"Bukan gitu, Bi ... Astaghfirullah kamu suuzhon aja. Aku cuma kaget soalnya di rumah gak ada kue atau cemilan apa-apa. Kamu tau sendiri, selama aku hamil, aku jarang ke dapur, jarang bikin kue-kuean. Masa calon ibu mertuamu dikasih buah-buahan doang? Ya udah deh, aku mau nyuruh Bibi beli deh. Oh ya, sekarang mereka masih di rumah atau dah jalan?"Sebisa mungkin, Namira bersikap tenang dan mencari alasan supaya Bianca tidak menaruh curiga jika dirinya memang tidak ingin Gita datang ke sini. Mengingat, orang yang menyembunyikan Nida adalah Gita. "Tadi Evan bilang, mau otewe. Kayaknya sih lagi di jalan.""Waduh, kalau begini lebih baik aku yang beli. Supaya lebih cepat.""Janganlah, Mih. Udah biarin, Bibi aja. Nanti pas Tante Gita datang, aku gak ada temennya. Udah, Mamih di sini aja. Biar Bibi yang beli. Oke?""Ya udah deh. Aku keluar kamar dulu. Mau nyuruh Bibi beli. Sebentar."Namira mulai panik. Dia tidak tahu harus menyembunyikan Nida di mana. Nida tidak boleh bertemu dengan Gita,
Sambungan telepon terputus. Namira berjalan ke kamar Bianca lagi. Gadis itu mendongak ketika pintu kamarnya terbuka. "Bibi udah berangkat beli kuenya?" tanya Bianca memastikan. Namira melenggang duduk di sisi Bianca yang tengah duduk di depan laptop. "Udah. Naik motor dianter sama salah satu security. Bi, udah dong belajarnya. Nanti kepalamu pusing lagi. Suruh Evan aja yang ngerjain tugas itu. Dia pasti bisa." Saran Namira ditanggapi senyuman dan gelengan kepala. "Aku gak enak minta bantuan dia mulu. Eh, Mih ... Nida beneran mau pindah sekolah di sini?""Iya. Dia mau pindah sekolah di sini. Kenapa emangnya? Kamu kelihatannya gak suka sama dia, Bi?" terka Namira langsung. Bib1r Bianca maju beberapa centi. Ia berpikir dan menoleh, menatap ibu sambungnya. "Dibilang suka sih enggak. Dibilang enggak juga ... ya gimana ya?" Bianca bingung menjabarkan perasaannya. Dia juga tidak mengerti, kenapa ada pikiran kalau kedatangan Nida di rumahnya akan membuat hidupnya bertambah buruk. Entah i
Evan dan Namira sama-sama khawatir kalau yang dicari Gita adalah Nida. Alasan Evan tidak menginginkan Gita bertemu dengan Nida, karena takut terluka lagi hatinya. Sedangkan alasan Namira tidak ingin Gita bertemu Nida, takut Gita mengancam atau berbuat j4hat lagi pada keponakan suaminya itu. "Van, Mamah ke sini pengen ketemu sama---""Assalamualaikum." Suara Bianca terdengar, membuat semua orang yang ada di dalam rumah itu menoleh. Bianca tersenyum ramah, menyalami Gita yang membalas senyuman Bianca. Evan pindah tempat duduk, membiarkan Bianca duduk di samping wanita yang telah melahirkannya. "Waalaikumsalam. Sayang, gimana keadaanmu? Tante kaget banget lho waktu dengar kamu jatuh sakit," kata Gita memandang sendu wajah Bianca yang sudah mulai ceria. "Alhamdulillah sudah jauh lebih baik, Tante," jawab Bianca. Hatinya sangat bahagia karena Gita perhatian padanya. "Hm ... Maaf, Tante. Tante mau minum air apa, ya? Dari tadi belum disuguhkan." Namira menyela, membuat Bianca dan Gita m
