***Udara di dalam fasilitas riset semakin menyesakkan, seperti cengkeraman maut yang perlahan mendekat. Leon, Evelyn, dan Hayes bertahan dengan segala cara, tetapi hujan peluru dari pasukan Sokolov yang terus berdatangan membuat tekanan tak tertahankan.Evelyn menggigit bibirnya keras-keras, berusaha menenangkan napasnya yang semakin cepat. “Leon, mereka semakin banyak!” serunya, suaranya nyaris pecah oleh ketakutan yang ia coba sembunyikan.Leon membalas dengan tembakan presisi yang menjatuhkan salah satu penjaga. Wajahnya berkeringat, tapi tatapannya tajam, tak pernah goyah. “Hayes, cepat buka pintu itu! Kita kehabisan waktu!”Hayes mengetik cepat dengan tangan gemetar, matanya terpaku pada layar yang penuh dengan kode rumit. “Aku hampir selesai, tapi sistem ini seperti benteng! Sokolov pasti sudah memperkirakan kita akan datang.”Evelyn mencuri pandang ke arah Leon. Ia terlihat begitu tenang dalam kekacauan ini, namun ia tahu bahwa detektif itu sama tertekannya seperti dirinya. Ta
***Matahari pagi menyelinap di antara ranting-ranting pohon, menerangi tempat persembunyian sementara mereka. Leon, Evelyn, dan Hayes telah menemukan sebuah kabin kecil di pinggir kota untuk beristirahat setelah kejadian mengerikan di fasilitas riset. Namun, mereka tahu waktu mereka tidak banyak.Evelyn duduk di kursi kayu dekat jendela, tatapannya kosong memandangi hutan lebat di luar. Matanya masih merah, bekas tangis semalam. Di sudut ruangan, Leon memeriksa senjatanya, memastikan semuanya siap jika musuh menemukan mereka.“Kita tidak bisa terus begini,” kata Evelyn tiba-tiba, memecah keheningan. Suaranya tegas, meskipun ada kelelahan di dalamnya.Leon mendongak, menatapnya dengan serius. “Aku tahu. Tapi kita butuh rencana, dan kita tidak bisa sembarangan. Sokolov akan mencarimu, Evelyn. Kau target utama sekarang.”Hayes, yang duduk di sofa dengan perban di bahunya, mencoba memberikan masukan. “Aku menemukan sesuatu di data yang kita unduh. Ada pulau kecil di Laut Mediterania—Pula
***Matahari pagi yang lembut memancarkan sinarnya ke atas laut biru yang tenang, menciptakan kilauan halus yang memantulkan cahaya. Di atas pulau kecil yang terpencil ini, dunia terasa seakan berhenti sejenak. Semua yang ada hanyalah udara segar, ombak yang bergulung pelan dan rumah sederhana yang sudah satu hari ini menjadi tempat persembunyian sementara.Di dalam rumah, suasana masih tenang. Leon bangun lebih pagi dari yang lain, seperti biasa, untuk memulai hari dengan membuat sarapan. Walaupun tempat ini jauh dari kenyamanan yang biasa ia nikmati, ada semacam kedamaian yang bisa ia rasakan di sini—sebuah ketenangan yang tidak bisa ia temukan di tengah kekacauan yang mereka hadapi.Evelyn masih terlelap di tempat tidurnya, selimut tipis menutupi tubuhnya yang tampak rapat, berusaha melawan dinginnya pagi. Leon berdiri di dekat jendela, memandang keluar dengan pandangan kosong. Pikirannya masih terjebak pada masa lalu—pada kehidupan yang telah berubah begitu drastis sejak pertemuan
***Langit biru membentang tanpa awan, membawa cahaya hangat yang menyelimuti pulau kecil itu. Angin laut menghembus lembut, membawa aroma asin yang menyegarkan. Setelah pagi yang tenang dan sarapan sederhana, Leon dan Evelyn memutuskan untuk pergi ke pasar kecil di pusat pulau. Dr. Hayes yang masih dalam tahap pemulihan memilih untuk tinggal di rumah.Evelyn memperhatikan Leon yang berjalan di depannya. Langkahnya mantap, postur tubuhnya selalu siaga meskipun mereka berada di tempat yang relatif aman. Ia tidak bisa menahan senyum kecil. Leon selalu tampak tenang, tetapi Evelyn tahu bahwa di balik sikapnya yang percaya diri, ada beban berat yang dia pikul.