Senyum yang sempat mengembang di bibir Gita seketika sirna. Yuda ternyata lebih perhatian pada pekerjaannya dari pada dirinya. Dengan kesal, Gita memberikan handphone pada Evan."Papahmu selalu saja lebih mentingin kerjaan dari pada Mamah!" sentak Gita pergi meninggalkan Evan yang termangu duduk di sofa ruang keluarga. "Mana Mamahmu, Van?""Biasa, marah lagi, Pah. Ya udahlah, aku juga mau ke kantor sekarang."Sambungan telepon antara anak dan ayahnya telah berakhir. Evan keluar rumah, menuju ke kantor. Di tengah perjalanan, Evan menghubungi Bianca. Ingin bercerita tentang Yulia yang mendadak pergi dari rumah dan tentang mamahnya yang sekarang sudah bisa berdiri, berjalan dan berlari. "Hallo, Van," sapa Bianca yang menunggu kedatangan dosen. "Kamu belum ada dosen, Bi?""Belum. Masih nunggu. Ada apa?" tanya Bianca santai. Sejak Namira tidak masuk kuliah, Bianca lebih sering menghabiskan waktu membaca buku-buku. Ia malas bergabung dengan teman satu tingkatnya. "Aku mau cerita. Mau
Mendengar ucapan Bianca, Evan langsung memutar balik kendaraannya kembali ke rumah. Evan ingin melihat kebenaran yang terjadi. Apa benar yang dikatakan Gita atau justru suatu kebohongan.Security di rumah Evan tertegun melihat anak majikannya kembali pulang. Evan tak meminta tolong diantar security, dia tahu ruangan rekaman CCTV. Evan juga bisa mengoperasikan rekaman CCTV tersebut. Tiba di ruangan, Evan langsung men-setting waktu saat ia datang ke rumah. Jari jemari Evan begitu lincah menekan mundur waktu sebelum kedatangannya. Lalu, datang Yulia dari arah kamarnya. Duduk bersimpuh agak jauh dari Gita. Evan meninggikan volume suara supaya dia lebih jelas obrolan mamahnya dan juga Yulia. Evan cukup terkejut mendengar pertanyaan mamahnya yang langsung menyela ucapan Yulia. "Hah? Mamah nyuruh aku nikah sama Mbak Yulia? Yang benar aja!" Evan terkejut bukan main mendengar permintaan wanita yang telah melahirkannya. Pemuda itu menggelengkan kepala berulang kali mendengar obrolan Gita d
"Astaghfirullahalazhim ...." desis Yuda mengusap wajahnya kasar. Sama halnya dengan Evan, Yuda juga tidak menyangka kalau istrinya memiliki rencana jahat seperti itu. Masa iya, Evan yang sebentar lagi akan menikah dengan Bianca, harus menikahi Yulia juga? Di mana akal sehatnya? Keluarga Bragastara sudah sangat baik pada keluarganya bahkan suami dan anaknya mendapat posisi jabatan tertinggi di perusahaan itu. Namun, kenapa Gita tidak juga tahu diri dan terima kasih pada mereka? "Astaghfirullah, Van ... sampai kapan Mamahmu kayak gini? Jadi, apa yang dikatakan Nida waktu itu benar? Mamahmu memang ingin membvnuh Nida?" Yuda bertanya sangat pelan, khawatir ada karyawan lain yang mendengar. Namun, Evan masih mendengar pertanyaan papahnya. "Iya, Pah. Yang dilihat Nida malam itu, bukan halusinasi, bukan ngelindur. Tapi emang benar. Aku gak bisa bayangkan kalau Mamah berhasil membvnuh Nida, Pah. KIta pasti disalahkan Pak Daniel. Sekarang aku tanya, apakah Pak Daniel menelepon Papah atas ka
