Pagi harinya, Daren tetap menunjukkan sikap biasanya di depan anak-anak kesayangannya. Sama sekali tidak menunjukkan sikap tak nyaman atas suasana hati yang tengah di rasakan pagi ini. Semalaman dia sudah untuk memejamkan kedua matanya. Pikirannya menggelayut manja dan kenangan yang pernah terjalin antara dirinya dengan wanita yang pernah hadir dalam kehidupannya dan telah memberikan dua orang anak lucu-lucu seperti apa yang ia pintar dari Danisa.Riana menatap curiga, atas wajah lesu yang terjadi pada sang putra. Hingga Akhirnya dia pun memutuskan untuk bertanya langsung sebab apa yang membuat Daren seperti orang yang kurang beristirahat. Atau jangan … jangan. Putra tunggalnya itu sedang sakit?“Apa kau sedang sakit, Daren? Wajahmu pucat,” tanya Riana tak sabar dan pasti dia mencemaskan Daren sebab tidak mengurusnya. Daren menatap sama mama, tangan besarnya itu menarik kursi dan dia duduk di atasnya. Dia pun memberikan jawaban pada mamanya yang dia tahu sedang mencemaskan diriny.
Danisa yang melihat keseriusan yang Daren tunjukkan padanya itu terdiam memaku di tempatnya berdiri. Hingga tak ada lagi kata yang keluar dari bibirnya, dengan tubuhnya yang sedang mematung di tempatnya. Hingga tubuh tegap pria yang telah meninggalkan Danisa berdiri itu menghilang dari pandangan wanita tersebut, Danisa pun terkesan dengan panggilan Maya, adiknya. “Mbak, aku berangkat dulu ya,” ujar Maya, berpamitan hendak pergi ke toko kue sebab banyak pesanan pagi ini yang harus segera dikirim. “Eh, Iya.” Danisa terkejut dengan kehadiran Maya yang tiba-tiba telah ada di sebelahnya itu. Maya yang mendapati sang Kakak terkejut itu pun menautkan kedua alisnya bingung dan tentu dia penasaran dengan apa yang terjadi. “Mbak kenapa sih? Kok dari tadi bengong seperti orang bingung.” Maya menatap ke arah mobil yang baru saja meninggalkan halaman yayasan. Dan Maya kembali menatap Danisa yang tampak terkejut dengan kehadirannya itu. “Memangnya Mbak kenal dengan orang tadi? Kok kayaknya a
Sepanjang malam, Danisa begitu sulit untuk terlelap dalam tidurnya. Dia masih kepikiran dengan wajah Ara yang seharian ini ditekuk mukanya. Bingung, apa yang harus dia katakan. Sebab siang tadi dia hanya sedang berusaha memberikan jawaban yang masuk akal menurutnya. Tidak ingin menyakiti perasaan dan hati putih du putri kecil yang sama-sama Danisa sayangi. Dan apa yang Danisa katakan pada Ara tetap tak mampu membuat anak itu kembali ceria seperti sedia kala. “Besok aku harus bicara pada Retu dan Claudia untuk tidak berbicara masalah ini pada orang lain,” gumam Danisa yang hanya mampu didengar oleh dirinya sendiri sebab tak ada orang lain lagi di dalam kamarnya itu. Danisa masih meminta waktu pada Restu dan ibunya. Soal lamaran yang Restu lakukan untuknya kemarin. Sebab, dia masih belum mampu menerima kehadiran pria lain dalam hidupnya. Terlebih saat munculnya kembali Daren dan kedua anak kembarnya yang ia yakin jika mereka itu adalah anak yang telah dikandungnya dulu. Langit pagi y
Siang hari, seorang guru yang bertugas membersamai kelas Ara, Claudia terdengar sedang mengetuk pintu ruangan Danisa yang masih dilanda keresahan yang teramat itu. Danisa mempersilahkan karyawannya tersebut masuk menemui dirinya. “Maaf, saya sudah ganggu waktu Bunda,” kata Bu Sarah yang menjadi karyawan Danisa.Danisa tersenyum manis, dia mengulas senyum tipis diiringi dengan anggukan yang Danisa beri sebagai sapaan hangat yang biasa dia lakukan untuk siapapun. “Tidak apa. Ada apa Bu Sarah?” tanya Danisa ramah pada wanita tersebut. “Bu, ada wanita setengah baya yang jemput Ara dan Aiden ke sekolah. Saya tidak berani memberi izin pada Ara sebab ayahnya sebelumnya telah berpesan hanya dia yang bisa menjemput putri dan putranya.” Bu Sarah memberitahukan jika ada orang lain yang menjemput Ara dan Aiden. Danisa mengernyit bingung, memang Daren lah yang semula telah menyetujui surat perjanjian yang tertulis jika dia sendiri yang akan mengantar jemput anak-anaknya. Bahkan, suster Ara pu
