"Sayang, kamu ke kamar Bianca dulu. Ajak dia. Mau ikut atau gak?" titah Daniel pada istrinya ketika baru keluar dari kamar. "Iya, Mas Ayang. Aku ke kamar Bianca dulu."Namira berjalan ke pintu kamar Bianca yang ada di lantai bawah. "Ada apa?" tanya Bianca agak dingin. "Kamu mau ikut ke Mall gak?""Enggak. Aku ada janji sama Evan.""Lho bukannya Evan udah pulang?""Udah, tapi dia lagi otewe ke sini lagi."Namira merasa sikap Bianca agak berbeda. Dia menjawab pertanyaan Namira dingin. "Yakin nih gak mau ikut? Nanti kita shoping bareng lho. Yuk lah, Bi!" Namira berusaha memaksa Bianca, namun dengan lembut, Bianca menepis tangan Namira yang mencekal lengannya. "Kalau orang gak mau, jangan dipaksa. Ya udah sih, kamu buat Nida bahagia aja dulu. Enggak usah mikirin aku."Namira terkejut mendengar ucapan Bianca. "Eh, kamu kok ngomong gitu si, Bi?""Udah, ya? Aku mau siap-siap dulu. Evan udah di jalan soalnya."Tanpa menunggu tanggapan Namira, Bianca menutup pintu kamar. Namira menghela
Daniel menoleh ke belakang, melihat istrinya bersama tiga wanita bergaya sosialita. Daniel berusaha mengenali ketiga wanita itu, dia takut kalau diantara mereka ada Mutiara yang sengaja menyakiti hati istrinya."Nida?""Iya, Om?""Kamu pilih-pilih sendiri, ya? Om mau ke sana dulu," kata Daniel pada keponakannya. "Iya, Om."Nida masuk lebih ke dalam toko. Sedangkan Daniel menghampiri istrinya. "Aku ke sini sama ... sama suamiku," jawab Namira melihat Daniel yang tengah berjalan ke arah mereka, senyumnya sumringah. Namira melirik tempat Nida dan Daniel sebelumnya, ternyata gadis itu sudah tidak terlihat. "Selama sore, Pak Daniel," sapa Gita sungkan."Sore. Gita, Yuda masih di kantor. Ada banyak pekerjaan yang belum beres." Daniel tidak ingin Gita berpikiran, Daniel sudah pulang, sedangkan suaminya belum pulang. Khawatir terjadi salah paham diantara Yuda dan Gita. Begitu kira-kira pemikiran Daniel. Berbeda dengan Namira, ia sangat ingin Gita segera pergi, tidak ingin kalau wanita it
"Bi, barusan papahmu telepon," kata Evan setelah sambungan telepon terputus. Mereka sedang di pinggir pantai. Bianca lagi malas pulang meskipun dari tadi Evan mengajaknya."Aku lagi males pulang, Van. Orang rumah sekarang lebih peduli pada Nida," kata Bianca. Intonasi suaranya tampak kesal. "Enggak boleh gitu. Itu cuma perasaanmu saja. Lagian kan, Nida baru datang hari ini. Menurutku wajar kalau mamih dan papahmu memerhatikan Nida."Evan berusaha menenangkan hati Bianca. Gadis itu bergeming. Ia benar-benar tidak ingin pulang. "Bianca, aku mohon kita pulang sekarang. Aku gak mau papahmu berpikir macam-macam tentang kita. Ini udah jam 10 malam, Bian. Aturan dari papahmu sampe jam 9. Kita pulang sekarang, ya?" Evan tak putus asa membujuk gadis pujaan hatinya agar mau pulang sekarang. "Bianca, please ... kita pulang sekarang. Oke?" Lagi, Evan membujuk Bianca. Ia takut kalau nantinya Daniel akan marah besar. "Van, aku mau tanya sama kamu."Bukannya mengiyakan ajakan pulang Evan, Bianc
