Gita tak bisa mengelak lagi. Ia terdiam sejenak, lalu ... "I-iya, Van... Mamah akhirnya bisa berdiri. Bisa jalan. Evan... Mamah bisa jalan, Van.... Hahahhaa.... "Yulia memejamkan kedua mata sejenak, memegang lehernya yang terasa sakit akibat dic3kik Gita. Evan jadi bingung, pandangannya beralih pada Gita dan Yulia. Gita masih pura-pura berjingkrak, berlari kesana dan ke sini seolah baru menyadari bisa jalan. "Mbak Yulia, ada apa? Kenapa Mbak Yulia sampai dic3kik Mamah?" tanya Evan, menatap wajah Yulia yang merunduk. Gita menoleh cepat, kedua matanya melotot. Sebelum Yulia menjawab, Gita harus menyela. "Van, jangan deket-deket wanita itu! Dia wanita gatel dan kurang ajar! Kamu tau tadi kenapa Mamah sampai menamparnya?" tanya Gita membeliakkan kedua mata. Napasnya sampai memburu.Evan kebingungan, menoleh pada Yulia dan mamahnya. "Kenapa, Mah?"Yulia jantungnya berdetak lebih cepat. Kepalanya menggeleng berulang kali, takut kalau Gita memfitnahnya. "Dia ingin kamu nikahi, Evan!"
Senyum yang sempat mengembang di bibir Gita seketika sirna. Yuda ternyata lebih perhatian pada pekerjaannya dari pada dirinya. Dengan kesal, Gita memberikan handphone pada Evan."Papahmu selalu saja lebih mentingin kerjaan dari pada Mamah!" sentak Gita pergi meninggalkan Evan yang termangu duduk di sofa ruang keluarga. "Mana Mamahmu, Van?""Biasa, marah lagi, Pah. Ya udahlah, aku juga mau ke kantor sekarang."Sambungan telepon antara anak dan ayahnya telah berakhir. Evan keluar rumah, menuju ke kantor. Di tengah perjalanan, Evan menghubungi Bianca. Ingin bercerita tentang Yulia yang mendadak pergi dari rumah dan tentang mamahnya yang sekarang sudah bisa berdiri, berjalan dan berlari. "Hallo, Van," sapa Bianca yang menunggu kedatangan dosen. "Kamu belum ada dosen, Bi?""Belum. Masih nunggu. Ada apa?" tanya Bianca santai. Sejak Namira tidak masuk kuliah, Bianca lebih sering menghabiskan waktu membaca buku-buku. Ia malas bergabung dengan teman satu tingkatnya. "Aku mau cerita. Mau
Mendengar ucapan Bianca, Evan langsung memutar balik kendaraannya kembali ke rumah. Evan ingin melihat kebenaran yang terjadi. Apa benar yang dikatakan Gita atau justru suatu kebohongan.Security di rumah Evan tertegun melihat anak majikannya kembali pulang. Evan tak meminta tolong diantar security, dia tahu ruangan rekaman CCTV. Evan juga bisa mengoperasikan rekaman CCTV tersebut. Tiba di ruangan, Evan langsung men-setting waktu saat ia datang ke rumah. Jari jemari Evan begitu lincah menekan mundur waktu sebelum kedatangannya. Lalu, datang Yulia dari arah kamarnya. Duduk bersimpuh agak jauh dari Gita. Evan meninggikan volume suara supaya dia lebih jelas obrolan mamahnya dan juga Yulia. Evan cukup terkejut mendengar pertanyaan mamahnya yang langsung menyela ucapan Yulia. "Hah? Mamah nyuruh aku nikah sama Mbak Yulia? Yang benar aja!" Evan terkejut bukan main mendengar permintaan wanita yang telah melahirkannya. Pemuda itu menggelengkan kepala berulang kali mendengar obrolan Gita d