"Di laci lemari pakaian mamah. Tadinya aku gak berani baca tapi penasaran. Hehehe ...." Yuda mengusap kepala anaknya yang baru ditemukan. "Pah, ternyata Papah cinta pertamanya mamah, ya? Mamah kayaknya cinta banget sama Papah." Senyum yang sebelumnya merekah di bib1r Yuda. Mendadak sirna. Yuda tersenyum getir ketika mengingat perjalanan cintanya bersama Dania. Keindahan dan kebahagiaan yang sempat dirasakan Dania dan Yuda harus hilang dalam sekejap mata ketika Dania dicvlik orang."Iya, Nak. Bukan cuma mamahmu yang cinta sama Papah, Papah juga sangat mencintai Mamahmu. Tapi sayang, usia Mamahmu enggak panjang. Kebahagiaan yang sempat kami rasakan, hilang begitu saja hanya dalam hitungan hari." Pandangan Yuda lurus ke depan. Bayangan masa lalu bersama Dania kembali melintas. Meski Yuda sudah berusaha melupakan Dania, tapi dia tetap gagal. Tetap tidak bisa melupakan wanita yang telah melahirkan Nida itu. "Hm ... Papah jangan sedih terus. Mamah pasti sekarang lagi di surga. Kata Bi Ru
Yuda duduk bersandar pada kursi kebesarannya. Pandangan mengabur karena air mata yang tertahan. Pantas saja, tadi pagi Yuda melihat Gita melakukan kebiasaan buruk lagi. Ternyata dia sudah membaca pesan singkat yang dikirim Nida. Hati Yuda langsung mencelos, benar-benar tak menyangka pada akhirnya Gita mengetahui sendiri kalau Nida sudah berada di tengah-tengah keluarga Bragastara. "Sekarang aku harus melakukan apa? Apa aku harus tetap pura-pura tak mengetahui kalau Gita sudah tahu ada Nida di rumah Pak Daniel? Atau aku lebih baik minta maaf dan menjelaskan kalau bukan aku yang mencari keberadaan Nida apalagi mengajak datang ke rumah Daniel?" gumam Yuda pada diri sendiri. Dia sangat bimbang harus mengambil keputusan apa. Satu sisi, ada baiknya Yuda pura-pura tidak tahu kalau Gita telah membaca pesan singkat Nida. Ada baiknya juga ia mengakui dan memberitahu Gita kalau Nida datang sendiri ke kantor Daniel. Sepanjang hari, Yuda berusaha keras memfokuskan pikiran pada pekerjaan. Tetapi,
Sedari tadi, pandangan Gita selalu saja mengitari sekeliling. Bianca sendiri merasa aneh pada ibu kandung Evan itu. Sekarang saja, Gita sedang berjalan ke samping rumah Bianca seorang diri, dekat kolam renang."Van, Mamah kamu nyariin apa sih?" tanya Bianca pada Evan yang sedari tadi diam-diam memerhatikan gelagat Gita. Sedangkan Namira, hanya diam, tak ingin menduga-duga yang dilakukan Gita di rumahnya. "Enggak tau. Aku enggak tau. Mungkin Mamah mau liat lokasi yang cocok buat nanti kita nikah," jawab Evan asal. Tapi, jawaban Evan itu justru membuat kening Bianca mengkerut. Dia juga bingung kenapa dari tadi Gita seperti mencari sesuatu atau seseorang. Tingkahnya tidak seperti biasa. Sangat mencurigakan. Di dekat jendela yang menuju kolam renang, Namira tak tahan melihat tingkah Gita yang menurutnya sudah tidak sopan. Bahkan tadi Gita sempat membuka pintu kamar tamu di rumah ini. Menurut Namira sudah sangat keterlaluan. Akhirnya Namira datang menghampiri Gita yang berdiri di dekat k
Gita menyeringai penuturan yang diucapkan Namira. Wanita itu tak memungkiri kalau dirinya sempat terkejut mendengar perkataan Namira yang sudah mengetahui rahasia yang dia sembunyikan selama ini."Apa omongan kamu bisa dipercaya?" Tak serta-merta Gita menyetujui kesepakatan yang diucapkan Namira. Istri Daniel itu kedua alisnya bertaut. Dia pikir Gita akan langsung setuju, ternyata tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan."Terserah Tante, percaya atau enggak." Namira tak gentar, tak juga memaksa. Kartu AS ada di dirinya. Sedikit pun Namira tidak merasa takut Gita percaya atau tidak. "Oke. Anggap aja aku percaya pada omonganmu. Lalu, kalau sampai rahasia ini sampai di telinga Daniel atau Nida tanpa sepengetahuanmu justru memberitahu Daniel, apa yang akan kamu lakukan?""Enggak ada," jawab Namira cepat. Gita terkejut, heran bercampur tak mengerti jalan pikir Namira. "Kenapa begitu? Kamu gak membelaku nantinya?" Gita seperti tak terima jika Nida nantinya akan membongkar rahasiany