“Apakah kita benar-benar membutuhkan semua ini?” tanya Evelyn, mencoba memecah keheningan.Leon menoleh dengan senyum tipis. “Kita butuh persediaan. Pakaian, makanan, apa pun yang bisa membuat kita bertahan lebih lama di sini.”Evelyn mendesah pelan. “Aku tahu, tapi Hayes tidak suka sendirian di rumah. Bagaimana kalau dia merusak se
***Cahaya pagi merayap masuk melalui celah-celah tirai, menyinari ruangan sederhana yang mereka sebut rumah sementara. Di luar, suara ombak yang lembut bercampur dengan kicauan burung menciptakan harmoni yang menenangkan. Suara ombak yang lembut menjadi latar belakang pagi itu, membawa ketenangan yang hanya bisa ditemukan di tempat seperti pulau ini. Udara segar menyelinap melalui jendela yang setengah terbuka, bercampur dengan aroma kaldu ayam hangat yang mengepul dari dapur kecil.Di meja makan, Leon duduk dengan lengan bersandar pada kursi, mengamati Evelyn yang berdiri di dekat jendela. Dr. Hayes, dengan perban di bahunya yang masih terlihat, sedang memeriksa laptopnya di ujung meja. Wajahnya tampak serius, matanya fokus menatap layar.“Kamu sering melamun seperti itu,” kata Leon tiba-tiba, suaranya rendah tetapi cukup jelas untuk membuat Evelyn menoleh.“Melamun?” Evelyn mengangkat alisnya, meskipun ada senyum tipis di sudut bibirnya. “Aku tidak melamun. Aku hanya berpikir.”“Be
***Cahaya matahari mulai meninggi, menyinari pepohonan rindang di sekitar rumah kecil mereka. Suara burung berkicau bergema, menciptakan harmoni dengan deru ombak yang menghempas lembut pantai. Di dalam rumah, suasana sedikit berubah. Setelah pagi yang tenang, Leon, Evelyn, dan Dr. Hayes kembali menghadapi kenyataan yang menanti mereka.Dr. Hayes duduk di meja kecil dengan laptop terbuka. Layar penuh dengan data yang berhasil mereka unduh dari fasilitas rahasia sebelumnya. Alisnya mengerut dalam, menunjukkan pikirannya yang sibuk mengurai teka-teki besar. Di dekatnya, Leon bersandar pada dinding, melipat tangannya di dada, sementara Evelyn duduk di kursi, menopang dagunya dengan tangan, matanya terpaku pada peta kecil yang terbentang di atas meja.“Ada pola,” kata Hayes tiba-tiba, suaranya memecah keheningan.Evelyn menegakkan tubuhnya, menatap layar laptop Hayes. “Pola apa?”Hayes mengetik cepat sebelum menunjuk ke salah satu bagian layar. “Sokolov tampaknya menggunakan beberapa lok
***Di sebuah ruangan gelap dengan aroma asap cerutu dan suara kipas komputer yang monoton, Victor Sokolov duduk di kursinya. Mata tajamnya terpaku pada layar besar yang memantulkan cahaya dingin ke wajahnya. Ini adalah kerajaan bayangan tempat ia mengatur langkah-langkah liciknya. Wajahnya dikelilingi bayangan, tetapi matanya bersinar tajam, penuh perhitungan dingin.Di depan Sokolov, layar besar menampilkan rekaman dari fasilitas riset yang kini hancur. Asap dan puing-puing berserakan dalam gambar, tetapi yang menarik perhatiannya bukan kehancuran itu—melainkan tiga sosok yang berhasil lolos dari genggamannya. Leon Ardian, Evelyn Selene, dan Dr. Hayes.Di sudut ruangan, Nikolai berdiri dengan postur tegang, tangannya mengepal erat di belakang tubuhnya. Luka di wajahnya, akibat pertarungannya dengan Leon, masih terasa berdenyut, tetapi itu bukanlah yang paling menyakitkan. Rasa frustrasi jauh lebih menusuk daripada luka fisik.