"Non Bianca udah pulang?" Tiba-tiba dari arah belakang tubuh Nida ada seorang wanita yang usianya hampir setengah abad. "Udah, Bi. tadinya mau nyuruh Bibi buatin jus Mangga dua. Satu buatku, satunya buat Evan," jawab Bianca sesekali melirik Nida yang tertunduk lesu. "Oh siap, Non. Bibi bikinan sekarang." Sangat cekatan Bi Rusmi membuatkan pesanan anak majikannya itu. Tanpa bertanya lagi pada Nida, Bianca pergi dari dapur, menemui lelaki yang dicintainya duduk di kursi teras depan rumah.Bianca menghempaskan b0k0ng di atas kursi depan teras. Ekor matanya melirik pada Evan. Lelaki yang membuatnya mengalami jatuh cinta untuk pertama kali. "Van, di dalam sana ada anaknya Bi Rusmi. Matamu jangan jelalatan. Awas saja!" ancam Bianca yang sekarang sudah menjadi kekasih Evan. Mereka meresmikan hubungan menjadi kekasih saat Evan di rumah sakit. Evan terkekeh mendengar kekasih hatinya tampak cemburu. "Anak Bi Rusmi? Emang Bi Rusmi masih punya anak gadis? Siapa?" tanya Evan penasaran. Bukan j
"Namaku Evan. Aku ... Aku juga anak Papah Yuda."Tubuh Nida mundur selangkah. Ia menelan saiva. Namira memejamkan kedua mata sesaat, lalu merangkul pundak Nida. Mengusapnya berulang kali. Namira berharap, Evan tidak menyebut nama mama kandungnya. Bisa gawat, kalau Evan mengatakannya di depan Nida."Hm ... Nida, mamah kamu kan ... udah lama meninggal dunia. Wa-wajar kalau ... kalau papamu nikah lagi. Benar 'kan?" Namira berusaha menenangkan Nida. Gadis itu menoleh pada Namira.Dalam hati, Namira juga berdoa, semoga Nida tidak terpikirkan usia Evan yang lebih tua dari pada Nida. Gadis itu menatap Namira lalu merunduk, dan pandangannya kembali pada Evan. "Kakak benar. Wajar kalau Papahku nikah lagi karena Mamahku kan udah lama meninggal." Namira menganggukan kepala. Lalu, Nida menghampiri Evan, meraih telapak tangan Evan dan mencium punggung tangannya takzim."Kakak sama aku saudara kandung bukan saudar tiri karena kita satu ayah, hanya beda ibu," ucap Nida pada lelaki yang masih bengon
"Boleh, Kak. Boleh ...." Nida sangat antusias, ia sampai mengubah posisi duduk, lebih menghadap Namira. "Jadi, dulu itu ... Papahku partner bisnis Om kamu sejak lama. Nah, suatu saat ada musibah yang membuat kedua orang tuaku meninggal. Sebelum papaku mengembuskan napas terakhir, papah nitipin aku ke Om kamu. Akhirnya sejak aku SMP sampai masuk kuliah tinggal di sini. Ya ... karena kami sering bersama, kemana-mana bersama, aku kok jadi suka gitu sama Om kamu."Namira tersipu malu. Wajahnya terasa memanas dan memerah. "Tapi, kan ... usia Om aku jauh lebih tua dari Kakak? Kok bisa sih jatuh cinta sama Om?"Namira tidak merasa tersinggung dengan pertanyaan Nida. Namira justru terkekeh. "Gak tau aku juga. Cinta emang buta.""Terus, Kak? Gimana lagi?""Nah, si Bianca ini ... dia malah ... kepikiran nyuruh aku nikah sama papahnya. Awalnya emang, papahnya gak mau karena kan ... udah anggep aku kayak anak sendiri. Aku dan Bianca terus-menerus meyakinkan om kamu kalau cinta aku ke dia, atau
Sepanjang jalan pulang, Evan memikirkan keberadaan Nida di rumah keluarga Daniel Bragastara."Apa mungkin Papa akan mengajak Nida tinggal bersama kami?" tanya Evan pada diri sendiri. Ia menghela napas berat. Jika Yuda mengajak Nida tinggal ke rumahnya, sama halnya menabur garam pada luka mamahnya. Evan tidak akan membiarkan Nida tinggal bersama mereka. Akan tetapi, jika Evan melarang, kasihan Nida. Walau bagaimana pun, Nida darah daging Yuda apalagi mereka bertahun-tahun berpisah. "Ya Allah, kenapa jadi rumit begini? Aku harus bagaimana? Aku takut kalau papah membawa pulang Nida ke rumah. Bagaimana perasaan mamah?"Pikiran Evan benar-benar berkecamuk. Dia tidak ingin kebahagiaan keluarganya yang dirasakan, harus hancur hanya karena kedatangan Nida. Semoga saja Bianca mau menyampaikan pesannya untuk Daniel agar Nida tinggal di sana saja. Sampai di rumah, Evan mencari keberadaan mamahnya. Langkah kaki Evan terhenti, melihat Gita baru keluar dari kamar, pakaiannya terlihat mau pergi.