"Nida, kamu udah yakin mau pindah sekolah?" tanya Daniel ketika mereka sedang berada di tengah perjalanan menuju kota Bogor. "Sangat yakin, Om. Aku pengen pindah sekolah soalnya ... hm ... di sekolah lamaku, aku sering di-bully. Sering dibilang anak haram-lah, anak yang gak diinginkan-lah." keluh Nida pada Daniel yang terkejut mendengarnya. "Benarkah? Kamu sering dibilang begitu sama teman-temanmu?" tanya Daniel tidak menyangka kalau keponakannya menjadi korban bully di sekolah."Iya. Bukan cuma sama teman-teman. Sama masyarakat di sekitarku juga sering dibilang gitu tapi enggak apa-apa kok, Om. Aku udah biasa dibilang kayak gitu lagipula kenyataannya enggak kayak gitu, kan? Aku bukan anak har4m, aku bukan anak yang enggak diinginkan atau aku bukan anak yang sengaja dibuang. Benar kan, Om?"Dalam hati, Daniel merasa sangat bersalah. Dia telah membiarkan Nida mengalami hal buruk seperti itu. Andai saja dari dulu Daniel berusaha lebih keras lagi mencari keberadaan Nida, pasti gadis ya
"Lima juta kamu bilang cuma?" tanya Hanif setengah tidak percaya adiknya berbicara demikian. Selama ini Hanif tipikal orang yang berhemat. "Iyalah, Mas. Uang Mas Hanif lebih dari segitu. Apalah arti uang lima juta buat Mas Hanif dan Mbak Friska," ucap Hanifa tanpa beban. Hanif menghela napas berat, memijat pelipis. Hanifa tidak tahu saja kalau dirinya tidak punya tabungan bahkan ketika mendaftarkan proses perceraian harus mencuri uang Friska dari dalam brankas. "Aku enggak ada uang." Hanif berbicara datar. Mendengar jawaban kakaknya, Hanifa mendengus kesal. Ternyata benar kata ibu Ros kalau Hanif orangnya pelit. "Mas Hanif aku mohon. Suamiku belum gajian. Nanti uangnya aku ganti kok kalau mas Tedi udah gajian. Aku mohon, Mas ...." Hanifa tak mungkin menyerah. Malam ini juga dia harus mendapatkan uang untuk anak-anak besok. Meski dirinya tak ada uang, tetapi Hanif tak tega mendengar adiknya memohon seperti itu. Selama ini, Hanifa maupun Haifa tidak pernah meminta uang padanya. Tanp
Di mata Rangga, Haifa wanita bodoh dan mudah dibohongi. Bukan satu dua kali Rangga ketahuan selingkuh tetapi dengan mulut manisnya, Rangga dapat meyakinkan Haifa jika dirinya tidak akan mengulangi bahkan Rangga sering berjanji akan membuat rumah tangganya jauh lebih baik dan memiliki perekonomian yang mencukupi. "Ya udah, Mas. Sekarang kamu mandi. Kamu tadi beli nasi kan?""Beli dong. Aku tadi beli pecel lele. Lelenya dibagi dua aja ya sama anak kita. Kamu jangan makan banyak kalau malam. Aku enggak mau kalau kamu sampe gendut," ujar Rangga mengedipkan sebelah mata. Sontak, Haifa tersipu malu, menganggukkan kepala, mengiyakan kemodusan suaminya. Di kamar lain, Hanifa pun sedang berbincang dengan sang suami, Tedi namanya. "Jadi Mamamu udah tau sertifikatnya kita gadai ke Bank?" tanya Tedi, usai Hanifa bercerita tentang kejadian tadi siang. Hanifa tampak santai. Sebatang rokok terselip di antara ruas jarinya. "Iya. Dia baru sadar, hehehe ...."Hanifa mengembuskan asap rokok ke wajah