"Bianca!" Panggilan Daniel membuat langkah kaki anak kandungnya berhenti. Perlahan, Bianca membalikkan badan, menatap papahnya yang sudah berdiri di hadapan. "Kamu tau sekarang jam berapa?" tanya Daniel, suaranya terdengar dingin. Bianca merunduk, melirik arloji. "Jam sebelas lewat dua puluh menit," jawab Bianca pelan. Daniel menghela napas berat. Dia tidak biasa memarahi anak gadisnya. "Tidurlah! Mulai besok kamu gak boleh keluar malam lagi. Pulang kuliah, di dalam rumah. Kalau mau keluar rumah, harus siang hari."Tanpa menunggu tanggapan Bianca, Daniel membalikkan badan, meninggalkan Bianca yang masih mematung. Gadis itu menghentakkan kaki, kesal akan keputusan papahnya. Masuk ke dalam kamar, Daniel menghela napas panjang. Ia benar-benar mengkhawatirkan Bianca. Gadis itu sudah berani melanggar aturannya. "Bianca sudah pulang, Mas Ayang?" sapa Namira yang baru keluar dari dalam toilet. Daniel duduk di sisi ranjang, menatap lurus ke depan. "Udah, baru aja dia pulang." Jawaban
"Bi ... Bianca ...." Namira menghela napas panjang, menggelengkan kepala. Melihat jam dinding kamar, sudah pukul 06.20 menit. Tapi, Bianca masih tidur.Namira melangkah masuk, duduk di sisi ranjang, memerhatikan Bianca yang masih menutup mata."Bi, Bianca, bangun, Bi ... udah siang tau!"Bianca bergeming, kedua matanya masih terpejam. "Bianca, sarapan dulu yuk! Jam delapan kan kamu harus ke kampus. Nanti Evan udah datang jemput, kamu malah masih tidur. Bangun, yuk!" ajak Namira tanpa menyentuh Bianca.Lagi, telinga Bianca seolah tuli, tidak mendengar ucapan Namira. Jangankan menimpali ucapan Namira, membuka kedua matanya saja tidak. Namira berdiri, membuka gorden agar cahaya matahari pagi masuk ke dalam kamar anak sambungnya. Menoleh ke belakang, Bianca masih saja bergeming. Masih berada di posisi semula. "Bianca ... bangun dong. Udah siang ... Bianca ... Bi ...." Namira kembali duduk di sisi ranjang. Sebelah tangannya terulur menepuk pipi Bianca namun kedua mata Namira membeliak s
Jam 8 pagi, kondisi Bianca sudah lebih baik. Suhu badannya tidak terlalu tinggi. Satu jam lalu juga, Daniel memanggil dokter keluarga. Dokter mengatakan kalau Bianca hanya demam biasa. Mungkin karena terkena angin malam. Dia memang tidak biasa pulang larut malam, ditambah sampai jam empat Subuh, Bianca menangis. Gadis itu merasa kesepian. Bubur yang dimasak Nida juga sisa setengah. Usai makan bubur, Bianca minum obat yang diresepkan oleh dokter Jatmika, dokter pribadi keluarga Bragastara. "Sayang, aku keluar kamar dulu. Mau telepon Yuda kalau hari ini aku gak masuk kantor," ucap Daniel pada istrinya. "Iya, Mas.""Pah, aku udah baikan. Papah ke kantor aja. Aku gak apa-apa kok," sela Bianca yang raut wajahnya sudah tidak memerah karena panas seperti sebelumnya. "Enggak apa-apa. Papah gak bisa kerja dengan tenang kalau kondisimu kayak gini."Namira dan Bianca tak menimpali lagi. Dari dulu, Daniel selalu memprioritaskan Bianca di atas segalanya. Jangankan Bianca sakit demam seperti ini
"Apa? Mutiara sakit jiwa?" Tidak hanya Yuda yang terkejut, Daniel juga sama. Tidak menyangka kalau Mutiara mengalami penyakit jiwa. "Iya, Pak. Tadi saya sempat merekamnya. Nanti saya kirim lewat pesan singkat. Sekarang saya mau ke rumah sakit jiwa, mau meminta pihak rumah sakit mengevakuasi Mutiara, Pak," jelas Yuda menyampaikan rencananya. "Ya sudah, lebih baik ditangani oleh pihak rumah sakit jiwa daripada nantinya dia luntang-lantung di jalanan.""Iya, Pak."Sambungan telepon terputus, tidak berselang lama, terdengar notifikasi pesan masuk. Daniel langsung membuka pesan berupa rekaman video Mutiara yang tengah meraung-raung menyebut namanya. Daniel langsung menghapus video tersebut karena jijik melihat kondisi Mutiara. Yuda dan beberapa petugas rumah sakit jiwa telah berada di rumah Mutiara. Namun, Yuda tidak mau keluar dari dalam mobil. Ia takut sekaligus jijik melihat kondisi Mutiara. Belum lagi, ada kotoran Mutiara yang melekat di kedua kakinya seolah sudah kering dan bau. Su
