Keesokan harinya, Daniel dan Namira sangat bahagia, pagi ini Namira sudah diperbolehkan pulang oleh dokter."Serius, Pah? Mamih udah diizinin pulang?" Bianca sangat antusias mendengar Namira akan kembali ke rumah lewat sambungan telepon."Iya. Sekarang papah lagi mengemasi barang dan menyelesaikan administrasi rumah sakit.""Oke, Pah. Sekarang aku jemput ke rumah sakit, ya?""Jangan sendirian! Ajak Evan. Suruh dia yang menyetir." Perintah Daniel kali ini membuat hati Bianca sangat gembira. Dia juga ingin selalu bersama dengan lelaki yang mungkin sudah membuatnya jatuh hati. "Iya, Pah. Nanti aku telepon Evan dulu.""Iya."Sambungan telepon sudah terputus. Bianca lantas menelepon anak tunggal Yuda itu. "Hallo, Bian?""Van, kamu kok belum dateng ke rumah sih?" tanya Bianca kesal. Bibirnya merengut. "Lho, katamu kemarin, hari ini enggak ke kampus. Enggak kemana-mana, mau di rumah aja. Makanya aku gak ke sana. Emangnya ada apa?"Bianca tersinggung mendengar pertanyaan Evan."Ya udah, ga
"Mas Ayang ... jangan pergi dooongg ... aku maunya dipeyuukkk teyuusss ...." Namira menggamit lengan suaminya yang hendak beranjak ke toilet. Daniel tersenyum melihat tingkah manja Namira. Gadis ini benar-benar membuatnya kembali berjiwa muda. Setiap hari, setiap melihat senyum Namira, hati Daniel selalu bahagia. "Aku gak kemana-mana. Cuma mau ke toilet," jawab Daniel membelai pipi Namira yang menempel pada lengannya. "Enggak mau. Aku maunya, Mas Ayang duduk di sini. Peyuk aku ...." rengek Namira cemberut, memandang wajah lelaki yang usianya sudah tidak lagi muda. "Aku mau buang air kecil dulu. Mau ikut?""Mau."Daniel terkekeh mendengar jawaban singkat Namira tapi menurutnya lucu. "Cuma buang air kecil sebentar aja, Sayang. Tunggu, ya?" Daniel meng3cup kening Namira, melepaskan tangan Namira dari lengannya lalu berjalan ke toilet. Namira merebahkan tubuh ke atas pembaringan. Bibirnya masih saja cemberut. Melirik handphone di atas nakas, Namira meraihnya, hendak menghubungi Bian
"Saya curiga dia ingin minta uang, Pak. Mungkin Ibu Hesti akan mengancam Gita supaya saya memberinya uang. Security saya bilang, dia maksa ingin bertemu dengan saya bahkan sekarang sedang menunggu di rumah."Daniel menghela napas panjang. Ia benar-benar pusing dengan tingkah laku Hesti. Sudah benar, wanita itu tinggal di luar negeri, malah kembali lagi ke tanah air. "Kalau begitu, nanti malam kalau Bianca udah pulang dari rumah sakit, aku akan membiacarakan mamanya yang akan kita laporkan ke polisi supaya Bianca mau diajak kerja sama untuk menjadi saksi." Akhirnya Daniel pasrah. Dari pada keluarga Yuda yang jadi sasaran Hesti, lebih baik Bianca tahu kebusukan sikap mamanya. "Baik, Pak."Sambungan telepon sudah berakhir. Daniel menarik napas panjang, memijat pelipisnya yang mulai terasa pusing. "Ada apa, Mas Ayang? Apa ada masalah?" tanya Namira penasaran. Daniel menoleh, tersenyum tipis. "Bukan masalah besar. Kita istirahat, ya? Aku pengen bobo siang bareng istri tercinta," kata D
