Sungguh, Yuda tak menyangka Gita telah meninggal dunia. Terutama Evan. Baru beberapa jam lalu ia sempat berdebat dan bertengkar karena kebohongan yang dilakukan ibunya. Namun, dalam hati Evan justru berpikir, lebih baik Gita meninggal dunia dari pada hidup penuh kebohongan dan kemunafikan. Jenazah Gita sudah dimakamkan. Keluarga Bragastara hadir kecuali Bianca karena ia sedang ada kelas, belum selesai. Evan dan Yuda berjongkok, mereka masih memanjatkan doa. Daniel, Namira dan Nida berdiri tak jauh dari makam Gita. Semua orang tak menyangka Gita meninggal dunia secepat ini. "Pah, ayok kita pulang!" ajak Evan pada papahnya yang berduka. Meski sebelumnya sikap Gita sangat menyebalkan, tetapi ketika ia pergi, hati Yuda pun merasa kehilangan. Mereka telah kembali ke pemakaman. Jarak dari area pemakaman dengan tempat tinggal Yuda, memakan waktu sepuluh menit. Sampai di rumah Yuda, terlihat Bianca dan Shella duduk di kursi teras depan. Mereka sedang berbincang. Melihat kedatangan mobil
Bianca menangis, menenggelamkan wajah di balik selimut. Evan yang melihat sikap Bianca hanya menggaruk kepala. "Aku kan tadi udah bilang sakit, Van! Kenapa sih dipaksain masuk?" sungut Bianca memarahi Evan yang duduk frustasi. "Maaf, Sayang. Tapi, kata orang-orang, sakitnya cuma sebentar. Nanti juga enak, Sayang ...." Evan tak henti membujuk istrinya,. Padahal kepemilikannya belum sepenuh tenggelam, tapi Bianca sudah berteriak histris. Untung, mereka ada di apartemen yang kedap suara. "Enak apanya? Kamu kali yang enak. Sakit, Van ... sakit. Emang kamu gak lihat, ada darah? Huhuhuhu ...." Bianca terus saja memarahi Evan. Awalnya Bianca berpikir kalau dirinya sedang datang bulan, tapi setelah ingat-ingat baru satu Minggu lalu ia datang bulan. Mungkin bercak darah itu karena Bianca masih p3r4w4n. Bisa dikatakan sel4put dara. "Sayang, aku benar-benar minta maaf. Aku ... aku gak sengaja." Evan sudah bingung mau bilang bagaimana lagi. Tapi, Bianca masih saja menangis. Perlahan-lahan,
"Hallo, Yuda?" sapa Daniel ketika sambungan telepon berlangsung. Saat Nida pergi ke sekolah, Daniel langsung menghubungi Yuda. Ingin membicarakan masalah keinginan Nida tadi pagi sewaktu sarapan dengannya. "Hallo, Pak Daniel?" balas Yuda menghentikan gerakan tangannya di atas laptop. Yuda baru tiba di kantor lima belas menit lalu. Ia langsung membuka laptop, menyelesaikan pekerjaannya. "Aku pengen bicara padamu. Kalau sempat, nanti pulang dari kantor, mampir dulu ke sini." Pinta Daniel. Dia tidak mau membicarakan keinginan Nida lewat sambungan telepon. Ia ingin bicara secara langsung supaya lebih jelas."Baik, Pak Daniel. Insya Allah nanti saya mampir ke rumah," jawab Yuda tegas. Jika sampai Daniel menelepon, kemungkinan besar ada masalah penting yang harus diselesaikan. "Oke. Terima kasih."Sambungan telepon selesai. Daniel menoleh pada istrinya yang tengah mengelus perutnya yang sudah membuncit. Daniel merundukkan kepala, menc1vm perut Namira yang beberapa bulan lagi akan melahi