"Sayang, kamu ke kamar Bianca dulu. Ajak dia. Mau ikut atau gak?" titah Daniel pada istrinya ketika baru keluar dari kamar. "Iya, Mas Ayang. Aku ke kamar Bianca dulu."Namira berjalan ke pintu kamar Bianca yang ada di lantai bawah. "Ada apa?" tanya Bianca agak dingin. "Kamu mau ikut ke Mall gak?""Enggak. Aku ada janji sama Evan.""Lho bukannya Evan udah pulang?""Udah, tapi dia lagi otewe ke sini lagi."Namira merasa sikap Bianca agak berbeda. Dia menjawab pertanyaan Namira dingin. "Yakin nih gak mau ikut? Nanti kita shoping bareng lho. Yuk lah, Bi!" Namira berusaha memaksa Bianca, namun dengan lembut, Bianca menepis tangan Namira yang mencekal lengannya. "Kalau orang gak mau, jangan dipaksa. Ya udah sih, kamu buat Nida bahagia aja dulu. Enggak usah mikirin aku."Namira terkejut mendengar ucapan Bianca. "Eh, kamu kok ngomong gitu si, Bi?""Udah, ya? Aku mau siap-siap dulu. Evan udah di jalan soalnya."Tanpa menunggu tanggapan Namira, Bianca menutup pintu kamar. Namira menghela
Daniel menoleh ke belakang, melihat istrinya bersama tiga wanita bergaya sosialita. Daniel berusaha mengenali ketiga wanita itu, dia takut kalau diantara mereka ada Mutiara yang sengaja menyakiti hati istrinya."Nida?""Iya, Om?""Kamu pilih-pilih sendiri, ya? Om mau ke sana dulu," kata Daniel pada keponakannya. "Iya, Om."Nida masuk lebih ke dalam toko. Sedangkan Daniel menghampiri istrinya. "Aku ke sini sama ... sama suamiku," jawab Namira melihat Daniel yang tengah berjalan ke arah mereka, senyumnya sumringah. Namira melirik tempat Nida dan Daniel sebelumnya, ternyata gadis itu sudah tidak terlihat. "Selama sore, Pak Daniel," sapa Gita sungkan."Sore. Gita, Yuda masih di kantor. Ada banyak pekerjaan yang belum beres." Daniel tidak ingin Gita berpikiran, Daniel sudah pulang, sedangkan suaminya belum pulang. Khawatir terjadi salah paham diantara Yuda dan Gita. Begitu kira-kira pemikiran Daniel. Berbeda dengan Namira, ia sangat ingin Gita segera pergi, tidak ingin kalau wanita it
"Bi, barusan papahmu telepon," kata Evan setelah sambungan telepon terputus. Mereka sedang di pinggir pantai. Bianca lagi malas pulang meskipun dari tadi Evan mengajaknya."Aku lagi males pulang, Van. Orang rumah sekarang lebih peduli pada Nida," kata Bianca. Intonasi suaranya tampak kesal. "Enggak boleh gitu. Itu cuma perasaanmu saja. Lagian kan, Nida baru datang hari ini. Menurutku wajar kalau mamih dan papahmu memerhatikan Nida."Evan berusaha menenangkan hati Bianca. Gadis itu bergeming. Ia benar-benar tidak ingin pulang. "Bianca, aku mohon kita pulang sekarang. Aku gak mau papahmu berpikir macam-macam tentang kita. Ini udah jam 10 malam, Bian. Aturan dari papahmu sampe jam 9. Kita pulang sekarang, ya?" Evan tak putus asa membujuk gadis pujaan hatinya agar mau pulang sekarang. "Bianca, please ... kita pulang sekarang. Oke?" Lagi, Evan membujuk Bianca. Ia takut kalau nantinya Daniel akan marah besar. "Van, aku mau tanya sama kamu."Bukannya mengiyakan ajakan pulang Evan, Bianc
