***
Malam itu mereka beristirahat di sebuah motel tua di pinggiran Ravenwood. Hujan masih mengguyur, menciptakan ritme monoton di atas atap yang bocor di beberapa sudut. Evelyn duduk di tepi tempat tidur, memeriksa luka di lengannya yang diperoleh saat perkelahian di dermaga. Leon berdiri di dekat jendela, tirai sedikit terbuka, memperhatikan jalan di luar dengan kewaspadaan tinggi.
"Sepertinya mereka benar-benar tidak akan berhenti sampai kita hancur," kata Evelyn, memecah keheningan. Ia menghela napas pelan sambil membalut lukanya dengan perban.
Leon tidak menjawab. Matanya tetap terpaku pada jalanan gelap, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Akhirnya, ia berbicara dengan suara rendah, hampir berbisik. "Mereka sudah mengincar kita sejak lama. Tapi sekarang, mereka tahu kita semakin dekat dengan sesuatu yang penting."
Evelyn berdiri, mendekati Leon. "Kau yakin Damian yang mengatur semua ini? Bisa saja orang lain yang mencoba mengalihkan perhatian kita."
Leon mengangguk perlahan. "Pesan itu terlalu personal untuk bukan dari dia. Dia ingin memastikan kita tahu bahwa ini adalah peringatannya."
Evelyn termenung sejenak, lalu mengambil alat perekam kecil dari sakunya. "Kita punya rekaman ini. Mereka membicarakan sesuatu tentang pengiriman besar-besaran dalam waktu dekat. Mungkin ini cukup untuk memulai langkah selanjutnya."
Leon berpaling, menatap Evelyn dengan serius. "Kita tidak bisa bertindak gegabah. Damian bukan hanya seorang mafia biasa. Dia memiliki koneksi ke politik, militer, bahkan pihak berwenang. Setiap langkah kita harus direncanakan dengan matang."
Evelyn mengangguk, meski dalam hatinya ia merasa tak sabar. Setiap detik yang mereka habiskan di Ravenwood hanya memperbesar risiko mereka ditemukan.
Keesokan harinya, mereka memutuskan untuk menemui seseorang yang dapat membantu. Leon menghubungi seorang informan lama, seorang mantan agen intelijen bernama Viktor. Lelaki itu kini tinggal di sebuah apartemen kumuh di pusat kota Ravenwood, menjalani hidupnya dalam bayang-bayang.
Viktor menyambut mereka dengan senyum sinis, secangkir kopi di tangannya. "Leon, lama tak bertemu. Sepertinya kau tidak bisa jauh dari masalah."
Leon tidak membuang waktu. "Kami membutuhkan informasi tentang Damian. Sesuatu yang besar akan terjadi, dan kami perlu tahu apa yang ia rencanakan."
Viktor mengerutkan alis, lalu menghembuskan napas panjang. "Damian adalah pria berbahaya, dan kau tahu itu. Tapi aku mendengar sesuatu beberapa minggu terakhir. Ada pengiriman besar yang akan tiba di pelabuhan dalam dua hari. Senjata, bahan peledak, bahkan mungkin sesuatu yang lebih berbahaya."
Evelyn bersandar di dinding, mendengarkan dengan seksama. "Apa ada yang tahu siapa yang menjadi targetnya?"
Viktor menggeleng. "Belum jelas. Tapi ada desas-desus bahwa ini terkait dengan agenda politik. Damian mungkin bekerja untuk seseorang yang lebih kuat darinya. Kalau itu benar, kalian bukan hanya melawan dia, tapi seluruh sistem."
Leon menatap Viktor tajam. "Kau punya bukti konkret tentang pengiriman itu?"
Viktor tersenyum tipis. "Aku punya sumber. Tapi informasi seperti itu tidak murah."
Leon mendekat, matanya penuh intensitas. "Kau tahu saya tidak sedang bermain-main, Viktor. Berikan informasinya, atau saya akan mencari tahunya sendiri."