Daniel bagai orang g1la memohon pada wanita yang badannya sudah kurus kering. Tenggorokan Gauri tercekat, tak dapat berkata-kata lagi. Tanpa membalas pertanyaan Daniel, Gauri mematikan sambungan telepon.Daniel terkejut ketika suara yang sempat dirindukannya tidak terdengar lagi. Lelaki itu menekan nomor Gauri lagi sambil duduk di kursi meja rias. Tapi, sudah tidak aktif lagi. Daniel kesal, hampir saja ia membanting handphonenya. Namun, Daniel terkejut melihat Namira yang tengah tertidur pulas. Dia baru sadar, kalau sekarang sudah punya istri. Sudah mempunyai istri yang membuat hari-harinya bersemangat dan bahagia. Seketika, penyesalan memenuhi relung hati. Tanpa disadari saat mendengar suara Gauri lagi, perasaan cinta dan rindu itu muncul. Daniel merasa bersalah, ia naik ke atas r4njang, memeluk tubuh mungil Namira sembari mengelus perut yang belum membuncit. Tangisan Daniel terdengar oleh Namira. "Mas Ayang, kenapa nangis? Ada apa?" Namira menyeka lembut lelehan air mata yang memb
"Uuuh ... suamiku waktu masih muda ternyata ganteng bingiitt ...," ucap Namira riang. Bibirnya tersenyum manis.Namira tak mempedulikan kalimat yang tertera di atas foto itu. Ia justru fokus pada wajah Daniel ketika masih muda, terlihat sangat tampan apalagi dengan senyum manis dibibirnya. Bagi Namira, kalimat itu hanya masa lalu. Terpenting sekarang, Daniel sudah menjadi miliknya, sudah menjadi suaminya. Begitu pula wanita yang berada di samping Daniel. Pasti sudah mengeriput. Misalnya wanita itu mantan pacar Daniel, mana mungkin Daniel lebih memilih wanita itu ketimbang dirinya? Pasti sekarang wanita yang berpose di samping suaminya sudah tua.Namira mengambil selembar foto itu dari album, tidak berniat ingin membuka lembaran foto lainnya. Dia sangat suka pose dan eskpresi wajah Daniel. Meski gambarnya hitam putih, tetapi ketampanan Daniel begitu terpancar. Namira menyimpan kembali album ke dalam laci. Kemudian dia duduk di sisi ranjang, memandang wajah suaminya yang menurut Namira
Namira berkata tanpa emosi. Justru wanita itu masih bersikap manja. "Mas Ayang, kok diam aja sih? Wah, jangan-jangan Mas Ayang masih ngelindur, ya? Belum benar-benar sadar." Namira beranjak dari pangkvan Daniel. Ia bergegas mengambil segelas air lalu menyuruh Daniel meminumnya. Daniel menurut, meminum air sampai setengah gelas. "Sekarang Mas Ayang udah bener-bener sadar 'kan?" Kepala Namira agak merunduk, menatap lekat wajah lelaki yang amat disayanginya. "I-iya, Sayang. Hem, sebentar ... aku mau ke toilet dulu."Daniel turun dari r4njang, berjalan ke toilet, mencuci muka. Setelah hitungan menit, Daniel keluar dari toilet. Ia melihat Namira sudah memegang selembar foto dan gvnting. Lelaki itu menghela napas panjang, berusaha tetap tenang. Daniel duduk di sisi istrinya. "Mas Ayang, tadi foto ini ada di bawah nakas. Apa jatuh, ya?" tanya Namira kebingungan. "Kayaknya iya. Kamu mau ... mau gvnting foto wanitanya?" tanya Daniel hati-hati. "Iya. Sama kalimat ini mau aku gunting. Bol
Sudah dua hari, Ferry mengurung diri di dalam kamar. Sekarang ia bingung, harus bertindak seperti apa. Handphone-pun ia matikan. Dirinya benar-benar tidak ingin bertemu dengan orang lain. Hanya sesekali berbicara dengan ibu kandungnya, Gauri. Ternyata istri sirri pertamanya adalah wanita yang dulu tidak disukai ibunya. Ferry tidak tahu lagi harus berbuat seperti apa? Apakah dia harus menjauhi Mutiara? Sedangkan dirinya masih membutuhkan uang untuk biaya kuliah dan pengobatan Gauri. Sedangkan Hesti, wanita itu sekarang tidak bisa diandalkan. Dia sudah jatuh miskin. Tidak memiliki banyak uang lagi. "Apa aku harus mencari target lain? Siapa?" Ferry mengacak rambutnya. Pikiran Ferry sudah buntu. Tidak tahu harus mengambil keputusan apa. Tok, tok, tok."Ferry ... Buka pintunya, Nak ...." Suara lemah lembut itu adalah suara wanita yang telah melahirkan Ferry ke muka bumi ini, Gauri. "Sebentar, Bu."Ferry beranjak ke pintu kamar, membukanya. "Ada apa, Bu?""Kamu enggak kuliah, Nak?" ta