“Mama sangat tak percaya bisa melihat kamu lagi sekarang, Danisa. Mama pikir, Mama tidak akan lagi bisa menemuimu setelah kepergianmu tiba-tiba dalam hidup kami.” Seperti biasa, Riana yang selalu menunjukkan sikap ramahnya pada siapa pun. Ternyata sikap yang selalu Riana tunjukkan padanya selama ini tak berubah. Meski waktu telah terkikis banyak dan Danisa sudah meninggalkan kesan yang begitu buruk pada wanita yang sudah duduk di ruang kerjanya ini. Ara dan Aiden memilih untuk bermain di taman bermain yang ada di halaman bermain yayasan. Tentu saja semua itu atas bujukan Aiden yang mengerti jika Oma dan Bundanya itu membutuhkan waktu untuk bicara berdua yang bersifat privasi tentunya. Danisa yang mendengar setiap kata yang terdengar begitu bahagia dari wanita yang pernah menjadi mertua baginya itu hanya mampu meringis prihatin. Bagaimana bisa, Riana bukannya marah dengannya. Tapi sikap yang ditunjukkan itu malah sebaliknya. “Danisa juga, Ma. Danisa tak pernah menyangka akan bertem
Daren yang sedang melakukan meeting bersama rekan kerjanya itu terganggu dengan beberapa notif pesan yang masuk ke dalam ponselnya. Padahal, pria itu telah mengheningkan nada suara ponselnya. Tak ingin mematikan benda pipih yang dimilikinya itu, sebab dia yang harus terus bersiaga tentang kedua buah hatinya saat dia memberi kabar, jika pria itu tak bisa menjemput kedua buah hatinya di yayasan. Daren yang melihat notif pesan bertubi masuk ke dalam ponsel miliknya menjadi penasaran, berpikir jika kabar yang masuk melalui pesan ponselnya itu sesuatu penting tentang kedua buah hatinya. Baru saja dia hendak membuka pesan yang masuk, sebuah panggilan dari nomor yang pastinya dia kenal sebab pria itu telah menyimpan sebelumnya itu mengernyit heran. Untuk apa, nomor wanita yang pernah hadir dalam hidupnya itu menghubunginya. Apa ada sesuatu hal yang penting?Tidak menunggu lama, Daren pun segera mengangkat panggilan yang masuk. “Aku di depan kantormu,” kata wanita yang lima belas menit la
Daren tidak langsung menjawab ajakan untuk kembali dari danisa untuknya itu. Pria itu diam, menatap datar ke arah wanita yang masih bersemayam dengan begitu baiknya di lubuk hati terdalamnya. Mencerna, apa yang Danisa maksudkan padanya. Daren bukan orang bodoh. Tentu dia tidak akan bertanya hal konyol baginya tidak cukup penting. Daren menyunggingkan senyum sinisnya, menatap remeh pada Danisa tentunya. “Jangan jadi wanita yang tidak memiliki harga diri. Itu sangat tidak cocok dengan pakain dan pekerjaanmu, Nona,” sindirnya.Sengaja Daren mengatakan itu langsung pada Danisa, sebab masa lalu wanitanya itu yang memang sungguh di luar nalar baginya. Danisa bungkam. Dia belum paham yang Daren maksudkan padanya itu. Danisa semakin mengikir jarak ke arah Daren, dia tidak akan menyerah begitu saja untuk kembali pada pria dan kedua buah hati yang telah dilahirkan olehnya dan berhasil membuat diri Danisa jauh lebih baik dari sebelumnya. “Apa maksudmu, Daren. Sepertinya aku tidak melakukan
Danisa merasa puas, saat melihat Daren yang seperti orang ketahuan saat hendak melakukan sesuatu. Tapi memang fakta yang terjadi seperti itu, Danisa yang tahu pribadi Daren tentu tahu jika pria yang berada dalam jarak yang cukup dekat dengannya itu tak akan mau untuk berterus terang kepadanya. Denisa sangat tahu, sikap kaku yang Daren miliki. Hingga dia, merasa berada alam situasi yang menang dan semakin yakin jika pria yang masih berstatus sah menjadi suaminya itu memang sedang cemburu dengan Restu. “Sekarang tidak ada alasan lagi, Pak Daren. Kita memang sudah ditakdirkan untuk bersatu, dan aku akan kembali pada anda dan juga dua buah hati kita,” kata Danisa pada Daren yang masih bungkam tak berkata sepatah kata pun. Danisa memberi jarak pada Daren, dia tersenyum manis pada Daren yang sedang mengalihkan tatapan kepadanya itu. “Aku tunggu di rumah. Mama Riana tadi belum kembali dengan anak-anak. Beliau bilang jika ingin berkunjung ke ibu dan ingin mendekatkan diri pada ibu. Jadi,