"Ferry, aku gak mau tinggal di sini. Aku pengen pulang, Ferry ... tolong aku. Tolong bebasin aku ...." rengek Hesti ketika dirinya sudah berada di dalam sel penj4ra sendirian. Hati Ferry sebenarnya tak tega meninggalkan Hesti di sini, tapi apa daya, dia tidak bisa berbuat banyak apalagi sekarang Ferry juga tidak memiliki banyak uang."Sayang, tadinya kalau ada Pak Daniel, aku akan memohon lagi padanya agar kamu bebas bersyarat. Jangan sampai tinggal di sini. Tapi, kata Pak pengacara, Pak Daniel tidak bisa datang karena anaknya jatuh sakit."Hesti sangat terkejut mendengar anak kandungnya sedang jatuh sakit. "Bi-Bianca sakit?" tanya Hesti memastikan ucapan Ferry. "Iya. Tadi pengacaranya bilang kayak gitu. Makanya Pak Daniel enggak bisa datang ke sini karena harus menunggu Bianca," ucap Ferry pada wanita yang sekarang di dalam ruangan jeruji besi. Setetes air mata membasahi wajah Hesti. Tiba-tiba saja dia teringat Bianca. Anak yang selama ini disia-siakan. "Tante, aku mohon jangan n
Ibu Ros sangat geram mendengar jawaban anak sulungnya. Tidak menyangka jika Hanif membantah perintahnya. Selama ini, Hanif selalu mengabulkan segala perintah ibu Ros. Tapi sekarang, dengan berani Hanif menolak?"Berani sekali kamu nolak perintah Mama, Hanif?" sentak ibu Ros masih tak terima dengan jawaban Hanif. "Ma, kalau Mama minta uang, minta ini dan itu, aku pasti kabulin. Tapi kalau minta aku nikah lagi atau ceraikan Nida, aku minta maaf, Ma. Aku enggak akan pernah mengabulkannya!" Hanif masih dalam pendiriannya. Tidak akan pernah menceraikan Nida walau ibu Ros sendiri yang mendesak. "Hanif, Nida udah izinin kamu. Dia izinin kamu nikah tapi---""Tapi, aku harus menceraikannya dulu 'kan?" sela Hanif sebelum ibu Ros menyelesaikan ucapannya. "Enggak, Ma. Aku enggak akan menceraikannya."Tanpa berkata apa-apa lagi, Hanif beranjak, meninggalkan wanita yang telah melahirkannya. Ia tak mau berdebat lebih lama lagi. Hanif takut semakin tersulut emosi. Walau bagaimana pun, ibu Ros adal
"Maaf, Tante. Teleponnya nanti lagi, ya? Guruku udah datang. Assalamu'alaikum.""Waalaikumsalam."Untung saja guru Kimia datang ke kelas Alea. Kalau tidak? Alea bingung menjawab pertanyaan Nida. Usai menelepon Alea, Nida bergegas menyelesaikan pekerjaannya. Setelah menemani Shella bertemu dengan klien, Nida berencana akan ke sekolah si kembar. Ingin memastikan apakah Axel masuk sekolah atau tidak? Biar bagaimana pun, Nida lah yang memberitahu tentang kebenaran kedua orang tua Axel dan Alea. Hingga akhirnya sekarang Axel kabur dari rumah. Tiba-tiba Nida teringat Bianca. Apa Bianca akan marah padanya? Tadi sewaktu melewati ruangan Bianca, tampak sepi. Apa mungkin Bianca tidak masuk kantor?*** "Hanif, kamu udah pulang, Nak?" tanya ibu Ros ketika anak kandungnya berdiri di depan pintu rumah. Ia mencium punggung tangan ibu Ros meski sempat kecewa dengan wanita yang telah melahirkannya itu. "Udah, Ma. Aku mau ke kamar dulu," seloroh Hanif yang berusaha menghindar ibu Ros. Ia takut kala
