Ferry sangat kesal, keinginannya tidak dikabulkan Hesti selaku istri sirri keduanya. Dia benar-benar kecewa. Hesti beralasan karena tidak ada uang. Mau tak mau, malam ini dia di rumah istri sirri pertamanya. Sama, masih tante-tante."Beb, tumben banget kamu udah di rumah? Enggak ada tugas kuliah?" tanya seorang wanita yang baru saja pulang dari kantor. Wanita itu bernama Mutiara Indah, wanita yang usianya mungkin sebaya dengan Hesti. Ferry menikah dengan Mutiara sekitar enam bulan lalu, sejak ia masih tinggal di Bandung. Pertemuan Mutiara dan Ferry ketika wanita itu ditugaskan keluar kota oleh Daniel. "Iya, Beb. Habisnya aku kangen banget sama kamu. Sini duduk dong! Di pangkvanku," kata Ferry menggoda Mutiara agar duduk di atas kedua p4hanya. "Nanti dulu deh, aku belum mandi, takut bau!" tolak Mutiara, beranjak meninggalkan berondongnya. Ferry tersenyum miring, mengeluarkan sebatang rok0k, memantik dan mengh1sapnya perlahan.Hampir 15 menit, Ferry menunggu Mutiara selesai membersihk
Ferry semakin tak mengerti kemana arah pembicaraan Mutiara. Lelaki itu mengubah posisi duduk, lebih menghadap wanita yang telah berstatus menjadi istrinya. "Rencana? Banyak uang? Beb, ceritakan yang jelas supaya aku lebih ngerti maksudmu. Ada apa?"Mutiara menarik napas panjang. Pandangannya lurus ke depan. Ia sebenarnya bingung, apakah berterus terang pada Ferry kalau ada lelaki lain di hatinya atau justru lebih baik dirahasiakan saja. "Ferry, aku punya rencana ingin mencvlik anak gadis bosku."Ferry terperanjak. Kaget mendengar rencana jahat yang diucapkan Mutiara. "Men-mencul1k anak bosmu? Buat apa, Beb?" Ferry tidak langsung mengiyakan ucapan Mutiara. Rencana sebelumnya saja gagal. Sewaktu Mutiara menyuruh Ferry dan teman-temannya membvnuh anak bosnya. Sekarang dia disuruh lagi? "Kamu gak mau?" Mutiara tak suka mendengar dua pertanyaan Ferry. "Bukan gak mau. Tapi, kamu tau sendiri kalau anak bosmu itu bukan gadis b0doh. Apa kamu lupa, waktu aku dan teman-teman menghadang mobi
Mutiara bergegas menuju ruang penjengukkan n4rapidana. Setelah menjalankan prosedur penjengukkan, Mutiara dipersilakan menunggu di salah satu ruangan. Mutiara ingin bercerita banyak hal pada Ferdi. Tidak berselang lama, lelaki yang rambutnya ditumbuhi banyak uban menghampiri. Wanita yang dulu pernah menjadi s3lingkuhannya itu memamerkan senyum yang menurutnya sangat manis. "Senyumanmu menjij1kan, J4lang. Cuih!" cibir Ferdi Darmantyo, m3ludah ke lantai. Lelaki itu sebenarnya sudah sangat mvak dengan kedatangan Mutiara yang mengingatkan perihal keb0dohannya. Mutiara tidak sakit hati, justru tersenyum tipis. "Aku kangen kamu, Ferdi." Mutiara hendak meraih kedua telapak tangan Ferdi namun ditepis kasar oleh ayah kandung Ferry. "Ada apa kamu ke sini? Jangan basa-basi! Aku enggak suka," hardik Ferdi sangat muak melihat Mutiara. Lelaki itu dalam hatinya hanya ada kebencian, amarah dan dendam pada Mutiara. Gara-gara wanita licik itu dia sekarang mendekam di dalam penjara. Dulu mema
