Hujan deras membasahi jalanan Ravenwood, menciptakan genangan air yang memantulkan lampu-lampu jalan berwarna kekuningan. Kota itu, meskipun besar, selalu terasa mencekam di malam hari. Deru mobil patroli polisi terdengar di kejauhan, semakin mendekat ke salah satu sudut distrik industri yang sepi.
Leon Ardian melangkah keluar dari mobilnya dengan mantelnya yang panjang. Dia menghela napas panjang sambil memandang ke arah gudang tua yang dikelilingi garis polisi. Sebuah tempat yang jauh dari peradaban, tempat di mana tak seorang pun berharap menemukan kehidupan atau kematian. “Detektif Ardian!” suara seorang petugas polisi memanggil. “Kami menemukan korban lainnya. Ini yang ketiga minggu ini.” Leon mengangguk tanpa berkata apa-apa. Dia tahu kasus ini akan menjadi mimpi buruk lain yang membangunkannya di tengah malam. Mengambil senter dari sakunya, dia berjalan mendekati lokasi di mana tubuh seorang wanita ditemukan. Tubuh itu terbaring di tengah ruangan besar yang kosong, diterangi oleh lampu portable yang dipasang tim forensik. Di sebelah tangan kanannya, bunga camellia putih tergeletak dengan tenang, kontras dengan darah yang mengalir dari tubuhnya. “Camellia lagi,” gumam Leon. “Ya, detektif. Sama seperti dua kasus sebelumnya. Posisi korban, bunga, semuanya identik,” jelas seorang teknisi forensik. Leon memandang ke arah bunga itu, lalu ke wajah korban. Dia tidak lagi merasa mual melihat tubuh manusia yang tak bernyawa, tetapi ada sesuatu yang mengganggu tentang pola ini. “Apa sudah ada ahli otopsi di sini?” tanyanya. “Baru datang. Dia di luar, sedang bersiap.” Leon mengangguk dan berjalan keluar gedung. Di sana, seorang wanita berdiri di bawah payung hitam, mengenakan jas lab putih yang kontras dengan langit kelabu di atasnya. Rambut cokelat gelapnya ditata rapi, dan ekspresi wajahnya dingin seperti malam itu.Evelyn Selene. “Dokter Selene,” Leon menyapa dengan nada datar. Evelyn menoleh dan mengangguk kecil. “Detektif Ardian,” jawabnya. Suaranya tenang, hampir tanpa emosi. “Kami menemukan korban ketiga. Camellia putih lagi. Sepertinya pembunuhnya ingin kita tahu sesuatu.” Evelyn tidak menanggapi langsung. Dia hanya mengarahkan pandangannya ke gudang, lalu melangkah masuk tanpa meminta izin. Leon mengikutinya dengan sedikit senyum di sudut bibirnya. Evelyn memang terkenal dengan sikap dingin dan efisiensinya, tetapi itu justru yang membuatnya disukai atau dibenci oleh banyak orang. “Beritahu saya apa yang anda temukan,” pinta Evelyn begitu dia berjongkok di samping tubuh korban. Tangannya yang terbungkus sarung tangan lateks mulai memeriksa luka-luka dengan cermat. Leon menyilangkan tangannya di dada. “Wanita. Usia kira-kira 30 tahun. Tidak ada tanda-tanda perlawanan. Dan bunga itu…” “Camellia,” potong Evelyn. “Bunga yang melambangkan kesempurnaan dan keanggunan. Tetapi dalam beberapa budaya juga dianggap sebagai simbol pengkhianatan.” Leon menaikkan alisnya. “Simbol pengkhianatan? Pembunuh ini tampaknya punya selera aneh.” “Bukan selera,” jawab Evelyn sambil berdiri. “Pesan.” “Pesan apa?” Evelyn memandang Leon dengan tatapan serius. “Pesan yang hanya dia pahami, setidaknya untuk saat ini. Saya perlu melakukan otopsi lebih lanjut, tetapi dari