasakan Bianca justru sebuah ancaman apalagi Nida adalah anak kandung papanya Evan dari Danial. Bianca khawatir nantinya hubungannya dengan Evan ditentang Gita yang tak lain ibu kandung Evan sendiri. Memang sejauh itu pikiran Bianca sampai ia lupa kalau Nida juga merupakan darah daging keluarga Bragastara. Daniel menghela napas panjang. Satu sisi, Daniel salut pada Evan yang dengan berbesar hati mengakui kesalahan dan meminta maaf padanya. Tapi, sisi lain, kenapa Evan melanggar aturannya. "Van, saya paling enggak suka seseorang yang melanggar aturan yang sudah saya tetapkan. Lain kali, saya enggak
Ucapan Evan membuat Bianca terdiam. Ia berpikir sejenak, mengingat kembali sikap Evan selama dikenalnya. Selama dekat dengan Evan, lelaki itu tidak pernah berbuat kur4ng 4jar atau bersikap k4sar. Evan selalu baik dan perhatian padanya. Cenderung melindungi."Ya, Van. Aku minta maaf," lirih Bianca berkata. Terlihat kesedihan yang mendalam pada raut wajahnya. "Enggak apa-apa. Aku senang kalau kondisimu udah lebih baik. Besok sebaiknya jangan ke kampus dulu. Kamu istirahat sampai sembuh total," timpal Evan mencemaskan kesehatan Bianca. Meski Bianca bilang bukan karenanya ia jatuh sakit, tapi perasaan bersalah masih Evan rasakan. "Iya, Van.""Sekarang aku mau pulang dulu. Assalamualaikum." Evan menyudahi, tidak ingin mengganggu Bianca lebih lama lagi. "Waalaikumsalam."Meski obrolan keduanya hanya sebentar, tapi cukup puas mengobati kerinduan Evan pada gadis pujaan hatinya.*** "Mas Ayang, tadi marahin Evan gak?" tanya Namira ketika mereka sudah berada di dalam kamar. Daniel duduk di
"Kamu udah bangun?" tanya Yuda begitu kedua matanya terbuka melihat istrinya sedang duduk di sofa sudut kamar sambil menghisap sepuntung r0kok. Posisi Gita tengah bersandar di pegangan sofa, kedua kakinya berselonjor. Wanita itu terkejut, menoleh pada lelaki yang amat sangat dicintainya. "Ah, iya ... aku udah bangun," jawab Gita menurunkan kedua kaki, mematikan puntung r0kok dan duduk tegak. Ia melipat bib1r, khawatir dimarahi Yuda karena ketahuan melakukan kebiasaan buruknya lagi. Yuda tidak tahu saja kalau semalaman Gita tidak tidur sama sekali. Setiap menit yang dilewatinya terbayang kejadian yang menimpanya belasan tahun silam. Seorang gadis, cinta pertama suaminya merusak kebahagiaan Gita. Kebahagiaan yang hanya menurut Gita saja, tidak bagi Yuda. Semalaman Gita seperti ditarik ke masa lalu. Bayangan senyum Dania ketika suaminya menc1um dan mencvmbu begitu jelas di pelupuk mata. Mereka seolah tak pedulikan hati Gita sedikitpun. Gita yang baru memiliki buah hati Evan, berusia
"Om, apa benar, hari ini Om mau anterin aku ke kampung setelah urusan Om di sini selesai?" tanya Nida disela sarapan pagi. Pagi ini, Daniel, Namira, Nida dan Bianca sarapan satu meja. Nida memberanikan diri bertanya masalah kabar yang semalam disampaikan Namira padanya. "Iya. Kamu siap-siap aja. Setelah Om selesai mengurusi masalah di kantor kepolisian, kita langsung berangkat," tandas Daniel pasti. "Alhamdulillah ... makasih ya, Om?" Nida terlihat sangat bahagia, begitu pula Namira. Istri Daniel itu tersenyum. Berbeda dengan Bianca yang tampak biasa-biasa saja. Bahkan ia terkesan tak mendengar obrolan antara Nida dan papahnya. "Sama-sama. Mungkin agak siangan berangkatnya." "Enggak apa-apa, Om." Setelah itu tidak ada yang bicara. Mereka melanjutkan sarapan hingga selesai. Namira menggamit lengan suaminya, mengantar Daniel sampai depan rumah. "Mas Ayang, apa enggak capek, setelah dari kantor polisi, langsung ke Bogor?" tanya Namira mencemaskan keadaan suaminya.