Viktor mengangkat tangannya, menyerah. "Baiklah, baiklah. Pengiriman itu akan tiba di dermaga Ravenwood, gudang nomor 17. Tapi dengar baik-baik, Leon. Kalau kau sampai ketahuan, aku tidak mengenalmu. Mengerti?"
Leon mengangguk singkat, lalu menarik Evelyn untuk pergi.
Saat malam tiba, Leon dan Evelyn kembali ke dermaga, kali ini dengan lebih banyak persiapan. Mereka membawa alat pemantauan tambahan, senjata cadangan, dan bahkan kamera kecil untuk merekam bukti.
"Dermaga nomor 17," bisik Leon sambil mengintip melalui teropongnya. Ia melihat beberapa truk besar parkir di luar gudang, dengan penjagaan yang jauh lebih ketat dibanding sebelumnya.
Evelyn memeriksa jam tangannya. "Kita punya waktu sekitar dua jam sebelum mereka menyelesaikan pemuatan. Kalau kita ingin mendapatkan sesuatu, ini saatnya."
Leon mengangguk, lalu memberi isyarat untuk mulai bergerak. Mereka menyelinap melalui jalur gelap di sekitar dermaga, berhati-hati agar tidak menarik perhatian para penjaga.
Namun, saat mereka mendekati gudang, mereka menyadari bahwa Damian sendiri ada di tempat itu. Pria itu berdiri di tengah kerumunan, berbicara dengan seseorang yang terlihat seperti pejabat tinggi.
"Ini lebih besar dari yang kita duga," bisik Evelyn.
Leon mengencangkan cengkeraman pada pistolnya. "Kita harus mendapatkan bukti yang cukup untuk menjatuhkannya. Jangan lakukan apa pun yang ceroboh."
Tapi semuanya berubah ketika alarm mendadak berbunyi. Mereka telah ketahuan.
"Leon!" Evelyn berteriak saat tembakan mulai menghujani mereka dari segala arah. Pertarungan besar kembali pecah, tetapi kali ini musuh jauh lebih terlatih dan bersenjata lengkap. Leon dan Evelyn melawan dengan segala kemampuan mereka, tetapi jumlah musuh terus bertambah.
"Saya akan mencari Damian!" Leon berteriak sambil melompat ke sisi lain gudang.
"Egois seperti biasa!" balas Evelyn, tetap bertahan di tempatnya untuk menahan serangan penjaga.
Di tengah kekacauan itu, sebuah truk besar mulai bergerak meninggalkan gudang, membawa muatan yang berisi senjata. Evelyn berusaha merekam nomor platnya, tetapi Leon masih terkunci dalam pertarungan sengit di dalam gudang.
Ketika akhirnya mereka berhasil meloloskan diri, Damian sudah menghilang, dan truk itu sudah jauh meninggalkan lokasi.
Malam itu, mereka tahu bahwa misi mereka baru saja berubah. Damian tidak hanya menjadi ancaman pribadi—ia menjadi ancaman bagi sesuatu yang jauh lebih besar.