luka-lukanya, ini bukan sekadar pembunuhan acak. Dia ahli. Potongannya bersih, terencana.” Leon mengangguk pelan. “Baiklah. Kalau begitu, lakukan apa yang perlu Anda lakukan. Saya akan mencari tahu lebih banyak tentang korban.” Evelyn mengangguk dan mulai mengatur persiapannya. Sementara itu, Leon melangkah keluar, menyalakan rokok, meskipun tahu itu dilarang di lokasi kejadian. Dia memandang ke arah hujan yang semakin deras, pikirannya dipenuhi teka-teki yang terus bertambah. Di pagi hari, Leon kembali ke kantornya. Tumpukan dokumen dan laporan memenuhi mejanya. Sambil duduk, dia membuka berkas korban terbaru.Lara Finnigan. 32 tahun. Wartawan investigasi. “Wartawan,” gumam Leon. “Apa yang sedang dia selidiki?” Leon mulai membaca laporan pekerjaan Lara. Ternyata dia sedang menulis artikel tentang kejahatan terorganisir di Ravenwood, sebuah artikel yang belum selesai dan tampaknya menjadi alasan dia dibunuh. Ketukan di pintu mengalihkan perhatian Leon. Evelyn masuk dengan sebuah map di tangannya. Dia tampak sedikit lelah, tetapi tatapannya tetap tajam. “Hasil otopsi,” katanya sambil meletakkan map itu di meja Leon. Leon membuka map tersebut dan membaca isinya. Evelyn menjelaskan, “Korban meninggal karena kehilangan darah. Luka-luka di tubuhnya sangat presisi, seperti dilakukan oleh seseorang dengan pengetahuan medis. Saya yakin ini bukan pertama kalinya pelaku melakukannya.” Leon memandang Evelyn. “Ahli medis? Atau seseorang yang pernah bekerja di bidang ini?” Evelyn mengangguk. “Kemungkinan besar iya. Tapi saya menemukan sesuatu yang menarik.” “Apa itu?” Evelyn menyerahkan foto close-up dari luka di tangan korban. Ada sesuatu yang terukir di kulitnya sebuah angka. “’0411’,” baca Leon keras-keras. “Apa artinya?” “Saya belum tahu. Tapi ini bukan angka acak. Bisa jadi tanggal, kode, atau bahkan tanda untuk korban berikutnya.” Leon menghela napas panjang. “Kalau begitu, kita harus bergerak cepat sebelum ada angka lain yang muncul.” Evelyn memandang Leon dengan tatapan serius. “Saya harap anda benar-benar serius dengan ini, Detektif Ardian. Karena pelaku ini tidak hanya cerdas, dia juga menikmati apa yang dia lakukan.” Leon tersenyum kecil. “Tenang saja, Dokter Selene. Saya tidak akan membiarkan dia lolos.”***Suara hujan membasuh jalanan Ravenwood yang lengang, membuat lampu neon di sepanjang trotoar memantul di atas genangan air. Di bawah langit yang kelabu, Leon Ardian berdiri di depan sebuah gudang tua, matanya memperhatikan plang nama yang sudah karatan: "Thorn Industrial Supplies."Leon mengamati bangunan tua itu, instingnya mengatakan tempat ini lebih dari sekadar gudang tak terurus. Kapten Thorne baru saja memberi informasi bahwa tempat ini mungkin menjadi lokasi transaksi gelap antara mafia lokal dan pemasok senjata ilegal. Tapi Leon merasa ada sesuatu yang lebih besar bermain.“Leon, kau yakin akan masuk tanpa tim cadangan?” suara Liam terdengar dari alat komunikasi di telinga Leon. Leon menyentuh earphone-nya, matanya tetap awas. “Saya tidak punya waktu menunggu. Jika kita terlalu lama, mereka bisa kabur.”Liam mendesah. “Oke, tapi hati-hati. Aku sudah meretas kamera keamanan mereka. Aku akan memberi tahu kalau ada sesuatu.”Leon melangkah perlahan, senapan Glock-nya terangka
