Gerakan tangan Namira terhenti. Ia menatap suaminya sendu. Hatinya tak suka mendengar Daniel berbicara demikian. Namira menggenggam telapak tangan Daniel, lalu berbicara, "Mas Ayang, apa menurutmu aku akan seperti itu? Apa menurutmu aku perempuan yang punya sifat seperti itu? Apa menurutmu aku mencintaimu karena kamu sehat jasmani dan rohanimu saja? Ketika kamu sakit, ketika kamu pikun, aku meninggalkanmu?"Baru kali ini, Daniel mendengar Namira berbicara sangat serius. Setetes air mata membasahi wajah Namira. Dengan perlahan, Daniel menyeka air mata itu. "Hatiku mengatakan, kamu enggak akan ninggalin aku. Tapi akalku bicara, wajar saja kalau kamu ninggalin aku. Kamu masih muda, Sayang. Sedangkan aku udah tua." Namira tak sanggup lagi menahan isak tangis. Ia memeluk tubuh suaminya sangat erat. Menangis dalam pelukan. "Sayang, kalau aku m4ti duluan, kamu nikah lagi." dengan cepat, Namira menggelengkan kepala berulang kali. Melepaskan pelukan, memandang wajah tampan sang suami."Eng
Di rumah sakit yang sama, tapi di ruangan yang berbeda, Ferry sedang menemani ibunya. Semalam keluar dari gudang, Ferry langsung membawa ibunya ke rumah sakit. Ia tak ingin wanita yang telah melahirkannya itu terjadi hal buruk. Ferry berharap, Tuhan memberikan umur yang panjang untuk Gauri. Ferry ingin, jika ia menikah dengan gadis pujaan hatinya, Gauri bisa menghadiri. Kedua mata Gauri mengerjap. Kepalanya masih terasa pusing, begitu pula badan. Terasa sangat remuk. "Bu, Ibu udah sadar?" tanya Ferry, menggenggam telapak tangan Gauri. Pandangan Gauri begitu sendu. Memandang wajah anaknya penuh kasih sayang. Ia masih ingat kejadian semalam. Tidak hanya kejadian semalam, kejadian saat Mutiara datang ke rumahnya pun dia masih ingat. Gauri sempat marah dan kecewa pada anak satu-satunya. Namun, disaat Ferry mengatakan, jika Ferry tahu kalau Mutiara wanita yang tidak disukai Gauri, ia tidak mungkin mau menikahinya. Terlebih, semalam Ferry sudah menjatuhkan talak tiga pada wanita berhati
Namira justru mem3luk tubuh suaminya. Daniel melirik arloji, dia sudah terlambat. Yuda dan Zovan sudah menunggu di kantor."Sayang, aku harus berangkat sekarang cuma sebentar. Nanti kira ketemu lagi. Kangennya ditahan dulu. Ingat, ya ... Kamu jangan keluar rumah sendirian. Kalau mau keluar, minta ditemani Bi Rusmi. Aku sayang kamu." Lagi, Daniel meng3cup kening Namira cukup lama. Namira bergeming, tidak menimpali ucapan Daniel. Tampaknya Daniel memang sedang tergesa-gesa. Setelah mendapat panggilan dari Yuda, lelaki itu segera berganti pakaian dan berangkat ke kantor. Namira menghela napas panjang setelah tubuh suaminya keluar dari dalam kamar. Ia duduk di kursi meja rias, pandangannya lurus ke depan. Mengitari sekeliling kamar, sepi. Akhirnya Namira meraih handphone, hendak menghubungi Bianca, sahabat sekaligus anak sambungnya. "Hallo, Bian?" sapa Namira ketika sambungan berlangsung. "Hallo, Mih? Ada apa?" tanya Bianca balik.Bibir Namira cemberut."Aku sendirian di rumah. Sepi ta