Sungguh, Yuda tak menyangka Gita telah meninggal dunia. Terutama Evan. Baru beberapa jam lalu ia sempat berdebat dan bertengkar karena kebohongan yang dilakukan ibunya. Namun, dalam hati Evan justru berpikir, lebih baik Gita meninggal dunia dari pada hidup penuh kebohongan dan kemunafikan. Jenazah Gita sudah dimakamkan. Keluarga Bragastara hadir kecuali Bianca karena ia sedang ada kelas, belum selesai. Evan dan Yuda berjongkok, mereka masih memanjatkan doa. Daniel, Namira dan Nida berdiri tak jauh dari makam Gita. Semua orang tak menyangka Gita meninggal dunia secepat ini. "Pah, ayok kita pulang!" ajak Evan pada papahnya yang berduka. Meski sebelumnya sikap Gita sangat menyebalkan, tetapi ketika ia pergi, hati Yuda pun merasa kehilangan. Mereka telah kembali ke pemakaman. Jarak dari area pemakaman dengan tempat tinggal Yuda, memakan waktu sepuluh menit. Sampai di rumah Yuda, terlihat Bianca dan Shella duduk di kursi teras depan. Mereka sedang berbincang. Melihat kedatangan mobil
Bianca menangis, menenggelamkan wajah di balik selimut. Evan yang melihat sikap Bianca hanya menggaruk kepala. "Aku kan tadi udah bilang sakit, Van! Kenapa sih dipaksain masuk?" sungut Bianca memarahi Evan yang duduk frustasi. "Maaf, Sayang. Tapi, kata orang-orang, sakitnya cuma sebentar. Nanti juga enak, Sayang ...." Evan tak henti membujuk istrinya,. Padahal kepemilikannya belum sepenuh tenggelam, tapi Bianca sudah berteriak histris. Untung, mereka ada di apartemen yang kedap suara. "Enak apanya? Kamu kali yang enak. Sakit, Van ... sakit. Emang kamu gak lihat, ada darah? Huhuhuhu ...." Bianca terus saja memarahi Evan. Awalnya Bianca berpikir kalau dirinya sedang datang bulan, tapi setelah ingat-ingat baru satu Minggu lalu ia datang bulan. Mungkin bercak darah itu karena Bianca masih p3r4w4n. Bisa dikatakan sel4put dara. "Sayang, aku benar-benar minta maaf. Aku ... aku gak sengaja." Evan sudah bingung mau bilang bagaimana lagi. Tapi, Bianca masih saja menangis. Perlahan-lahan,
"Hallo, Yuda?" sapa Daniel ketika sambungan telepon berlangsung. Saat Nida pergi ke sekolah, Daniel langsung menghubungi Yuda. Ingin membicarakan masalah keinginan Nida tadi pagi sewaktu sarapan dengannya. "Hallo, Pak Daniel?" balas Yuda menghentikan gerakan tangannya di atas laptop. Yuda baru tiba di kantor lima belas menit lalu. Ia langsung membuka laptop, menyelesaikan pekerjaannya. "Aku pengen bicara padamu. Kalau sempat, nanti pulang dari kantor, mampir dulu ke sini." Pinta Daniel. Dia tidak mau membicarakan keinginan Nida lewat sambungan telepon. Ia ingin bicara secara langsung supaya lebih jelas."Baik, Pak Daniel. Insya Allah nanti saya mampir ke rumah," jawab Yuda tegas. Jika sampai Daniel menelepon, kemungkinan besar ada masalah penting yang harus diselesaikan. "Oke. Terima kasih."Sambungan telepon selesai. Daniel menoleh pada istrinya yang tengah mengelus perutnya yang sudah membuncit. Daniel merundukkan kepala, menc1vm perut Namira yang beberapa bulan lagi akan melahi
"Masuk!" suara Yuda memerintahkan seseorang yang mengetuk pintu ruangannya. Shella yang membawa berkas laporan kerjaan Evan membuka pintu. "Maaf Pak Yuda kalau saya ganggu," ujar Shella tak enak hati. Dia tahu, beberapa hari belakangan, Yuda terlihat sangat murung. Mungkin karena kehilangan istrinya dan ditinggal Evan pergi dari rumah. Raut wajahnya pun tidak seceria biasanya. "Gak apa-apa. Masuk aja, Shella."Shella melenggang masuk ke dalam sembari tersenyum tipis. Ia meletakkan berkas yang dibawa ke hadapan Yuda."Itu laporan kerjaan Pak Evan, Pak Yuda," ucap Shella dengan bahasa formal. Yuda menarik berkas itu, meneliti dengan seksama sebelum ditandatangani.Terjadi keheningan cukup lama di antara keduanya. Shella ingin keluar ruangan tetapi ia segan jika Yuda belum menyuruhnya. Shella memerhatikan Yuda diam-diam. Diam-diam Shella menganggumi ketampanan wajah Yuda. Tidak terlalu tampan namun berwibawa. Segaris senyum terlihat dari janda memiliki anak satu itu. "Oke! Semuanya u
