Daniel bagai orang g1la memohon pada wanita yang badannya sudah kurus kering. Tenggorokan Gauri tercekat, tak dapat berkata-kata lagi. Tanpa membalas pertanyaan Daniel, Gauri mematikan sambungan telepon.Daniel terkejut ketika suara yang sempat dirindukannya tidak terdengar lagi. Lelaki itu menekan nomor Gauri lagi sambil duduk di kursi meja rias. Tapi, sudah tidak aktif lagi. Daniel kesal, hampir saja ia membanting handphonenya. Namun, Daniel terkejut melihat Namira yang tengah tertidur pulas. Dia baru sadar, kalau sekarang sudah punya istri. Sudah mempunyai istri yang membuat hari-harinya bersemangat dan bahagia. Seketika, penyesalan memenuhi relung hati. Tanpa disadari saat mendengar suara Gauri lagi, perasaan cinta dan rindu itu muncul. Daniel merasa bersalah, ia naik ke atas r4njang, memeluk tubuh mungil Namira sembari mengelus perut yang belum membuncit. Tangisan Daniel terdengar oleh Namira. "Mas Ayang, kenapa nangis? Ada apa?" Namira menyeka lembut lelehan air mata yang memb
"Uuuh ... suamiku waktu masih muda ternyata ganteng bingiitt ...," ucap Namira riang. Bibirnya tersenyum manis.Namira tak mempedulikan kalimat yang tertera di atas foto itu. Ia justru fokus pada wajah Daniel ketika masih muda, terlihat sangat tampan apalagi dengan senyum manis dibibirnya. Bagi Namira, kalimat itu hanya masa lalu. Terpenting sekarang, Daniel sudah menjadi miliknya, sudah menjadi suaminya. Begitu pula wanita yang berada di samping Daniel. Pasti sudah mengeriput. Misalnya wanita itu mantan pacar Daniel, mana mungkin Daniel lebih memilih wanita itu ketimbang dirinya? Pasti sekarang wanita yang berpose di samping suaminya sudah tua.Namira mengambil selembar foto itu dari album, tidak berniat ingin membuka lembaran foto lainnya. Dia sangat suka pose dan eskpresi wajah Daniel. Meski gambarnya hitam putih, tetapi ketampanan Daniel begitu terpancar. Namira menyimpan kembali album ke dalam laci. Kemudian dia duduk di sisi ranjang, memandang wajah suaminya yang menurut Namira
Namira berkata tanpa emosi. Justru wanita itu masih bersikap manja. "Mas Ayang, kok diam aja sih? Wah, jangan-jangan Mas Ayang masih ngelindur, ya? Belum benar-benar sadar." Namira beranjak dari pangkvan Daniel. Ia bergegas mengambil segelas air lalu menyuruh Daniel meminumnya. Daniel menurut, meminum air sampai setengah gelas. "Sekarang Mas Ayang udah bener-bener sadar 'kan?" Kepala Namira agak merunduk, menatap lekat wajah lelaki yang amat disayanginya. "I-iya, Sayang. Hem, sebentar ... aku mau ke toilet dulu."Daniel turun dari r4njang, berjalan ke toilet, mencuci muka. Setelah hitungan menit, Daniel keluar dari toilet. Ia melihat Namira sudah memegang selembar foto dan gvnting. Lelaki itu menghela napas panjang, berusaha tetap tenang. Daniel duduk di sisi istrinya. "Mas Ayang, tadi foto ini ada di bawah nakas. Apa jatuh, ya?" tanya Namira kebingungan. "Kayaknya iya. Kamu mau ... mau gvnting foto wanitanya?" tanya Daniel hati-hati. "Iya. Sama kalimat ini mau aku gunting. Bol