Keesokan harinya, Daniel dan Namira sangat bahagia, pagi ini Namira sudah diperbolehkan pulang oleh dokter."Serius, Pah? Mamih udah diizinin pulang?" Bianca sangat antusias mendengar Namira akan kembali ke rumah lewat sambungan telepon."Iya. Sekarang papah lagi mengemasi barang dan menyelesaikan administrasi rumah sakit.""Oke, Pah. Sekarang aku jemput ke rumah sakit, ya?""Jangan sendirian! Ajak Evan. Suruh dia yang menyetir." Perintah Daniel kali ini membuat hati Bianca sangat gembira. Dia juga ingin selalu bersama dengan lelaki yang mungkin sudah membuatnya jatuh hati. "Iya, Pah. Nanti aku telepon Evan dulu.""Iya."Sambungan telepon sudah terputus. Bianca lantas menelepon anak tunggal Yuda itu. "Hallo, Bian?""Van, kamu kok belum dateng ke rumah sih?" tanya Bianca kesal. Bibirnya merengut. "Lho, katamu kemarin, hari ini enggak ke kampus. Enggak kemana-mana, mau di rumah aja. Makanya aku gak ke sana. Emangnya ada apa?"Bianca tersinggung mendengar pertanyaan Evan."Ya udah, ga
"Mas Ayang ... jangan pergi dooongg ... aku maunya dipeyuukkk teyuusss ...." Namira menggamit lengan suaminya yang hendak beranjak ke toilet. Daniel tersenyum melihat tingkah manja Namira. Gadis ini benar-benar membuatnya kembali berjiwa muda. Setiap hari, setiap melihat senyum Namira, hati Daniel selalu bahagia. "Aku gak kemana-mana. Cuma mau ke toilet," jawab Daniel membelai pipi Namira yang menempel pada lengannya. "Enggak mau. Aku maunya, Mas Ayang duduk di sini. Peyuk aku ...." rengek Namira cemberut, memandang wajah lelaki yang usianya sudah tidak lagi muda. "Aku mau buang air kecil dulu. Mau ikut?""Mau."Daniel terkekeh mendengar jawaban singkat Namira tapi menurutnya lucu. "Cuma buang air kecil sebentar aja, Sayang. Tunggu, ya?" Daniel meng3cup kening Namira, melepaskan tangan Namira dari lengannya lalu berjalan ke toilet. Namira merebahkan tubuh ke atas pembaringan. Bibirnya masih saja cemberut. Melirik handphone di atas nakas, Namira meraihnya, hendak menghubungi Bian
"Saya curiga dia ingin minta uang, Pak. Mungkin Ibu Hesti akan mengancam Gita supaya saya memberinya uang. Security saya bilang, dia maksa ingin bertemu dengan saya bahkan sekarang sedang menunggu di rumah."Daniel menghela napas panjang. Ia benar-benar pusing dengan tingkah laku Hesti. Sudah benar, wanita itu tinggal di luar negeri, malah kembali lagi ke tanah air. "Kalau begitu, nanti malam kalau Bianca udah pulang dari rumah sakit, aku akan membiacarakan mamanya yang akan kita laporkan ke polisi supaya Bianca mau diajak kerja sama untuk menjadi saksi." Akhirnya Daniel pasrah. Dari pada keluarga Yuda yang jadi sasaran Hesti, lebih baik Bianca tahu kebusukan sikap mamanya. "Baik, Pak."Sambungan telepon sudah berakhir. Daniel menarik napas panjang, memijat pelipisnya yang mulai terasa pusing. "Ada apa, Mas Ayang? Apa ada masalah?" tanya Namira penasaran. Daniel menoleh, tersenyum tipis. "Bukan masalah besar. Kita istirahat, ya? Aku pengen bobo siang bareng istri tercinta," kata D
Daniel bagai orang g1la memohon pada wanita yang badannya sudah kurus kering. Tenggorokan Gauri tercekat, tak dapat berkata-kata lagi. Tanpa membalas pertanyaan Daniel, Gauri mematikan sambungan telepon.Daniel terkejut ketika suara yang sempat dirindukannya tidak terdengar lagi. Lelaki itu menekan nomor Gauri lagi sambil duduk di kursi meja rias. Tapi, sudah tidak aktif lagi. Daniel kesal, hampir saja ia membanting handphonenya. Namun, Daniel terkejut melihat Namira yang tengah tertidur pulas. Dia baru sadar, kalau sekarang sudah punya istri. Sudah mempunyai istri yang membuat hari-harinya bersemangat dan bahagia. Seketika, penyesalan memenuhi relung hati. Tanpa disadari saat mendengar suara Gauri lagi, perasaan cinta dan rindu itu muncul. Daniel merasa bersalah, ia naik ke atas r4njang, memeluk tubuh mungil Namira sembari mengelus perut yang belum membuncit. Tangisan Daniel terdengar oleh Namira. "Mas Ayang, kenapa nangis? Ada apa?" Namira menyeka lembut lelehan air mata yang memb