"Bukan gitu, Bi ... Astaghfirullah kamu suuzhon aja. Aku cuma kaget soalnya di rumah gak ada kue atau cemilan apa-apa. Kamu tau sendiri, selama aku hamil, aku jarang ke dapur, jarang bikin kue-kuean. Masa calon ibu mertuamu dikasih buah-buahan doang? Ya udah deh, aku mau nyuruh Bibi beli deh. Oh ya, sekarang mereka masih di rumah atau dah jalan?"Sebisa mungkin, Namira bersikap tenang dan mencari alasan supaya Bianca tidak menaruh curiga jika dirinya memang tidak ingin Gita datang ke sini. Mengingat, orang yang menyembunyikan Nida adalah Gita. "Tadi Evan bilang, mau otewe. Kayaknya sih lagi di jalan.""Waduh, kalau begini lebih baik aku yang beli. Supaya lebih cepat.""Janganlah, Mih. Udah biarin, Bibi aja. Nanti pas Tante Gita datang, aku gak ada temennya. Udah, Mamih di sini aja. Biar Bibi yang beli. Oke?""Ya udah deh. Aku keluar kamar dulu. Mau nyuruh Bibi beli. Sebentar."Namira mulai panik. Dia tidak tahu harus menyembunyikan Nida di mana. Nida tidak boleh bertemu dengan Gita,
"Dari tadi aku teleponin enggak aktif nomornya, Bang."Alea semakin mencemaskan keadaan kakaknya. Dia tidak tahu lagi kemana mencari keberadaan Axel. "Lea, coba kamu tanya ke temen-temennya. Barang kali aja mereka ada yang tau. Sekarang Abang enggak bisa bantu nyariin Axel. Kamu lihat sendiri, pengunjung lagi banyak.""Iya, Bang. Enggak apa-apa. Ya udah deh, aku pamit dulu."Alea membalikkan badan, menghampiri Nida yang duduk di salah satu kursi cafe. "Tante, Kak Axel enggak ada di sini," ujar Alea menunjukkan raut wajah lesu. "Kemana?""Enggak tau. Handphone-nya juga enggak aktif.""Coba kamu tanyain ke teman-temannya. Kali aja ada yang tau."Nida memberi saran sebab ia juga tidak tahu tempat yang biasa Axel kunjungi. Tempat tongkrongannya. "Aku enggak punya nomor teman-teman Axel," jawab Alea cemberut. Pikirannya mengingat tempat yang biasa Axel kunjungi selain cafe. "Alea, mungkin enggak, kalau Axel udah kembali pulang ke rumah?"Alea mendongak, menatap lekat Nida. "Benar jug
Ibu Ros sangat geram mendengar jawaban anak sulungnya. Tidak menyangka jika Hanif membantah perintahnya. Selama ini, Hanif selalu mengabulkan segala perintah ibu Ros. Tapi sekarang, dengan berani Hanif menolak?"Berani sekali kamu nolak perintah Mama, Hanif?" sentak ibu Ros masih tak terima dengan jawaban Hanif. "Ma, kalau Mama minta uang, minta ini dan itu, aku pasti kabulin. Tapi kalau minta aku nikah lagi atau ceraikan Nida, aku minta maaf, Ma. Aku enggak akan pernah mengabulkannya!" Hanif masih dalam pendiriannya. Tidak akan pernah menceraikan Nida walau ibu Ros sendiri yang mendesak. "Hanif, Nida udah izinin kamu. Dia izinin kamu nikah tapi---""Tapi, aku harus menceraikannya dulu 'kan?" sela Hanif sebelum ibu Ros menyelesaikan ucapannya. "Enggak, Ma. Aku enggak akan menceraikannya."Tanpa berkata apa-apa lagi, Hanif beranjak, meninggalkan wanita yang telah melahirkannya. Ia tak mau berdebat lebih lama lagi. Hanif takut semakin tersulut emosi. Walau bagaimana pun, ibu Ros adal
