Siang hari, seorang guru yang bertugas membersamai kelas Ara, Claudia terdengar sedang mengetuk pintu ruangan Danisa yang masih dilanda keresahan yang teramat itu. Danisa mempersilahkan karyawannya tersebut masuk menemui dirinya. “Maaf, saya sudah ganggu waktu Bunda,” kata Bu Sarah yang menjadi karyawan Danisa.Danisa tersenyum manis, dia mengulas senyum tipis diiringi dengan anggukan yang Danisa beri sebagai sapaan hangat yang biasa dia lakukan untuk siapapun. “Tidak apa. Ada apa Bu Sarah?” tanya Danisa ramah pada wanita tersebut. “Bu, ada wanita setengah baya yang jemput Ara dan Aiden ke sekolah. Saya tidak berani memberi izin pada Ara sebab ayahnya sebelumnya telah berpesan hanya dia yang bisa menjemput putri dan putranya.” Bu Sarah memberitahukan jika ada orang lain yang menjemput Ara dan Aiden. Danisa mengernyit bingung, memang Daren lah yang semula telah menyetujui surat perjanjian yang tertulis jika dia sendiri yang akan mengantar jemput anak-anaknya. Bahkan, suster Ara pu
“Mama sangat tak percaya bisa melihat kamu lagi sekarang, Danisa. Mama pikir, Mama tidak akan lagi bisa menemuimu setelah kepergianmu tiba-tiba dalam hidup kami.” Seperti biasa, Riana yang selalu menunjukkan sikap ramahnya pada siapa pun. Ternyata sikap yang selalu Riana tunjukkan padanya selama ini tak berubah. Meski waktu telah terkikis banyak dan Danisa sudah meninggalkan kesan yang begitu buruk pada wanita yang sudah duduk di ruang kerjanya ini. Ara dan Aiden memilih untuk bermain di taman bermain yang ada di halaman bermain yayasan. Tentu saja semua itu atas bujukan Aiden yang mengerti jika Oma dan Bundanya itu membutuhkan waktu untuk bicara berdua yang bersifat privasi tentunya. Danisa yang mendengar setiap kata yang terdengar begitu bahagia dari wanita yang pernah menjadi mertua baginya itu hanya mampu meringis prihatin. Bagaimana bisa, Riana bukannya marah dengannya. Tapi sikap yang ditunjukkan itu malah sebaliknya. “Danisa juga, Ma. Danisa tak pernah menyangka akan bertem
Daren yang sedang melakukan meeting bersama rekan kerjanya itu terganggu dengan beberapa notif pesan yang masuk ke dalam ponselnya. Padahal, pria itu telah mengheningkan nada suara ponselnya. Tak ingin mematikan benda pipih yang dimilikinya itu, sebab dia yang harus terus bersiaga tentang kedua buah hatinya saat dia memberi kabar, jika pria itu tak bisa menjemput kedua buah hatinya di yayasan. Daren yang melihat notif pesan bertubi masuk ke dalam ponsel miliknya menjadi penasaran, berpikir jika kabar yang masuk melalui pesan ponselnya itu sesuatu penting tentang kedua buah hatinya. Baru saja dia hendak membuka pesan yang masuk, sebuah panggilan dari nomor yang pastinya dia kenal sebab pria itu telah menyimpan sebelumnya itu mengernyit heran. Untuk apa, nomor wanita yang pernah hadir dalam hidupnya itu menghubunginya. Apa ada sesuatu hal yang penting?Tidak menunggu lama, Daren pun segera mengangkat panggilan yang masuk. “Aku di depan kantormu,” kata wanita yang lima belas menit la
Daren tidak langsung menjawab ajakan untuk kembali dari danisa untuknya itu. Pria itu diam, menatap datar ke arah wanita yang masih bersemayam dengan begitu baiknya di lubuk hati terdalamnya. Mencerna, apa yang Danisa maksudkan padanya. Daren bukan orang bodoh. Tentu dia tidak akan bertanya hal konyol baginya tidak cukup penting. Daren menyunggingkan senyum sinisnya, menatap remeh pada Danisa tentunya. “Jangan jadi wanita yang tidak memiliki harga diri. Itu sangat tidak cocok dengan pakain dan pekerjaanmu, Nona,” sindirnya.Sengaja Daren mengatakan itu langsung pada Danisa, sebab masa lalu wanitanya itu yang memang sungguh di luar nalar baginya. Danisa bungkam. Dia belum paham yang Daren maksudkan padanya itu. Danisa semakin mengikir jarak ke arah Daren, dia tidak akan menyerah begitu saja untuk kembali pada pria dan kedua buah hati yang telah dilahirkan olehnya dan berhasil membuat diri Danisa jauh lebih baik dari sebelumnya. “Apa maksudmu, Daren. Sepertinya aku tidak melakukan