Kalimat yang diucapkan Yuda, membuat hati Shella meleleh. Andai saja ia yang menjadi istri Yuda, apakah lelaki itu akan bersikap seperti itu juga?Yuda menoleh, keningnya mengkerut melihat Shella yang senyam-senyum lagi."Shella?""Eh iya, Pak? Ada apa? Pak Yuda butuh apa?" tanya Shella dengan berbagai pertanyaan. Yuda semakin heran dan aneh melihat tingkah atau sikap Shella yang tidak biasanya. "Kamu ... kamu lagi jatuh cinta sama Zovan?""Enggak!" jawab Shella cepat. Bibirnya seketika cemberut. "Terus, alasanmu senyam-senyum dari tadi apa? Kamu lagi suka sama seseorang kan?" Yuda semakin penasaran dengan sikap salah satu karyawannya yang tidak biasa. Shella menghela napas berat, tatapannya lurus ke depan. Enggan menoleh pada Yuda. "Hm ... Saya senyam-senyum sendiri karena senyum itu kan ... ibadah. Sodakoh juga. Dari pada saya cemberut gak jelas? Lagian, kenapa Pak Yuda bilang saya suka sama Pak Zovan?" tanya Shella menunjukkan rasa tak suka. "Barang kali aja. Kamu kan tempo l
"Lima juta kamu bilang cuma?" tanya Hanif setengah tidak percaya adiknya berbicara demikian. Selama ini Hanif tipikal orang yang berhemat. "Iyalah, Mas. Uang Mas Hanif lebih dari segitu. Apalah arti uang lima juta buat Mas Hanif dan Mbak Friska," ucap Hanifa tanpa beban. Hanif menghela napas berat, memijat pelipis. Hanifa tidak tahu saja kalau dirinya tidak punya tabungan bahkan ketika mendaftarkan proses perceraian harus mencuri uang Friska dari dalam brankas. "Aku enggak ada uang." Hanif berbicara datar. Mendengar jawaban kakaknya, Hanifa mendengus kesal. Ternyata benar kata ibu Ros kalau Hanif orangnya pelit. "Mas Hanif aku mohon. Suamiku belum gajian. Nanti uangnya aku ganti kok kalau mas Tedi udah gajian. Aku mohon, Mas ...." Hanifa tak mungkin menyerah. Malam ini juga dia harus mendapatkan uang untuk anak-anak besok. Meski dirinya tak ada uang, tetapi Hanif tak tega mendengar adiknya memohon seperti itu. Selama ini, Hanifa maupun Haifa tidak pernah meminta uang padanya. Tanp
Di mata Rangga, Haifa wanita bodoh dan mudah dibohongi. Bukan satu dua kali Rangga ketahuan selingkuh tetapi dengan mulut manisnya, Rangga dapat meyakinkan Haifa jika dirinya tidak akan mengulangi bahkan Rangga sering berjanji akan membuat rumah tangganya jauh lebih baik dan memiliki perekonomian yang mencukupi. "Ya udah, Mas. Sekarang kamu mandi. Kamu tadi beli nasi kan?""Beli dong. Aku tadi beli pecel lele. Lelenya dibagi dua aja ya sama anak kita. Kamu jangan makan banyak kalau malam. Aku enggak mau kalau kamu sampe gendut," ujar Rangga mengedipkan sebelah mata. Sontak, Haifa tersipu malu, menganggukkan kepala, mengiyakan kemodusan suaminya. Di kamar lain, Hanifa pun sedang berbincang dengan sang suami, Tedi namanya. "Jadi Mamamu udah tau sertifikatnya kita gadai ke Bank?" tanya Tedi, usai Hanifa bercerita tentang kejadian tadi siang. Hanifa tampak santai. Sebatang rokok terselip di antara ruas jarinya. "Iya. Dia baru sadar, hehehe ...."Hanifa mengembuskan asap rokok ke wajah