"Bianca!" Panggilan Daniel membuat langkah kaki anak kandungnya berhenti. Perlahan, Bianca membalikkan badan, menatap papahnya yang sudah berdiri di hadapan. "Kamu tau sekarang jam berapa?" tanya Daniel, suaranya terdengar dingin. Bianca merunduk, melirik arloji. "Jam sebelas lewat dua puluh menit," jawab Bianca pelan. Daniel menghela napas berat. Dia tidak biasa memarahi anak gadisnya. "Tidurlah! Mulai besok kamu gak boleh keluar malam lagi. Pulang kuliah, di dalam rumah. Kalau mau keluar rumah, harus siang hari."Tanpa menunggu tanggapan Bianca, Daniel membalikkan badan, meninggalkan Bianca yang masih mematung. Gadis itu menghentakkan kaki, kesal akan keputusan papahnya. Masuk ke dalam kamar, Daniel menghela napas panjang. Ia benar-benar mengkhawatirkan Bianca. Gadis itu sudah berani melanggar aturannya. "Bianca sudah pulang, Mas Ayang?" sapa Namira yang baru keluar dari dalam toilet. Daniel duduk di sisi ranjang, menatap lurus ke depan. "Udah, baru aja dia pulang." Jawaban
Ibu Ros sangat geram mendengar jawaban anak sulungnya. Tidak menyangka jika Hanif membantah perintahnya. Selama ini, Hanif selalu mengabulkan segala perintah ibu Ros. Tapi sekarang, dengan berani Hanif menolak?"Berani sekali kamu nolak perintah Mama, Hanif?" sentak ibu Ros masih tak terima dengan jawaban Hanif. "Ma, kalau Mama minta uang, minta ini dan itu, aku pasti kabulin. Tapi kalau minta aku nikah lagi atau ceraikan Nida, aku minta maaf, Ma. Aku enggak akan pernah mengabulkannya!" Hanif masih dalam pendiriannya. Tidak akan pernah menceraikan Nida walau ibu Ros sendiri yang mendesak. "Hanif, Nida udah izinin kamu. Dia izinin kamu nikah tapi---""Tapi, aku harus menceraikannya dulu 'kan?" sela Hanif sebelum ibu Ros menyelesaikan ucapannya. "Enggak, Ma. Aku enggak akan menceraikannya."Tanpa berkata apa-apa lagi, Hanif beranjak, meninggalkan wanita yang telah melahirkannya. Ia tak mau berdebat lebih lama lagi. Hanif takut semakin tersulut emosi. Walau bagaimana pun, ibu Ros adal
"Maaf, Tante. Teleponnya nanti lagi, ya? Guruku udah datang. Assalamu'alaikum.""Waalaikumsalam."Untung saja guru Kimia datang ke kelas Alea. Kalau tidak? Alea bingung menjawab pertanyaan Nida. Usai menelepon Alea, Nida bergegas menyelesaikan pekerjaannya. Setelah menemani Shella bertemu dengan klien, Nida berencana akan ke sekolah si kembar. Ingin memastikan apakah Axel masuk sekolah atau tidak? Biar bagaimana pun, Nida lah yang memberitahu tentang kebenaran kedua orang tua Axel dan Alea. Hingga akhirnya sekarang Axel kabur dari rumah. Tiba-tiba Nida teringat Bianca. Apa Bianca akan marah padanya? Tadi sewaktu melewati ruangan Bianca, tampak sepi. Apa mungkin Bianca tidak masuk kantor?*** "Hanif, kamu udah pulang, Nak?" tanya ibu Ros ketika anak kandungnya berdiri di depan pintu rumah. Ia mencium punggung tangan ibu Ros meski sempat kecewa dengan wanita yang telah melahirkannya itu. "Udah, Ma. Aku mau ke kamar dulu," seloroh Hanif yang berusaha menghindar ibu Ros. Ia takut kala
Semenjak kejadian kemarin, rumah Bragastara terasa sepi. Tidak ada lagi keributan antara Axel dan Alea. Bianca tak sanggup jika di rumah terus, mengingat kemarahan Axel padanya. Axel yang selama ini dianggap adik sendiri, kini amat sangat kecewa padanya. "Kamu mau ke kantor?" tanya Evan setelah mengenakan jas. Evan pun sudah memutuskan berangkat ke kantor meski kondisi kesehatannya belum terlalu pulih. "Iya. Aku mau ke kantor saja. Di rumah sepi. Enggak ada anak-anak." Jawaban Bianca membuat