***Malam itu, udara di Ravenwood semakin dingin. Di dalam kantor kecilnya, Leon duduk sambil memandangi papan bukti yang semakin penuh. Nama Claire Vega sekarang ada di tengah papan, dikelilingi tanda tanya besar.Di sebelahnya, Evelyn berdiri, mencoba menyusun kembali petunjuk yang mereka miliki. “Claire... kau yakin ini dia?” tanyanya, ragu.Leon tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap foto rekan kerjanya yang dulu selalu ia percaya. “Saya tidak yakin. Tapi, terlalu banyak kebetulan.”Evelyn menyilangkan tangannya, matanya menatap ke arah papan bukti. “Kalau begitu, kita cari tahu. Dia salah satu dari kita, kan Jika dia tidak bersalah, buktikan. Kalau dia bersalah...” Evelyn berhenti sejenak, menelan ludah. “...kita harus bertindak.”Leon menarik napas panjang. “Saya tidak akan membuat tuduhan tanpa bukti, jadi saya akan mengawasi dia.”Keesokan paginya, Leon memutuskan untuk memulai penyelidikannya lebih dalam. Sementara itu, Evelyn menghabiskan waktu di laboratorium forensik, m
***Hujan deras mengguyur kota Ravenwood, membasahi jalanjalan yang sepi dan menciptakan genangan kecil di sepanjang trotoar. Lampu-lampu neon dari kedai dan toko memantulkan cahaya ke permukaan basah itu, menciptakan bayangan yang bergerak seiring hembusan angin. Di tengah kesunyian kota yang hanya diiringi bunyi tetesan air, suasana dingin dan kelam terasa semakin menusuk.Di markas mereka yang sederhana di Distrik Ravenwood, Leon duduk di depan papan besar yang penuh dengan catatan, foto, dan peta. Garis-garis merah yang menghubungkan satu titik ke titik lain seolah membentuk jaringan rumit yang terus-menerus mengingatkannya bahwa kasus ini jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Pikirannya dipenuhi pertanyaan tanpa jawaban, setiap petunjuk yang ada justru membawa lebih banyak keraguan.Ketukan lembut di pintu mengalihkan perhatiannya. Evelyn masuk, membawa dua cangkir kopi yang mengepul hangat. “Kau butuh ini,” katanya, suaranya lembut namun tegas. Dia meletakkan salah satu cang
***Malam berikutnya, mereka kembali ke dermaga. Kali ini, suasana jauh lebih mencekam. Hujan rintik-rintik masih turun di Ravenwood, menciptakan kabut tipis yang melingkupi pelabuhan. Di sepanjang dermaga, suara langkah kaki samar terdengar, bercampur dengan denting air yang memecah kesunyian malam. Leon dan Evelyn bergerak hati-hati, menyusuri bayangan gelap yang diberikan tumpukan peti kemas.Namun, ada sesuatu yang berbeda malam ini. Gerakan mencurigakan di sekitar mereka terasa tidak wajar—terorganisir, seperti jebakan yang disengaja. Evelyn berhenti sejenak, merasakan hawa dingin yang menusuk tulang."Kau merasakannya?" bisiknya pada Leon.Leon hanya mengangguk, matanya tajam menyapu area sekitarnya. "Mereka tahu kita kembali."Ketegangan menggantung di udara. Pesan ancaman yang Leon terima tadi malam kembali terngiang di benaknya: "Kalian tidak akan bisa lari selamanya. Lihat apa yang akan terjadi jika kalian terus mencampuri urusan Damian."