Danisa merasa puas, saat melihat Daren yang seperti orang ketahuan saat hendak melakukan sesuatu. Tapi memang fakta yang terjadi seperti itu, Danisa yang tahu pribadi Daren tentu tahu jika pria yang berada dalam jarak yang cukup dekat dengannya itu tak akan mau untuk berterus terang kepadanya. Denisa sangat tahu, sikap kaku yang Daren miliki. Hingga dia, merasa berada alam situasi yang menang dan semakin yakin jika pria yang masih berstatus sah menjadi suaminya itu memang sedang cemburu dengan Restu. “Sekarang tidak ada alasan lagi, Pak Daren. Kita memang sudah ditakdirkan untuk bersatu, dan aku akan kembali pada anda dan juga dua buah hati kita,” kata Danisa pada Daren yang masih bungkam tak berkata sepatah kata pun. Danisa memberi jarak pada Daren, dia tersenyum manis pada Daren yang sedang mengalihkan tatapan kepadanya itu. “Aku tunggu di rumah. Mama Riana tadi belum kembali dengan anak-anak. Beliau bilang jika ingin berkunjung ke ibu dan ingin mendekatkan diri pada ibu. Jadi,
“Mama apa-apaan sih, ikut campur urusan ku dengan Danisa,” kesal Daren yang sudah berada di rumahnya sejak kembali di kantor. Sekarang, dia sedang berada di taman belakang rumah mewahnya. Tentu saja setelah memastikan kedua buah hatinya itu sudah terlelap dalam indahnya mimpi yang sedang mengantar keduanya menuju pagi hari yang sudah kembali berwarna dengan begitu indah. “Mama nggak mau ya, menunggu lama kayak kamu. Kamu itu jadi orang terlalu lelet untuk bertindak seperti itu. Kau belum juga tahu fakta yang sesungguhnya. Tapi, kau sudah mundur begitu saja dan sama sekali tidak berniat untuk membuat langkahmu itu semakin maju.” Riana merasa gemas dengan tingakh putranya. Bisa-bisanya, anak lelaki yang begitu mahir dalam bisnis itu begitu lambat dalam mengambil keputusan untuk perasaannya dan kedua buah hatinya. “Ck. Apa yang mama pikirkan. Apa yang Daren lakukan su—”“Apa? Kamu bahkan belum melakukan sesuatu, hanya karena kamu yang tak tahu kabar pasti yang sedang Danisa alami,” k
“Cih, bahkan kau sudah mencuri kedua anak yang telah aku besarkan selama ini,” kesal Daren saat melihat perlakuan yang dilakukan oleh kedua buah hatinya itu pada Danisa. Danisa tak marah, saat mendapati sikap yang Daren tunjukkan kepadanya itu. Wanita yang berparas anggun dengan hijab segi empat yang dikenakan dengan rapi itu justru terkekeh mendapati Daren yang terlihat sedang kesal atas kebersamaan yang Ara tunjukkan kepadanya itu. “Habisnya kalau nunggu Daddy-nya yang kasih, tak akan kunjung aku dapatkan. Jadi, buat apa menunggu izin dari Daddy kakunya ini.”“Hai, aku ada di hadapanmu, Danis.” Daren menegur Danisa tidak terima saat wanita yang berada dalam jarak dekat dengannya itu secara terang-terangan memberikan sindiran untuknya. “Kenapa? Tidak salah juga kan, Pak Daren. Apa yang aku katakan itu benar adanya,” ujar Danisa tidak ingin disalahkan oleh pria yang masih berstatus sah menjadi suaminya secara hukum tersebut. “Ck. Kau ini. Selalu saja bersikap semaumu,” Danisa tida
Danisa makan dalam diam. Pikirannya sedang berkecamuk dengan banyak tanya yang sedang terjadi padanya. Dia sama sekali tidak menyangka, jika Daren telah melakukan pendekatan kepada ibunya tanpa sepengetahuan dirinya. “Makan kok bengong,” tegur sang ibu saat melihat putri sulungnya itu makan sambil bengong entah apa yang dipikirkan oleh Danisa. Danisa mengerucutkan bibirnya, tentu saja dia sedikit terkejut dengan teguran yang dilakukan oleh sayang Ibu kepadanya.“Ibu apaan sih,” kesalnya.Ibunya terkekeh, dan kembali membuka suara padanya. “Tuh, kayaknya Nak Daren juga naksir kamu deh. Soalnya dari sikap yang ditunjukkan olehnya itu tanda-tanda seorang pelayan sedang menyukai wanita.”Denisa tak lekas menjawab apa yang dikatakan oleh ibunya itu kepadanya. Dia dia menggema sebab Apa yang dilakukan oleh Darren memang benar adanya seperti itu. “Ibu heran, mereka pintar yang didekati lebih dulu itu ibu. Nak Restu dan Nak Daren ingin mendapat restu lebih dulu dari ibu.” Sang ibu menoleh