***
***Malam telah larut ketika Leon dan Evelyn kembali ke markas kecil mereka. Hujan deras yang terus mengguyur Ravenwood seolah menyembunyikan kegelisahan mereka. Leon berdiri di depan papan bukti, menatap foto Damian Crowe dengan tatapan tajam. Evelyn duduk di kursi, memeriksa rekaman audio dari malam sebelumnya, mencoba mencari petunjuk di tengah suara tembakan dan percakapan singkat.“Gudang nomor 17,” gumam Evelyn, mengulang informasi penting yang mereka peroleh. “Mereka memindahkan sesuatu yang besar di sana, tapi kita belum tahu apa.”Leon menghela napas, kemudian mengambil selembar kertas yang berisi catatan transaksi misterius dari dermaga. “Bukan hanya senjata atau bahan peledak,” ujarnya. “Ini lebih besar. Saya yakin ini ada hubungannya dengan seseorang di pemerintahan.”Evelyn menoleh tajam. “Kau pikir Damian punya sekutu politik?”“Bukan hanya sekutu,” jawab Leon. “Saya pikir dia bagian dari sesuatu yang lebih besar. Mungkin ini sebabnya dia selalu selangkah lebih maju.”Ke
***Hujan deras yang tak kunjung reda di Ravenwood membuat malam itu semakin mencekam. Di markas kecil mereka, Leon menatap papan bukti yang kini dipenuhi koneksi baru. Nama Richard Hayes kini berada di pusat perhatian, dikelilingi oleh potongan informasi yang mengarah pada Damian Crowe dan organisasi besar di belakangnya.Sementara itu, Evelyn masih memeriksa data dalam flashdisk yang mereka dapatkan dari laboratorium. Sebagian besar file terenkripsi, tetapi ada satu folder yang berhasil ia buka.“Leon, lihat ini,” panggil Evelyn.Leon mendekat dan membaca file yang ditampilkan di layar. Isinya adalah catatan transaksi antara Dr. Hayes dan sebuah perusahaan farmasi besar bernama GenTech Innovations. Transaksi itu mencatat pembelian bahan kimia dalam jumlah besar yang bisa digunakan untuk membuat senjata biologis.“Jadi, Dr. Hayes tidak hanya tahu tentang Damian,” ujar Evelyn, suaranya bergetar. “Dia mungkin terlibat dalam pengembangan sesuatu yang berbahaya.”Leon mengepalkan tinjuny
***Fajar menyingsing di atas Danau Silvermist, tetapi tidak ada kelegaan dalam hati Leon maupun Evelyn. Mereka membawa Dr. Hayes ke sebuah tempat persembunyian sementara, sebuah rumah kecil di pinggiran kota Ravenwood yang jarang diketahui orang. Di sana, mereka merancang langkah berikutnya.“Kita tidak bisa hanya bersembunyi,” kata Leon sambil menatap Dr. Hayes yang tampak lelah. “Jika formula itu masih ada, Damian akan terus mengejar.”Evelyn duduk di meja, membuka laptop dan menghubungkan flashdisk yang mereka bawa. “Kita harus tahu siapa saja yang terlibat dan seberapa jauh jaringannya. Kalau Damian hanyalah bagian kecil, siapa pemain utamanya?”Dr. Hayes menarik napas panjang sebelum akhirnya bicara. “Damian bekerja untuk seseorang yang lebih besar, seseorang dengan kekuasaan dan uang tak terbatas. Namanya Victor Sokolov, pengusaha sekaligus mafia yang dikenal sebagai filantropis. Tapi dia adalah dalang di balik jaringan perdagangan senjata biologis ini.”Leon mengernyit. “Sokol
Genre: Action, Misteri, Romansa, ThillerTagar: Detektif, Mafia, Dokter Otopsi, Action, Misteri, Romansa, Thiller***Langit Ravenwood mulai cerah setelah ledakan besar menghancurkan gudang pusat Damian, tetapi suasana hati Leon dan Evelyn tetap suram. Meskipun formula telah dihancurkan, mereka sadar bahwa ancaman yang lebih besar masih mengintai di balik bayangan.Dr. Hayes duduk di sudut ruangan persembunyian mereka, wajahnya penuh rasa bersalah. Tangannya memegang dokumen yang berhasil ia selamatkan dari server sebelum formula itu hilang. Dokumen tersebut penuh dengan kode-kode aneh, simbol, dan frasa membingungkan.