"Masuk!" suara Yuda memerintahkan seseorang yang mengetuk pintu ruangannya. Shella yang membawa berkas laporan kerjaan Evan membuka pintu. "Maaf Pak Yuda kalau saya ganggu," ujar Shella tak enak hati. Dia tahu, beberapa hari belakangan, Yuda terlihat sangat murung. Mungkin karena kehilangan istrinya dan ditinggal Evan pergi dari rumah. Raut wajahnya pun tidak seceria biasanya. "Gak apa-apa. Masuk aja, Shella."Shella melenggang masuk ke dalam sembari tersenyum tipis. Ia meletakkan berkas yang dibawa ke hadapan Yuda."Itu laporan kerjaan Pak Evan, Pak Yuda," ucap Shella dengan bahasa formal. Yuda menarik berkas itu, meneliti dengan seksama sebelum ditandatangani.Terjadi keheningan cukup lama di antara keduanya. Shella ingin keluar ruangan tetapi ia segan jika Yuda belum menyuruhnya. Shella memerhatikan Yuda diam-diam. Diam-diam Shella menganggumi ketampanan wajah Yuda. Tidak terlalu tampan namun berwibawa. Segaris senyum terlihat dari janda memiliki anak satu itu. "Oke! Semuanya u
Kalimat yang diucapkan Yuda, membuat hati Shella meleleh. Andai saja ia yang menjadi istri Yuda, apakah lelaki itu akan bersikap seperti itu juga?Yuda menoleh, keningnya mengkerut melihat Shella yang senyam-senyum lagi."Shella?""Eh iya, Pak? Ada apa? Pak Yuda butuh apa?" tanya Shella dengan berbagai pertanyaan. Yuda semakin heran dan aneh melihat tingkah atau sikap Shella yang tidak biasanya. "Kamu ... kamu lagi jatuh cinta sama Zovan?""Enggak!" jawab Shella cepat. Bibirnya seketika cemberut. "Terus, alasanmu senyam-senyum dari tadi apa? Kamu lagi suka sama seseorang kan?" Yuda semakin penasaran dengan sikap salah satu karyawannya yang tidak biasa. Shella menghela napas berat, tatapannya lurus ke depan. Enggan menoleh pada Yuda. "Hm ... Saya senyam-senyum sendiri karena senyum itu kan ... ibadah. Sodakoh juga. Dari pada saya cemberut gak jelas? Lagian, kenapa Pak Yuda bilang saya suka sama Pak Zovan?" tanya Shella menunjukkan rasa tak suka. "Barang kali aja. Kamu kan tempo l
Daniel merasa iba akan kondisi yang dialami sahabatnya itu. Dulu, ia pun pernah merasakan hal yang sama sebelum menikah dengan Namira. Setelah menikah dengan Namira, semuanya berubah total. Kehidupan yang dijalani Daniel penuh kebahagiaan dan semangat. "Minum dulu kopinya, Pah," ucap Nida pada papa kandungnya yang tampak murung. "Iya, Nak. Terima kasih. Kamu gak ada ekskul sore ini?" tanya Yuda sembari menyeruput kopi buatan Nida. Gadis itu duduk di samping papahnya. "Enggak ada, Pah." Jawaban Nida membuat Yuda menganggukkan kepala. Lalu meletakkan kembali secangkir kopi di tempat semula. "Jangan terlalu aktif di sekolah, nanti kamu kecapekan," pesan Yuda sembari membelai rambut anak gadisnya. Nida tersenyum manis mendapatkan perhatian dari sosok seorang ayah. Sosok ayah yang selama ini dia rindukan. Kini, telah berada di hadapannya. Sungguh, Nida sangat bersyukur pada Allah SWT karena telah mengabulkan permohonannya. Yuda tak menyangka buah hatinya dari pernikahannya dengan Dani
Esok harinya, Yuda tidak masuk kantor. Ia ingin mengurus perpindahannya ke rumah pondok indah. Berat memang, meninggalkan rumah yang penuh kenangan. Rumah yang dulu dihadiahkan Baragstara atas pernikahan Yuda dan Gita. Keluarga Bragastara sungguh baik padanya. Dia seperti bagian keluarga itu. Yuda mengeluarkan handphone, hendak menghubungi Evan. Namun, baru saja menekan nomor kontak Evan, satu panggilan masuk dari Shella. "Hallo, Shella?" sapa Yuda ketika sambungan telepon berlangsung. "Hallo, Pak. Hari ini Pak Yuda gak masuk kenapa? Apakah Pak Yuda lagi sakit? Lagi gak enak badan? Kepala pusing? Meriangin atau sedang sakit perut?" tanya Shella terdengar sangat mencemaskan Yuda. Lelaki yang telah berstatus duda itu menyandarkan tubuh di sofa, berpikir sejenak. Lalu, senyumannya terukir. "Shella, kamu mencemaskan saya?" Pertanyaan Yuda membuat Shella terkejut. Kedua matanya membeliak. Menelan saliva, lalu salah tingkah. "Hmm ... Iyalah, Pak. Sa-saya cemas. Pak Yuda kan atasan saya