“Kita kehilangan fasilitas itu, Tuan,” kata Nikolai akhir
***Ruangan itu dipenuhi cahaya redup dari monitor yang menampilkan data dan rekaman kamera pengintai. Suara kipas pendingin komputer bergema lembut, memberikan latar suara monoton di tempat yang seolah berada di luar jangkauan dunia nyata. Di tengahnya, Victor Sokolov berdiri, matanya tajam memandangi peta yang terpampang di layar besar di depannya. Peta itu menampilkan pulau-pulau kecil di sekitar Laut Mediterania, dengan satu titik menyala merah—Pulau Leros.“Laporan terbaru, Tuan,” suara Nikolai memecah keheningan. Ia berdiri di sisi ruangan, tangannya memegang tablet yang menampilkan laporan dari tim pengawasan di lapangan.Sokolov mengambil tablet itu tanpa mengalihkan pandangan dari layar di depannya. Ia membaca laporan itu perlahan, bibirnya membentuk garis tipis.“Mereka mulai bergerak,” gumamnya.Nikolai mendekat, wajahnya penuh perhatian. “Maksud Anda?”Sokolov menunjuk layar besar. “Leon dan Evelyn tidak akan berdiam diri. Mereka akan mencari cara untuk melawan. Tapi itula
"Aku tidak akan meninggalkanmu, Evelyn. Tidak pernah, bahkan jika itu berarti aku harus merangkak menuju keselamatanmu."-Leon ArdianUdara di dalam gua semakin terasa berat dan lembap, seolah menekan mereka dengan ancaman yang tak terlihat. Evelyn berbaring lemah di sudut, tubuhnya menggigil meskipun keringat dingin membasahi wajahnya. Ia memandang langit-langit batu yang gelap, mencoba mengatur napas yang terputus-putus. Rasa sakit di perut dan kakinya seperti bara yang terus membakar, membuat setiap tarikan napas menjadi perjuangan."Aku menyusahkan mereka." Pikiran itu terus menghantui Evelyn, menggema di kepalanya seperti sebuah mantra yang menyiksa. Ia ingin berbicara, ingin meyakinkan Leon bahwa ia baik-baik saja, tetapi tubuhnya seolah tak lagi mendengarkan.Leon duduk bersandar di dinding gua, mengamati Evelyn dengan mata yang penuh rasa bersalah. Luka di pinggangnya berdenyut tajam, tetapi rasa sakit fisik itu nyaris tak berarti dibandingkan dengan beban yang menghimpit dada
Udara di dalam gua terasa berat, dingin, dan lembap. Bayangan dari cahaya bulan yang menerobos masuk dari celah di mulut gua menciptakan pola-pola gelap di dinding batu. Suara langkah kaki musuh terdengar samar dari kejauhan, seperti lonceng kematian yang terus mendekat.Leon berdiri di mulut gua, tubuhnya tegang seperti kawat yang ditarik terlalu kencang. Napasnya pendek-pendek, luka di pinggangnya semakin terasa menyakitkan, tetapi ia tidak peduli. Matanya menatap tajam ke arah hutan di luar, mencoba menangkap setiap gerakan yang mencurigakan.Di belakangnya, Evelyn terbaring di tanah dingin dengan napas berat. Tubuhnya menggigil, wajahnya pucat seperti kertas, dan kain yang membalut lukanya sudah mulai merah pekat oleh darah. Hayes berlutut di sisinya, tangan gemetar saat ia mencoba memperbaiki balutan pada luka di perut Evelyn.“Kita butuh sesuatu untuk menghentikan pendarahannya,” kata Hayes dengan nada putus asa. “Dia tidak akan bertahan lama seperti ini.”Leon tidak menjawab. R
