Darren sama sekali tidak mendapatkan petunjuk atas segala pertanyaan yang ia berikan pada kepala pelayanan dan beberapa pelayan yang bekerja di Mansion mewahnya tersebut.Mereka hanya menyampaikan jika sejak tamu berdatangan, Riana menyibukkan diri menyapa tamu undangan yang hadir. Sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda yang mencurigakan akan sebab Riana tak sadarkan diri dan perubahan sikap yang terjadi oleh mamanya tersebut.Daren masih bergeming di depan cermin besar tepat di belakang meja kerjanya, dia menatap lalu lalang pegawai yang membereskan pesta di bawah sana dari kaca jendela tersebut.Aura tenang yang Daren lakukan saat ini, tidak seperti dengan banyaknya tanda tanya yang sedang gaduh di pikirannya. Kepulan asap rokok itu membumbung bersamaan dengan hembusan dari rongga yang melepaskannya keluar.Ya, Dia sedang menerka-nerka kebetulan kebetulan yang terjadi sehingga membuat mamanya berubah. Dirinya pun harus mempersiapkan segala sesuatu yang akan terjadi nantinya. Bia
Danisa merasakan sesuatu yang semakin bertambah berat yang berada di atas perutnya. Dia yang masih senantiasa terpejam itu harus memaksakan diri untuk bangkit dari tidurnya karena merasa ingin buang air kecil. Meski berat yang ia rasakan, tetap membuat Danisa memaksakan agar kedua kelopak matanya itu terbuka. Saat hendak bangkit, hal yang Danisa dapatkan adalah sebuah lengan kekar yang melingkar tepat di atas perutnya. Danisa segera menoleh, ternyata Daren yang ikut tidur satu ranjang bersamanya. Karena memang selama ini Daren yang tidur di sofa panjang dengan berselimut tebal di sana. Danisa membola tak percaya, mendapati suaminya itu tidur dalam posisi memeluknya. “Astaga!” Danisa menepuk jidadnya, saat menyadari kesalahan dirinya yang tiba-tiba tertidur Saat pria yang masih nyenyak di sampingnya itu mengusap perut gendutnya semalam. Danisa pun menghembuskan nafasnya dengan begitu kasar. “Apa aku yang ketiduran dan si tweeny masih terus menendang di sini kali.” Danisa beral
Danisa yang mendapati sikap mertuanya seperti itu pun mematung di tempatnya. Dia menjadi ragu untuk melangkah dan sarapan bersama. Dengan memaksakan diri untuk tetap bersikap ramah, Akhirnya dia pun membuka kalimat untuk menyapa mertuanya.“Pagi, Ma. Gimana kabar Mama hari ini? Keadaan Mama juga bagaimana? Apa sudah lebih baik?” tanya wanita yang sedang mengandung tersebut masih berusaha menunjukkan sikap ramahnya kepada Riana yang berubah menjadi Ketus terhadap dirinya.“Sepertinya kau tak buta untuk sekedar melihat bagaimana keadaanku. Tak berbuat basa-basi, Aku tak butuh itu.” Menatap tak suka, saat Riana mengatakan semua itu kepada Danisa, menantu yang biasa dia sayangi dengan sepenuh jiwa.“Ma,” tegur Daren, dia tak ingin mamanya bersikap rajut seperti itu kepada Riana karena akan mempengaruhi batin dan psikis istrinya yang sedang mengandung anak-anaknya.Riana yang mendapati teguran dari Putra kesayangan itu menatap tak suka. Dia pun bangkit dari duduknya masih dengan menatap l
“Anda mau ke mana, Nona?” Tanya seorang pelayan yang sejak tadi memperhatikan Danisa dari jarak jauh karena tidak ingin mengganggu Nona mudanya.Danisa menghentikan langkah, menoleh dan menatap ramah pada pelayan yang selalu siap membantunya sejak tinggal di rumah ini sejak dia tinggal di rumah utama Daren. Danisa pun memberikan senyum manisnya. “Saya mau ke atas,” kata Danisa berterus terang, tidak bilang jika ingin berbincang dengan sang mertua. Melainkann alasan ingin kembali ke lantai dimana kamarnya beradalah sebagai jawaban yang Danisa berikan. Pelayan itu pun mengangguk, setelahnya dia membiarkan Danisa kembali melangkah menuju ke rumah utama. “Pelan-pelan, Nona,” tegur Pelayan memberikan peringatan untuk sang Nona saat mendapati Danisa berjalan dengan langkah yang lumayan cepat. Sontak Danisa menghentikan langkah, dia meringis menunjukkan deretan gigi putihnya. Saat lagi-lagi harus mendapat teguran oleh pelayan yang memang ditugaskan oleh sang suami untuk selalu menging