"Uuuh ... suamiku waktu masih muda ternyata ganteng bingiitt ...," ucap Namira riang. Bibirnya tersenyum manis.Namira tak mempedulikan kalimat yang tertera di atas foto itu. Ia justru fokus pada wajah Daniel ketika masih muda, terlihat sangat tampan apalagi dengan senyum manis dibibirnya. Bagi Namira, kalimat itu hanya masa lalu. Terpenting sekarang, Daniel sudah menjadi miliknya, sudah menjadi suaminya. Begitu pula wanita yang berada di samping Daniel. Pasti sudah mengeriput. Misalnya wanita itu mantan pacar Daniel, mana mungkin Daniel lebih memilih wanita itu ketimbang dirinya? Pasti sekarang wanita yang berpose di samping suaminya sudah tua.Namira mengambil selembar foto itu dari album, tidak berniat ingin membuka lembaran foto lainnya. Dia sangat suka pose dan eskpresi wajah Daniel. Meski gambarnya hitam putih, tetapi ketampanan Daniel begitu terpancar. Namira menyimpan kembali album ke dalam laci. Kemudian dia duduk di sisi ranjang, memandang wajah suaminya yang menurut Namira
Alea terdiam, tidak langsung menanggapi rintihan wanita yang selama ini telah dianggap ibu kandungnya sendiri. "Ma, sudah, Ma ... jangan nangis ya? Seharian ini Mama nangis terus. Nanti Mama sakit ...." ucap Alea berusaha menenangkan Bianca. Istri Evan itu menggelengkan kepala berulang kali. Sekarang Bianca telah menyesal karena telah membohongi kedua adiknya belasan tahun lamanya. Selama ini, Bianca dan Evan selalu menanamkan sifat jujur pada si kembar. Namun, dia sendiri yang tidak jujur pada mereka. Bianca merasa sangat jahat pada Axel dan Alea. Bianca meraih salah satu telapak tangan Alea, menggenggamnya erat. "Alea, maafkan Mama, Nak ... maafin Mama ... Mama udah jahat sama kamu. Udah bohongi kamu dan Axel. Maafin Mama, Lea ...." Sangat sungguh-sungguh Bianca mengucapkan kata maaf. Tampaknya Bianca sangat menyesal dan bersedih karena telah merahasiakan kedua orang tua kandung Axel dan Alea. "Jangan minta maaf terus, Ma ... Aku dan Kak Axel udah maafin Mama. Udah ya, Ma? Janga
"Kamu benar, Xel. Apapun alasan Mbak Bian dan Mas Evan merahasiakan kedua orang tua kalian, tetap salah. Tapi, kamu juga jangan marah lama-lama. Coba kamu tanyakan baik-baik pada mereka, apa alasannya?" Gilang tak mau terlalu banyak menanggapi cerita yang disampaikan Axel. Ia tak mau, kalau dianggap ikut campur atau memihak ke salah satu keluarga itu. "Enggak tau, Bang. Jujur saja, aku masih kecewa. Masih enggak nyangka aja kalau mereka tega sama mama dan papaku. Misalnya mama Bianca membenci mamaku, kenapa pula dia sayang aku dan Alea?"Berbagai tanya diucapkan Axel. Benar-benar bingung dengan alasan Bianca dan Evan merahasiakan kedua orang tua kandung Axel dan Alea. "Ya sudah enggak usah kamu pikirkan dulu. Sekarang lebih baik kamu tenangkan hati dan pikiran.""Iya, Bang."Handphone milik Gilang tiba-tiba berdering. Lelaki itu merogoh saku celana, lalu terlihat nama kontak yang tertera di layar ponsel. Panggilan dari Alea. Gilang tak langsung mengangkat panggilan telepon itu, me