“Ini pasti bagian dari rencana merek
***Malam itu mereka beristirahat di sebuah motel tua di pinggiran Ravenwood. Hujan masih mengguyur, menciptakan ritme monoton di atas atap yang bocor di beberapa sudut. Evelyn duduk di tepi tempat tidur, memeriksa luka di lengannya yang diperoleh saat perkelahian di dermaga. Leon berdiri di dekat jendela, tirai sedikit terbuka, memperhatikan jalan di luar dengan kewaspadaan tinggi."Sepertinya mereka benar-benar tidak akan berhenti sampai kita hancur," kata Evelyn, memecah keheningan. Ia menghela napas pelan sambil membalut lukanya dengan perban.Leon tidak menjawab. Matanya tetap terpaku pada jalanan gelap, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Akhirnya, ia berbicara dengan suara rendah, hampir berbisik. "Mereka sudah mengincar kita sejak lama. Tapi sekarang, mereka tahu kita semakin dekat dengan sesuatu yang penting."Evelyn berdiri, mendekati Leon. "Kau yakin Damian yang mengatur semua ini? Bisa saja orang lain yang mencoba mengalihkan perhatian kita."Leon mengangguk perlah
***Malam telah larut ketika Leon dan Evelyn kembali ke markas kecil mereka. Hujan deras yang terus mengguyur Ravenwood seolah menyembunyikan kegelisahan mereka. Leon berdiri di depan papan bukti, menatap foto Damian Crowe dengan tatapan tajam. Evelyn duduk di kursi, memeriksa rekaman audio dari malam sebelumnya, mencoba mencari petunjuk di tengah suara tembakan dan percakapan singkat.“Gudang nomor 17,” gumam Evelyn, mengulang informasi penting yang mereka peroleh. “Mereka memindahkan sesuatu yang besar di sana, tapi kita belum tahu apa.”Leon menghela napas, kemudian mengambil selembar kertas yang berisi catatan transaksi misterius dari dermaga. “Bukan hanya senjata atau bahan peledak,” ujarnya. “Ini lebih besar. Saya yakin ini ada hubungannya dengan seseorang di pemerintahan.”Evelyn menoleh tajam. “Kau pikir Damian punya sekutu politik?”“Bukan hanya sekutu,” jawab Leon. “Saya pikir dia bagian dari sesuatu yang lebih besar. Mungkin ini sebabnya dia selalu selangkah lebih maju.”Ke
***Hujan deras yang tak kunjung reda di Ravenwood membuat malam itu semakin mencekam. Di markas kecil mereka, Leon menatap papan bukti yang kini dipenuhi koneksi baru. Nama Richard Hayes kini berada di pusat perhatian, dikelilingi oleh potongan informasi yang mengarah pada Damian Crowe dan organisasi besar di belakangnya.Sementara itu, Evelyn masih memeriksa data dalam flashdisk yang mereka dapatkan dari laboratorium. Sebagian besar file terenkripsi, tetapi ada satu folder yang berhasil ia buka.“Leon, lihat ini,” panggil Evelyn.Leon mendekat dan membaca file yang ditampilkan di layar. Isinya adalah catatan transaksi antara Dr. Hayes dan sebuah perusahaan farmasi besar bernama GenTech Innovations. Transaksi itu mencatat pembelian bahan kimia dalam jumlah besar yang bisa digunakan untuk membuat senjata biologis.“Jadi, Dr. Hayes tidak hanya tahu tentang Damian,” ujar Evelyn, suaranya bergetar. “Dia mungkin terlibat dalam pengembangan sesuatu yang berbahaya.”Leon mengepalkan tinjuny
***Fajar menyingsing di atas Danau Silvermist, tetapi tidak ada kelegaan dalam hati Leon maupun Evelyn. Mereka membawa Dr. Hayes ke sebuah tempat persembunyian sementara, sebuah rumah kecil di pinggiran kota Ravenwood yang jarang diketahui orang. Di sana, mereka merancang langkah berikutnya.