Tentu saja Daren tidak akan terima jika anak yang ada di dalam kandungan Danisa bukanlah darah dagingnya. Dia tak senang, karena semua proses pun sudah dia lewati bersama sang istri. Tidak ada celah keraguan untuk Daren menukas ujaran yang hendak disampaikan oleh Riana terhadapnya. Karena memang fakta yang terjadi begitu adanya. Riana semakin terluka, Daren yang tidak pernah bicara dengan dirinya menggunakan nada tinggi kali ini sangat berbeda.Pertama kalinya bagi Daren berbicara dengan nada yang sudah naik beberapa oktaf dari sebelum mereka yang berbincang dengan nada rendah. Hal itu berhasil membuat hati seorang ibu yang begitu bangga dengan anak karena selama ini Daren yang selalu memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Yang Riana dapatkan sekarang adalah, Daren yang sudah berubah. Dia berhasil menaikkan nada suara padanya. “Apa kau masih tak mau membuka mata, bahkan semua bukti foto itu sudah sangat jelas. Bukan hanya satu pria yang sedang memeluk pinggang istrimu itu. Ada beb
Setelah berbincang dengan sang mama, Daren memutuskan untuk keluar dari kamar Riana. Tidak mendapat bantahan dari mamanya lagi, membuat Daren menganggap jika mamanya sedang berpikir atas setiap kalimat yang terucap olehnya tentang Danisa. Memberikan waktu, adalah langkah yang ia ambil agar Riana bisa berpikir jauh lebih tenang dengan pikiran yang lebih jernih. Tak ada gunanya memaksa, mungkin dengan cara seperti ini, Riana menjadi tahu jika Danisa memiliki sedikit sisi gelap. Daren berpikir, jika saatnya tiba nanti. Riana tidak akan terlalu menyesali kepergian Danisa dari kehidupan keluarga dan anak-anaknya. “Kau!” Baru saja membuka pintu kamar mamanya, dia sudah dikejutkan dengan kehadiran Danisa yang sedang bersandar dengan kedua mata yang sembab. Danisa yang sedang terhanyut dalam kesedihannya itu pun terkejut dengan kehadiran Daren yang tiba-tiba. Tidak ada suara sama sekali dari dalam, yang berhasil membuat dan bisa tidak menyadari jika pria itu sedang melangkah keluar k
Danisa yang mendengar jawaban dari Daren merasa miris. Dia tersenyum kecut, dan berusaha menyembunyikan senyum palsunya itu dari sang suami. Dia harus tetap menunjukkan jika dia sedang baik-baik saja atas kalimat yang Daren katakan padanya itu. Ingin melambung tinggi, atas perlakuan yang diberikan oleh suaminya ini kepadanya. Tetapi, fakta menunjukkan di depan matanya jika perlakuan yang dilakukan oleh pria yang mengemudi itu semata-mata hanya untuk anak di dalam kandungannya.“Kau harus tahu diri, Danisa. Daren hanya peduli dengan anak anaknya. Bukankah sejak awal kau pun tahu, jika pria di sampingnya mau itu tidak akan pernah tersentuh sedikitpun hatinya oleh siapapun. Termasuk dirimu.”Danisa memejamkan mata, membuang segala perasaan sesak yang tiba-tiba Menghujam berat di dadanya. Berusaha terlihat baik-baik saja, meski rasa yang begitu nyeri dalam hatinya yang kini dia rasakan. Danisa menoleh pada Daren, tersenyum manis menunjukkan jika dia dalam keadaan baik-baik saja. “Maaf,
Entah mengapa Daren suka bersikap Sesuka Hati kepada Danisa. Apa dia tidak berpikir, jika perlakuan yang Daren lakukan barusan sudah berhasil membuat debaran jantungnya semakin tidak baik-baik saja. Pria itu bersikap seolah mereka adalah pasangan yang begitu romantis. Padahal, dalam situasi seperti ini bukanlah waktunya untuk Danisa dan Darren harus memainkan peran menjadi sepasang suami istri yang saling menyayangi.Setelah Daren berbisik hendak menghubungi Leo, asisten pribadinya, pria itu memilih ke luar dari butik tersebut. Tak.jauh dari tempat Danisa memilih tas mewah yang ada di dalam. Karena pergerakan wanitanya itu masih terpantau oleh Daren yang sedang berdiri dengan ponsel di tangannya. “Iya, Pak,” jawab Leo, saat panggilan masuk dari darah itu terhubung.“Kau cari siapa yang mengirim foto-foto lama Danisa dan banyak pria pada mama semalam,” kata Daren pada Leo.Meski pelan, namun yang Deren perintahkan itu terdengar tegas dan tidak ingin terbantah.“Baik, Pak. Akan saya