***Malam itu, udara di Pulau Leros terasa lebih dingin dari biasanya, seolah-olah angin laut membawa kabar buruk. Rumah kecil yang mereka tinggali semakin terasa sempit, meskipun mereka sudah berusaha untuk tetap tenang dan fokus pada rencana mereka. Leon, Evelyn, dan Hayes duduk di ruang utama, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka, mencoba mencerna langkah apa yang harus diambil selanjutnya.Evelyn memegang bunga camellia putih itu erat-erat, matanya tidak bisa lepas darinya. Wangi bunga itu masih tercium, menambah kesan menakutkan yang melingkupi ruangan. Sambil menatap bunga itu, hatinya penuh dengan kekhawatiran yang tak bisa ia ungkapkan. Dia tahu bunga ini bukan hanya sebuah tanda. Itu adalah pesan—pesan dari Sokolov, yang selalu ada di balik setiap langkah mereka.Leon duduk di seberangnya, tatapannya serius. "Dia tahu kita ada di sini," katanya pelan, suaranya berat. "Dia menginginkan kita bergerak, Evelyn. Tapi kita tidak bisa jatuh ke dalam jebakan itu."Evelyn meng
***Pagi itu di Pulau Leros, suasana masih dihantui oleh ancaman yang tak terlihat. Udara hangat yang semula menenangkan kini terasa semakin berat, seperti tekanan sebelum badai besar. Leon, Evelyn, dan Hayes telah menghabiskan malam yang panjang, merencanakan langkah selanjutnya dengan hati-hati, meskipun ketegangan yang mencekam tak pernah lepas dari mereka.Mereka tahu bahwa Sokolov selalu selangkah lebih maju. Setiap langkah yang mereka ambil, setiap keputusan yang mereka buat, pasti sudah dipertimbangkan dan dipantau oleh pria itu. Namun, meskipun begitu, mereka tak bisa berdiam diri. Mereka harus bergerak, berjuang, dan tidak memberi kesempatan pada Sokolov untuk menang.Evelyn berdiri di depan meja, tangannya gemetar saat ia memeriksa catatan dan data yang mereka ambil. Semua petunjuk mengarah pada satu tempat: Pulau Leros. Tapi ada sesuatu yang terasa ganjil. Mereka sudah dikelilingi, tetapi mereka tidak tahu siapa yang mengawasi mereka—atau seberapa banyak yang Sokolov ketahu
***Pagi yang berat berubah menjadi siang yang menyengat. Pulau Leros masih dikelilingi ketenangan yang menipu, tetapi bagi Leon, Evelyn, dan Hayes, setiap detik terasa seperti hitungan mundur. Udara yang hangat semakin terasa menekan, memaksa mereka untuk segera bertindak sebelum terlambat.Evelyn duduk di meja dengan peta terbentang di depannya. Ia menggambar garis-garis kasar, menunjukkan jalur keluar dari pulau itu. Matanya penuh dengan ketegangan, tetapi tangannya tetap stabil. Di sebelahnya, Hayes sibuk mencatat informasi yang mereka butuhkan untuk menyerang fasilitas terdekat—simpul yang menjadi bagian dari jaringan Sokolov.Leon berdiri di sudut ruangan, memperhatikan mereka berdua. Wajahnya serius, penuh dengan kecemasan yang ia coba sembunyikan. Ia tahu bahwa setiap keputusan yang mereka buat sekarang akan membawa konsekuensi besar.“Aku masih berpikir ini terlalu berisiko,” kata Leon akhirnya, suaranya memecah keheningan yang mencekam. “Jika kita salah langkah, kita semua a
***Lampu merah berkedip-kedip seperti tanda bahaya yang hidup, menambah ketegangan yang sudah menyesakkan udara di ruangan itu. Evelyn berdiri di depan terminal di dinding, jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard, tetapi otaknya terasa seperti dikejar waktu. Pandangannya mulai kabur, kepala terasa berat, dan setiap suara langkah kaki di luar lorong seperti gema yang membesar di kepalanya.