Wanita bertubuh ringkih itu menjerit, menangis histeris. Mutiara menghentakan tangan suster. Ia menarik paksa suster ke salam satu kamar tamu, mengunci dari luar. Gauri terkejut, ia menekan tombol kursi roda agar kembali keluar. Namun, usahanya sia-sia. Belum sempat sampai pintu depan, kursi roda yang diduduki Gauri berhasil ditahan. Mutiara bergegas mengunci pintu depan. Lalu, menarik tubuh Gauri dari kursi roda hingga jatuh terjerembab. "Wanita p3nyakitan. Lebih baik kamu m4ti ...." teriak Mutiara pada Gausa yang terlihat lemah. Sekuat tenaga, Gauri menjauhi Mutiara. Tidak ingin m4ti di tangan wanita itu. Mutiara benar-benar tidak berubah. Sifatnya masih saja j4hat. "Mau kemana kamu, Gauri? Mau kemana, heh?" Lagi, Mutiara berteriak. "Dengerin aku dulu. Sebelum kamu m4ti, kamu harus tau fakta yang menarik dan membuatmu mungkin akan langsung meregang nyawa," ucap Mutiara memegang kedua kaki Gauri yang tinggal tulang belulang. Gauri menangis histeris, berusaha terus meronta dari c
"Lima juta kamu bilang cuma?" tanya Hanif setengah tidak percaya adiknya berbicara demikian. Selama ini Hanif tipikal orang yang berhemat. "Iyalah, Mas. Uang Mas Hanif lebih dari segitu. Apalah arti uang lima juta buat Mas Hanif dan Mbak Friska," ucap Hanifa tanpa beban. Hanif menghela napas berat, memijat pelipis. Hanifa tidak tahu saja kalau dirinya tidak punya tabungan bahkan ketika mendaftarkan proses perceraian harus mencuri uang Friska dari dalam brankas. "Aku enggak ada uang." Hanif berbicara datar. Mendengar jawaban kakaknya, Hanifa mendengus kesal. Ternyata benar kata ibu Ros kalau Hanif orangnya pelit. "Mas Hanif aku mohon. Suamiku belum gajian. Nanti uangnya aku ganti kok kalau mas Tedi udah gajian. Aku mohon, Mas ...." Hanifa tak mungkin menyerah. Malam ini juga dia harus mendapatkan uang untuk anak-anak besok. Meski dirinya tak ada uang, tetapi Hanif tak tega mendengar adiknya memohon seperti itu. Selama ini, Hanifa maupun Haifa tidak pernah meminta uang padanya. Tanp
Di mata Rangga, Haifa wanita bodoh dan mudah dibohongi. Bukan satu dua kali Rangga ketahuan selingkuh tetapi dengan mulut manisnya, Rangga dapat meyakinkan Haifa jika dirinya tidak akan mengulangi bahkan Rangga sering berjanji akan membuat rumah tangganya jauh lebih baik dan memiliki perekonomian yang mencukupi. "Ya udah, Mas. Sekarang kamu mandi. Kamu tadi beli nasi kan?""Beli dong. Aku tadi beli pecel lele. Lelenya dibagi dua aja ya sama anak kita. Kamu jangan makan banyak kalau malam. Aku enggak mau kalau kamu sampe gendut," ujar Rangga mengedipkan sebelah mata. Sontak, Haifa tersipu malu, menganggukkan kepala, mengiyakan kemodusan suaminya. Di kamar lain, Hanifa pun sedang berbincang dengan sang suami, Tedi namanya. "Jadi Mamamu udah tau sertifikatnya kita gadai ke Bank?" tanya Tedi, usai Hanifa bercerita tentang kejadian tadi siang. Hanifa tampak santai. Sebatang rokok terselip di antara ruas jarinya. "Iya. Dia baru sadar, hehehe ...."Hanifa mengembuskan asap rokok ke wajah