“Kita tidak bisa hanya bersembunyi,” kata Leon sambil menatap Dr. Hayes yang tampak lelah. “Jika formula itu masih ada, Damian akan terus mengejar.”Evelyn duduk di meja, membuka laptop dan menghubungkan flashdisk yang mereka bawa. “Kita harus tahu siapa saja yang terlibat dan seberapa jauh jaringannya. Kalau Damian hanyalah bagian kecil, siapa pemain utamanya?”Dr. Hayes menarik napas panjang sebelum akhirnya bicara. “Damian bekerja untuk seseorang yang lebih besar, seseorang dengan kekuasaan dan uang tak terbatas. Namanya Victor Sokolov, pengusaha sekaligus mafia yang dikenal sebagai filantropis. Tapi dia adalah dalang di balik jaringan perdagangan senjata biologis ini.”Leon mengernyit. “Sokol
***Lorong gelap di bawah Elysium Park terasa dingin dan sunyi, seolah menyembunyikan sesuatu yang tidak ingin ditemukan siapa pun. Langkah kaki Leon, Evelyn, dan Dr. Hayes bergema di sepanjang dinding batu yang lembap, suara mereka menggema dengan samar. Cahaya dari senter kecil mereka hanya cukup untuk menerangi beberapa meter ke depan, menciptakan bayangan panjang yang tampak bergerak sendiri.“Ini pasti lorong menuju laboratorium rahasia,” ujar Evelyn sambil memeriksa simbol-simbol di dinding yang tampaknya memiliki pola tertentu. “Tapi saya tidak yakin kita bisa melewatinya begitu saja.”Leon berhenti sejenak, memperhatikan lorong dengan cermat. “Kalau Sokolov menghabiskan banyak uang untuk ini, pasti ada sistem keamanan yang menunggu.”Hayes mengangguk setuju. “Aku pernah melihat desain seperti ini sebelumnya. Lorong seperti ini biasanya dipenuhi jebakan otomatis. Kita harus sangat berhati-hati.”Leon mendesah pelan, lalu melanjutkan langkahnya. Namun, beberapa meter kemudian, l
Genre: Action, Misteri, Romansa, ThillerTagar: Detektif, Mafia, Dokter Otopsi, Action, Misteri, Romansa, Thiller***Langit Ravenwood mulai cerah setelah ledakan besar menghancurkan gudang pusat Damian, tetapi suasana hati Leon dan Evelyn tetap suram. Meskipun formula telah dihancurkan, mereka sadar bahwa ancaman yang lebih besar masih mengintai di balik bayangan.Dr. Hayes duduk di sudut ruangan persembunyian mereka, wajahnya penuh rasa bersalah. Tangannya memegang dokumen yang berhasil ia selamatkan dari server sebelum formula itu hilang. Dokumen tersebut penuh dengan kode-kode aneh, simbol, dan frasa membingungkan.“Aku menemukan ini sebelum server itu hancur,” ucap Hayes lirih. “Tampaknya ini adalah petunjuk menuju lokasi Sokolov dan rencana berikutnya.”Leon mengambil dokumen itu dengan hati-hati, matanya membaca setiap detail yang tertera di sana. Evelyn mendekat, memperhatikan simbol-simbol Yunani kuno yang terlihat familiar baginya.“Στίγμα,” gumam Evelyn, menunjuk salah satu
***Fajar menyingsing di atas Danau Silvermist, tetapi tidak ada kelegaan dalam hati Leon maupun Evelyn. Mereka membawa Dr. Hayes ke sebuah tempat persembunyian sementara, sebuah rumah kecil di pinggiran kota Ravenwood yang jarang diketahui orang. Di sana, mereka merancang langkah berikutnya.