"Astaghfirullahalazhim ...." desis Yuda mengusap wajahnya kasar. Sama halnya dengan Evan, Yuda juga tidak menyangka kalau istrinya memiliki rencana jahat seperti itu. Masa iya, Evan yang sebentar lagi akan menikah dengan Bianca, harus menikahi Yulia juga? Di mana akal sehatnya? Keluarga Bragastara sudah sangat baik pada keluarganya bahkan suami dan anaknya mendapat posisi jabatan tertinggi di perusahaan itu. Namun, kenapa Gita tidak juga tahu diri dan terima kasih pada mereka? "Astaghfirullah, Van ... sampai kapan Mamahmu kayak gini? Jadi, apa yang dikatakan Nida waktu itu benar? Mamahmu memang ingin membvnuh Nida?" Yuda bertanya sangat pelan, khawatir ada karyawan lain yang mendengar. Namun, Evan masih mendengar pertanyaan papahnya. "Iya, Pah. Yang dilihat Nida malam itu, bukan halusinasi, bukan ngelindur. Tapi emang benar. Aku gak bisa bayangkan kalau Mamah berhasil membvnuh Nida, Pah. KIta pasti disalahkan Pak Daniel. Sekarang aku tanya, apakah Pak Daniel menelepon Papah atas ka
Sungguh, Yuda tak menyangka Gita telah meninggal dunia. Terutama Evan. Baru beberapa jam lalu ia sempat berdebat dan bertengkar karena kebohongan yang dilakukan ibunya. Namun, dalam hati Evan justru berpikir, lebih baik Gita meninggal dunia dari pada hidup penuh kebohongan dan kemunafikan. Jenazah Gita sudah dimakamkan. Keluarga Bragastara hadir kecuali Bianca karena ia sedang ada kelas, belum selesai. Evan dan Yuda berjongkok, mereka masih memanjatkan doa. Daniel, Namira dan Nida berdiri tak jauh dari makam Gita. Semua orang tak menyangka Gita meninggal dunia secepat ini. "Pah, ayok kita pulang!" ajak Evan pada papahnya yang berduka. Meski sebelumnya sikap Gita sangat menyebalkan, tetapi ketika ia pergi, hati Yuda pun merasa kehilangan. Mereka telah kembali ke pemakaman. Jarak dari area pemakaman dengan tempat tinggal Yuda, memakan waktu sepuluh menit. Sampai di rumah Yuda, terlihat Bianca dan Shella duduk di kursi teras depan. Mereka sedang berbincang. Melihat kedatangan mobil
Bianca menangis, menenggelamkan wajah di balik selimut. Evan yang melihat sikap Bianca hanya menggaruk kepala. "Aku kan tadi udah bilang sakit, Van! Kenapa sih dipaksain masuk?" sungut Bianca memarahi Evan yang duduk frustasi. "Maaf, Sayang. Tapi, kata orang-orang, sakitnya cuma sebentar. Nanti juga enak, Sayang ...." Evan tak henti membujuk istrinya,. Padahal kepemilikannya belum sepenuh tenggelam, tapi Bianca sudah berteriak histris. Untung, mereka ada di apartemen yang kedap suara. "Enak apanya? Kamu kali yang enak. Sakit, Van ... sakit. Emang kamu gak lihat, ada darah? Huhuhuhu ...." Bianca terus saja memarahi Evan. Awalnya Bianca berpikir kalau dirinya sedang datang bulan, tapi setelah ingat-ingat baru satu Minggu lalu ia datang bulan. Mungkin bercak darah itu karena Bianca masih p3r4w4n. Bisa dikatakan sel4put dara. "Sayang, aku benar-benar minta maaf. Aku ... aku gak sengaja." Evan sudah bingung mau bilang bagaimana lagi. Tapi, Bianca masih saja menangis. Perlahan-lahan,
"Hallo, Yuda?" sapa Daniel ketika sambungan telepon berlangsung. Saat Nida pergi ke sekolah, Daniel langsung menghubungi Yuda. Ingin membicarakan masalah keinginan Nida tadi pagi sewaktu sarapan dengannya. "Hallo, Pak Daniel?" balas Yuda menghentikan gerakan tangannya di atas laptop. Yuda baru tiba di kantor lima belas menit lalu. Ia langsung membuka laptop, menyelesaikan pekerjaannya. "Aku pengen bicara padamu. Kalau sempat, nanti pulang dari kantor, mampir dulu ke sini." Pinta Daniel. Dia tidak mau membicarakan keinginan Nida lewat sambungan telepon. Ia ingin bicara secara langsung supaya lebih jelas."Baik, Pak Daniel. Insya Allah nanti saya mampir ke rumah," jawab Yuda tegas. Jika sampai Daniel menelepon, kemungkinan besar ada masalah penting yang harus diselesaikan. "Oke. Terima kasih."Sambungan telepon selesai. Daniel menoleh pada istrinya yang tengah mengelus perutnya yang sudah membuncit. Daniel merundukkan kepala, menc1vm perut Namira yang beberapa bulan lagi akan melahi