Sudah dua hari, Ferry mengurung diri di dalam kamar. Sekarang ia bingung, harus bertindak seperti apa. Handphone-pun ia matikan. Dirinya benar-benar tidak ingin bertemu dengan orang lain. Hanya sesekali berbicara dengan ibu kandungnya, Gauri. Ternyata istri sirri pertamanya adalah wanita yang dulu tidak disukai ibunya. Ferry tidak tahu lagi harus berbuat seperti apa? Apakah dia harus menjauhi Mutiara? Sedangkan dirinya masih membutuhkan uang untuk biaya kuliah dan pengobatan Gauri. Sedangkan Hesti, wanita itu sekarang tidak bisa diandalkan. Dia sudah jatuh miskin. Tidak memiliki banyak uang lagi. "Apa aku harus mencari target lain? Siapa?" Ferry mengacak rambutnya. Pikiran Ferry sudah buntu. Tidak tahu harus mengambil keputusan apa. Tok, tok, tok."Ferry ... Buka pintunya, Nak ...." Suara lemah lembut itu adalah suara wanita yang telah melahirkan Ferry ke muka bumi ini, Gauri. "Sebentar, Bu."Ferry beranjak ke pintu kamar, membukanya. "Ada apa, Bu?""Kamu enggak kuliah, Nak?" ta
Wanita bertubuh ringkih itu menjerit, menangis histeris. Mutiara menghentakan tangan suster. Ia menarik paksa suster ke salam satu kamar tamu, mengunci dari luar. Gauri terkejut, ia menekan tombol kursi roda agar kembali keluar. Namun, usahanya sia-sia. Belum sempat sampai pintu depan, kursi roda yang diduduki Gauri berhasil ditahan. Mutiara bergegas mengunci pintu depan. Lalu, menarik tubuh Gauri dari kursi roda hingga jatuh terjerembab. "Wanita p3nyakitan. Lebih baik kamu m4ti ...." teriak Mutiara pada Gausa yang terlihat lemah. Sekuat tenaga, Gauri menjauhi Mutiara. Tidak ingin m4ti di tangan wanita itu. Mutiara benar-benar tidak berubah. Sifatnya masih saja j4hat. "Mau kemana kamu, Gauri? Mau kemana, heh?" Lagi, Mutiara berteriak. "Dengerin aku dulu. Sebelum kamu m4ti, kamu harus tau fakta yang menarik dan membuatmu mungkin akan langsung meregang nyawa," ucap Mutiara memegang kedua kaki Gauri yang tinggal tulang belulang. Gauri menangis histeris, berusaha terus meronta dari c
Ferry merasa aneh, saat tiba di depan rumah. Pintu rumahnya terbuka lebar dan kursi roda milik ibunya tidak berpenghuni. Ruangan berantakan. Ferry berfirasat ada sesuatu yang buruk terjadi di rumahnya. Kedua plastik besar di letakkan di atas meja tamu. Ia bergegas masuk ke ruangan demi ruangan sambil memanggil ibunya. "Bu ... Ibu ... Ibu di mana, Bu ...?" Ferry membuka pintu kamar Gauri, kosong. Samar-samar, Ferry mendengar suara gedoran pintu kamar. Setengah berlari Ferry menghampiri kamar tamu. Dengan gerakan cepat, Ferry memutar kunci kamar. "Sus, kemana Ibu?"Suster TIna menangis tersedu-sedu. "Ta-tadi ada orang yang datang ke sini, nyik-ny1ksa Ibu, Mas ...." Ferry terkejut, menelan saliva. Siapa yang datang ke rumahnya? Seingat Ferry, selama ini dia tidak pernah punya musuh. "Siapa orangnya, Sus? Apa Ibu menyebut nama orang itu?" Kedua tangan Ferry memegang kedua bahu Suster Tina. "Enggak tau, Mas ... I-Ibu hanya menyebutnya j4-j4lang ...." Suara Suster Tina masih bergeta
Bianca berjalan seorang diri, melewati lorong rumah sakit yang cukup panjang. Sesekali Bianca menoleh ke belakang. Terlihat Yuda dan Gita kembali berbincang. Mereka tampak bicara serius. Bianca sebenarnya tidak ingin pulang, dia masih ingin menemani Evan di rumah sakit. Tetapi, Bianca juga tidak enak hati kalau bersikukuh ingin menemani Evan.Supir pribadi Daniel sudah menunggu di area parkir ketika Bianca menghubunginya akan pulang ke rumah dulu. Melihat Bianca berjalan ke arahnya. Supir pribadi membuka pintu mobil penumpang, dengan nyaman Bianca duduk di dalamnya. Kendaraan yang ditumpangi melaju meninggalkan halaman rumah sakit. Di tengah perjalanan, Bianca menelepon Namira."Hallo?" sapa Namira di ujung telepon. Bianca menghela napas panjang, menoleh ke luar jendela mobil. "Na, aku lagi di jalan. Mau pulang," kata Bianca menyandarkan kepala. "Oh kirain aku, kamu mau di sana. Baru aja aku mau suruh Bi Rusmi nganterin pakaian ganti buatmu."Bianca berdecih, memijat kening."Kena