Namira beranjak ke lemari pribadi Daniel. Ia teringat akan album foto lama suaminya sewaktu masih muda. Daripada kesepian, tidak tahu mau ngapain, lebih baik Namira membuka album masa muda Daniel.Setelah menemukan album foto itu, Namira membuka lembaran berikutnya. Bibir Namira menyunggingkan senyum, melihat foto-foto Daniel bersama temannya. "Ini foto Om Yuda? Ih, kok dulunya Om Yuda culvn banget sih? Eh!" Namira keceplosan, menutup mulut dengan sebelah tangannya.Lembaran berikutnya, kening Namira mengernyit. Terlihat seorang gadis yang wajahnya agak mirip Daniel tengah tersenyum manis."Ini siapa? Kok senyumnya mirip Mas Ayang?" gumam Namira menatap lekat gadis berambut sebahu, bergelayut manja pada lengan suaminya. Namira mengambil foto tersebut, menyimpan album di dalam laci kembali, lalu beranjak keluar kamar. Wanita itu sangat penasaran dengan sosok gadis yang foto berdua dengan Daniel. Selama ini, Namira hanya tahu kalau Daniel anak tunggal. Namira berpikir demikian karena
"Ada apa, Pah?" tanya Bianca saat tiba di ruangan papanya. Gadis itu tampak kebingungan melihat Yuda dan Zovan ada di ruangan ini. "Duduk dulu di sofa sana!" titah Daniel pada anak kandungnya. Bianca mengangguk, duduk dengan tenang di sofa yang terdapat di sudut ruangan kerja papanya. Daniel menyuruh Zovan dan Yuda keluar dari ruangannya lebih dulu. Dua orang kepercayaan Daniel menganggukkan kepala, memberi ruang pada Daniel dan Bianca berbicara empat mata. Setelah Zovan dan Yuda keluar ruangan, Daniel menghampiri anaknya, duduk di sisi."Pah, semuanya baik-baik aja 'kan?" tanya Bianca cemas. Tubuhnya agak menyamping, lebih menatap Daniel."Baik, alhamdulillah.""Terus, kenapa Papah nyuruh aku ke sini? Ada masalah apa?"Daniel menghela napas, berusaha memikirkan kalimat yang tidak membuat Bianca semakin memb3nci ibunya. "Bianca, dengarkan Papah baik-baik. Kalau Papah belum selesai bicara, jangan menyela dulu. Paham?"Bianca hanya menganggukkan kepala tanpa mengeluarkan kata. Meski
Daniel tak dapat menjawab pertanyaan Bianca yang diselingi isak tangis. Dia juga tak mengerti, kenapa tidak ada perasaan seorang ibu pada anaknya dalam jiwa seorang Hesti. Sedari dulu, wanita sangat tidak peduli akan hadirnya Bianca padahal dia yang mengandung, dia yang melahirkan. Setelah melahirkan, Hesti sangat tak peduli, selalu sibuk dengan urusan dan dunianya sendiri. Gaya hidup yang hedon, penampilan yang glamour menjadi kewajiban untuk kesehariannya. "Nak, misalnya kamu melarang Papah membawa kasus kej4hatan mamahmu ke kantor polisi, Papah bisa membatalkan laporannya," ucap Daniel tegas. Dia tidak ingin kasus Hesti mengganggu pikiran Bianca. Bianca melepaskan pelukan, menggelengkan kepala. "Enggak, Pah. Aku gak keberatan. Kadang, seseorang yang udah sering melakukan kej4hatan itu harus diberi hukuman. Bukan untuk membuatnya mend3rita tetapi supaya dijadikan pelajaran agar hidupnya bisa menjadi lebih baik. Jujur, Pah ... kadang, aku ingin mamah peduli padaku sedikiiiittt ..