"Biasa aja kali, Ma. Enggak usah kaget gitu," kata Hanifa santai. Mereka berdua tidak merasa bersalah sedikit pun. Aneh juga, kenapa Hanifa dan Haifa bisa membawa sertifikat itu ke Bank tanpa sepengetahuan ibu Ros?"Kamu bilang enggak usah kaget??" desis ibu Ros berusaha menahan emosi. Biar bagaimana pun ia tak mau cucu-cucunya mendengar keributan ini. "Udah deh, Ma. Lagipula semuanya udah ada di Bank. Mau gimana lagi? Ya kami bisa saja menebusnya tapi Mama punya enggak uang buat nebusnya?"Tanpa rasa bersalah dan rasa penyesalan, Haifa bertanya demikian. Hanifa yang mendengar ucapan sang adik, menyunggingkan senyum mengejek. "Kurang ajar! Kalian anak kurang ajar! Uangnya kalian pake buat apa? Semua keperluan dan kebutuhan rumah ini kan pake uang Mama. Bahkan kalian juga sering minta uang ke Mama. Terus, uang pinjaman dari Bank itu digunakan buat apa? Buat apaaaa?" Sangat kesal ibu Ros berkata. Wajahnya memerah karena emosi yang sudah menguasai diri. Hanifa dan Haifa terdiam sesa
Kedua mata ibu Ros membeliak dibentak anak keduanya yakni Hanifa. Sorot mata Hanifa yang tajam dibalas serupa oleh wanita yang telah melahirkannya. "Durhaka kamu, Nifa!" balas ibu Ros tak kalah tinggi intonasi suaranya. "Berani sekali kamu ngebentak Mama? Marahin Mama! Kamu pikir ini rumah siapa, heuh? Ini rumah Mama!" tandas ibu Ros yang tak mau terlihat lemah di depan Hanifa. Anak kandungnya mencebik, melipat kedua tangan di depan dada. "Nanti juga akan menjadi milikku dan Haifa kalau Mama udah mati," timpal Hanifa tersenyum miring. "Apa kamu bilang?" Lagi, emosi ibu Ros semakin meluap. "Kamu bilang aku mati?" ulang ibu Ros, meyakinkan yang didengarnya. "Ini apaan sih? Siang-siang malah ribut?"Tiba-tiba dari arah belakang Hanifa, terdengar suara adiknya yang baru keluar dari kamar sambil menguap. Menghampiri mereka. "Mama nih, siang begini malah nangis sambil teriak. Kan berisik," jawab Hanifa memutar bola mata malas. "Ck, kebiasaan nih Mama. Udahlah, jangan diladenin. Harap
Sepanjang jalan pulang, Axel cemberut. Kesal pada adiknya dan Arfan. Bisa-bisanya mereka menguping pembicaraan Axel di depan pusara Daniel dan Namira. Alea sekarang satu mobil dengan Axel. Sedangkan Arfan, pulang sendirian padahal lelaki itu berharap bisa mengantar Alea pulang sampai rumah supaya lebih lama bersama. "Kak?" panggil Alea, menatap Axel dari samping. Namun, Axel bergeming. "Kak Axel?" Alea mengulang pertanyaan karena wajah Axel masih masam. "Kak Axeeeell!" teriak Alea tepat di depan telinga kakaknya. Axel langsung menancap rem mendadak. "Astaghfirullah, Lea!" pekik Axel melotot. Lalu menoleh ke belakang, khawatir ada mobil di belakang yang dekat dengan mobilnya. "Kamu udah gila, Lea! Teriak di depan telinga. Kalau kita kecelakaan gimana?" semprot Axel kesal, melajukan kembali kendaraannya. "Ya habisnya ditanya dieeeemm ... aja. Cemberuuutt aja. Kayak cewek lagi dateng bulan. Kalau ditanya jawab napa!"Bukannya minta maaf, Alea justru memarahi Axel. "Mau tanya apa em
Di depan pusara kedua orang tua kandung, Axel menumpahkan kesedihan dan masalah yang tengah dihadapi. Sebelumnya ia membaca Quran Surat Yasin dan memanjatkan doa-doa untuk Daniel dan Namira. Alea mencegah pergerakan Arfan. Ia menggelengkan kepala, memberi isyarat pada Arfan agar tidak mendekati kakaknya. Alea mengajak Arfan duduk agak jauh dari Axlel. Ia ingin memerhatikan kakaknya. Bukan Alea tak mau mendoakan, hanya ingin tahu apa yang akan diungkapkan Axel. Benar saja, selesai berdoa, tangisan Axel pecah. Pun Alea. Gadis itu menahan dalam diam. Membekap mulut agar suara tangisannya tak terdengar Axel. Arfan tak tega, ingin merengkuh pundak Alea tetapi tak ada keberanian. Ia cukup tahu batasan. Arfan hanya mengusap pelan Alea agar tetap tenang. "Kenapa mama dan papa pergi begitu cepat? Apa mama dan papa enggak sayang kami? Apa aku dan Alea anak yang enggak kalian inginkan? Kenapa kalian enggak bertahan hidup demi kami? Paling tidak, salah satu dari kalian harus hidup. Kenapa kali