“Aku menemukan ini sebelum server itu hancur,” ucap Hayes lirih. “Tampaknya ini adalah petunjuk menuju lokasi Sokolov dan rencana berikutnya.”Leon mengambil dokumen itu dengan hati-hati, matanya membaca setiap detail yang tertera di sana. Evelyn mendekat, memperhatikan simbol-simbol Yunani kuno yang terlihat familiar baginya.“Στίγμα,” gumam Evelyn, menunjuk salah satu
***Lorong gelap di bawah Elysium Park terasa dingin dan sunyi, seolah menyembunyikan sesuatu yang tidak ingin ditemukan siapa pun. Langkah kaki Leon, Evelyn, dan Dr. Hayes bergema di sepanjang dinding batu yang lembap, suara mereka menggema dengan samar. Cahaya dari senter kecil mereka hanya cukup untuk menerangi beberapa meter ke depan, menciptakan bayangan panjang yang tampak bergerak sendiri.“Ini pasti lorong menuju laboratorium rahasia,” ujar Evelyn sambil memeriksa simbol-simbol di dinding yang tampaknya memiliki pola tertentu. “Tapi saya tidak yakin kita bisa melewatinya begitu saja.”Leon berhenti sejenak, memperhatikan lorong dengan cermat. “Kalau Sokolov menghabiskan banyak uang untuk ini, pasti ada sistem keamanan yang menunggu.”Hayes mengangguk setuju. “Aku pernah melihat desain seperti ini sebelumnya. Lorong seperti ini biasanya dipenuhi jebakan otomatis. Kita harus sangat berhati-hati.”Leon mendesah pelan, lalu melanjutkan langkahnya. Namun, beberapa meter kemudian, l
***Laboratorium besar yang tersembunyi di bawah Elysium Park terbuka di depan mereka. Cahaya dingin dari lampu neon menerangi ruangan yang dipenuhi berbagai peralatan canggih, tabung-tabung berisi cairan misterius, dan layar komputer yang menampilkan data yang terus bergerak.Di tengah ruangan, sebuah meja besar berdiri dengan peta dunia yang ditandai dengan lingkaran merah di beberapa lokasi. Evelyn berjalan mendekat, matanya memperhatikan tanda-tanda itu. “Ini rencana mereka,” gumamnya. “Mereka ingin menyebarkan virus ini di beberapa lokasi penting. Tapi ada yang aneh... mereka belum memulai pengiriman.”Dr. Hayes, yang segera duduk di depan salah satu komputer, mulai mengetik cepat. “Aku bisa mengakses data ini. Jika kita beruntung, kita bisa mendapatkan semua informasi tentang rencana mereka, termasuk lokasi Sokolov.”Leon berdiri di dekat pintu, menjaga mereka tetap aman. “Cepat, Hayes. Tempat ini tidak terasa aman.”Evelyn memeriksa dokumen-dokumen yang tersebar di meja. Salah
***Ruangan itu remang-remang, diterangi hanya oleh cahaya dari layar besar yang menampilkan rekaman langsung dari laboratorium rahasia di bawah Elysium Park. Victor Sokolov duduk dengan tenang di kursi kulitnya yang besar, jemarinya mengetuk pelan sisi meja. Di layar, ia melihat Leon Ardian, Evelyn Selene, dan Dr. Richard Hayes bergerak hati-hati melewati lorong-lorong jebakan yang dirancang dengan sangat cermat. Victor Sokolov tersenyum dingin di balik meja kerjanya, matanya terpaku pada layar besar di hadapannya. Semua bergerak sesuai rencana, dan bidak-bidak itu bermain tepat seperti yang diinginkannya. Leon Ardian mungkin berpikir dirinya menang, tapi itu hanya ilusi.