"Biasa aja kali, Ma. Enggak usah kaget gitu," kata Hanifa santai. Mereka berdua tidak merasa bersalah sedikit pun. Aneh juga, kenapa Hanifa dan Haifa bisa membawa sertifikat itu ke Bank tanpa sepengetahuan ibu Ros?"Kamu bilang enggak usah kaget??" desis ibu Ros berusaha menahan emosi. Biar bagaimana pun ia tak mau cucu-cucunya mendengar keributan ini. "Udah deh, Ma. Lagipula semuanya udah ada di Bank. Mau gimana lagi? Ya kami bisa saja menebusnya tapi Mama punya enggak uang buat nebusnya?"Tanpa rasa bersalah dan rasa penyesalan, Haifa bertanya demikian. Hanifa yang mendengar ucapan sang adik, menyunggingkan senyum mengejek. "Kurang ajar! Kalian anak kurang ajar! Uangnya kalian pake buat apa? Semua keperluan dan kebutuhan rumah ini kan pake uang Mama. Bahkan kalian juga sering minta uang ke Mama. Terus, uang pinjaman dari Bank itu digunakan buat apa? Buat apaaaa?" Sangat kesal ibu Ros berkata. Wajahnya memerah karena emosi yang sudah menguasai diri. Hanifa dan Haifa terdiam sesa
Kedua mata ibu Ros membeliak dibentak anak keduanya yakni Hanifa. Sorot mata Hanifa yang tajam dibalas serupa oleh wanita yang telah melahirkannya. "Durhaka kamu, Nifa!" balas ibu Ros tak kalah tinggi intonasi suaranya. "Berani sekali kamu ngebentak Mama? Marahin Mama! Kamu pikir ini rumah siapa, heuh? Ini rumah Mama!" tandas ibu Ros yang tak mau terlihat lemah di depan Hanifa. Anak kandungnya mencebik, melipat kedua tangan di depan dada. "Nanti juga akan menjadi milikku dan Haifa kalau Mama udah mati," timpal Hanifa tersenyum miring. "Apa kamu bilang?" Lagi, emosi ibu Ros semakin meluap. "Kamu bilang aku mati?" ulang ibu Ros, meyakinkan yang didengarnya. "Ini apaan sih? Siang-siang malah ribut?"Tiba-tiba dari arah belakang Hanifa, terdengar suara adiknya yang baru keluar dari kamar sambil menguap. Menghampiri mereka. "Mama nih, siang begini malah nangis sambil teriak. Kan berisik," jawab Hanifa memutar bola mata malas. "Ck, kebiasaan nih Mama. Udahlah, jangan diladenin. Harap
Sepanjang jalan pulang, Axel cemberut. Kesal pada adiknya dan Arfan. Bisa-bisanya mereka menguping pembicaraan Axel di depan pusara Daniel dan Namira. Alea sekarang satu mobil dengan Axel. Sedangkan Arfan, pulang sendirian padahal lelaki itu berharap bisa mengantar Alea pulang sampai rumah supaya lebih lama bersama. "Kak?" panggil Alea, menatap Axel dari samping. Namun, Axel bergeming. "Kak Axel?" Alea mengulang pertanyaan karena wajah Axel masih masam. "Kak Axeeeell!" teriak Alea tepat di depan telinga kakaknya. Axel langsung menancap rem mendadak. "Astaghfirullah, Lea!" pekik Axel melotot. Lalu menoleh ke belakang, khawatir ada mobil di belakang yang dekat dengan mobilnya. "Kamu udah gila, Lea! Teriak di depan telinga. Kalau kita kecelakaan gimana?" semprot Axel kesal, melajukan kembali kendaraannya. "Ya habisnya ditanya dieeeemm ... aja. Cemberuuutt aja. Kayak cewek lagi dateng bulan. Kalau ditanya jawab napa!"Bukannya minta maaf, Alea justru memarahi Axel. "Mau tanya apa em
Di depan pusara kedua orang tua kandung, Axel menumpahkan kesedihan dan masalah yang tengah dihadapi. Sebelumnya ia membaca Quran Surat Yasin dan memanjatkan doa-doa untuk Daniel dan Namira. Alea mencegah pergerakan Arfan. Ia menggelengkan kepala, memberi isyarat pada Arfan agar tidak mendekati kakaknya. Alea mengajak Arfan duduk agak jauh dari Axlel. Ia ingin memerhatikan kakaknya. Bukan Alea tak mau mendoakan, hanya ingin tahu apa yang akan diungkapkan Axel. Benar saja, selesai berdoa, tangisan Axel pecah. Pun Alea. Gadis itu menahan dalam diam. Membekap mulut agar suara tangisannya tak terdengar Axel. Arfan tak tega, ingin merengkuh pundak Alea tetapi tak ada keberanian. Ia cukup tahu batasan. Arfan hanya mengusap pelan Alea agar tetap tenang. "Kenapa mama dan papa pergi begitu cepat? Apa mama dan papa enggak sayang kami? Apa aku dan Alea anak yang enggak kalian inginkan? Kenapa kalian enggak bertahan hidup demi kami? Paling tidak, salah satu dari kalian harus hidup. Kenapa kali