"Mas Ayang!" pekik Namira ketika melihat suaminya masuk ke dalam kamar. Wanita itu berjingkat bahagia, memeluk tubuh kekar Daniel. "Kangen ... kangen Mas Ayang ...." ungkap Namira manja. Daniel meng3cup puncak kepala Namira berulang kali, gemas dan membahagiakan. "Aku juga kangen," ucap Daniel setelah melepaskan pelukan istrinya. "Kangen apanya?" Namira mendongak, menatap penuh cinta lelaki yang telah sah menjadi suaminya. "Kangen semua yang ada di dalam dirimu, Sayang ...." Daniel membop0ng tubuh Namira. Wanita itu tertawa bahagia, mengalungkan kedua tangan pada leher Daniel. Dengan sangat hati-hati, Daniel merebahkan tubuh mungil Namira di atas sofa depan televisi. Daniel berjongkok, jarinya menyusuri wajah Namira dengan lembut. "Namira Sayang?" panggil Daniel, mesra."Iya, Mas Ayang?" sahut Namira sambil menggigit bibir bawahnya. "Kamu cantik," puji Daniel tulus, membuat wajah Namira seketika merona, malu dan bahagia. "Masa?" timpal Namira merunduk, mengulum senyum."Kamu m
Namira meminta maaf, berjongkok di bawah kedua kaki suaminya. Kedua tangan meraih telapak tangan Daniel. Tiba-tiba rasa penyesalan muncul dalam hati Namira. Ia menyesal karena telah menuduh Daniel dan Bianca melupakan Dania padahal Namira belum mendengar cerita yang sesungguhnya. Daniel mengulas senyum tipis, memegang kedua bahu istrinya agar kembali duduk di kursi. Sekarang Namira menolak duduk di kursi, memilih duduk di atas pangkvan suaminya. Daniel kembali tersenyum manis, menyelipkan anak rambut Namira ke telinga. "Aku minta maaf, Mas Ayang ... aku ....""Enggak apa-apa, Sayang. Wajar saja kalau kamu berpikir demikian. Aku memang punya satu adik kandung, namanya Dania Bragastara. Tapi, sekarang dia sudah meninggal."Namira tak ingin menanyakan penyebab kemati4an Dania. Tidak ingin suaminya bersedih lagi. "Aku doakan, semoga Dania diberi tempat yang indah oleh Allah SWT. Aamiin," ucap Namira tulus sambil memeluk tubuh suaminya. "Aamiin."Namira melepaskan pelukan, menatap sua
"Udah gila ibunya si Hanif. Enak bener dia bilang gitu. Terus kamu bilang apa? Ngizinin Hanif nikah lagi? Mau kamu dipoligami?"Shella tersulut emosi. Sejak dulu, Shella sudah sangat geram melihat tingkah laku keluarga Hanif. Mereka semua benalu dan penjilat. Sering kali meminta uang pada Nida. "Enggaklah, Ma. Aku minta diceraikan kalau Mas Hanif mau poligami. Aku sadar diri, bukan wanita yang ikhlas dan penyabar. Enggak sanggup kalau harus berbagi suami dengan wanita lain." Masih dengan sikap santai, Nida menjawab pertanyaan ibu sambungnya. Shella begitu miris mendengar cerita yang disampaikan Nida. Kasihan Nida. Semasa hidupnya selalu saja ada masalah yang dihadapi."Tapi, Nida ... Kayaknya Hanif enggak mungkin menceraikanmu. Dia sangat mencintaimu. Mama yakin itu."Sebisa mungkin, Shella menghibur Nida. Dibalik sikap tenang dan santainya, Shella yakin sebetulnya Nida pun bersedih. Nida tersenyum miring mendengar tanggapan Shella. "Kalau mamanya yang minta, ada kemungkinan Mas H
"Sudahlah, Ma. Jangan ngomong macam-macam. Aku enggak mungkin menceraikan dia!"Senyum yang sebelumnya terlihat di wajah ibu Ros, seketika lenyap. "Hanif, mau sampai kapan kamu enggak punya anak? Dia itu mandul! Keturunan mandul, Hanif!"Ibu Ros tersulut emosi. Tak menyangka jika anak sulungnya berani melawan perintah padahal sebelumnya tidak pernah."Aku enggak peduli, Ma. Nida mandul atau tidak, aku enggak akan ceraikan dia. Aku sayang Nida, Maaaa ... aku cinta dia ...."Memang, Hanif begitu mencintai Nida. Sejak dulu hingga sekarang cintanya tak pernah berubah. "Halah, cinta, sayang! Kamu itu buta, Hanif! Umurmu udah tua. Tapi, sampai sekarang belum juga punya anak. Kalau kamu udah tua nanti, udah enggak bisa beraktivitas lagi, siapa yang akan menyayangimu? Kamu lihat, Nida. Dia masih muda. Mama yakin, kalau kamu udah sakit-sakitan pasti dia ninggalin kamu! Kalau dia ninggalin kamu, kamu mau sama siapa? Anak enggak punya!"Hanif memejamkan kedua mata, memijat pelipis. Tidak perna