“Mereka lebih cerdas dari yang aku kira,” kata Sokolov, suaranya dalam dan dingin, menembus keheningan ruangan.Di sampingnya, seorang pria berseragam hitam dengan wajah keras berdiri tegak. Dia adalah Nikolai Orlov, komandan pasukan khusus pribadi Sokolov. “Seharusnya mereka tidak bisa sejauh ini, Tuan. Jebakan di
***Malam itu, udara dingin menyelimuti mereka saat Leon, Evelyn, dan Hayes bersembunyi di sebuah bangunan terbengkalai yang terletak jauh dari keramaian kota. Baru saja mereka berhasil melarikan diri dari laboratorium rahasia yang tersembunyi di bawah Elysium Park—tempat yang penuh dengan peralatan canggih, virus yang dapat menghancurkan dunia, dan jebakan yang dirancang oleh Victor Sokolov.Evelyn duduk di meja, matanya terfokus pada laptop yang dibawa Hayes. Mereka berhasil mengunduh data penting, namun satu hal yang terus menghantui mereka: Sokolov. Meskipun mereka telah mendapatkan petunjuk besar, mereka tahu Sokolov selalu berada selangkah lebih maju.“Data ini... sulit dipercaya,” kata Hayes, suaranya penuh ketegangan. “Virus ini dimodifikasi untuk menyerang target genetik tertentu—dan mereka bahkan sudah menyiapkan lokasi-lokasi untuk menyebarkannya.”Evelyn mengangguk, matanya tetap terfokus pada layar. “Mereka ingin memusnahkan orang-orang tertentu—mungkin mereka tahu siapa
"Aku tidak akan meninggalkanmu, Evelyn. Tidak pernah, bahkan jika itu berarti aku harus merangkak menuju keselamatanmu."-Leon ArdianUdara di dalam gua semakin terasa berat dan lembap, seolah menekan mereka dengan ancaman yang tak terlihat. Evelyn berbaring lemah di sudut, tubuhnya menggigil meskipun keringat dingin membasahi wajahnya. Ia memandang langit-langit batu yang gelap, mencoba mengatur napas yang terputus-putus. Rasa sakit di perut dan kakinya seperti bara yang terus membakar, membuat setiap tarikan napas menjadi perjuangan."Aku menyusahkan mereka." Pikiran itu terus menghantui Evelyn, menggema di kepalanya seperti sebuah mantra yang menyiksa. Ia ingin berbicara, ingin meyakinkan Leon bahwa ia baik-baik saja, tetapi tubuhnya seolah tak lagi mendengarkan.Leon duduk bersandar di dinding gua, mengamati Evelyn dengan mata yang penuh rasa bersalah. Luka di pinggangnya berdenyut tajam, tetapi rasa sakit fisik itu nyaris tak berarti dibandingkan dengan beban yang menghimpit dada
Udara di dalam gua terasa berat, dingin, dan lembap. Bayangan dari cahaya bulan yang menerobos masuk dari celah di mulut gua menciptakan pola-pola gelap di dinding batu. Suara langkah kaki musuh terdengar samar dari kejauhan, seperti lonceng kematian yang terus mendekat.Leon berdiri di mulut gua, tubuhnya tegang seperti kawat yang ditarik terlalu kencang. Napasnya pendek-pendek, luka di pinggangnya semakin terasa menyakitkan, tetapi ia tidak peduli. Matanya menatap tajam ke arah hutan di luar, mencoba menangkap setiap gerakan yang mencurigakan.Di belakangnya, Evelyn terbaring di tanah dingin dengan napas berat. Tubuhnya menggigil, wajahnya pucat seperti kertas, dan kain yang membalut lukanya sudah mulai merah pekat oleh darah. Hayes berlutut di sisinya, tangan gemetar saat ia mencoba memperbaiki balutan pada luka di perut Evelyn.“Kita butuh sesuatu untuk menghentikan pendarahannya,” kata Hayes dengan nada putus asa. “Dia tidak akan bertahan lama seperti ini.”Leon tidak menjawab. R