Nida menganggukkan kepala, mendengar tanggapan ibu mertua. "Iya, silakan saja Mama bicara dulu sama Mas Hanif. Maaf, Ma. Aku mau istirahat dulu. Apa masih ada yang mau Mama bicarakan?" Kalau saja tidak menghormati suaminya, Nida sudah ingin memarahi ibu Ros. "Enggak ada. Mama juga mau istirahat." Ibu Ros pergi lebih dulu, meninggalkan Nida yang masih duduk terpaku di ruang makan. Kepergian Ibu Ros dari ruangan itu, membuat Nida tercenung. Nida tak dapat menahan tangisan. Dalam keheningan, ia menangis tersedu-sedu. Nida juga ingin memiliki anak. Nida juga ingin merasakan hamil. Tapi, dia tidak memaksa Tuhan untuk memberinya keturunan. Nida selalu yakin, Tuhan lebih tahu, waktu dan saat yang tepat memiliki buah hati. Dengan kasar, Nida menyeka lelehan air mata. Ia beranjak, membersihkan piring kotor. Setelahnya, masuk ke dalam kamar. Baru saja menutup pintu kamar, terdengar suara dering handphone. Nida tahu, itu adalah suaminya. Nida berjalan menghampiri handphone y
Nida terkejut bukan main mendengar permohonan ibu Ros yang tak lain ibu mertuanya. Kedua mata Nida nyalang menatap wanita yang telah melahirkan suaminya. Sungguh, sedikitpun ia tak menyangka jika ibu Ros memintanya untuk mengizinkan Hanif menikah lagi.Sadar dari rasa terkejut, Nida menarik napas panjang. Ia tak boleh tersulut emosi. Jika sampai Nida memarahi ibu Ros, wanita itu pasti mengadu berlebihan pada Hanif."Oh, jadi Mama ingin aku izinin Mas Hanif nikah lagi? Supaya Mama dapat cucu dari istri barunya nanti? Begitu?" Nida sengaja mengulang keinginan ibu Ros dengan sikap yang santai. Ia juga melanjutkan suapan makan malamnya. Ibu Ros mengembuskan napas melihat ketenangan sikap Nida. "Iya begitu. Ya habis mau gimana lagi? Kamu juga sadar kan, enggak bisa kasih Hanif anak? Iya 'kan?"Yang salah tingkah bukan Nida, justru ibu Ros. Nida manggut-manggut sembari meneguk segelas air di dalam gelas hingga tandas. "Jujur ya, Ma. Sebenarnya aku enggak mau dipoligami. Enggak mau kala
Di dalam kamar, Nida berdiri di depan pintu. Kedua matanya terpejam, mulutnya mengucapkan istighfar berulang kali. Terkadang Nida sangat bersedih jika mengingat tak juga diberi buah hati. Berbagai cara telah Nida lakukan bahkan ia sempat menawarkan pada Hanif agar melakukan program bayi tabung tapi Hanif tak setuju. "Program bayi tabung itu mahal, Dek.""Tapi aku ada uangnya, Mas. Aku kan kerja. Uang hasil aku kerja kan jarang dipake." "Kamu menganggap Mas enggak punya uang? Kamu merendahkan Mas? Mas emang bukan pengusaha seperti keluargamu, tapi uang PNS yang Mas dapatkan sudah lebih dari cukup. Sudahlah, enggak usah melakukan program bayi tabung. Kalau sudah waktunya, nanti juga kita dikasih anak."Begitulah perdebatan Nida dengan suaminya suatu waktu. Setelah itu, Nida tak mengusulkan apa-apa lagi. Lebih memilih diam dan menerima hinaan dan makian dari keluarga Hanif terutama ibunya. Beruntung, Nida tipikal wanita bodo amatan. Terpenting baginya, Hanif mencintainya dengan tulus d
Sungguh, perkataan ibu Ros sangat menyinggung hati Nida. Wanita itu menatap tajam mertuanya. "Terserah Mama. Mau makan lauk nasi ini atau mau nunggu aku yang masak tapi aku mandi dulu!" Sangat ketus, Nida berkata.Selama ini, dia sudah berusaha sangat sabar menghadapi mulut ibu mertua yang luar biasa pedasnya. Kerap kali Nida dikatakan mandul pada keluarga Hanif. Hal yang paling tidak disukai Nida, mereka sering kali berkata, "Kayaknya Mbak Nida enggak punya anak karena emang keturunan. Buktinya Mbak Bianca juga enggak punya keturunan."Jika saja karena tidak menghargai suaminya, Nida udah menampar wajah kedua adik iparnya itu. "Dasar menantu enggak tau diri! Harusnya dulu Hanif nikah sama ibu guru Marisa saja bukan nikah sama dia! Menyebalkan! Huh! Aku harus menelepon Hanif. Harus aku adukan sikap istri kurang ajarnya itu!" cetus Ibu Ros mengeluarkan handphone dari saku gamis yang dikenakan. Tidak berselang lama, panggilan telepon ibu Ros diangkat anak sulungnya. "Assalamualaikum