Shella tersentak mendengar pertanyaan Yuda. Sedikitpun tidak menyangka kalau Yuda menanyakan hal itu dan sedikitpun Shella tak menyangka kalau wanita yang di kantor itu adalah dirinya sendiri. "Tapi, saya rasa kamu gak akan mau punya suami macam saya. Saya ini udah tua. Pak Daniel itu ada-ada saja. Shella, kerjaan saya gak usah kamu yang ngerjain. Nanti biar saya saja yang menyelesaikan.""I-iya, Pak."Sambungan telepon terputus tanpa menunggu tanggapan Yuda. Hati Shella berdebar-debar, keringat dingin membasahi kedua tangannya. Ia sangat gugup. "Kok bisa sih, Pak Daniel bilang gitu ke Pak Yuda? lagian Pak Yuda ngajakin nikah di telepon, enggak romantis amat?" gumam Shella memandangi layar ponselnya. Setelah menerima telepon dari Shella, Yuda kembali mengemasi pakaian dan barang-barangnya. Ia ingin segera selesai supaya siang hari nanti masih bisa masuk kantor. Sampai rumah Pondok Indah, ada Nida, Daniel dan Namira yang sedang menunggu kedatangan Yuda. Mereka sangat bahagia karena
"Ya Allah, Kak Bian kok mikirnya gitu? Aku pergi kerja bukan karena happy tapi karena enggak mau meratapi apa yang udah menimpa rumah tanggaku. Kak Bian jangan asal nuduh. Mana ada aku dekat dengan pria lain?"Wajar saja jika reaksi Nida marah. Bianca keterlaluan. Bukannya bersimpati atas yang menimpa rumah tangga Nida, justru menuduh yang bukan-bukan. "Kamu kok marah sih? Aku kan cuma nanya. Kalau kamu enggak merasa, ada pria lain, ya udah enggak usah marah," elak Bianca tak mau disalahkan. Membuang wajah ke arah lain, enggan bersitatap dengan Nida. "Terus kedatangan Kak Bian ke sini mau ngapain? Mau ngejek aku? Karena aku sekarang udah diceraikan mas Hanif?" Intonasi suara Nida masih meninggi. Ia tahu, berubahnya sikap Bianca sekarang ini karena ia telah membongkar rahasia yang bertahun-tahun ditutup rapat oleh Bianca dan Evan. "Aku ke sini cuma pengen tau aja. Ya udah, aku mau ke kantor sekarang!"Tanpa menunggu tanggapan Nida, Bianca berjalan ke mobil, masuk lalu melakukan ken
Setelah Arfan pamit, Bianca datang menemui Axel dan Alea yang masih berada di luar rumah. "Kalian ngapain di luar?" tanya Bianca memandang Axel dan Alea bergantian. "Kami habis ngerjain tugas. Alhamdulillah sekarang udah selesai. Misi, Ma." Axel menjawab sekaligus meninggalkan Bianca yang masih tertegun di luar rumah. "Ma, aku juga mau ke kamar. Mau istirahat," ujar Alea. Namun, Bianca mencekal pergelangan tangan gadis itu. "Mama ingin bicara. Duduklah!""Iya, Ma."Jelas saja Alea tak bisa menolak perintah anak sulung Daniel itu. Keduanya duduk di kursi teras depan rumah. "Apa kamu tau, alasan Hanif menceraikan Nida? Apa karena Nida mandul?"Sungguh kata mandul sangat tak enak didengar. Jika Nida mendengarnys pasti tersinggung. "Ma, tante Nida enggak mandul. Tolong jangan sebut dia mandul. Enggak ada dokter yang menyatakan tante Nida mandul. Rahim tante Nida baik-baik aja kok, aku pernah baca surat keterangan dari dokter," jelas Alea menyanggah pemikiran Bianca tentang kondisi r