"Masuk!" suara Yuda memerintahkan seseorang yang mengetuk pintu ruangannya. Shella yang membawa berkas laporan kerjaan Evan membuka pintu. "Maaf Pak Yuda kalau saya ganggu," ujar Shella tak enak hati. Dia tahu, beberapa hari belakangan, Yuda terlihat sangat murung. Mungkin karena kehilangan istrinya dan ditinggal Evan pergi dari rumah. Raut wajahnya pun tidak seceria biasanya. "Gak apa-apa. Masuk aja, Shella."Shella melenggang masuk ke dalam sembari tersenyum tipis. Ia meletakkan berkas yang dibawa ke hadapan Yuda."Itu laporan kerjaan Pak Evan, Pak Yuda," ucap Shella dengan bahasa formal. Yuda menarik berkas itu, meneliti dengan seksama sebelum ditandatangani.Terjadi keheningan cukup lama di antara keduanya. Shella ingin keluar ruangan tetapi ia segan jika Yuda belum menyuruhnya. Shella memerhatikan Yuda diam-diam. Diam-diam Shella menganggumi ketampanan wajah Yuda. Tidak terlalu tampan namun berwibawa. Segaris senyum terlihat dari janda memiliki anak satu itu. "Oke! Semuanya u
Alea terdiam, tidak langsung menanggapi rintihan wanita yang selama ini telah dianggap ibu kandungnya sendiri. "Ma, sudah, Ma ... jangan nangis ya? Seharian ini Mama nangis terus. Nanti Mama sakit ...." ucap Alea berusaha menenangkan Bianca. Istri Evan itu menggelengkan kepala berulang kali. Sekarang Bianca telah menyesal karena telah membohongi kedua adiknya belasan tahun lamanya. Selama ini, Bianca dan Evan selalu menanamkan sifat jujur pada si kembar. Namun, dia sendiri yang tidak jujur pada mereka. Bianca merasa sangat jahat pada Axel dan Alea. Bianca meraih salah satu telapak tangan Alea, menggenggamnya erat. "Alea, maafkan Mama, Nak ... maafin Mama ... Mama udah jahat sama kamu. Udah bohongi kamu dan Axel. Maafin Mama, Lea ...." Sangat sungguh-sungguh Bianca mengucapkan kata maaf. Tampaknya Bianca sangat menyesal dan bersedih karena telah merahasiakan kedua orang tua kandung Axel dan Alea. "Jangan minta maaf terus, Ma ... Aku dan Kak Axel udah maafin Mama. Udah ya, Ma? Janga
"Kamu benar, Xel. Apapun alasan Mbak Bian dan Mas Evan merahasiakan kedua orang tua kalian, tetap salah. Tapi, kamu juga jangan marah lama-lama. Coba kamu tanyakan baik-baik pada mereka, apa alasannya?" Gilang tak mau terlalu banyak menanggapi cerita yang disampaikan Axel. Ia tak mau, kalau dianggap ikut campur atau memihak ke salah satu keluarga itu. "Enggak tau, Bang. Jujur saja, aku masih kecewa. Masih enggak nyangka aja kalau mereka tega sama mama dan papaku. Misalnya mama Bianca membenci mamaku, kenapa pula dia sayang aku dan Alea?"Berbagai tanya diucapkan Axel. Benar-benar bingung dengan alasan Bianca dan Evan merahasiakan kedua orang tua kandung Axel dan Alea. "Ya sudah enggak usah kamu pikirkan dulu. Sekarang lebih baik kamu tenangkan hati dan pikiran.""Iya, Bang."Handphone milik Gilang tiba-tiba berdering. Lelaki itu merogoh saku celana, lalu terlihat nama kontak yang tertera di layar ponsel. Panggilan dari Alea. Gilang tak langsung mengangkat panggilan telepon itu, me