"Ayok, keluar! Keluar!" teriak Mutiara, menarik tangan ringkih Gauri. Wanita yang telah melahirkan Ferry itu tubuhnya sangat lemas. Air matanya tak berhenti mengalir. Ia sudah tidak peduli lagi akan perlakuan Mutiara. Pengakuan Mutiara yang telah menikah dengan Ferry, membuat Gauri terkejut setengah mati. Anak yang selama ini dia banggakan ternyata begitu h1na. Menjadi g1g0lo, simp4nan tante-tante. "Bangun, Gauri! Kamu ini ... lemah sekali! Cuih!" Tanpa hati, Mutiara melvdahi wajah Gauri. Wanita itu tetap diam, tidak menyeka lelehan air l1ur Mutiara. Pandangannya kosong. Sudah begini, Gauri lebih baik m4ti saja. Dia malu, sangat malu memiliki anak yang ternyata menjadi simpan4n wanita yang dib3ncinya. "Astaga, kamu ini tuli, heuh!" Mutiara men0y0r kepala Gauri hingga tubuh wanita yang duduk di atas tanah terjerembab. Dengan k4sar, Mutiara meny3ret tubuh Gauri ke dalam gudang. Gudang yang sudah Mutiara persiapkan untuk meny1ksa wanita yang dulu pernah dicintai Daniel. Bugh!Tubuh Ga
"Bener. Dia sering minta pendapatku, cari kamu kemana lagi? Om kamu masih sangat yakin kalau anak kandung adiknya dan Om Yuda masih hidup. Om kamu juga berjanji akan mengajakmu tinggal di sini bersama Om kamu, bersama aku, dan bersama Bianca."Lagi, Nida semakin penasaran kenapa dia harus tinggal bersama Daniel bukan bersama Yuda dan mamanya?"Kak, tolong ceritakan sebenarnya. Oke, aku janji. Aku enggak akan pernah pergi dari sini. Aku akan tetap tinggal di sini bersama kalian. Tapi, tolong ... saat ini Mamahku lagi ada di mana? Di mana, Kak? Aku mohon katakan yang sejujurnya. Aku hanya ingin ketemu mamah. Tolong Kak ...." Nida mengiba, menggenggam telapak tanga Namira. Istri Daniel menghela napas berat. Hatinya tak tega melihat raut wajah Nida. "Kak, aku mohon di mana Mamahku sekarang? Di mana, Kak ...."Nida menangis histeris sambil menggenggam telapak tangan Namira. "Nida, sebenarnya ... hm ... sebenarnya mamah kamu udah meninggal dunia, Nida ...."Hancur sudah harapan Nida yang
"Udah. Tadi di kantor. Sekarang mereka lagi di ruang tamu. Sayang, tadi itu ... Nida nanyain Dania terus. Aku yakin, dia juga pasti akan tanya soal Mamanya ke kamu.""Kalau dia nanya ke aku, aku harus jawab apa? Berbohong kalau ibunya masih hidup?" Namira ingin menguji suaminya. Apakah ia akan menyuruhnya berbohong atau sebaliknya. "Jangan bohong, katakan saja sejujurnya tapi ... aku harap kamu bicaranya baik-baik. Mungkin dia akan sedih, tapi aku yakin ... istriku yang cantik dan baik hati ini akan mampu membuat Nida tenang."Namira senyum tersipu malu. Bibirnya pura-pura dimanyunkan. "Mas Ayang mah ... bikin aku malu terus tau ...." timpal Namira manja, sembari menggamit lengan suaminya. Daniel sangat menyukai prilaku Namira yang malu-malu seperti ini. Sangat menggemaskan. Tiba di ruang tamu, langkah kaki Namira terhenti melihat sosok gadis yang tengah tertawa bersama Yuda. "Mas Ayang ... ka-kamu benar, dia ... dia mirip Dania yang difoto itu ...." bisik Namira di depan telinga