"Minumannya udah datang..., " seru Alea membawa tiga cangkir kopi. Dua cangkir berisi kopi, satu cangkir berisi teh manis. Alea meletakkan cangkir teh manis di depan Arfan. "Makasih, Lea." "Sama-sama. Diminum dulu tehnya biar semangat!" kata Alea menarik kursi yang tak jauh dari jangkauan. Ketiga anak muda itu langsung fokus pada layar laptop yang biasa digunakan Axel. Sebelum meretas, Arfan ingin tahu lebih dulu akun Hanif. "Kayaknya Pak Hanif enggak terlalu aktif di media sosial yang ini. Nih kalian lihat!" Arfan menyodorkan layar laptop ke hadapan Axel dan Alea. Saudara kembar itu duduk berdekatan. "Enggak bisa di cek DM -nya?" tanya Axel menoleh pada Arfan. "Bisa. Sebentar, aku coba lagi." Kali ini cukup lama, Arfan berkutat di depan laptop. Arfan begitu lincah mengoperasikan teknologi. Alea yang baru melihat kemampuan Arfan secara langsung, sampai dibuat kagum. Tanpa disadari, Alea tersenyum sembari memandang wajah Arfan yang cukup tampan. Axel yang semula memandang l
"Astaghfirullah, Mama kok bilang gitu? Enggak peduli sekali dengan musibah yang dialami tante Nida." Refleks, Alea menimpali ucapan Bianca. Biasanya Alea tak berani menyanggah ucapan Bianca tetapi kini, ia langsung angkat bicara."Bukan Mama enggak peduli! Ah, sudahlah. Sekarang lebih baik kalian mandi, ganti seragam dan makan. Mama enggak mau penghuni rumah ini ada yang sakit lagi," ucap Bianca masih diselimuti emosi. Wanita itu masuk ke dalam rumah, tanpa menunggu tanggapan dari kedua adiknya. Axel menarik napas panjang melihat tingkah laku Bianca yang tak berubah. Masih saja menyebalkan. "Kenapa mama jadi ngeselin banget sih, Kak?" gerutu Alea, bibirnya cemberut, kedua tangsj bersidekap. "Emang ngeselin!" jawab Axel masuk ke dalam rumah lebih dulu. Axel sedang malas berdebat. Kalau saja tidak ingat dengan kesehatan Bianca, mungkin Axel tadi akan ribut juga. Saudara kembar itu masuk ke dalam kamar masing-masing. Melakukan perintah Bianca setelahnya mereka berdua menuju ruang mej
Raut wajah Alea seketika berbinar. Ia baru ingat kalau teman sekelasnya itu memiliki keahlian teknologi. Meski masih SMA, tapi otak Arfan bisa dikatakan lumayan encer terutama masalah teknologi. "Iya, Kak. Bener banget tuh! Aku baru inget kalau si Arfan jago IT. Ya udah, Kak. Aku mau telepon dia dulu. Suruh dia dateng ke rumah nanti malam. Gimana, Kak?" Alea sangat bersemangat menjalankan rencana yang disampaikan oleh Axel. Ia tak sabar ingin mengetahui penyebab Hanif menceraikan Nida. "Boleh. Coba aja kamu telepon." Alea langsung merogoh handphone dari saku seragamnya. Lalu menekan nomor kontak Arfan. Arfan yang tengah berkutat di depan komputer rumahnya, terkejut melihat Alea sang gadis pujaan hati menghubunginya. Senyum Arfan mengembang, menarik napas panjang lalu mengangkat telepon dari Alea. "Hallo?" "Fan, nanti malam kamu bisa enggak ke rumahku?" Tanpa basa-basi Alea bertanya. Ia tak mau membuang waktu. Ingin secepatnya mengetahui alasan Hanif mecneraikan tante
"Analisamu ada benernya, Lea. Bisa jadi Om Hanif yang mandul," timpal Axel sependapat dengan kembarannya.Nida hanya mengulum senyum mendengar tanggapan dari Alea dan Axel."Ya udahlah, Tante enggak mau terlalu mikirin itu lagi. Toh kenyataannya, sekarang kami udah bercerai. Tinggal menunggu sidangnya saja." Sangat tenang, Nida menanggapi ucapan anak kembar itu. Alea dan Axel saling pandang lalu keduanya mengela napas berat. "Tante harus kuat ya terutama di depan om Hanif. Jangan sampai terlihat lemah atau bersedih. Nanti si om malah besar kepala. Malah mikir, Tante kecintaan banget ama dia," kata Alea memberi semangat pada wanita yang selama ini tempat mereka curhat. "Tapi, Tante. Apa Tante enggak ada curiga kalau om punya wanita idaman lain? Ya aku sih, enggak habis pikir aja. Selama ini yang aku tau, rumah tangga Tante kan baik-baik aja. Kok sekarang tiba-tiba ...."Axel menggantung kalimat, tak sanggup melanjutkan kalimat yang sudah dimengerti oleh Nida dan Alea. "Namanya juga