***Hutan itu tak lagi terasa seperti tempat perlindungan. Bayangan pepohonan yang biasanya memberi ketenangan kini seperti jerat yang terus menghimpit, mengurung mereka dalam ketakutan yang tak terucapkan. Langkah kaki Leon, Evelyn, dan Hayes menyatu dengan gemerisik dedaunan, berpacu dengan suara langkah berat para pemburu di belakang mereka.“Cepat! Mereka sudah dekat!” bisik Leon sambil menoleh ke Evelyn dan Hayes. Ia menunjuk semak tebal di depan mereka. “Kita sembunyi di sana.”Mereka bertiga merunduk di balik semak-semak, menahan napas. Evelyn mencengkeram tasnya erat-erat, tubuhnya bergetar tak terkendali. Tubuhnya sudah terlalu lelah, dan rasa pening yang menyerang membuat pandangannya sedikit kabur.Hayes, yang bersembunyi di sebelah Evelyn, mencoba meredam napasnya yang memburu. Wajahnya basah oleh keringat, dan matanya melebar karena rasa takut yang tak terhindarkan.Leon, di sisi depan semak, menggenggam senjatanya dengan kekuatan yang hampir menyakitkan. Matanya tajam, m
***Lorong panjang di fasilitas itu menjadi saksi bisu perjuangan Leon, Evelyn dan Hayes yang berlari dengan napas memburu. Suara langkah kaki mereka berpacu dengan bunyi alarm yang memekakkan telinga, menciptakan suasana yang hampir tak tertahankan. Setiap detik terasa seperti ancaman dan setiap langkah seolah membawa mereka lebih dekat pada bahaya yang tak terlihat.“Ayo cepat!” Leon berteriak, menoleh ke belakang untuk memastikan mereka tetap bersama. Matanya penuh ketegangan, dan genggaman pada senjatanya semakin erat.Evelyn berlari di belakangnya, tas kecilnya terayun-ayun di pundaknya. Kepala yang masih berdenyut dan pandangan yang sedikit kabur membuat setiap langkah terasa lebih berat. Namun, ia memaksa dirinya untuk tetap bergerak. Tidak ada waktu untuk ragu, tidak ada ruang untuk berhenti.Hayes, dengan napas yang tersengal-sengal mencoba mengikuti langkah mereka. “Berapa jauh lagi?” tanyanya, suaranya penuh kecemasan.“Lorong ini harus menuju keluar,” jawab Leon tanpa meno
***Lampu merah berkedip-kedip seperti tanda bahaya yang hidup, menambah ketegangan yang sudah menyesakkan udara di ruangan itu. Evelyn berdiri di depan terminal di dinding, jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard, tetapi otaknya terasa seperti dikejar waktu. Pandangannya mulai kabur, kepala terasa berat, dan setiap suara langkah kaki di luar lorong seperti gema yang membesar di kepalanya.“Cepat, Evelyn!” Leon berteriak di belakangnya, napasnya kasar setelah menembak ke arah musuh yang terus mendekat. “Mereka sudah terlalu dekat!”“Aku mencoba, Leon!” balas Evelyn dengan suara bergetar. Tangannya gemetar, sulit untuk tetap stabil di bawah tekanan. Setiap kode yang ia masukkan terasa seperti pertaruhan antara hidup dan mati. Ia tahu ia tidak bisa membuat kesalahan—tidak sekarang.Keringat mengalir di pelipisnya, matanya terasa pedih karena terus menatap layar. Cahaya merah yang memantul dari lampu darurat semakin membuat pikirannya kacau. “Aku... aku hampir selesai,” gumamnya, su
***Pagi yang berat berubah menjadi siang yang menyengat. Pulau Leros masih dikelilingi ketenangan yang menipu, tetapi bagi Leon, Evelyn, dan Hayes, setiap detik terasa seperti hitungan mundur. Udara yang hangat semakin terasa menekan, memaksa mereka untuk segera bertindak sebelum terlambat.Evelyn duduk di meja dengan peta terbentang di depannya. Ia menggambar garis-garis kasar, menunjukkan jalur keluar dari pulau itu. Matanya penuh dengan ketegangan, tetapi tangannya tetap stabil. Di sebelahnya, Hayes sibuk mencatat informasi yang mereka butuhkan untuk menyerang fasilitas terdekat—simpul yang menjadi bagian dari jaringan Sokolov.Leon berdiri di sudut ruangan, memperhatikan mereka berdua. Wajahnya serius, penuh dengan kecemasan yang ia coba sembunyikan. Ia tahu bahwa setiap keputusan yang mereka buat sekarang akan membawa konsekuensi besar.