Daniel tak dapat menjawab pertanyaan Bianca yang diselingi isak tangis. Dia juga tak mengerti, kenapa tidak ada perasaan seorang ibu pada anaknya dalam jiwa seorang Hesti. Sedari dulu, wanita sangat tidak peduli akan hadirnya Bianca padahal dia yang mengandung, dia yang melahirkan. Setelah melahirkan, Hesti sangat tak peduli, selalu sibuk dengan urusan dan dunianya sendiri. Gaya hidup yang hedon, penampilan yang glamour menjadi kewajiban untuk kesehariannya. "Nak, misalnya kamu melarang Papah membawa kasus kej4hatan mamahmu ke kantor polisi, Papah bisa membatalkan laporannya," ucap Daniel tegas. Dia tidak ingin kasus Hesti mengganggu pikiran Bianca. Bianca melepaskan pelukan, menggelengkan kepala. "Enggak, Pah. Aku gak keberatan. Kadang, seseorang yang udah sering melakukan kej4hatan itu harus diberi hukuman. Bukan untuk membuatnya mend3rita tetapi supaya dijadikan pelajaran agar hidupnya bisa menjadi lebih baik. Jujur, Pah ... kadang, aku ingin mamah peduli padaku sedikiiiittt ..
"Mas Ayang!" pekik Namira ketika melihat suaminya masuk ke dalam kamar. Wanita itu berjingkat bahagia, memeluk tubuh kekar Daniel. "Kangen ... kangen Mas Ayang ...." ungkap Namira manja. Daniel meng3cup puncak kepala Namira berulang kali, gemas dan membahagiakan. "Aku juga kangen," ucap Daniel setelah melepaskan pelukan istrinya. "Kangen apanya?" Namira mendongak, menatap penuh cinta lelaki yang telah sah menjadi suaminya. "Kangen semua yang ada di dalam dirimu, Sayang ...." Daniel membop0ng tubuh Namira. Wanita itu tertawa bahagia, mengalungkan kedua tangan pada leher Daniel. Dengan sangat hati-hati, Daniel merebahkan tubuh mungil Namira di atas sofa depan televisi. Daniel berjongkok, jarinya menyusuri wajah Namira dengan lembut. "Namira Sayang?" panggil Daniel, mesra."Iya, Mas Ayang?" sahut Namira sambil menggigit bibir bawahnya. "Kamu cantik," puji Daniel tulus, membuat wajah Namira seketika merona, malu dan bahagia. "Masa?" timpal Namira merunduk, mengulum senyum."Kamu m
Namira meminta maaf, berjongkok di bawah kedua kaki suaminya. Kedua tangan meraih telapak tangan Daniel. Tiba-tiba rasa penyesalan muncul dalam hati Namira. Ia menyesal karena telah menuduh Daniel dan Bianca melupakan Dania padahal Namira belum mendengar cerita yang sesungguhnya. Daniel mengulas senyum tipis, memegang kedua bahu istrinya agar kembali duduk di kursi. Sekarang Namira menolak duduk di kursi, memilih duduk di atas pangkvan suaminya. Daniel kembali tersenyum manis, menyelipkan anak rambut Namira ke telinga. "Aku minta maaf, Mas Ayang ... aku ....""Enggak apa-apa, Sayang. Wajar saja kalau kamu berpikir demikian. Aku memang punya satu adik kandung, namanya Dania Bragastara. Tapi, sekarang dia sudah meninggal."Namira tak ingin menanyakan penyebab kemati4an Dania. Tidak ingin suaminya bersedih lagi. "Aku doakan, semoga Dania diberi tempat yang indah oleh Allah SWT. Aamiin," ucap Namira tulus sambil memeluk tubuh suaminya. "Aamiin."Namira melepaskan pelukan, menatap sua