Semenjak kejadian kemarin, rumah Bragastara terasa sepi. Tidak ada lagi keributan antara Axel dan Alea. Bianca tak sanggup jika di rumah terus, mengingat kemarahan Axel padanya. Axel yang selama ini dianggap adik sendiri, kini amat sangat kecewa padanya. "Kamu mau ke kantor?" tanya Evan setelah mengenakan jas. Evan pun sudah memutuskan berangkat ke kantor meski kondisi kesehatannya belum terlalu pulih. "Iya. Aku mau ke kantor saja. Di rumah sepi. Enggak ada anak-anak." Jawaban Bianca membuat kedua pundak Evan menurun. "Bi, berhentilah menganggap mereka anakmu. Axel dan Alea itu adik-adikmu," tandas Evan, sangat kesal setiap kali Bianca ingin dianggap orang tua oleh mereka. "Apa salahnya kalau aku ingin dianggap mamanya? Apa ada yang salah?" tuntut Bianca menatap penuh emosi suaminya. "Enggak salah kalau dari awal kamu bilang yang sebenarnya, Bi ... sekarang lihat mereka. Akibat keputusanmu, Axel membencimu. Apa kamu enggak sadar juga?"Emosi dalam diri Evan sudah tidak dapat dik
"Udah gila ibunya si Hanif. Enak bener dia bilang gitu. Terus kamu bilang apa? Ngizinin Hanif nikah lagi? Mau kamu dipoligami?"Shella tersulut emosi. Sejak dulu, Shella sudah sangat geram melihat tingkah laku keluarga Hanif. Mereka semua benalu dan penjilat. Sering kali meminta uang pada Nida. "Enggaklah, Ma. Aku minta diceraikan kalau Mas Hanif mau poligami. Aku sadar diri, bukan wanita yang ikhlas dan penyabar. Enggak sanggup kalau harus berbagi suami dengan wanita lain." Masih dengan sikap santai, Nida menjawab pertanyaan ibu sambungnya. Shella begitu miris mendengar cerita yang disampaikan Nida. Kasihan Nida. Semasa hidupnya selalu saja ada masalah yang dihadapi."Tapi, Nida ... Kayaknya Hanif enggak mungkin menceraikanmu. Dia sangat mencintaimu. Mama yakin itu."Sebisa mungkin, Shella menghibur Nida. Dibalik sikap tenang dan santainya, Shella yakin sebetulnya Nida pun bersedih. Nida tersenyum miring mendengar tanggapan Shella. "Kalau mamanya yang minta, ada kemungkinan Mas H
"Sudahlah, Ma. Jangan ngomong macam-macam. Aku enggak mungkin menceraikan dia!"Senyum yang sebelumnya terlihat di wajah ibu Ros, seketika lenyap. "Hanif, mau sampai kapan kamu enggak punya anak? Dia itu mandul! Keturunan mandul, Hanif!"Ibu Ros tersulut emosi. Tak menyangka jika anak sulungnya berani melawan perintah padahal sebelumnya tidak pernah."Aku enggak peduli, Ma. Nida mandul atau tidak, aku enggak akan ceraikan dia. Aku sayang Nida, Maaaa ... aku cinta dia ...."Memang, Hanif begitu mencintai Nida. Sejak dulu hingga sekarang cintanya tak pernah berubah. "Halah, cinta, sayang! Kamu itu buta, Hanif! Umurmu udah tua. Tapi, sampai sekarang belum juga punya anak. Kalau kamu udah tua nanti, udah enggak bisa beraktivitas lagi, siapa yang akan menyayangimu? Kamu lihat, Nida. Dia masih muda. Mama yakin, kalau kamu udah sakit-sakitan pasti dia ninggalin kamu! Kalau dia ninggalin kamu, kamu mau sama siapa? Anak enggak punya!"Hanif memejamkan kedua mata, memijat pelipis. Tidak perna
"Apa hubungannya?" Bukannya menjawab, Axel justru balik tanya. Alea manyun, memukul bahu kakaknya. "Pulang ke rumah lagi, Kak. Kasihan mama tau! Nangis terus." Alea mengingat kembali kesedihan yang dialami Bianca. Axel bersikap santai, pandangannya lurus ke depan. "Aku masuk kelas dulu!" Tanpa menanggapi ucapan adiknya, Axel masuk ke dalam kelas. Alea benar-benar dibuat kesal. Rencana mengajak Axel kembali ke rumah gagal lagi. *** "Jam segini baru bangun! Pantas saja asam lambung Hanif sering kumat! Istrinya saja malas menyiapkan sarapan," celetuk ibu Ros saat Nida baru datang ke ruang meja makan. Ibu Ros yang tengah sarapan roti tawar, melirik Nida yang mengacuhkan. "Kamu dengar Mama enggak, Nida?" Sentak ibu Ros. Kedua mata seperti hendak melompat. Amarah terlihat jelas dari raut wajah. "Denger," sahut Nida cuek. Melihat sikap menantunya seperti itu, Ibu Ros semakin marah dan membenci. "Kalau kamu denger, harusnya bangun pagi! Siapin sarapan!" Lagi, Nida te