Nida menganggukkan kepala, mendengar tanggapan ibu mertua. "Iya, silakan saja Mama bicara dulu sama Mas Hanif. Maaf, Ma. Aku mau istirahat dulu. Apa masih ada yang mau Mama bicarakan?" Kalau saja tidak menghormati suaminya, Nida sudah ingin memarahi ibu Ros. "Enggak ada. Mama juga mau istirahat." Ibu Ros pergi lebih dulu, meninggalkan Nida yang masih duduk terpaku di ruang makan. Kepergian Ibu Ros dari ruangan itu, membuat Nida tercenung. Nida tak dapat menahan tangisan. Dalam keheningan, ia menangis tersedu-sedu. Nida juga ingin memiliki anak. Nida juga ingin merasakan hamil. Tapi, dia tidak memaksa Tuhan untuk memberinya keturunan. Nida selalu yakin, Tuhan lebih tahu, waktu dan saat yang tepat memiliki buah hati. Dengan kasar, Nida menyeka lelehan air mata. Ia beranjak, membersihkan piring kotor. Setelahnya, masuk ke dalam kamar. Baru saja menutup pintu kamar, terdengar suara dering handphone. Nida tahu, itu adalah suaminya. Nida berjalan menghampiri handphone y
Nida terkejut bukan main mendengar permohonan ibu Ros yang tak lain ibu mertuanya. Kedua mata Nida nyalang menatap wanita yang telah melahirkan suaminya. Sungguh, sedikitpun ia tak menyangka jika ibu Ros memintanya untuk mengizinkan Hanif menikah lagi.Sadar dari rasa terkejut, Nida menarik napas panjang. Ia tak boleh tersulut emosi. Jika sampai Nida memarahi ibu Ros, wanita itu pasti mengadu berlebihan pada Hanif."Oh, jadi Mama ingin aku izinin Mas Hanif nikah lagi? Supaya Mama dapat cucu dari istri barunya nanti? Begitu?" Nida sengaja mengulang keinginan ibu Ros dengan sikap yang santai. Ia juga melanjutkan suapan makan malamnya. Ibu Ros mengembuskan napas melihat ketenangan sikap Nida. "Iya begitu. Ya habis mau gimana lagi? Kamu juga sadar kan, enggak bisa kasih Hanif anak? Iya 'kan?"Yang salah tingkah bukan Nida, justru ibu Ros. Nida manggut-manggut sembari meneguk segelas air di dalam gelas hingga tandas. "Jujur ya, Ma. Sebenarnya aku enggak mau dipoligami. Enggak mau kala
Di dalam kamar, Nida berdiri di depan pintu. Kedua matanya terpejam, mulutnya mengucapkan istighfar berulang kali. Terkadang Nida sangat bersedih jika mengingat tak juga diberi buah hati. Berbagai cara telah Nida lakukan bahkan ia sempat menawarkan pada Hanif agar melakukan program bayi tabung tapi Hanif tak setuju. "Program bayi tabung itu mahal, Dek.""Tapi aku ada uangnya, Mas. Aku kan kerja. Uang hasil aku kerja kan jarang dipake." "Kamu menganggap Mas enggak punya uang? Kamu merendahkan Mas? Mas emang bukan pengusaha seperti keluargamu, tapi uang PNS yang Mas dapatkan sudah lebih dari cukup. Sudahlah, enggak usah melakukan program bayi tabung. Kalau sudah waktunya, nanti juga kita dikasih anak."Begitulah perdebatan Nida dengan suaminya suatu waktu. Setelah itu, Nida tak mengusulkan apa-apa lagi. Lebih memilih diam dan menerima hinaan dan makian dari keluarga Hanif terutama ibunya. Beruntung, Nida tipikal wanita bodo amatan. Terpenting baginya, Hanif mencintainya dengan tulus d
Sungguh, perkataan ibu Ros sangat menyinggung hati Nida. Wanita itu menatap tajam mertuanya. "Terserah Mama. Mau makan lauk nasi ini atau mau nunggu aku yang masak tapi aku mandi dulu!" Sangat ketus, Nida berkata.Selama ini, dia sudah berusaha sangat sabar menghadapi mulut ibu mertua yang luar biasa pedasnya. Kerap kali Nida dikatakan mandul pada keluarga Hanif. Hal yang paling tidak disukai Nida, mereka sering kali berkata, "Kayaknya Mbak Nida enggak punya anak karena emang keturunan. Buktinya Mbak Bianca juga enggak punya keturunan."Jika saja karena tidak menghargai suaminya, Nida udah menampar wajah kedua adik iparnya itu. "Dasar menantu enggak tau diri! Harusnya dulu Hanif nikah sama ibu guru Marisa saja bukan nikah sama dia! Menyebalkan! Huh! Aku harus menelepon Hanif. Harus aku adukan sikap istri kurang ajarnya itu!" cetus Ibu Ros mengeluarkan handphone dari saku gamis yang dikenakan. Tidak berselang lama, panggilan telepon ibu Ros diangkat anak sulungnya. "Assalamualaikum