“Kita tidak bisa hanya bersembunyi,” kata Leon sambil menatap Dr. Hayes yang tampak lelah. “Jika formula itu masih ada, Damian akan terus mengejar.”Evelyn duduk di meja, membuka laptop dan menghubungkan flashdisk yang mereka bawa. “Kita harus tahu siapa saja yang terlibat dan seberapa jauh jaringannya. Kalau Damian hanyalah bagian kecil, siapa pemain utamanya?”Dr. Hayes menarik napas panjang sebelum akhirnya bicara. “Damian bekerja untuk seseorang yang lebih besar, seseorang dengan kekuasaan dan uang tak terbatas. Namanya Victor Sokolov, pengusaha sekaligus mafia yang dikenal sebagai filantropis. Tapi dia adalah dalang di balik jaringan perdagangan senjata biologis ini.”Leon mengernyit. “Sokol
***Hujan deras yang tak kunjung reda di Ravenwood membuat malam itu semakin mencekam. Di markas kecil mereka, Leon menatap papan bukti yang kini dipenuhi koneksi baru. Nama Richard Hayes kini berada di pusat perhatian, dikelilingi oleh potongan informasi yang mengarah pada Damian Crowe dan organisasi besar di belakangnya.Sementara itu, Evelyn masih memeriksa data dalam flashdisk yang mereka dapatkan dari laboratorium. Sebagian besar file terenkripsi, tetapi ada satu folder yang berhasil ia buka.“Leon, lihat ini,” panggil Evelyn.Leon mendekat dan membaca file yang ditampilkan di layar. Isinya adalah catatan transaksi antara Dr. Hayes dan sebuah perusahaan farmasi besar bernama GenTech Innovations. Transaksi itu mencatat pembelian bahan kimia dalam jumlah besar yang bisa digunakan untuk membuat senjata biologis.“Jadi, Dr. Hayes tidak hanya tahu tentang Damian,” ujar Evelyn, suaranya bergetar. “Dia mungkin terlibat dalam pengembangan sesuatu yang berbahaya.”Leon mengepalkan tinjuny
***Malam telah larut ketika Leon dan Evelyn kembali ke markas kecil mereka. Hujan deras yang terus mengguyur Ravenwood seolah menyembunyikan kegelisahan mereka. Leon berdiri di depan papan bukti, menatap foto Damian Crowe dengan tatapan tajam. Evelyn duduk di kursi, memeriksa rekaman audio dari malam sebelumnya, mencoba mencari petunjuk di tengah suara tembakan dan percakapan singkat.“Gudang nomor 17,” gumam Evelyn, mengulang informasi penting yang mereka peroleh. “Mereka memindahkan sesuatu yang besar di sana, tapi kita belum tahu apa.”Leon menghela napas, kemudian mengambil selembar kertas yang berisi catatan transaksi misterius dari dermaga. “Bukan hanya senjata atau bahan peledak,” ujarnya. “Ini lebih besar. Saya yakin ini ada hubungannya dengan seseorang di pemerintahan.”Evelyn menoleh tajam. “Kau pikir Damian punya sekutu politik?”“Bukan hanya sekutu,” jawab Leon. “Saya pikir dia bagian dari sesuatu yang lebih besar. Mungkin ini sebabnya dia selalu selangkah lebih maju.”Ke
***Malam itu mereka beristirahat di sebuah motel tua di pinggiran Ravenwood. Hujan masih mengguyur, menciptakan ritme monoton di atas atap yang bocor di beberapa sudut. Evelyn duduk di tepi tempat tidur, memeriksa luka di lengannya yang diperoleh saat perkelahian di dermaga. Leon berdiri di dekat jendela, tirai sedikit terbuka, memperhatikan jalan di luar dengan kewaspadaan tinggi."Sepertinya mereka benar-benar tidak akan berhenti sampai kita hancur," kata Evelyn, memecah keheningan. Ia menghela napas pelan sambil membalut lukanya dengan perban.Leon tidak menjawab. Matanya tetap terpaku pada jalanan gelap, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Akhirnya, ia berbicara dengan suara rendah, hampir berbisik. "Mereka sudah mengincar kita sejak lama. Tapi sekarang, mereka tahu kita semakin