kedua pundak Evan menurun. "Bi, berhentilah menganggap mereka anakmu. Axel dan Alea itu adik-adikmu," tandas Evan, sangat kesal setiap kali Bianca ingin dianggap orang tua oleh mereka. "Apa salahnya kalau aku ingin dianggap mamanya? Apa ada yang salah?" tuntut Bianca menatap penuh emosi suaminya. "Enggak salah kalau dari awal kamu bilang yang sebenarnya, Bi ... sekarang lihat mereka. Akibat keputusanmu, Axel membencimu. Apa kamu enggak sadar juga?"Emosi dalam diri Evan sudah tidak dapat dik
"Udah gila ibunya si Hanif. Enak bener dia bilang gitu. Terus kamu bilang apa? Ngizinin Hanif nikah lagi? Mau kamu dipoligami?"Shella tersulut emosi. Sejak dulu, Shella sudah sangat geram melihat tingkah laku keluarga Hanif. Mereka semua benalu dan penjilat. Sering kali meminta uang pada Nida. "Enggaklah, Ma. Aku minta diceraikan kalau Mas Hanif mau poligami. Aku sadar diri, bukan wanita yang ikhlas dan penyabar. Enggak sanggup kalau harus berbagi suami dengan wanita lain." Masih dengan sikap santai, Nida menjawab pertanyaan ibu sambungnya. Shella begitu miris mendengar cerita yang disampaikan Nida. Kasihan Nida. Semasa hidupnya selalu saja ada masalah yang dihadapi."Tapi, Nida ... Kayaknya Hanif enggak mungkin menceraikanmu. Dia sangat mencintaimu. Mama yakin itu."Sebisa mungkin, Shella menghibur Nida. Dibalik sikap tenang dan santainya, Shella yakin sebetulnya Nida pun bersedih. Nida tersenyum miring mendengar tanggapan Shella. "Kalau mamanya yang minta, ada kemungkinan Mas H
"Sudahlah, Ma. Jangan ngomong macam-macam. Aku enggak mungkin menceraikan dia!"Senyum yang sebelumnya terlihat di wajah ibu Ros, seketika lenyap. "Hanif, mau sampai kapan kamu enggak punya anak? Dia itu mandul! Keturunan mandul, Hanif!"Ibu Ros tersulut emosi. Tak menyangka jika anak sulungnya berani melawan perintah padahal sebelumnya tidak pernah."Aku enggak peduli, Ma. Nida mandul atau tidak, aku enggak akan ceraikan dia. Aku sayang Nida, Maaaa ... aku cinta dia ...."Memang, Hanif begitu mencintai Nida. Sejak dulu hingga sekarang cintanya tak pernah berubah. "Halah, cinta, sayang! Kamu itu buta, Hanif! Umurmu udah tua. Tapi, sampai sekarang belum juga punya anak. Kalau kamu udah tua nanti, udah enggak bisa beraktivitas lagi, siapa yang akan menyayangimu? Kamu lihat, Nida. Dia masih muda. Mama yakin, kalau kamu udah sakit-sakitan pasti dia ninggalin kamu! Kalau dia ninggalin kamu, kamu mau sama siapa? Anak enggak punya!"Hanif memejamkan kedua mata, memijat pelipis. Tidak perna
"Apa hubungannya?" Bukannya menjawab, Axel justru balik tanya. Alea manyun, memukul bahu kakaknya. "Pulang ke rumah lagi, Kak. Kasihan mama tau! Nangis terus." Alea mengingat kembali kesedihan yang dialami Bianca. Axel bersikap santai, pandangannya lurus ke depan. "Aku masuk kelas dulu!" Tanpa menanggapi ucapan adiknya, Axel masuk ke dalam kelas. Alea benar-benar dibuat kesal. Rencana mengajak Axel kembali ke rumah gagal lagi. *** "Jam segini baru bangun! Pantas saja asam lambung Hanif sering kumat! Istrinya saja malas menyiapkan sarapan," celetuk ibu Ros saat Nida baru datang ke ruang meja makan. Ibu Ros yang tengah sarapan roti tawar, melirik Nida yang mengacuhkan. "Kamu dengar Mama enggak, Nida?" Sentak ibu Ros. Kedua mata seperti hendak melompat. Amarah terlihat jelas dari raut wajah. "Denger," sahut Nida cuek. Melihat sikap menantunya seperti itu, Ibu Ros semakin marah dan membenci. "Kalau kamu denger, harusnya bangun pagi! Siapin sarapan!" Lagi, Nida te