"Dari mana, Pa?" tanya Bianca ketika Evan datang ke ruang makan. Sebelumnya Bianca melihat Evan ke depan rumah. "Dari depan," jawab Evan singkat. Ia melihat raut wajah ceria pada Bianca. Mungkin karena sikap Alea yang sudah biasa-biasa lagi. Seperti tidak ada yang terjadi. Tidak berselang lama, Alea datang dengan senyum tipis. Ia menyapa Bianca dan Evan seperti biasa. Alea sangat berusaha agar tidak ada yang berubah. Ia merasa sangat bahagia dengan kehidupannya. Dengan peran Bianca dan Evan yang mengaku sebagai kedua orang tua. "Lea, Axel mana? Apa dia belum selesai mandi?" tanya Bianca, menatap lekat adiknya yang sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik. "Ma, Axel tadi keluar rumah. Mungkin dia hanya pergi sebentar. Lebih baik kita makan duluan saja." Evan yang menjawab. Mengetahui kalau Alea tampak kebingungan menjawab pertanyaan Bianca, wanita yang dianggap ibu selama ini. Raut wajah Bianca yang sebelumnya ceria, kini berubah muram. Ia menelan saliva, kembali bersedih. Kepalanya
"Brisik! Minggir! Kalau kamu enggak mau ikut, enggak apa-apa." Axel mendorong adiknya agar menyingkir dari hadapan. Anak lelaki itu telah selesai mengemasi pakaian dan barang-barang ke dalam koper. Figura foto yang ada di tangan Alea, tak diambil. Dengan langkah cepat, Axel keluar kamar, menuruni anak tangga."Axel!" Panggilan Evan membuat langkah kaki Axel terhenti. Evan berjalan cepat menghampiri Axel yang selama ini dianggap anak olehnya. "Kamu mau kemana?" tanya Evan saat berdiri di depan Axel. Kembaran Alea itu tak langsung menjawab, ia terdiam sesaat. Melihat sikap Axel, Evan sudah dapat menerka jika Axel belum mengetahui kemana arah perginya. "Papa enggak akan melarangmu pergi. Tapi, kalau kamu mau, tinggal saja di apartemen Papa. Dan Papa harap, kamu enggak putus sekolah." Sebisa mungkin Evan bicara baik-baik pada Axel. "Terima kasih atas tawarannya tapi aku rasa enggak perlu. Masalah sekolah, enggak perlu khawatir. Aku akan tetap sekolah sampai selesai. Aku pamit."Hanya
Kendaraan yang ditumpangi Axel dan Alea telah memasuki halaman rumah keluarga Bragastara. Rumah yang selama ini menjadi saksi kebahagiaan Axel dan Alea memiliki kedua orang tua seperti Bianca dan Evan.Mesin mobil telah dimatikan, tapi Axel tetap bergeming. Pandangannya nanar pada rumah mewah nan megah itu. Benak Axel masih bertanya, kenapa Bianca begitu tega menyembunyikan kenyataan tentang siapa kedua orang tuanya? Apakah kedua orang tua Axel melakukan kesalahan sehingga Bianca begitu membenci mereka? Sehingga mereka tega tidak memberitahu kenyataan itu?"Mau turun dulu enggak, Kak?" Pertanyaan Alea menyentak lamunan lelaki yang berkulit putih, bermata agak sipit dan memiliki tinggi badan sekitar 178 cm itu. "Ya. Aku mau ngambil barang-barang dan pakaian dulu.""Kak, coba pikirin lagi. Jangan kebawa emosi. Coba berpikir positif," tegur Alea mengingatkan keputusan Axel yang ingin pergi dari rumah. Axel tak menanggapi, ia membuka pintu mobil, lalu berjalan lebih dulu ke pintu depan.