"Maaf, Tante. Teleponnya nanti lagi, ya? Guruku udah datang. Assalamu'alaikum.""Waalaikumsalam."Untung saja guru Kimia datang ke kelas Alea. Kalau tidak? Alea bingung menjawab pertanyaan Nida. Usai menelepon Alea, Nida bergegas menyelesaikan pekerjaannya. Setelah menemani Shella bertemu dengan klien, Nida berencana akan ke sekolah si kembar. Ingin memastikan apakah Axel masuk sekolah atau tidak? Biar bagaimana pun, Nida lah yang memberitahu tentang kebenaran kedua orang tua Axel dan Alea. Hingga akhirnya sekarang Axel kabur dari rumah. Tiba-tiba Nida teringat Bianca. Apa Bianca akan marah padanya? Tadi sewaktu melewati ruangan Bianca, tampak sepi. Apa mungkin Bianca tidak masuk kantor?*** "Hanif, kamu udah pulang, Nak?" tanya ibu Ros ketika anak kandungnya berdiri di depan pintu rumah. Ia mencium punggung tangan ibu Ros meski sempat kecewa dengan wanita yang telah melahirkannya itu. "Udah, Ma. Aku mau ke kamar dulu," seloroh Hanif yang berusaha menghindar ibu Ros. Ia takut kala
Semenjak kejadian kemarin, rumah Bragastara terasa sepi. Tidak ada lagi keributan antara Axel dan Alea. Bianca tak sanggup jika di rumah terus, mengingat kemarahan Axel padanya. Axel yang selama ini dianggap adik sendiri, kini amat sangat kecewa padanya. "Kamu mau ke kantor?" tanya Evan setelah mengenakan jas. Evan pun sudah memutuskan berangkat ke kantor meski kondisi kesehatannya belum terlalu pulih. "Iya. Aku mau ke kantor saja. Di rumah sepi. Enggak ada anak-anak." Jawaban Bianca membuat kedua pundak Evan menurun. "Bi, berhentilah menganggap mereka anakmu. Axel dan Alea itu adik-adikmu," tandas Evan, sangat kesal setiap kali Bianca ingin dianggap orang tua oleh mereka. "Apa salahnya kalau aku ingin dianggap mamanya? Apa ada yang salah?" tuntut Bianca menatap penuh emosi suaminya. "Enggak salah kalau dari awal kamu bilang yang sebenarnya, Bi ... sekarang lihat mereka. Akibat keputusanmu, Axel membencimu. Apa kamu enggak sadar juga?"Emosi dalam diri Evan sudah tidak dapat dik
"Udah gila ibunya si Hanif. Enak bener dia bilang gitu. Terus kamu bilang apa? Ngizinin Hanif nikah lagi? Mau kamu dipoligami?"Shella tersulut emosi. Sejak dulu, Shella sudah sangat geram melihat tingkah laku keluarga Hanif. Mereka semua benalu dan penjilat. Sering kali meminta uang pada Nida. "Enggaklah, Ma. Aku minta diceraikan kalau Mas Hanif mau poligami. Aku sadar diri, bukan wanita yang ikhlas dan penyabar. Enggak sanggup kalau harus berbagi suami dengan wanita lain." Masih dengan sikap santai, Nida menjawab pertanyaan ibu sambungnya. Shella begitu miris mendengar cerita yang disampaikan Nida. Kasihan Nida. Semasa hidupnya selalu saja ada masalah yang dihadapi."Tapi, Nida ... Kayaknya Hanif enggak mungkin menceraikanmu. Dia sangat mencintaimu. Mama yakin itu."Sebisa mungkin, Shella menghibur Nida. Dibalik sikap tenang dan santainya, Shella yakin sebetulnya Nida pun bersedih. Nida tersenyum miring mendengar tanggapan Shella. "Kalau mamanya yang minta, ada kemungkinan Mas H
"Sudahlah, Ma. Jangan ngomong macam-macam. Aku enggak mungkin menceraikan dia!"Senyum yang sebelumnya terlihat di wajah ibu Ros, seketika lenyap. "Hanif, mau sampai kapan kamu enggak punya anak? Dia itu mandul! Keturunan mandul, Hanif!"Ibu Ros tersulut emosi. Tak menyangka jika anak sulungnya berani melawan perintah padahal sebelumnya tidak pernah."Aku enggak peduli, Ma. Nida mandul atau tidak, aku enggak akan ceraikan dia. Aku sayang Nida, Maaaa ... aku cinta dia ...."Memang, Hanif begitu mencintai Nida. Sejak dulu hingga sekarang cintanya tak pernah berubah. "Halah, cinta, sayang! Kamu itu buta, Hanif! Umurmu udah tua. Tapi, sampai sekarang belum juga punya anak. Kalau kamu udah tua nanti, udah enggak bisa beraktivitas lagi, siapa yang akan menyayangimu? Kamu lihat, Nida. Dia masih muda. Mama yakin, kalau kamu udah sakit-sakitan pasti dia ninggalin kamu! Kalau dia ninggalin kamu, kamu mau sama siapa? Anak enggak punya!"Hanif memejamkan kedua mata, memijat pelipis. Tidak perna