"Biasa aja kali, Ma. Enggak usah kaget gitu," kata Hanifa santai. Mereka berdua tidak merasa bersalah sedikit pun. Aneh juga, kenapa Hanifa dan Haifa bisa membawa sertifikat itu ke Bank tanpa sepengetahuan ibu Ros?"Kamu bilang enggak usah kaget??" desis ibu Ros berusaha menahan emosi. Biar bagaimana pun ia tak mau cucu-cucunya mendengar keributan ini. "Udah deh, Ma. Lagipula semuanya udah ada di Bank. Mau gimana lagi? Ya kami bisa saja menebusnya tapi Mama punya enggak uang buat nebusnya?"Tanpa rasa bersalah dan rasa penyesalan, Haifa bertanya demikian. Hanifa yang mendengar ucapan sang adik, menyunggingkan senyum mengejek. "Kurang ajar! Kalian anak kurang ajar! Uangnya kalian pake buat apa? Semua keperluan dan kebutuhan rumah ini kan pake uang Mama. Bahkan kalian juga sering minta uang ke Mama. Terus, uang pinjaman dari Bank itu digunakan buat apa? Buat apaaaa?" Sangat kesal ibu Ros berkata. Wajahnya memerah karena emosi yang sudah menguasai diri. Hanifa dan Haifa terdiam sesa
Kedua mata ibu Ros membeliak dibentak anak keduanya yakni Hanifa. Sorot mata Hanifa yang tajam dibalas serupa oleh wanita yang telah melahirkannya. "Durhaka kamu, Nifa!" balas ibu Ros tak kalah tinggi intonasi suaranya. "Berani sekali kamu ngebentak Mama? Marahin Mama! Kamu pikir ini rumah siapa, heuh? Ini rumah Mama!" tandas ibu Ros yang tak mau terlihat lemah di depan Hanifa. Anak kandungnya mencebik, melipat kedua tangan di depan dada. "Nanti juga akan menjadi milikku dan Haifa kalau Mama udah mati," timpal Hanifa tersenyum miring. "Apa kamu bilang?" Lagi, emosi ibu Ros semakin meluap. "Kamu bilang aku mati?" ulang ibu Ros, meyakinkan yang didengarnya. "Ini apaan sih? Siang-siang malah ribut?"Tiba-tiba dari arah belakang Hanifa, terdengar suara adiknya yang baru keluar dari kamar sambil menguap. Menghampiri mereka. "Mama nih, siang begini malah nangis sambil teriak. Kan berisik," jawab Hanifa memutar bola mata malas. "Ck, kebiasaan nih Mama. Udahlah, jangan diladenin. Harap
Sepanjang jalan pulang, Axel cemberut. Kesal pada adiknya dan Arfan. Bisa-bisanya mereka menguping pembicaraan Axel di depan pusara Daniel dan Namira. Alea sekarang satu mobil dengan Axel. Sedangkan Arfan, pulang sendirian padahal lelaki itu berharap bisa mengantar Alea pulang sampai rumah supaya lebih lama bersama. "Kak?" panggil Alea, menatap Axel dari samping. Namun, Axel bergeming. "Kak Axel?" Alea mengulang pertanyaan karena wajah Axel masih masam. "Kak Axeeeell!" teriak Alea tepat di depan telinga kakaknya. Axel langsung menancap rem mendadak. "Astaghfirullah, Lea!" pekik Axel melotot. Lalu menoleh ke belakang, khawatir ada mobil di belakang yang dekat dengan mobilnya. "Kamu udah gila, Lea! Teriak di depan telinga. Kalau kita kecelakaan gimana?" semprot Axel kesal, melajukan kembali kendaraannya. "Ya habisnya ditanya dieeeemm ... aja. Cemberuuutt aja. Kayak cewek lagi dateng bulan. Kalau ditanya jawab napa!"Bukannya minta maaf, Alea justru memarahi Axel. "Mau tanya apa em
Di depan pusara kedua orang tua kandung, Axel menumpahkan kesedihan dan masalah yang tengah dihadapi. Sebelumnya ia membaca Quran Surat Yasin dan memanjatkan doa-doa untuk Daniel dan Namira. Alea mencegah pergerakan Arfan. Ia menggelengkan kepala, memberi isyarat pada Arfan agar tidak mendekati kakaknya. Alea mengajak Arfan duduk agak jauh dari Axlel. Ia ingin memerhatikan kakaknya. Bukan Alea tak mau mendoakan, hanya ingin tahu apa yang akan diungkapkan Axel. Benar saja, selesai berdoa, tangisan Axel pecah. Pun Alea. Gadis itu menahan dalam diam. Membekap mulut agar suara tangisannya tak terdengar Axel. Arfan tak tega, ingin merengkuh pundak Alea tetapi tak ada keberanian. Ia cukup tahu batasan. Arfan hanya mengusap pelan Alea agar tetap tenang. "Kenapa mama dan papa pergi begitu cepat? Apa mama dan papa enggak sayang kami? Apa aku dan Alea anak yang enggak kalian inginkan? Kenapa kalian enggak bertahan hidup demi kami? Paling tidak, salah satu dari kalian harus hidup. Kenapa kali