“Cepat, Evelyn!” Leon berteriak di belakangnya, napasnya kasar setelah menembak ke arah musuh yang terus mendekat. “Mereka sudah terlalu dekat!”“Aku mencoba, Leon!” balas Evelyn dengan suara bergetar. Tangannya gemetar, sulit untuk tetap stabil di bawah tekanan. Setiap kode yang ia masukkan terasa seperti pertaruhan antara hidup dan mati. Ia tahu ia tidak bisa membuat kesalahan—tidak sekarang.Keringat mengalir di pelipisnya, matanya terasa pedih karena terus menatap layar. Cahaya merah yang memantul dari lampu darurat semakin membuat pikirannya kacau. “Aku... aku hampir selesai,” gumamnya, su
***Lorong panjang di fasilitas itu menjadi saksi bisu perjuangan Leon, Evelyn dan Hayes yang berlari dengan napas memburu. Suara langkah kaki mereka berpacu dengan bunyi alarm yang memekakkan telinga, menciptakan suasana yang hampir tak tertahankan. Setiap detik terasa seperti ancaman dan setiap langkah seolah membawa mereka lebih dekat pada bahaya yang tak terlihat.“Ayo cepat!” Leon berteriak, menoleh ke belakang untuk memastikan mereka tetap bersama. Matanya penuh ketegangan, dan genggaman pada senjatanya semakin erat.Evelyn berlari di belakangnya, tas kecilnya terayun-ayun di pundaknya. Kepala yang masih berdenyut dan pandangan yang sedikit kabur membuat setiap langkah terasa lebih berat. Namun, ia memaksa dirinya untuk tetap bergerak. Tidak ada waktu untuk ragu, tidak ada ruang untuk berhenti.Hayes, dengan napas yang tersengal-sengal mencoba mengikuti langkah mereka. “Berapa jauh lagi?” tanyanya, suaranya penuh kecemasan.“Lorong ini harus menuju keluar,” jawab Leon tanpa meno
***Hutan itu tak lagi terasa seperti tempat perlindungan. Bayangan pepohonan yang biasanya memberi ketenangan kini seperti jerat yang terus menghimpit, mengurung mereka dalam ketakutan yang tak terucapkan. Langkah kaki Leon, Evelyn, dan Hayes menyatu dengan gemerisik dedaunan, berpacu dengan suara langkah berat para pemburu di belakang mereka.“Cepat! Mereka sudah dekat!” bisik Leon sambil menoleh ke Evelyn dan Hayes. Ia menunjuk semak tebal di depan mereka. “Kita sembunyi di sana.”Mereka bertiga merunduk di balik semak-semak, menahan napas. Evelyn mencengkeram tasnya erat-erat, tubuhnya bergetar tak terkendali. Tubuhnya sudah terlalu lelah, dan rasa pening yang menyerang membuat pandangannya sedikit kabur.Hayes, yang bersembunyi di sebelah Evelyn, mencoba meredam napasnya yang memburu. Wajahnya basah oleh keringat, dan matanya melebar karena rasa takut yang tak terhindarkan.Leon, di sisi depan semak, menggenggam senjatanya dengan kekuatan yang hampir menyakitkan. Matanya tajam, m
Udara di dalam gua terasa berat, dingin, dan lembap. Bayangan dari cahaya bulan yang menerobos masuk dari celah di mulut gua menciptakan pola-pola gelap di dinding batu. Suara langkah kaki musuh terdengar samar dari kejauhan, seperti lonceng kematian yang terus mendekat.Leon berdiri di mulut gua, tubuhnya tegang seperti kawat yang ditarik terlalu kencang. Napasnya pendek-pendek, luka di pinggangnya semakin terasa menyakitkan, tetapi ia tidak peduli. Matanya menatap tajam ke arah hutan di luar, mencoba menangkap setiap gerakan yang mencurigakan.Di belakangnya, Evelyn terbaring di tanah dingin dengan napas berat. Tubuhnya menggigil, wajahnya pucat seperti kertas, dan kain yang membalut lukanya sudah mulai merah pekat oleh darah. Hayes berlutut di sisinya, tangan gemetar saat ia mencoba memperbaiki balutan pada luka di perut Evelyn.“Kita butuh sesuatu untuk menghentikan pendarahannya,” kata Hayes dengan nada putus asa. “Dia tidak akan bertahan lama seperti ini.”Leon tidak menjawab. R