"Apa hubungannya?" Bukannya menjawab, Axel justru balik tanya. Alea manyun, memukul bahu kakaknya. "Pulang ke rumah lagi, Kak. Kasihan mama tau! Nangis terus." Alea mengingat kembali kesedihan yang dialami Bianca. Axel bersikap santai, pandangannya lurus ke depan. "Aku masuk kelas dulu!" Tanpa menanggapi ucapan adiknya, Axel masuk ke dalam kelas. Alea benar-benar dibuat kesal. Rencana mengajak Axel kembali ke rumah gagal lagi. *** "Jam segini baru bangun! Pantas saja asam lambung Hanif sering kumat! Istrinya saja malas menyiapkan sarapan," celetuk ibu Ros saat Nida baru datang ke ruang meja makan. Ibu Ros yang tengah sarapan roti tawar, melirik Nida yang mengacuhkan. "Kamu dengar Mama enggak, Nida?" Sentak ibu Ros. Kedua mata seperti hendak melompat. Amarah terlihat jelas dari raut wajah. "Denger," sahut Nida cuek. Melihat sikap menantunya seperti itu, Ibu Ros semakin marah dan membenci. "Kalau kamu denger, harusnya bangun pagi! Siapin sarapan!" Lagi, Nida te
"Enggak. Mami enggak melakukan kesalahan apapun, Lea. Mami orang yang baik. Namira sahabatku, ibu sambungku yang paling baik bahkan kebaikannya melebihi ibuku sendiri." Bianca langsung menyanggah pertanyaan Alea. Gadis itu tertunduk sesaat, menghela napas berat. "Lalu, kenapa Mama merahasiakan mereka adalah orang tua kandungku?" Pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulut Alea membuat Bianca tersentak. Kedua matanya membeliak lalu sikap berubah salah tingkah. "Bu-bukan maksud ingin merahasiakan ta-tapi ...."Tak sanggup, Bianca meneruskan kalimat. Teringat kekurangan dalam diri bahwa sebetulnya Bianca tak bisa memberikan keturunan untuk Evan karena ia telah divonis mandul oleh dokter. "Ya udah, Ma. Enggak usah diucapkan kalau memang alasannya akan menyakitiku atau menyakiti hati Mama lagi."Alea mencoba berpikir bijak. Tak ingin wanita yang telah merawatnya penuh kasih sayang itu bersedih dan menangis lagi. "Bukan begitu, Lea. Ma-Mama ....""Kenapa kamu masih saja menyebut diri
Alea terdiam, tidak langsung menanggapi rintihan wanita yang selama ini telah dianggap ibu kandungnya sendiri. "Ma, sudah, Ma ... jangan nangis ya? Seharian ini Mama nangis terus. Nanti Mama sakit ...." ucap Alea berusaha menenangkan Bianca. Istri Evan itu menggelengkan kepala berulang kali. Sekarang Bianca telah menyesal karena telah membohongi kedua adiknya belasan tahun lamanya. Selama ini, Bianca dan Evan selalu menanamkan sifat jujur pada si kembar. Namun, dia sendiri yang tidak jujur pada mereka. Bianca merasa sangat jahat pada Axel dan Alea. Bianca meraih salah satu telapak tangan Alea, menggenggamnya erat. "Alea, maafkan Mama, Nak ... maafin Mama ... Mama udah jahat sama kamu. Udah bohongi kamu dan Axel. Maafin Mama, Lea ...." Sangat sungguh-sungguh Bianca mengucapkan kata maaf. Tampaknya Bianca sangat menyesal dan bersedih karena telah merahasiakan kedua orang tua kandung Axel dan Alea. "Jangan minta maaf terus, Ma ... Aku dan Kak Axel udah maafin Mama. Udah ya, Ma