"Dari mana, Pa?" tanya Bianca ketika Evan datang ke ruang makan. Sebelumnya Bianca melihat Evan ke depan rumah. "Dari depan," jawab Evan singkat. Ia melihat raut wajah ceria pada Bianca. Mungkin karena sikap Alea yang sudah biasa-biasa lagi. Seperti tidak ada yang terjadi. Tidak berselang lama, Alea datang dengan senyum tipis. Ia menyapa Bianca dan Evan seperti biasa. Alea sangat berusaha agar tidak ada yang berubah. Ia merasa sangat bahagia dengan kehidupannya. Dengan peran Bianca dan Evan yang mengaku sebagai kedua orang tua. "Lea, Axel mana? Apa dia belum selesai mandi?" tanya Bianca, menatap lekat adiknya yang sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik. "Ma, Axel tadi keluar rumah. Mungkin dia hanya pergi sebentar. Lebih baik kita makan duluan saja." Evan yang menjawab. Mengetahui kalau Alea tampak kebingungan menjawab pertanyaan Bianca, wanita yang dianggap ibu selama ini. Raut wajah Bianca yang sebelumnya ceria, kini berubah muram. Ia menelan saliva, kembali bersedih. Kepalanya
"Brisik! Minggir! Kalau kamu enggak mau ikut, enggak apa-apa." Axel mendorong adiknya agar menyingkir dari hadapan. Anak lelaki itu telah selesai mengemasi pakaian dan barang-barang ke dalam koper. Figura foto yang ada di tangan Alea, tak diambil. Dengan langkah cepat, Axel keluar kamar, menuruni anak tangga."Axel!" Panggilan Evan membuat langkah kaki Axel terhenti. Evan berjalan cepat menghampiri Axel yang selama ini dianggap anak olehnya. "Kamu mau kemana?" tanya Evan saat berdiri di depan Axel. Kembaran Alea itu tak langsung menjawab, ia terdiam sesaat. Melihat sikap Axel, Evan sudah dapat menerka jika Axel belum mengetahui kemana arah perginya. "Papa enggak akan melarangmu pergi. Tapi, kalau kamu mau, tinggal saja di apartemen Papa. Dan Papa harap, kamu enggak putus sekolah." Sebisa mungkin Evan bicara baik-baik pada Axel. "Terima kasih atas tawarannya tapi aku rasa enggak perlu. Masalah sekolah, enggak perlu khawatir. Aku akan tetap sekolah sampai selesai. Aku pamit."Hanya
Kendaraan yang ditumpangi Axel dan Alea telah memasuki halaman rumah keluarga Bragastara. Rumah yang selama ini menjadi saksi kebahagiaan Axel dan Alea memiliki kedua orang tua seperti Bianca dan Evan.Mesin mobil telah dimatikan, tapi Axel tetap bergeming. Pandangannya nanar pada rumah mewah nan megah itu. Benak Axel masih bertanya, kenapa Bianca begitu tega menyembunyikan kenyataan tentang siapa kedua orang tuanya? Apakah kedua orang tua Axel melakukan kesalahan sehingga Bianca begitu membenci mereka? Sehingga mereka tega tidak memberitahu kenyataan itu?"Mau turun dulu enggak, Kak?" Pertanyaan Alea menyentak lamunan lelaki yang berkulit putih, bermata agak sipit dan memiliki tinggi badan sekitar 178 cm itu. "Ya. Aku mau ngambil barang-barang dan pakaian dulu.""Kak, coba pikirin lagi. Jangan kebawa emosi. Coba berpikir positif," tegur Alea mengingatkan keputusan Axel yang ingin pergi dari rumah. Axel tak menanggapi, ia membuka pintu mobil, lalu berjalan lebih dulu ke pintu depan.