"Aku tidak akan meninggalkanmu, Evelyn. Tidak pernah, bahkan jika itu berarti aku harus merangkak menuju keselamatanmu."-Leon ArdianUdara di dalam gua semakin terasa berat dan lembap, seolah menekan mereka dengan ancaman yang tak terlihat. Evelyn berbaring lemah di sudut, tubuhnya menggigil meskipun keringat dingin membasahi wajahnya. Ia memandang langit-langit batu yang gelap, mencoba mengatur napas yang terputus-putus. Rasa sakit di perut dan kakinya seperti bara yang terus membakar, membuat setiap tarikan napas menjadi perjuangan."Aku menyusahkan mereka." Pikiran itu terus menghantui Evelyn, menggema di kepalanya seperti sebuah mantra yang menyiksa. Ia ingin berbicara, ingin meyakinkan Leon bahwa ia baik-baik saja, tetapi tubuhnya seolah tak lagi mendengarkan.Leon duduk bersandar di dinding gua, mengamati Evelyn dengan mata yang penuh rasa bersalah. Luka di pinggangnya berdenyut tajam, tetapi rasa sakit fisik itu nyaris tak berarti dibandingkan dengan beban yang menghimpit dada
"Aku tidak akan meninggalkanmu, Evelyn. Tidak pernah, bahkan jika itu berarti aku harus merangkak menuju keselamatanmu."-Leon ArdianUdara di dalam gua semakin terasa berat dan lembap, seolah menekan mereka dengan ancaman yang tak terlihat. Evelyn berbaring lemah di sudut, tubuhnya menggigil meskipun keringat dingin membasahi wajahnya. Ia memandang langit-langit batu yang gelap, mencoba mengatur napas yang terputus-putus. Rasa sakit di perut dan kakinya seperti bara yang terus membakar, membuat setiap tarikan napas menjadi perjuangan."Aku menyusahkan mereka." Pikiran itu terus menghantui Evelyn, menggema di kepalanya seperti sebuah mantra yang menyiksa. Ia ingin berbicara, ingin meyakinkan Leon bahwa ia baik-baik saja, tetapi tubuhnya seolah tak lagi mendengarkan.Leon duduk bersandar di dinding gua, mengamati Evelyn dengan mata yang penuh rasa bersalah. Luka di pinggangnya berdenyut tajam, tetapi rasa sakit fisik itu nyaris tak berarti dibandingkan dengan beban yang menghimpit dada
Udara di dalam gua terasa berat, dingin, dan lembap. Bayangan dari cahaya bulan yang menerobos masuk dari celah di mulut gua menciptakan pola-pola gelap di dinding batu. Suara langkah kaki musuh terdengar samar dari kejauhan, seperti lonceng kematian yang terus mendekat.Leon berdiri di mulut gua, tubuhnya tegang seperti kawat yang ditarik terlalu kencang. Napasnya pendek-pendek, luka di pinggangnya semakin terasa menyakitkan, tetapi ia tidak peduli. Matanya menatap tajam ke arah hutan di luar, mencoba menangkap setiap gerakan yang mencurigakan.Di belakangnya, Evelyn terbaring di tanah dingin dengan napas berat. Tubuhnya menggigil, wajahnya pucat seperti kertas, dan kain yang membalut lukanya sudah mulai merah pekat oleh darah. Hayes berlutut di sisinya, tangan gemetar saat ia mencoba memperbaiki balutan pada luka di perut Evelyn.“Kita butuh sesuatu untuk menghentikan pendarahannya,” kata Hayes dengan nada putus asa. “Dia tidak akan bertahan lama seperti ini.”Leon tidak menjawab. R