“Aku masih berpikir ini terlalu berisiko,” kata Leon akhirnya, suaranya memecah keheningan yang mencekam. “Jika kita salah langkah, kita semua a
***Pagi itu di Pulau Leros, suasana masih dihantui oleh ancaman yang tak terlihat. Udara hangat yang semula menenangkan kini terasa semakin berat, seperti tekanan sebelum badai besar. Leon, Evelyn, dan Hayes telah menghabiskan malam yang panjang, merencanakan langkah selanjutnya dengan hati-hati, meskipun ketegangan yang mencekam tak pernah lepas dari mereka.Mereka tahu bahwa Sokolov selalu selangkah lebih maju. Setiap langkah yang mereka ambil, setiap keputusan yang mereka buat, pasti sudah dipertimbangkan dan dipantau oleh pria itu. Namun, meskipun begitu, mereka tak bisa berdiam diri. Mereka harus bergerak, berjuang, dan tidak memberi kesempatan pada Sokolov untuk menang.Evelyn berdiri di depan meja, tangannya gemetar saat ia memeriksa catatan dan data yang mereka ambil. Semua petunjuk mengarah pada satu tempat: Pulau Leros. Tapi ada sesuatu yang terasa ganjil. Mereka sudah dikelilingi, tetapi mereka tidak tahu siapa yang mengawasi mereka—atau seberapa banyak yang Sokolov ketahu
***Malam itu, udara di Pulau Leros terasa lebih dingin dari biasanya, seolah-olah angin laut membawa kabar buruk. Rumah kecil yang mereka tinggali semakin terasa sempit, meskipun mereka sudah berusaha untuk tetap tenang dan fokus pada rencana mereka. Leon, Evelyn, dan Hayes duduk di ruang utama, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka, mencoba mencerna langkah apa yang harus diambil selanjutnya.Evelyn memegang bunga camellia putih itu erat-erat, matanya tidak bisa lepas darinya. Wangi bunga itu masih tercium, menambah kesan menakutkan yang melingkupi ruangan. Sambil menatap bunga itu, hatinya penuh dengan kekhawatiran yang tak bisa ia ungkapkan. Dia tahu bunga ini bukan hanya sebuah tanda. Itu adalah pesan—pesan dari Sokolov, yang selalu ada di balik setiap langkah mereka.Leon duduk di seberangnya, tatapannya serius. "Dia tahu kita ada di sini," katanya pelan, suaranya berat. "Dia menginginkan kita bergerak, Evelyn. Tapi kita tidak bisa jatuh ke dalam jebakan itu."Evelyn meng
***Ruangan itu dipenuhi cahaya redup dari monitor yang menampilkan data dan rekaman kamera pengintai. Suara kipas pendingin komputer bergema lembut, memberikan latar suara monoton di tempat yang seolah berada di luar jangkauan dunia nyata. Di tengahnya, Victor Sokolov berdiri, matanya tajam memandangi peta yang terpampang di layar besar di depannya. Peta itu menampilkan pulau-pulau kecil di sekitar Laut Mediterania, dengan satu titik menyala merah—Pulau Leros.“Laporan terbaru, Tuan,” suara Nikolai memecah keheningan. Ia berdiri di sisi ruangan, tangannya memegang tablet yang menampilkan laporan dari tim pengawasan di lapangan.Sokolov mengambil tablet itu tanpa mengalihkan pandangan dari layar di depannya. Ia membaca laporan itu perlahan, bibirnya membentuk garis tipis.“Mereka mulai bergerak,” gumamnya.Nikolai mendekat, wajahnya penuh perhatian. “Maksud Anda?”Sokolov menunjuk layar besar. “Leon dan Evelyn tidak akan berdiam diri. Mereka akan mencari cara untuk melawan. Tapi itula