***Hutan itu tak lagi terasa seperti tempat perlindungan. Bayangan pepohonan yang biasanya memberi ketenangan kini seperti jerat yang terus menghimpit, mengurung mereka dalam ketakutan yang tak terucapkan. Langkah kaki Leon, Evelyn, dan Hayes menyatu dengan gemerisik dedaunan, berpacu dengan suara langkah berat para pemburu di belakang mereka.“Cepat! Mereka sudah dekat!” bisik Leon sambil menoleh ke Evelyn dan Hayes. Ia menunjuk semak tebal di depan mereka. “Kita sembunyi di sana.”Mereka bertiga merunduk di balik semak-semak, menahan napas. Evelyn mencengkeram tasnya erat-erat, tubuhnya bergetar tak terkendali. Tubuhnya sudah terlalu lelah, dan rasa pening yang menyerang membuat pandangannya sedikit kabur.Hayes, yang bersembunyi di sebelah Evelyn, mencoba meredam napasnya yang memburu. Wajahnya basah oleh keringat, dan matanya melebar karena rasa takut yang tak terhindarkan.Leon, di sisi depan semak, menggenggam senjatanya dengan kekuatan yang hampir menyakitkan. Matanya tajam, m
***Lorong panjang di fasilitas itu menjadi saksi bisu perjuangan Leon, Evelyn dan Hayes yang berlari dengan napas memburu. Suara langkah kaki mereka berpacu dengan bunyi alarm yang memekakkan telinga, menciptakan suasana yang hampir tak tertahankan. Setiap detik terasa seperti ancaman dan setiap langkah seolah membawa mereka lebih dekat pada bahaya yang tak terlihat.“Ayo cepat!” Leon berteriak, menoleh ke belakang untuk memastikan mereka tetap bersama. Matanya penuh ketegangan, dan genggaman pada senjatanya semakin erat.Evelyn berlari di belakangnya, tas kecilnya terayun-ayun di pundaknya. Kepala yang masih berdenyut dan pandangan yang sedikit kabur membuat setiap langkah terasa lebih berat. Namun, ia memaksa dirinya untuk tetap bergerak. Tidak ada waktu untuk ragu, tidak ada ruang untuk berhenti.Hayes, dengan napas yang tersengal-sengal mencoba mengikuti langkah mereka. “Berapa jauh lagi?” tanyanya, suaranya penuh kecemasan.“Lorong ini harus menuju keluar,” jawab Leon tanpa meno
***Lampu merah berkedip-kedip seperti tanda bahaya yang hidup, menambah ketegangan yang sudah menyesakkan udara di ruangan itu. Evelyn berdiri di depan terminal di dinding, jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard, tetapi otaknya terasa seperti dikejar waktu. Pandangannya mulai kabur, kepala terasa berat, dan setiap suara langkah kaki di luar lorong seperti gema yang membesar di kepalanya.“Cepat, Evelyn!” Leon berteriak di belakangnya, napasnya kasar setelah menembak ke arah musuh yang terus mendekat. “Mereka sudah terlalu dekat!”“Aku mencoba, Leon!” balas Evelyn dengan suara bergetar. Tangannya gemetar, sulit untuk tetap stabil di bawah tekanan. Setiap kode yang ia masukkan terasa seperti pertaruhan antara hidup dan mati. Ia tahu ia tidak bisa membuat kesalahan—tidak sekarang.Keringat mengalir di pelipisnya, matanya terasa pedih karena terus menatap layar. Cahaya merah yang memantul dari lampu darurat semakin membuat pikirannya kacau. “Aku... aku hampir selesai,” gumamnya, su
***Pagi yang berat berubah menjadi siang yang menyengat. Pulau Leros masih dikelilingi ketenangan yang menipu, tetapi bagi Leon, Evelyn, dan Hayes, setiap detik terasa seperti hitungan mundur. Udara yang hangat semakin terasa menekan, memaksa mereka untuk segera bertindak sebelum terlambat.Evelyn duduk di meja dengan peta terbentang di depannya. Ia menggambar garis-garis kasar, menunjukkan jalur keluar dari pulau itu. Matanya penuh dengan ketegangan, tetapi tangannya tetap stabil. Di sebelahnya, Hayes sibuk mencatat informasi yang mereka butuhkan untuk menyerang fasilitas terdekat—simpul yang menjadi bagian dari jaringan Sokolov.Leon berdiri di sudut ruangan, memperhatikan mereka berdua. Wajahnya serius, penuh dengan kecemasan yang ia coba sembunyikan. Ia tahu bahwa setiap keputusan yang mereka buat sekarang akan membawa konsekuensi besar.