"Enggak. Mami enggak melakukan kesalahan apapun, Lea. Mami orang yang baik. Namira sahabatku, ibu sambungku yang paling baik bahkan kebaikannya melebihi ibuku sendiri." Bianca langsung menyanggah pertanyaan Alea. Gadis itu tertunduk sesaat, menghela napas berat. "Lalu, kenapa Mama merahasiakan mereka adalah orang tua kandungku?" Pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulut Alea membuat Bianca tersentak. Kedua matanya membeliak lalu sikap berubah salah tingkah. "Bu-bukan maksud ingin merahasiakan ta-tapi ...."Tak sanggup, Bianca meneruskan kalimat. Teringat kekurangan dalam diri bahwa sebetulnya Bianca tak bisa memberikan keturunan untuk Evan karena ia telah divonis mandul oleh dokter. "Ya udah, Ma. Enggak usah diucapkan kalau memang alasannya akan menyakitiku atau menyakiti hati Mama lagi."Alea mencoba berpikir bijak. Tak ingin wanita yang telah merawatnya penuh kasih sayang itu bersedih dan menangis lagi. "Bukan begitu, Lea. Ma-Mama ....""Kenapa kamu masih saja menyebut diri
Alea terdiam, tidak langsung menanggapi rintihan wanita yang selama ini telah dianggap ibu kandungnya sendiri. "Ma, sudah, Ma ... jangan nangis ya? Seharian ini Mama nangis terus. Nanti Mama sakit ...." ucap Alea berusaha menenangkan Bianca. Istri Evan itu menggelengkan kepala berulang kali. Sekarang Bianca telah menyesal karena telah membohongi kedua adiknya belasan tahun lamanya. Selama ini, Bianca dan Evan selalu menanamkan sifat jujur pada si kembar. Namun, dia sendiri yang tidak jujur pada mereka. Bianca merasa sangat jahat pada Axel dan Alea. Bianca meraih salah satu telapak tangan Alea, menggenggamnya erat. "Alea, maafkan Mama, Nak ... maafin Mama ... Mama udah jahat sama kamu. Udah bohongi kamu dan Axel. Maafin Mama, Lea ...." Sangat sungguh-sungguh Bianca mengucapkan kata maaf. Tampaknya Bianca sangat menyesal dan bersedih karena telah merahasiakan kedua orang tua kandung Axel dan Alea. "Jangan minta maaf terus, Ma ... Aku dan Kak Axel udah maafin Mama. Udah ya, Ma
"Kamu benar, Xel. Apapun alasan Mbak Bian dan Mas Evan merahasiakan kedua orang tua kalian, tetap salah. Tapi, kamu juga jangan marah lama-lama. Coba kamu tanyakan baik-baik pada mereka, apa alasannya?" Gilang tak mau terlalu banyak menanggapi cerita yang disampaikan Axel. Ia tak mau, kalau dianggap ikut campur atau memihak ke salah satu keluarga itu. "Enggak tau, Bang. Jujur saja, aku masih kecewa. Masih enggak nyangka aja kalau mereka tega sama mama dan papaku. Misalnya mama Bianca membenci mamaku, kenapa pula dia sayang aku dan Alea?"Berbagai tanya diucapkan Axel. Benar-benar bingung dengan alasan Bianca dan Evan merahasiakan kedua orang tua kandung Axel dan Alea. "Ya sudah enggak usah kamu pikirkan dulu. Sekarang lebih baik kamu tenangkan hati dan pikiran.""Iya, Bang."Handphone milik Gilang tiba-tiba berdering. Lelaki itu merogoh saku celana, lalu terlihat nama kontak yang tertera di layar ponsel. Panggilan dari Alea. Gilang tak langsung mengangkat panggilan telepon itu, me