Sore hari, Evan sudah diperbolehkan pulang oleh dokter yang merawatnya. Sekarang Evan sudah tiba di rumahnya. Bianca ikut serta mengantar Evan pulang. "Om Yuda belum pulang, Tante?" tanya Bianca ketika ia tidak menemukan Yuda di rumah. Bianca bertanya di ruang keluarga rumah Evan. "Belum, Nak. Tadi sempat telepon Tante, katanya pulang malam."Bianca manggut-manggut mendengar jawaban Gita. "Kalau begitu, aku pamit pulang dulu, udah sore. Takut nanti papah marah," kata Bianca melirik arloji di pergelangan. "Oh begitu. Sebentar dulu, Tante mau panggilin Evan."Gita beranjak ke kamar anak semata wayangnya. Bianca menghela napas panjang, mengeluarkan handphone yang ada di dalam tas. Ternyata ada pesan dari Namira. "Bian, kamu jangan pulang malam-malam. Nanti Papahmu marah."Bianca mengulas senyum tipis, langsung membalas pesan singkat Namira. "Oke, Mamih. Sekarang aku mau pulang."Setelahnya, Bianca memasukkan ponsel kembali ke dalam tas. "Kamu mau pulang, Bi?" tanya Evan yang berja
Namira berjingkat ke dapur, mengambil wadah untuk makan bakso.Mereka menyantap bakso dengan lahap. Namira dan Bianca merasa aneh pada Daniel. Tidak biasanya dia mau makan bakso apalagi sampai lahap begitu. Namira hanya makan dua butir bakso kecil, sisanya dimakan Daniel semua. Saat Namira dan Bianca tercengang melihat Daniel begitu lahap makan bakso, Daniel bertanya, "Bian, baksomu gak dimakan? Kalau gak dimakan, buat Papah aja. Sini!""Hah?" Bianca dan Namira bengong bersamaan. Mereka membiarkan Daniel menghabiskan sisa bakso Bianca yang baru dimakan satu butir. "Mas Ayang, Mas Ayang kenapa? Banyak amat makan baksonya?" tanya Namira heran. Bianca menganggukkan kepala. Setuju akan pertanyaan ibu sambungnya. "Enak, bikin seger," jawab Daniel sambil menyeruput kuah bakso hingga habis.Anak dan ibu sambung itu saling menoleh, tersenyum miring. Lalu, Namira mengajak Bianca ke dapur. Ia penasaran, kenapa suaminya jadi berubah? Jadi suka makan."Bi, Papahmu kenapa? Kok dia makannya jadi
"Bukan begitu, Mas Ayang ... tapi ini gak biasa lho." Namira masih heran dengan perubahan sikap Daniel.Bianca pindah tempat duduk. Duduk di dekat Namira. "Mih, tadi kata Bibi. Kemungkinan besar papah lagi ngidam," bisik Bianca tepat di depan telinga ibu sambungnya. "Eh, yang hamilnya kan aku, Bi. Bukan papahmu. Kenapa jadi dia yang ngidam?" sanggah Namira belum mengerti. Daniel telah menghabiskan semangkuk bakso, meminum segelas air mineral. "Benar, Sayang. Tadi Bibi bilang, kemungkian aku lagi ngidam. Kamu yang hamil, aku yang ngidam. Begitu ya, Bian?" Daniel meminta dukungan pada anak gadisnya. Bianca menganggukkan kepala berulang kali. Namira semakin bingung. Dia memang sering mendengar kalau wanita hamil suka ngidam. Tapi memang, selama hamil, Namira tidak menginginkan apa-apa atau tidak ngidam. Justru seperti biasa-biasa saja apalagi dia sudah diberi obat pereda mual. "Emang ada yang kayak gitu?" Tampaknya Namira masih tidak percaya. Dia memandang Daniel dan sahabatnya berg
"Lebih baik kita ketemu langsung di salah satu cafe. Gimana? Kamu setuju? Nanti aku kirim alamat cafe-nya," jawab Mutiara pada mantan istri Daniel. Tanpa keraguan lagi, Hesti langsung menyanggupi karena dia memang sangat membutuhkan uang. "Oke. Kamu kirim aja alamat cafe-nya.""Iya."Sambungan telepon terputus. Hesti tersenyum sumringah membayangkan sejumlah uang yang akan ia memiliki. Wanita itu tidak memikirkan syarat yang akan diajukan Mutiara padanya. Notifikasi pesan terdengar. Bibir Hesti menyunggingkan senyum melihat alamat cafe yang dikirim Mutiara. Tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya sehingga ia dapat irit ongkos. Kendaraan roda empat milik Hesti dipakai Ferry sampai sekarang belum juga dikembalikan. Ada perasaan cemas yang menghinggapi hati Hesti, ia cemas kalau mobil yang menjadi harta satu-satunya dibawa kabur Ferry atau dijual.Mutiara sudah tidak pusing lagi mencari orang yang akan dia manfaatkan untuk menghancurkan keluarga Daniel. Setelah Namira meningg4l, Muti