"Apa hubungannya?" Bukannya menjawab, Axel justru balik tanya. Alea manyun, memukul bahu kakaknya. "Pulang ke rumah lagi, Kak. Kasihan mama tau! Nangis terus." Alea mengingat kembali kesedihan yang dialami Bianca. Axel bersikap santai, pandangannya lurus ke depan. "Aku masuk kelas dulu!" Tanpa menanggapi ucapan adiknya, Axel masuk ke dalam kelas. Alea benar-benar dibuat kesal. Rencana mengajak Axel kembali ke rumah gagal lagi. *** "Jam segini baru bangun! Pantas saja asam lambung Hanif sering kumat! Istrinya saja malas menyiapkan sarapan," celetuk ibu Ros saat Nida baru datang ke ruang meja makan. Ibu Ros yang tengah sarapan roti tawar, melirik Nida yang mengacuhkan. "Kamu dengar Mama enggak, Nida?" Sentak ibu Ros. Kedua mata seperti hendak melompat. Amarah terlihat jelas dari raut wajah. "Denger," sahut Nida cuek. Melihat sikap menantunya seperti itu, Ibu Ros semakin marah dan membenci. "Kalau kamu denger, harusnya bangun pagi! Siapin sarapan!" Lagi, Nida te
"Enggak. Mami enggak melakukan kesalahan apapun, Lea. Mami orang yang baik. Namira sahabatku, ibu sambungku yang paling baik bahkan kebaikannya melebihi ibuku sendiri." Bianca langsung menyanggah pertanyaan Alea. Gadis itu tertunduk sesaat, menghela napas berat. "Lalu, kenapa Mama merahasiakan mereka adalah orang tua kandungku?" Pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulut Alea membuat Bianca tersentak. Kedua matanya membeliak lalu sikap berubah salah tingkah. "Bu-bukan maksud ingin merahasiakan ta-tapi ...."Tak sanggup, Bianca meneruskan kalimat. Teringat kekurangan dalam diri bahwa sebetulnya Bianca tak bisa memberikan keturunan untuk Evan karena ia telah divonis mandul oleh dokter. "Ya udah, Ma. Enggak usah diucapkan kalau memang alasannya akan menyakitiku atau menyakiti hati Mama lagi."Alea mencoba berpikir bijak. Tak ingin wanita yang telah merawatnya penuh kasih sayang itu bersedih dan menangis lagi. "Bukan begitu, Lea. Ma-Mama ....""Kenapa kamu masih saja menyebut diri
Alea terdiam, tidak langsung menanggapi rintihan wanita yang selama ini telah dianggap ibu kandungnya sendiri. "Ma, sudah, Ma ... jangan nangis ya? Seharian ini Mama nangis terus. Nanti Mama sakit ...." ucap Alea berusaha menenangkan Bianca. Istri Evan itu menggelengkan kepala berulang kali. Sekarang Bianca telah menyesal karena telah membohongi kedua adiknya belasan tahun lamanya. Selama ini, Bianca dan Evan selalu menanamkan sifat jujur pada si kembar. Namun, dia sendiri yang tidak jujur pada mereka. Bianca merasa sangat jahat pada Axel dan Alea. Bianca meraih salah satu telapak tangan Alea, menggenggamnya erat. "Alea, maafkan Mama, Nak ... maafin Mama ... Mama udah jahat sama kamu. Udah bohongi kamu dan Axel. Maafin Mama, Lea ...." Sangat sungguh-sungguh Bianca mengucapkan kata maaf. Tampaknya Bianca sangat menyesal dan bersedih karena telah merahasiakan kedua orang tua kandung Axel dan Alea. "Jangan minta maaf terus, Ma ... Aku dan Kak Axel udah maafin Mama. Udah ya, Ma