Siang hari, tubuh ibu Ros menggigil. Sejak tadi pagi, badannya tak enak. Mulutnya pun pahit. Di dalam kamar, ibu Ros meringkuk. Belum ada makanan yang masuk ke dalam perut padahal ia sangat kelaparan. Kedua mata memanas, hidung pilek bersin-bersin, mungkin karena ibu Ros terlalu sering menangis. Tubuh ringkih itu menyibak selimut. Memegang perut yang terasa lapar. Kemudian, dengan langkah tertatih, ia berjalan ke arah pintu, membuka pintu kamar. Kepalanya melongok ke kanan dan ke kiri. Sepi. "Kemana Hanifa dan Haifa? Apa mereka lagi tidur?" gumam ibu Ros, keluar dari kamar, lalu berjalan pelahan melewati ruangan demi ruangan. Sampai di dapur, ibu Ros tak mendapati kedua anak perempuannya. Kemana mereka? lagi pertanyaan ibu Ros tak ada jawaban. Wanita tua itu berjalan ke ruang meja makan. Membuka tudung saja, tidak ada lauk pauk. Kemudian berjalan ke rice cooker, tidak ada nasi. "Apa mereka enggak masak nasi?" Ibu Ros kembali bertanya pelan. Pandangannya beralih pada tempat penyim
Jam pulang sekolah tiba. Alea menyambangi kelas kakaknya. Ia menunggu di depan. Arfan yang melihat Alea dari kejauhan menghampiri. "Lagi nungguin Axel?" tanya Arfan saat berdiri di samping Alea. "Iya. Lama banget tuh orang keluarnya. Emang ngeselin! Kamu sendiri belum pulang? Ada rapat?" Alea bertanya balik. "Enggak ada rapat. Kalau lama, Kenapa kamu enggak masuk ke dalam kelasnya?" Arfan bertanya lagi. Mengalihkan ke topik awal. "Males," jawab Alea singkat. "Kalau aku masuk kelas kak Axel, suka jadi pusat perhatian teman-temannya," jawab Alea cemberut. Mengingat kembali waktu ia pernah masuk ke dalam kelas Axel. Ada beberapa teman sekelas Axel yang cowok, minta kenalan. Atau enggak, teman-teman kelas Axel yang cewek, menatap Alea sinis. Padahal mereka tak saling kenal. Sejak saat itu, Alea malas masuk kelas kakaknya. "Mungkin karena kamu terlalu cantik, Lea."Ucapan Arfan membuat Alea terhenyak. "Ck, apaan sih kamu, Fan? Enggak juga kali." Alea malu-malu. Ia membuang wajah ke a
Gilang telah menyiapkan delivery order atas nama Nida. Wanita itu memang tak sempat keluar kantor untuk makan siang. Pekerjaannya sangat banyak. Terlebih mulai besok ia harus kerja di lapangan. Gilang telah siap berangkat. Namun, langkah kakinya terhenti ketika berpapasan dengan Bianca dan Evan di depan cafe. "Selamat siang, Ibu Bianca, Pak Evan," sapa Gilang sopan, agak membungkukkan badan. "Siang, Gilang. Kamu mau nganterin makanan?" balas Evan sambil bertanya. Sedangkan Bianca bersidekap sambil membuang muka. Gilang mengulum senyum, "Iya, Pak. Mau anterin makan siang.""Oh begitu.""Mas, mau makan siang apa mau ngobrol sama pelayan?" tanya Bianca ketus. Sorot matanya tampak tak suka pada Gilang. Evan tak enak hati mendengar pertanyaan sang istri. "Maaf, Pak. Saya permisi." Gilang tak mau lama-lama berhadapan dengan Bianca. Selalu saja makan hati. "Oh iya, silakan. Hati-hati Gilang.""Iya, Pak. Terima kasih."Bianca masuk ke cafe lebih dulu. Wajahnya bersungut kesal. Evan yang