Hesti mencebik, Mutiara terlalu bertele-tele. "Apa syaratnya? dari tadi aku tanya apa syaratnya?" Sorot mata Hesti begitu tajam. Sejujurnya, nyali mutiara menciut melihat kemarahan yang disampaikan mantan istri Daniel"Syaratnya, kamu harus ... hm ... harus mengh4ncurkan rumah tangga Daniel. Aku ingin kamu berpura-pura tidvr dengan Daniel, nanti aku akan memfoto dan merekam lalu ... aku akan memberikan pada istrinya yang sekarang, Namira Rashid. Tapi ...."Bibir Hesti yang semula mengembang tiba-tiba meredup mendengar kata tapi. Kening Hesti mengkerut. "Tapi apa?""Kalau rumah tangga Daniel dan Namira hancur, kamu enggak boleh kembali lagi ke dia. Aku yang akan pura-pura prihatin pada nasib rumah tangga mereka dan aku yang akan menggantikan posisi Namira, menjadi istri Daniel Bragastara."***Berbeda dengan kedua wanita berusia hampir setengah abad itu, Namira dan Daniel hari ini hendak ke makam kedua orang tuanya sekaligus hendak ke makam adik kandung Daniel. Sepanjang ke makam, t
"Bener. Dia sering minta pendapatku, cari kamu kemana lagi? Om kamu masih sangat yakin kalau anak kandung adiknya dan Om Yuda masih hidup. Om kamu juga berjanji akan mengajakmu tinggal di sini bersama Om kamu, bersama aku, dan bersama Bianca."Lagi, Nida semakin penasaran kenapa dia harus tinggal bersama Daniel bukan bersama Yuda dan mamanya?"Kak, tolong ceritakan sebenarnya. Oke, aku janji. Aku enggak akan pernah pergi dari sini. Aku akan tetap tinggal di sini bersama kalian. Tapi, tolong ... saat ini Mamahku lagi ada di mana? Di mana, Kak? Aku mohon katakan yang sejujurnya. Aku hanya ingin ketemu mamah. Tolong Kak ...." Nida mengiba, menggenggam telapak tanga Namira. Istri Daniel menghela napas berat. Hatinya tak tega melihat raut wajah Nida. "Kak, aku mohon di mana Mamahku sekarang? Di mana, Kak ...."Nida menangis histeris sambil menggenggam telapak tangan Namira. "Nida, sebenarnya ... hm ... sebenarnya mamah kamu udah meninggal dunia, Nida ...."Hancur sudah harapan Nida yang
"Udah. Tadi di kantor. Sekarang mereka lagi di ruang tamu. Sayang, tadi itu ... Nida nanyain Dania terus. Aku yakin, dia juga pasti akan tanya soal Mamanya ke kamu.""Kalau dia nanya ke aku, aku harus jawab apa? Berbohong kalau ibunya masih hidup?" Namira ingin menguji suaminya. Apakah ia akan menyuruhnya berbohong atau sebaliknya. "Jangan bohong, katakan saja sejujurnya tapi ... aku harap kamu bicaranya baik-baik. Mungkin dia akan sedih, tapi aku yakin ... istriku yang cantik dan baik hati ini akan mampu membuat Nida tenang."Namira senyum tersipu malu. Bibirnya pura-pura dimanyunkan. "Mas Ayang mah ... bikin aku malu terus tau ...." timpal Namira manja, sembari menggamit lengan suaminya. Daniel sangat menyukai prilaku Namira yang malu-malu seperti ini. Sangat menggemaskan. Tiba di ruang tamu, langkah kaki Namira terhenti melihat sosok gadis yang tengah tertawa bersama Yuda. "Mas Ayang ... ka-kamu benar, dia ... dia mirip Dania yang difoto itu ...." bisik Namira di depan telinga