"Kamu benar, Xel. Apapun alasan Mbak Bian dan Mas Evan merahasiakan kedua orang tua kalian, tetap salah. Tapi, kamu juga jangan marah lama-lama. Coba kamu tanyakan baik-baik pada mereka, apa alasannya?" Gilang tak mau terlalu banyak menanggapi cerita yang disampaikan Axel. Ia tak mau, kalau dianggap ikut campur atau memihak ke salah satu keluarga itu. "Enggak tau, Bang. Jujur saja, aku masih kecewa. Masih enggak nyangka aja kalau mereka tega sama mama dan papaku. Misalnya mama Bianca membenci mamaku, kenapa pula dia sayang aku dan Alea?"Berbagai tanya diucapkan Axel. Benar-benar bingung dengan alasan Bianca dan Evan merahasiakan kedua orang tua kandung Axel dan Alea. "Ya sudah enggak usah kamu pikirkan dulu. Sekarang lebih baik kamu tenangkan hati dan pikiran.""Iya, Bang."Handphone milik Gilang tiba-tiba berdering. Lelaki itu merogoh saku celana, lalu terlihat nama kontak yang tertera di layar ponsel. Panggilan dari Alea. Gilang tak langsung mengangkat panggilan telepon itu, me
Nida menganggukkan kepala, mendengar tanggapan ibu mertua. "Iya, silakan saja Mama bicara dulu sama Mas Hanif. Maaf, Ma. Aku mau istirahat dulu. Apa masih ada yang mau Mama bicarakan?" Kalau saja tidak menghormati suaminya, Nida sudah ingin memarahi ibu Ros. "Enggak ada. Mama juga mau istirahat." Ibu Ros pergi lebih dulu, meninggalkan Nida yang masih duduk terpaku di ruang makan. Kepergian Ibu Ros dari ruangan itu, membuat Nida tercenung. Nida tak dapat menahan tangisan. Dalam keheningan, ia menangis tersedu-sedu. Nida juga ingin memiliki anak. Nida juga ingin merasakan hamil. Tapi, dia tidak memaksa Tuhan untuk memberinya keturunan. Nida selalu yakin, Tuhan lebih tahu, waktu dan saat yang tepat memiliki buah hati. Dengan kasar, Nida menyeka lelehan air mata. Ia beranjak, membersihkan piring kotor. Setelahnya, masuk ke dalam kamar. Baru saja menutup pintu kamar, terdengar suara dering handphone. Nida tahu, itu adalah suaminya. Nida berjalan menghampiri handphone y
Nida terkejut bukan main mendengar permohonan ibu Ros yang tak lain ibu mertuanya. Kedua mata Nida nyalang menatap wanita yang telah melahirkan suaminya. Sungguh, sedikitpun ia tak menyangka jika ibu Ros memintanya untuk mengizinkan Hanif menikah lagi.Sadar dari rasa terkejut, Nida menarik napas panjang. Ia tak boleh tersulut emosi. Jika sampai Nida memarahi ibu Ros, wanita itu pasti mengadu berlebihan pada Hanif."Oh, jadi Mama ingin aku izinin Mas Hanif nikah lagi? Supaya Mama dapat cucu dari istri barunya nanti? Begitu?" Nida sengaja mengulang keinginan ibu Ros dengan sikap yang santai. Ia juga melanjutkan suapan makan malamnya. Ibu Ros mengembuskan napas melihat ketenangan sikap Nida. "Iya begitu. Ya habis mau gimana lagi? Kamu juga sadar kan, enggak bisa kasih Hanif anak? Iya 'kan?"Yang salah tingkah bukan Nida, justru ibu Ros. Nida manggut-manggut sembari meneguk segelas air di dalam gelas hingga tandas. "Jujur ya, Ma. Sebenarnya aku enggak mau dipoligami. Enggak mau kala
Di dalam kamar, Nida berdiri di depan pintu. Kedua matanya terpejam, mulutnya mengucapkan istighfar berulang kali. Terkadang Nida sangat bersedih jika mengingat tak juga diberi buah hati. Berbagai cara telah Nida lakukan bahkan ia sempat menawarkan pada Hanif agar melakukan program bayi tabung tapi Hanif tak setuju. "Program bayi tabung itu mahal, Dek.""Tapi aku ada uangnya, Mas. Aku kan kerja. Uang hasil aku kerja kan jarang dipake." "Kamu menganggap Mas enggak punya uang? Kamu merendahkan Mas? Mas emang bukan pengusaha seperti keluargamu, tapi uang PNS yang Mas dapatkan sudah lebih dari cukup. Sudahlah, enggak usah melakukan program bayi tabung. Kalau sudah waktunya, nanti juga kita dikasih anak."Begitulah perdebatan Nida dengan suaminya suatu waktu. Setelah itu, Nida tak mengusulkan apa-apa lagi. Lebih memilih diam dan menerima hinaan dan makian dari keluarga Hanif terutama ibunya. Beruntung, Nida tipikal wanita bodo amatan. Terpenting baginya, Hanif mencintainya dengan tulus d