“Aku masih berpikir ini terlalu berisiko,” kata Leon akhirnya, suaranya memecah keheningan yang mencekam. “Jika kita salah langkah, kita semua a
***Pagi itu di Pulau Leros, suasana masih dihantui oleh ancaman yang tak terlihat. Udara hangat yang semula menenangkan kini terasa semakin berat, seperti tekanan sebelum badai besar. Leon, Evelyn, dan Hayes telah menghabiskan malam yang panjang, merencanakan langkah selanjutnya dengan hati-hati, meskipun ketegangan yang mencekam tak pernah lepas dari mereka.Mereka tahu bahwa Sokolov selalu selangkah lebih maju. Setiap langkah yang mereka ambil, setiap keputusan yang mereka buat, pasti sudah dipertimbangkan dan dipantau oleh pria itu. Namun, meskipun begitu, mereka tak bisa berdiam diri. Mereka harus bergerak, berjuang, dan tidak memberi kesempatan pada Sokolov untuk menang.Evelyn berdiri di depan meja, tangannya gemetar saat ia memeriksa catatan dan data yang mereka ambil. Semua petunjuk mengarah pada satu tempat: Pulau Leros. Tapi ada sesuatu yang terasa ganjil. Mereka sudah dikelilingi, tetapi mereka tidak tahu siapa yang mengawasi mereka—atau seberapa banyak yang Sokolov ketahu
***Malam itu, udara di Pulau Leros terasa lebih dingin dari biasanya, seolah-olah angin laut membawa kabar buruk. Rumah kecil yang mereka tinggali semakin terasa sempit, meskipun mereka sudah berusaha untuk tetap tenang dan fokus pada rencana mereka. Leon, Evelyn, dan Hayes duduk di ruang utama, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka, mencoba mencerna langkah apa yang harus diambil selanjutnya.Evelyn memegang bunga camellia putih itu erat-erat, matanya tidak bisa lepas darinya. Wangi bunga itu masih tercium, menambah kesan menakutkan yang melingkupi ruangan. Sambil menatap bunga itu, hatinya penuh dengan kekhawatiran yang tak bisa ia ungkapkan. Dia tahu bunga ini bukan hanya sebuah tanda. Itu adalah pesan—pesan dari Sokolov, yang selalu ada di balik setiap langkah mereka.Leon duduk di seberangnya, tatapannya serius. "Dia tahu kita ada di sini," katanya pelan, suaranya berat. "Dia menginginkan kita bergerak, Evelyn. Tapi kita tidak bisa jatuh ke dalam jebakan itu."Evelyn meng
***Ruangan itu dipenuhi cahaya redup dari monitor yang menampilkan data dan rekaman kamera pengintai. Suara kipas pendingin komputer bergema lembut, memberikan latar suara monoton di tempat yang seolah berada di luar jangkauan dunia nyata. Di tengahnya, Victor Sokolov berdiri, matanya tajam memandangi peta yang terpampang di layar besar di depannya. Peta itu menampilkan pulau-pulau kecil di sekitar Laut Mediterania, dengan satu titik menyala merah—Pulau Leros.“Laporan terbaru, Tuan,” suara Nikolai memecah keheningan. Ia berdiri di sisi ruangan, tangannya memegang tablet yang menampilkan laporan dari tim pengawasan di lapangan.Sokolov mengambil tablet itu tanpa mengalihkan pandangan dari layar di depannya. Ia membaca laporan itu perlahan, bibirnya membentuk garis tipis.“Mereka mulai bergerak,” gumamnya.Nikolai mendekat, wajahnya penuh perhatian. “Maksud Anda?”Sokolov menunjuk layar besar. “Leon dan Evelyn tidak akan berdiam diri. Mereka akan mencari cara untuk melawan. Tapi itula