Sepanjang jalan, Nida terus saja bercerita tentang pengalaman indah dan manis di sekolah meski kenyataannya, lebih banyak penderitaan yang dialami Nida ketimbang bahagia bersama teman-temannya. Hingga saat ini, Nida tidak punya teman dekat atau sahabat satu pun. Semuanya seperti membenci Nida karena kedua orang tuanya tak pernah ada. Tak pernah datang ke sekolah bilamana ada rapat atau penerimaan raport. Daniel memerhatikan obrolan Yuda dan Nida lewat kaca spion depan. Keduanya sangat bahagia. Mereka pada akhirnya telah ditemukan. Entah bagaimana caranya, Nida bisa menemukan alamat perusahaan Daniel. Pasti ada orang yang memberikan alamat perusahaannya supaya Nida bertemu dengan keluarga kandungnya. Dalam hati, Daniel berdoa untuk orang yang telah menyuruh Nida datang ke perusahaan, menemui Daniel. Memasuki halaman rumah megah nan mewah, Nida sempat terpana. Mulutnya tanpa ia sadari menganga lebar. Takjub, akan kebesaran dan kemegahan rumah keluarga Bragastara. "Kita turun, Nak," a
Daniel yang menyaksikan itu menghela napas lega. Menyeka lelehan air matanya yang tak kunjung berhenti. Daniel benar-benar bersyukur karena Allah telah mengantarkan Nida ke tempatnya. Sesuatu hal yang sangat tak terduga. "Hei, sudah ... kalian jangan menangis lagi. Mari, kita duduk." Daniel mengajak Yuda dan Nida berdiri, duduk di sofa yang sebelumnya ditempati Nida. Ayah dan anak itu masih larut dalam kebahagiaan dan rasa haru. Mereka seperti sedang bermimpi. Pertemuan yang sama sekali tidak Yuda bayangkan. Yuda bahkan sempat berpikir kalau dia tidak mungkin bisa bertemu dengan anak kandungnya dari Dania. "Hm, Nida ... Om dan Papahmu sekarang ada meeting. Kamu pulang ke rumah Om saja," ucap Daniel pada gadis berusia 17 tahun itu. "Ke rumah Om? Apakah mamahku ada di sana?" tanya Nida antusias. Binar kebahagiaan jelas terlihat di raut wajah. Pertanyaan Nida membuat Daniel dan Yuda tersentak. Mereka lupa mengatakan yang sebenarnya tentang ibu kandung Nida. Yuda menoleh pada Daniel.
Daniel sangat penasaran dengan orang yang menjelek-jelekkan Dania dan Yuda. Menganggap Nida bukan anak yang diinginkan. Daniel sangat yakin kalau orang yang menyebarkan kebohongan itu pasti orang terdekat mereka. Tetapi siapa?Nida tak langsung menjawab. Hatinya sangat sedih karena selama ini ia selalu berpikir buruk tentang kedua orang tuanya. Meski demikian, Nida tetap ingin bertemu dan tidak ada kebencian di hatinya. "Katakan sama Om. Siapa nama orang itu, Nida? Kamu jangan takut. Sekarang kamu udah punya Om. Kalau dia macam-macam sama kamu, Om akan bertindak langsung," ucap Daniel meyakinkan Nida yang tampak ragu menyebutkan nama orang tersebut. "Benarkah? Om akan ... akan melindungiku?""Tentu saja, Nida. Kamu keponakan Om satu-satunya. Sekarang bilang, siapa nama orang itu?""Nama orang itu tan---"Tok, tok, tok!Ucapan Nida menggantung ketika mendengar suara ketukan pintu. Daniel dan Nida menoleh ke pintu ruangan. Daniel melirik arloji di pergelangan, ternyata sebentar lagi m
Nida kembali mendongak, menatap lelaki yang wajahnya sudah basah oleh air mata. "Sekarang kita ke ruangan, Om. Om akan ceritakan semuanya."Beruntung, para karyawan sedang sibuk. Hanya Shella yang menyaksikan pertemuan yang telah didambakan Daniel bertahun-tahun lamanya. Shella yang telah mengetahui masa lalu keluarga Bragastara menangis. Membayangkan kebahagiaan seorang Daniel yang telah bertemu dengan anak kandung adiknya. "Om, mamah di mana? Papah di mana? Mereka masih hidup kan, Om?" Pertanyaan Nida lagi-lagi membuat Daniel meneteskan air mata. Mereka kini duduk di sofa ruangan Daniel. Lelaki itu merangkul pundak Nida. Menangis kembali. Bayangan Dania berkelebat. Daniel seperti melihat Dania yang duduk manis di kursi sambil memerhatikan mereka. "Om ... aku pengen ketemu mamah ... aku pengen ketemu papah ... aku pengen ... pengen kayak teman-temanku punya keluarga yang utuh ... A-aku ingin buktikan pada mereka kalau aku ... a-aku bukan anak haram.""Bukan, Nida ... kamu bukan an