Siang hari, tubuh ibu Ros menggigil. Sejak tadi pagi, badannya tak enak. Mulutnya pun pahit. Di dalam kamar, ibu Ros meringkuk. Belum ada makanan yang masuk ke dalam perut padahal ia sangat kelaparan. Kedua mata memanas, hidung pilek bersin-bersin, mungkin karena ibu Ros terlalu sering menangis. Tubuh ringkih itu menyibak selimut. Memegang perut yang terasa lapar. Kemudian, dengan langkah tertatih, ia berjalan ke arah pintu, membuka pintu kamar. Kepalanya melongok ke kanan dan ke kiri. Sepi. "Kemana Hanifa dan Haifa? Apa mereka lagi tidur?" gumam ibu Ros, keluar dari kamar, lalu berjalan pelahan melewati ruangan demi ruangan. Sampai di dapur, ibu Ros tak mendapati kedua anak perempuannya. Kemana mereka? lagi pertanyaan ibu Ros tak ada jawaban. Wanita tua itu berjalan ke ruang meja makan. Membuka tudung saja, tidak ada lauk pauk. Kemudian berjalan ke rice cooker, tidak ada nasi. "Apa mereka enggak masak nasi?" Ibu Ros kembali bertanya pelan. Pandangannya beralih pada tempat penyim
Jam pulang sekolah tiba. Alea menyambangi kelas kakaknya. Ia menunggu di depan. Arfan yang melihat Alea dari kejauhan menghampiri. "Lagi nungguin Axel?" tanya Arfan saat berdiri di samping Alea. "Iya. Lama banget tuh orang keluarnya. Emang ngeselin! Kamu sendiri belum pulang? Ada rapat?" Alea bertanya balik. "Enggak ada rapat. Kalau lama, Kenapa kamu enggak masuk ke dalam kelasnya?" Arfan bertanya lagi. Mengalihkan ke topik awal. "Males," jawab Alea singkat. "Kalau aku masuk kelas kak Axel, suka jadi pusat perhatian teman-temannya," jawab Alea cemberut. Mengingat kembali waktu ia pernah masuk ke dalam kelas Axel. Ada beberapa teman sekelas Axel yang cowok, minta kenalan. Atau enggak, teman-teman kelas Axel yang cewek, menatap Alea sinis. Padahal mereka tak saling kenal. Sejak saat itu, Alea malas masuk kelas kakaknya. "Mungkin karena kamu terlalu cantik, Lea."Ucapan Arfan membuat Alea terhenyak. "Ck, apaan sih kamu, Fan? Enggak juga kali." Alea malu-malu. Ia membuang wajah ke a
Gilang telah menyiapkan delivery order atas nama Nida. Wanita itu memang tak sempat keluar kantor untuk makan siang. Pekerjaannya sangat banyak. Terlebih mulai besok ia harus kerja di lapangan. Gilang telah siap berangkat. Namun, langkah kakinya terhenti ketika berpapasan dengan Bianca dan Evan di depan cafe. "Selamat siang, Ibu Bianca, Pak Evan," sapa Gilang sopan, agak membungkukkan badan. "Siang, Gilang. Kamu mau nganterin makanan?" balas Evan sambil bertanya. Sedangkan Bianca bersidekap sambil membuang muka. Gilang mengulum senyum, "Iya, Pak. Mau anterin makan siang.""Oh begitu.""Mas, mau makan siang apa mau ngobrol sama pelayan?" tanya Bianca ketus. Sorot matanya tampak tak suka pada Gilang. Evan tak enak hati mendengar pertanyaan sang istri. "Maaf, Pak. Saya permisi." Gilang tak mau lama-lama berhadapan dengan Bianca. Selalu saja makan hati. "Oh iya, silakan. Hati-hati Gilang.""Iya, Pak. Terima kasih."Bianca masuk ke cafe lebih dulu. Wajahnya bersungut kesal. Evan yang