"Enggak. Mami enggak melakukan kesalahan apapun, Lea. Mami orang yang baik. Namira sahabatku, ibu sambungku yang paling baik bahkan kebaikannya melebihi ibuku sendiri." Bianca langsung menyanggah pertanyaan Alea. Gadis itu tertunduk sesaat, menghela napas berat. "Lalu, kenapa Mama merahasiakan mereka adalah orang tua kandungku?" Pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulut Alea membuat Bianca tersentak. Kedua matanya membeliak lalu sikap berubah salah tingkah. "Bu-bukan maksud ingin merahasiakan ta-tapi ...."Tak sanggup, Bianca meneruskan kalimat. Teringat kekurangan dalam diri bahwa sebetulnya Bianca tak bisa memberikan keturunan untuk Evan karena ia telah divonis mandul oleh dokter. "Ya udah, Ma. Enggak usah diucapkan kalau memang alasannya akan menyakitiku atau menyakiti hati Mama lagi."Alea mencoba berpikir bijak. Tak ingin wanita yang telah merawatnya penuh kasih sayang itu bersedih dan menangis lagi. "Bukan begitu, Lea. Ma-Mama ....""Kenapa kamu masih saja menyebut diri
Alea terdiam, tidak langsung menanggapi rintihan wanita yang selama ini telah dianggap ibu kandungnya sendiri. "Ma, sudah, Ma ... jangan nangis ya? Seharian ini Mama nangis terus. Nanti Mama sakit ...." ucap Alea berusaha menenangkan Bianca. Istri Evan itu menggelengkan kepala berulang kali. Sekarang Bianca telah menyesal karena telah membohongi kedua adiknya belasan tahun lamanya. Selama ini, Bianca dan Evan selalu menanamkan sifat jujur pada si kembar. Namun, dia sendiri yang tidak jujur pada mereka. Bianca merasa sangat jahat pada Axel dan Alea. Bianca meraih salah satu telapak tangan Alea, menggenggamnya erat. "Alea, maafkan Mama, Nak ... maafin Mama ... Mama udah jahat sama kamu. Udah bohongi kamu dan Axel. Maafin Mama, Lea ...." Sangat sungguh-sungguh Bianca mengucapkan kata maaf. Tampaknya Bianca sangat menyesal dan bersedih karena telah merahasiakan kedua orang tua kandung Axel dan Alea. "Jangan minta maaf terus, Ma ... Aku dan Kak Axel udah maafin Mama. Udah ya, Ma
"Kamu benar, Xel. Apapun alasan Mbak Bian dan Mas Evan merahasiakan kedua orang tua kalian, tetap salah. Tapi, kamu juga jangan marah lama-lama. Coba kamu tanyakan baik-baik pada mereka, apa alasannya?" Gilang tak mau terlalu banyak menanggapi cerita yang disampaikan Axel. Ia tak mau, kalau dianggap ikut campur atau memihak ke salah satu keluarga itu. "Enggak tau, Bang. Jujur saja, aku masih kecewa. Masih enggak nyangka aja kalau mereka tega sama mama dan papaku. Misalnya mama Bianca membenci mamaku, kenapa pula dia sayang aku dan Alea?"Berbagai tanya diucapkan Axel. Benar-benar bingung dengan alasan Bianca dan Evan merahasiakan kedua orang tua kandung Axel dan Alea. "Ya sudah enggak usah kamu pikirkan dulu. Sekarang lebih baik kamu tenangkan hati dan pikiran.""Iya, Bang."Handphone milik Gilang tiba-tiba berdering. Lelaki itu merogoh saku celana, lalu terlihat nama kontak yang tertera di layar ponsel. Panggilan dari Alea. Gilang tak langsung mengangkat panggilan telepon itu, me