***Hutan itu tak lagi terasa seperti tempat perlindungan. Bayangan pepohonan yang biasanya memberi ketenangan kini seperti jerat yang terus menghimpit, mengurung mereka dalam ketakutan yang tak terucapkan. Langkah kaki Leon, Evelyn, dan Hayes menyatu dengan gemerisik dedaunan, berpacu dengan suara langkah berat para pemburu di belakang mereka.“Cepat! Mereka sudah dekat!” bisik Leon sambil menoleh ke Evelyn dan Hayes. Ia menunjuk semak tebal di depan mereka. “Kita sembunyi di sana.”Mereka bertiga merunduk di balik semak-semak, menahan napas. Evelyn mencengkeram tasnya erat-erat, tubuhnya bergetar tak terkendali. Tubuhnya sudah terlalu lelah, dan rasa pening yang menyerang membuat pandangannya sedikit kabur.Hayes, yang bersembunyi di sebelah Evelyn, mencoba meredam napasnya yang memburu. Wajahnya basah oleh keringat, dan matanya melebar karena rasa takut yang tak terhindarkan.Leon, di sisi depan semak, menggenggam senjatanya dengan kekuatan yang hampir menyakitkan. Matanya tajam, m
***Lorong panjang di fasilitas itu menjadi saksi bisu perjuangan Leon, Evelyn dan Hayes yang berlari dengan napas memburu. Suara langkah kaki mereka berpacu dengan bunyi alarm yang memekakkan telinga, menciptakan suasana yang hampir tak tertahankan. Setiap detik terasa seperti ancaman dan setiap langkah seolah membawa mereka lebih dekat pada bahaya yang tak terlihat.“Ayo cepat!” Leon berteriak, menoleh ke belakang untuk memastikan mereka tetap bersama. Matanya penuh ketegangan, dan genggaman pada senjatanya semakin erat.Evelyn berlari di belakangnya, tas kecilnya terayun-ayun di pundaknya. Kepala yang masih berdenyut dan pandangan yang sedikit kabur membuat setiap langkah terasa lebih berat. Namun, ia memaksa dirinya untuk tetap bergerak. Tidak ada waktu untuk ragu, tidak ada ruang untuk berhenti.Hayes, dengan napas yang tersengal-sengal mencoba mengikuti langkah mereka. “Berapa jauh lagi?” tanyanya, suaranya penuh kecemasan.“Lorong ini harus menuju keluar,” jawab Leon tanpa meno
***Lampu merah berkedip-kedip seperti tanda bahaya yang hidup, menambah ketegangan yang sudah menyesakkan udara di ruangan itu. Evelyn berdiri di depan terminal di dinding, jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard, tetapi otaknya terasa seperti dikejar waktu. Pandangannya mulai kabur, kepala terasa berat, dan setiap suara langkah kaki di luar lorong seperti gema yang membesar di kepalanya.“Cepat, Evelyn!” Leon berteriak di belakangnya, napasnya kasar setelah menembak ke arah musuh yang terus mendekat. “Mereka sudah terlalu dekat!”“Aku mencoba, Leon!” balas Evelyn dengan suara bergetar. Tangannya gemetar, sulit untuk tetap stabil di bawah tekanan. Setiap kode yang ia masukkan terasa seperti pertaruhan antara hidup dan mati. Ia tahu ia tidak bisa membuat kesalahan—tidak sekarang.Keringat mengalir di pelipisnya, matanya terasa pedih karena terus menatap layar. Cahaya merah yang memantul dari lampu darurat semakin membuat pikirannya kacau. “Aku... aku hampir selesai,” gumamnya, su
***Pagi yang berat berubah menjadi siang yang menyengat. Pulau Leros masih dikelilingi ketenangan yang menipu, tetapi bagi Leon, Evelyn, dan Hayes, setiap detik terasa seperti hitungan mundur. Udara yang hangat semakin terasa menekan, memaksa mereka untuk segera bertindak sebelum terlambat.Evelyn duduk di meja dengan peta terbentang di depannya. Ia menggambar garis-garis kasar, menunjukkan jalur keluar dari pulau itu. Matanya penuh dengan ketegangan, tetapi tangannya tetap stabil. Di sebelahnya, Hayes sibuk mencatat informasi yang mereka butuhkan untuk menyerang fasilitas terdekat—simpul yang menjadi bagian dari jaringan Sokolov.Leon berdiri di sudut ruangan, memperhatikan mereka berdua. Wajahnya serius, penuh dengan kecemasan yang ia coba sembunyikan. Ia tahu bahwa setiap keputusan yang mereka buat sekarang akan membawa konsekuensi besar.