"Cerai?" Serempak Alea dan Axel bertanya. Raut wajah mereka terkejut. "Tante serius?" tanya Alea. "Pasti cuma nge-prank nih," timpal Axel tak percaya. Nida tersenyum, menepuk pundak Axel. "Kita makan dulu aja. Nanti Tante baru cerita."Keduanya menganggukkan kepala. Mengikuti langkah Nida yang menuju dapur. "Kalian tunggu di sini. Tante mau hangatin masakannya. Oke?""Oke, Tante."Nida menarik napas lega sebab Alea dan Axel datang ke rumahnya. Paling tidak ia sedikit terhibur akan kedatangan mereka. Dirinya tidak merasa sendirian di rumah ini. Namun, Nida sadar. Dia mesti terbiasa dengan kesendirian. "Sudah siap masakannya," seru Nida seolah tak terjadi hal buruk yang menimpanya. Ya, hal buruk. Sebab, meski Nida terlihat sumringah, terlihat menerima keputusan Hanif akan tetapi hatinya tetaplah bersedih dan sakit. Nida wanita normal. Yang sakit hati jika cintanya dikhianati. Nida menyimpulkan sendiri jika alasan Hanif menceraikannya karena ada wanita lain. Wanita lain itu kemungk
Hanif tak dapat mengelak lagi. Selama ini tidak bisa ia berbohong pada Nida. Pun Nida, ia tahu jika suaminya menyembunyikan sesuatu atau sedang berbohong. Namun, lagi dan lagi Hanif diam, tak juga menjawab. "Oke. Kalau kamu masih enggak mau jawab pertanyaanku, enggak masalah. Aku juga enggak masalah kalau kamu mau cerai. Silakan saja."Nida menyerah, tidak bisa mendesak lelaki yang lebih banyak diam itu. Nida beranjak ke toilet. Di dalam sana, setelah membuka kran, Nida menangis tersedu-sedu. Sedikit pun Nida tak menyangka jika Hanif akan menceraikannya. Baru beberapa hari lalu, Hanif meyakinkan cinta dan kesetiannya terhadap Nida. Hanif menarik napas panjang ketika Nida pergi meninggalkannya. Ia mengusap wajah kasar, memandang lurus ke depan, lalu pandangannya mengitari kamar yang sudah bertahun-tahun ditempatinya bersama wanita yang dulu mati-matian ia perjuangkan. Dan hari ini, Hanif sudah menjatuhkan talak. Lelaki itu kembali menarik napas, mengembuskan perlahan. Berusaha meyak
Tiba di rumah, Nida berjalan cepat, ingin segera menemui suaminya. Ketika hendak menaiki anak tangga yang menghubungkan ke kamarnya, terdengar suara percakapan Hanif dengan ibunya di ruang keluarga. Nida pun mengurungkan pergi ke kamar, belok ke ruang keluarga. "Mas!" pekik Nida menghampiri suaminya yang duduk di sebelah ibu Ros. "Kamu enggak apa-apa, Mas? Mana yang terluka?" telisik Nida panik. Menelisik Hanif. "Kamu ini gimana sih? Malah nyari yang terluka? Kamu pengen suamimu terluka?" Pertanyaan ibu Ros membuat Nida menoleh. Menghela napas berat. Nida tahu, apapun yang dilakukannya, di hadapan ibu Ros selalu saja salah. "Bukan aku pengen mas Hanif terluka, Ma. Tadi Mas Hanif bilang semalam kecelakaan. Makanya dia enggak pulang," jelas Nida menahan rasa kesal pada ibu mertua. Hanif masih bergeming, tidak mengeluarkan kata-kata. "Udah tau! Sebelum Hanif cerita ke kamu, dia udah cerita ke Mama," tandas ibu Ros menunjukkan raut wajah tak suka. "Aku mau bicara empat ma