Sepanjang jalan, Nida terus saja bercerita tentang pengalaman indah dan manis di sekolah meski kenyataannya, lebih banyak penderitaan yang dialami Nida ketimbang bahagia bersama teman-temannya. Hingga saat ini, Nida tidak punya teman dekat atau sahabat satu pun. Semuanya seperti membenci Nida karena kedua orang tuanya tak pernah ada. Tak pernah datang ke sekolah bilamana ada rapat atau penerimaan raport. Daniel memerhatikan obrolan Yuda dan Nida lewat kaca spion depan. Keduanya sangat bahagia. Mereka pada akhirnya telah ditemukan. Entah bagaimana caranya, Nida bisa menemukan alamat perusahaan Daniel. Pasti ada orang yang memberikan alamat perusahaannya supaya Nida bertemu dengan keluarga kandungnya. Dalam hati, Daniel berdoa untuk orang yang telah menyuruh Nida datang ke perusahaan, menemui Daniel. Memasuki halaman rumah megah nan mewah, Nida sempat terpana. Mulutnya tanpa ia sadari menganga lebar. Takjub, akan kebesaran dan kemegahan rumah keluarga Bragastara. "Kita turun, Nak," a
Daniel yang menyaksikan itu menghela napas lega. Menyeka lelehan air matanya yang tak kunjung berhenti. Daniel benar-benar bersyukur karena Allah telah mengantarkan Nida ke tempatnya. Sesuatu hal yang sangat tak terduga. "Hei, sudah ... kalian jangan menangis lagi. Mari, kita duduk." Daniel mengajak Yuda dan Nida berdiri, duduk di sofa yang sebelumnya ditempati Nida. Ayah dan anak itu masih larut dalam kebahagiaan dan rasa haru. Mereka seperti sedang bermimpi. Pertemuan yang sama sekali tidak Yuda bayangkan. Yuda bahkan sempat berpikir kalau dia tidak mungkin bisa bertemu dengan anak kandungnya dari Dania. "Hm, Nida ... Om dan Papahmu sekarang ada meeting. Kamu pulang ke rumah Om saja," ucap Daniel pada gadis berusia 17 tahun itu. "Ke rumah Om? Apakah mamahku ada di sana?" tanya Nida antusias. Binar kebahagiaan jelas terlihat di raut wajah. Pertanyaan Nida membuat Daniel dan Yuda tersentak. Mereka lupa mengatakan yang sebenarnya tentang ibu kandung Nida. Yuda menoleh pada Daniel.
Daniel sangat penasaran dengan orang yang menjelek-jelekkan Dania dan Yuda. Menganggap Nida bukan anak yang diinginkan. Daniel sangat yakin kalau orang yang menyebarkan kebohongan itu pasti orang terdekat mereka. Tetapi siapa?Nida tak langsung menjawab. Hatinya sangat sedih karena selama ini ia selalu berpikir buruk tentang kedua orang tuanya. Meski demikian, Nida tetap ingin bertemu dan tidak ada kebencian di hatinya. "Katakan sama Om. Siapa nama orang itu, Nida? Kamu jangan takut. Sekarang kamu udah punya Om. Kalau dia macam-macam sama kamu, Om akan bertindak langsung," ucap Daniel meyakinkan Nida yang tampak ragu menyebutkan nama orang tersebut. "Benarkah? Om akan ... akan melindungiku?""Tentu saja, Nida. Kamu keponakan Om satu-satunya. Sekarang bilang, siapa nama orang itu?""Nama orang itu tan---"Tok, tok, tok!Ucapan Nida menggantung ketika mendengar suara ketukan pintu. Daniel dan Nida menoleh ke pintu ruangan. Daniel melirik arloji di pergelangan, ternyata sebentar lagi m
Nida kembali mendongak, menatap lelaki yang wajahnya sudah basah oleh air mata. "Sekarang kita ke ruangan, Om. Om akan ceritakan semuanya."Beruntung, para karyawan sedang sibuk. Hanya Shella yang menyaksikan pertemuan yang telah didambakan Daniel bertahun-tahun lamanya. Shella yang telah mengetahui masa lalu keluarga Bragastara menangis. Membayangkan kebahagiaan seorang Daniel yang telah bertemu dengan anak kandung adiknya. "Om, mamah di mana? Papah di mana? Mereka masih hidup kan, Om?" Pertanyaan Nida lagi-lagi membuat Daniel meneteskan air mata. Mereka kini duduk di sofa ruangan Daniel. Lelaki itu merangkul pundak Nida. Menangis kembali. Bayangan Dania berkelebat. Daniel seperti melihat Dania yang duduk manis di kursi sambil memerhatikan mereka. "Om ... aku pengen ketemu mamah ... aku pengen ketemu papah ... aku pengen ... pengen kayak teman-temanku punya keluarga yang utuh ... A-aku ingin buktikan pada mereka kalau aku ... a-aku bukan anak haram.""Bukan, Nida ... kamu bukan an