Siang hari, tubuh ibu Ros menggigil. Sejak tadi pagi, badannya tak enak. Mulutnya pun pahit. Di dalam kamar, ibu Ros meringkuk. Belum ada makanan yang masuk ke dalam perut padahal ia sangat kelaparan. Kedua mata memanas, hidung pilek bersin-bersin, mungkin karena ibu Ros terlalu sering menangis. Tubuh ringkih itu menyibak selimut. Memegang perut yang terasa lapar. Kemudian, dengan langkah tertatih, ia berjalan ke arah pintu, membuka pintu kamar. Kepalanya melongok ke kanan dan ke kiri. Sepi. "Kemana Hanifa dan Haifa? Apa mereka lagi tidur?" gumam ibu Ros, keluar dari kamar, lalu berjalan pelahan melewati ruangan demi ruangan. Sampai di dapur, ibu Ros tak mendapati kedua anak perempuannya. Kemana mereka? lagi pertanyaan ibu Ros tak ada jawaban. Wanita tua itu berjalan ke ruang meja makan. Membuka tudung saja, tidak ada lauk pauk. Kemudian berjalan ke rice cooker, tidak ada nasi. "Apa mereka enggak masak nasi?" Ibu Ros kembali bertanya pelan. Pandangannya beralih pada tempat penyim
Jam pulang sekolah tiba. Alea menyambangi kelas kakaknya. Ia menunggu di depan. Arfan yang melihat Alea dari kejauhan menghampiri. "Lagi nungguin Axel?" tanya Arfan saat berdiri di samping Alea. "Iya. Lama banget tuh orang keluarnya. Emang ngeselin! Kamu sendiri belum pulang? Ada rapat?" Alea bertanya balik. "Enggak ada rapat. Kalau lama, Kenapa kamu enggak masuk ke dalam kelasnya?" Arfan bertanya lagi. Mengalihkan ke topik awal. "Males," jawab Alea singkat. "Kalau aku masuk kelas kak Axel, suka jadi pusat perhatian teman-temannya," jawab Alea cemberut. Mengingat kembali waktu ia pernah masuk ke dalam kelas Axel. Ada beberapa teman sekelas Axel yang cowok, minta kenalan. Atau enggak, teman-teman kelas Axel yang cewek, menatap Alea sinis. Padahal mereka tak saling kenal. Sejak saat itu, Alea malas masuk kelas kakaknya. "Mungkin karena kamu terlalu cantik, Lea."Ucapan Arfan membuat Alea terhenyak. "Ck, apaan sih kamu, Fan? Enggak juga kali." Alea malu-malu. Ia membuang wajah ke a
Gilang telah menyiapkan delivery order atas nama Nida. Wanita itu memang tak sempat keluar kantor untuk makan siang. Pekerjaannya sangat banyak. Terlebih mulai besok ia harus kerja di lapangan. Gilang telah siap berangkat. Namun, langkah kakinya terhenti ketika berpapasan dengan Bianca dan Evan di depan cafe. "Selamat siang, Ibu Bianca, Pak Evan," sapa Gilang sopan, agak membungkukkan badan. "Siang, Gilang. Kamu mau nganterin makanan?" balas Evan sambil bertanya. Sedangkan Bianca bersidekap sambil membuang muka. Gilang mengulum senyum, "Iya, Pak. Mau anterin makan siang.""Oh begitu.""Mas, mau makan siang apa mau ngobrol sama pelayan?" tanya Bianca ketus. Sorot matanya tampak tak suka pada Gilang. Evan tak enak hati mendengar pertanyaan sang istri. "Maaf, Pak. Saya permisi." Gilang tak mau lama-lama berhadapan dengan Bianca. Selalu saja makan hati. "Oh iya, silakan. Hati-hati Gilang.""Iya, Pak. Terima kasih."Bianca masuk ke cafe lebih dulu. Wajahnya bersungut kesal. Evan yang