Seketika, Daniel terkejut mendengar jawaban Shella. Pikirannya langsung tertuju pada anak kandung Dania dan Yuda. Apa mungkin Nida yang ingin menemuinya Nida anak kandung Dania dan Yuda?"Di mana gadis itu?" tanya Daniel."Di luar, Pak."Daniel keluar ruangan lebih dulu dari pada Shella. Tergesa-gesa ingin memastikan siapa gadis yang datang ingin menemuinya. Shella merasa heran dengan perubahan yang terjadi pada sikap Daniel."Kenapa Pak Daniel seperti mengenal gadis itu? Sebenarnya siapa gadis bernama Nida?" gumam Shella sambil menutup pintu ruangan bos-nya. Nida meremas kedua telapak tangannya. Ia dipersilakan menunggu di kursi depan ruangan Shella. Dirinya sangat gugup membayangkan bertemu dengan kedua orang tuanya. Kedua orang tua yang hampir setiap malam ia rindukan. Nida berharap kalau hari ini akan bertemu dengan mamah papah. Nida ingin sekali setiap hari atau setiap saat memanggil, "Mah, aku pulang." Atau Nida mengadu. "Pah, hari ini si Jhoni jahil banget. Suka gangguin aku.
Pagi di dalam salah satu kamar rumah Bragastara, terdengar percakapan riang. "Sayang, perutmu mulai terlihat membuncit," ucap Daniel ketika melihat Namira tengah berdiri di depan lemari pakaian usai membersihkan diri. Namira merunduk, memerhatikan perutnya. Ia tersenyum bahagia. Daniel menghampiri, mengelus perut Namira. Lalu, menempelkan telinga di depan perut yang mengandung buah hatinya. "Mas Ayang, ngapain?" tanya Namira terkekeh geli melihat tingkah suaminya. Daniel menegakkan tubuh, menangkupkan wajah Namira dengan kedua tangan. "Aku pengen dengar, pergerakan calon anak kita.""Emang kedengeran?""Belum, heheeh ....""Kirain.""Kamu pake baju. Aku harus secepatnya ke kantor, setelah itu mau ke kantor polisi lagi, mau tanya kapan jadwal persidangan kasus Hesti," ujar Daniel mengenakan dasi."Iya, Mas."Usai Namira mengenakan pakaiannya. Menghampiri Daniel yang merapikan berkas-berkas di meja kerja yang ada di dalam kamar. Namira membantu Daniel mengenakan jas hitam. "Mas Ayan
"Gimana, Ferry? Apa mereka mengabulkan permintaanmu?" tanya Hesti antusias, mereka duduk di sofa ruang keluarga. Ferry menatap iba wanita yang telah dinikahinya itu. Lantas, Ferry menggenggam telapak tangan Hesti. "Apapun nanti yang akan kamu alami, kamu harus hadapi. Jangan melarikan diri!"Sontak, Hesti melepaskan genggaman tangan suaminya. Tatapannya nanar pada Ferry. "Apa mereka tetap ingin melanjutkan kasus itu?" Suara Hesti terdengar bergetar. Hatinya berdetak lebih cepat, membayangkan menjalani hari di dalam penj4ra. Hesti pikir, Ferry yang berbicara, mereka akan mengabulkan. Ternyata tetap sama saja. Daniel dan Bianca sangat tega, sangat kejam. "Iya, Sayang. Enggak apa-apa. Pak Daniel bilang, nanti dia akan minta keringanan untuk hukumanmu.""Bohong! Dia pasti bohong! Mana mungkin Daniel mau meminta keringan untuk hukuman yang aku jalani? Mereka kej4m, sangat egois, Ferry!" Tangisan Hesti pecah, ia menangis meraung-raung. Ferry tak tega, ia memeluk tubuh wanita yang usianya