Seketika, Daniel terkejut mendengar jawaban Shella. Pikirannya langsung tertuju pada anak kandung Dania dan Yuda. Apa mungkin Nida yang ingin menemuinya Nida anak kandung Dania dan Yuda?"Di mana gadis itu?" tanya Daniel."Di luar, Pak."Daniel keluar ruangan lebih dulu dari pada Shella. Tergesa-gesa ingin memastikan siapa gadis yang datang ingin menemuinya. Shella merasa heran dengan perubahan yang terjadi pada sikap Daniel."Kenapa Pak Daniel seperti mengenal gadis itu? Sebenarnya siapa gadis bernama Nida?" gumam Shella sambil menutup pintu ruangan bos-nya. Nida meremas kedua telapak tangannya. Ia dipersilakan menunggu di kursi depan ruangan Shella. Dirinya sangat gugup membayangkan bertemu dengan kedua orang tuanya. Kedua orang tua yang hampir setiap malam ia rindukan. Nida berharap kalau hari ini akan bertemu dengan mamah papah. Nida ingin sekali setiap hari atau setiap saat memanggil, "Mah, aku pulang." Atau Nida mengadu. "Pah, hari ini si Jhoni jahil banget. Suka gangguin aku.
Pagi di dalam salah satu kamar rumah Bragastara, terdengar percakapan riang. "Sayang, perutmu mulai terlihat membuncit," ucap Daniel ketika melihat Namira tengah berdiri di depan lemari pakaian usai membersihkan diri. Namira merunduk, memerhatikan perutnya. Ia tersenyum bahagia. Daniel menghampiri, mengelus perut Namira. Lalu, menempelkan telinga di depan perut yang mengandung buah hatinya. "Mas Ayang, ngapain?" tanya Namira terkekeh geli melihat tingkah suaminya. Daniel menegakkan tubuh, menangkupkan wajah Namira dengan kedua tangan. "Aku pengen dengar, pergerakan calon anak kita.""Emang kedengeran?""Belum, heheeh ....""Kirain.""Kamu pake baju. Aku harus secepatnya ke kantor, setelah itu mau ke kantor polisi lagi, mau tanya kapan jadwal persidangan kasus Hesti," ujar Daniel mengenakan dasi."Iya, Mas."Usai Namira mengenakan pakaiannya. Menghampiri Daniel yang merapikan berkas-berkas di meja kerja yang ada di dalam kamar. Namira membantu Daniel mengenakan jas hitam. "Mas Ayan
"Gimana, Ferry? Apa mereka mengabulkan permintaanmu?" tanya Hesti antusias, mereka duduk di sofa ruang keluarga. Ferry menatap iba wanita yang telah dinikahinya itu. Lantas, Ferry menggenggam telapak tangan Hesti. "Apapun nanti yang akan kamu alami, kamu harus hadapi. Jangan melarikan diri!"Sontak, Hesti melepaskan genggaman tangan suaminya. Tatapannya nanar pada Ferry. "Apa mereka tetap ingin melanjutkan kasus itu?" Suara Hesti terdengar bergetar. Hatinya berdetak lebih cepat, membayangkan menjalani hari di dalam penj4ra. Hesti pikir, Ferry yang berbicara, mereka akan mengabulkan. Ternyata tetap sama saja. Daniel dan Bianca sangat tega, sangat kejam. "Iya, Sayang. Enggak apa-apa. Pak Daniel bilang, nanti dia akan minta keringanan untuk hukumanmu.""Bohong! Dia pasti bohong! Mana mungkin Daniel mau meminta keringan untuk hukuman yang aku jalani? Mereka kej4m, sangat egois, Ferry!" Tangisan Hesti pecah, ia menangis meraung-raung. Ferry tak tega, ia memeluk tubuh wanita yang usianya