“Aku masih berpikir ini terlalu berisiko,” kata Leon akhirnya, suaranya memecah keheningan yang mencekam. “Jika kita salah langkah, kita semua a
***Pagi itu di Pulau Leros, suasana masih dihantui oleh ancaman yang tak terlihat. Udara hangat yang semula menenangkan kini terasa semakin berat, seperti tekanan sebelum badai besar. Leon, Evelyn, dan Hayes telah menghabiskan malam yang panjang, merencanakan langkah selanjutnya dengan hati-hati, meskipun ketegangan yang mencekam tak pernah lepas dari mereka.Mereka tahu bahwa Sokolov selalu selangkah lebih maju. Setiap langkah yang mereka ambil, setiap keputusan yang mereka buat, pasti sudah dipertimbangkan dan dipantau oleh pria itu. Namun, meskipun begitu, mereka tak bisa berdiam diri. Mereka harus bergerak, berjuang, dan tidak memberi kesempatan pada Sokolov untuk menang.Evelyn berdiri di depan meja, tangannya gemetar saat ia memeriksa catatan dan data yang mereka ambil. Semua petunjuk mengarah pada satu tempat: Pulau Leros. Tapi ada sesuatu yang terasa ganjil. Mereka sudah dikelilingi, tetapi mereka tidak tahu siapa yang mengawasi mereka—atau seberapa banyak yang Sokolov ketahu
***Malam itu, udara di Pulau Leros terasa lebih dingin dari biasanya, seolah-olah angin laut membawa kabar buruk. Rumah kecil yang mereka tinggali semakin terasa sempit, meskipun mereka sudah berusaha untuk tetap tenang dan fokus pada rencana mereka. Leon, Evelyn, dan Hayes duduk di ruang utama, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka, mencoba mencerna langkah apa yang harus diambil selanjutnya.Evelyn memegang bunga camellia putih itu erat-erat, matanya tidak bisa lepas darinya. Wangi bunga itu masih tercium, menambah kesan menakutkan yang melingkupi ruangan. Sambil menatap bunga itu, hatinya penuh dengan kekhawatiran yang tak bisa ia ungkapkan. Dia tahu bunga ini bukan hanya sebuah tanda. Itu adalah pesan—pesan dari Sokolov, yang selalu ada di balik setiap langkah mereka.Leon duduk di seberangnya, tatapannya serius. "Dia tahu kita ada di sini," katanya pelan, suaranya berat. "Dia menginginkan kita bergerak, Evelyn. Tapi kita tidak bisa jatuh ke dalam jebakan itu."Evelyn meng
***Ruangan itu dipenuhi cahaya redup dari monitor yang menampilkan data dan rekaman kamera pengintai. Suara kipas pendingin komputer bergema lembut, memberikan latar suara monoton di tempat yang seolah berada di luar jangkauan dunia nyata. Di tengahnya, Victor Sokolov berdiri, matanya tajam memandangi peta yang terpampang di layar besar di depannya. Peta itu menampilkan pulau-pulau kecil di sekitar Laut Mediterania, dengan satu titik menyala merah—Pulau Leros.“Laporan terbaru, Tuan,” suara Nikolai memecah keheningan. Ia berdiri di sisi ruangan, tangannya memegang tablet yang menampilkan laporan dari tim pengawasan di lapangan.Sokolov mengambil tablet itu tanpa mengalihkan pandangan dari layar di depannya. Ia membaca laporan itu perlahan, bibirnya membentuk garis tipis.“Mereka mulai bergerak,” gumamnya.Nikolai mendekat, wajahnya penuh perhatian. “Maksud Anda?”Sokolov menunjuk layar besar. “Leon dan Evelyn tidak akan berdiam diri. Mereka akan mencari cara untuk melawan. Tapi itula