dekat dengan sesuatu yang penting."Evelyn berdiri, mendekati Leon. "Kau yakin Damian yang mengatur semua ini? Bisa saja orang lain yang mencoba mengalihkan perhatian kita."Leon mengangguk perlah
***Malam berikutnya, mereka kembali ke dermaga. Kali ini, suasana jauh lebih mencekam. Hujan rintik-rintik masih turun di Ravenwood, menciptakan kabut tipis yang melingkupi pelabuhan. Di sepanjang dermaga, suara langkah kaki samar terdengar, bercampur dengan denting air yang memecah kesunyian malam. Leon dan Evelyn bergerak hati-hati, menyusuri bayangan gelap yang diberikan tumpukan peti kemas.Namun, ada sesuatu yang berbeda malam ini. Gerakan mencurigakan di sekitar mereka terasa tidak wajar—terorganisir, seperti jebakan yang disengaja. Evelyn berhenti sejenak, merasakan hawa dingin yang menusuk tulang."Kau merasakannya?" bisiknya pada Leon.Leon hanya mengangguk, matanya tajam menyapu area sekitarnya. "Mereka tahu kita kembali."Ketegangan menggantung di udara. Pesan ancaman yang Leon terima tadi malam kembali terngiang di benaknya: "Kalian tidak akan bisa lari selamanya. Lihat apa yang akan terjadi jika kalian terus mencampuri urusan Damian."“Ini pasti bagian dari rencana merek
***Hujan deras mengguyur kota Ravenwood, membasahi jalanjalan yang sepi dan menciptakan genangan kecil di sepanjang trotoar. Lampu-lampu neon dari kedai dan toko memantulkan cahaya ke permukaan basah itu, menciptakan bayangan yang bergerak seiring hembusan angin. Di tengah kesunyian kota yang hanya diiringi bunyi tetesan air, suasana dingin dan kelam terasa semakin menusuk.Di markas mereka yang sederhana di Distrik Ravenwood, Leon duduk di depan papan besar yang penuh dengan catatan, foto, dan peta. Garis-garis merah yang menghubungkan satu titik ke titik lain seolah membentuk jaringan rumit yang terus-menerus mengingatkannya bahwa kasus ini jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Pikirannya dipenuhi pertanyaan tanpa jawaban, setiap petunjuk yang ada justru membawa lebih banyak keraguan.Ketukan lembut di pintu mengalihkan perhatiannya. Evelyn masuk, membawa dua cangkir kopi yang mengepul hangat. “Kau butuh ini,” katanya, suaranya lembut namun tegas. Dia meletakkan salah satu cang
***Malam itu, udara di Ravenwood semakin dingin. Di dalam kantor kecilnya, Leon duduk sambil memandangi papan bukti yang semakin penuh. Nama Claire Vega sekarang ada di tengah papan, dikelilingi tanda tanya besar.Di sebelahnya, Evelyn berdiri, mencoba menyusun kembali petunjuk yang mereka miliki. “Claire... kau yakin ini dia?” tanyanya, ragu.Leon tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap foto rekan kerjanya yang dulu selalu ia percaya. “Saya tidak yakin. Tapi, terlalu banyak kebetulan.”Evelyn menyilangkan tangannya, matanya menatap ke arah papan bukti. “Kalau begitu, kita cari tahu. Dia salah satu dari kita, kan Jika dia tidak bersalah, buktikan. Kalau dia bersalah...” Evelyn berhenti sejenak, menelan ludah. “...kita harus bertindak.”Leon menarik napas panjang. “Saya tidak akan membuat tuduhan tanpa bukti, jadi saya akan mengawasi dia.”Keesokan paginya, Leon memutuskan untuk memulai penyelidikannya lebih dalam. Sementara itu, Evelyn menghabiskan waktu di laboratorium forensik, m