“Aku tidak mau menikah!”
“Tapi kamu harus mau, Ivana. Papa tidak bisa membiarkan keluarga kita malu di depan tuan dan nyonya Narendra!” tegas Yuda pada putrinya.
“Tapi ... kenapa harus aku?” tanya Ivana dengan suara lirih. Mata gadis itu terlihat sayu.
Yuda menghela napas lelah. Sebenarnya, ia pun enggan untuk mengorbankan sang buah hati. Di sisi lain, janji tetaplah janji, ia tidak bisa mengingkari begitu saja.
“Memang siapa lagi kalau bukan kamu?”
Ivana terdiam, apa yang dikatakan Yuda memang benar. Tidak ada orang lain yang bisa menggantikan posisi tersebut. Seharusnya sang kakak—Renata—yang harus menikah. Namun, gadis itu melarikan diri sejak dua hari yang lalu. Sedangkan rencana pernikahan itu ada atas usulan keluarga Narendra dengan dalih memperkuat koneksi bisnis.
Keluarga Adhitama tentu tidak menolak niat baik tersebut. Terlebih, putri sulungnya—Renata—belum pernah memperkenalkan seseorang sebagai pasangan. Namun, siapa sangka perjodohan itu justru berimbas pada putri bungsu mereka.
“Kenapa Papa tidak mencoba menjelaskan pada keluarga Narendra? Dengan begitu aku tidak perlu menggantikan kak Renata,” usul Ivana. Ia masih berusaha membujuk Yuda untuk membatalkan pernikahan.
“Tidak semudah itu, Nak,” ujar Windy—mama Ivana—dari ambang pintu kamar putrinya. Wanita paruh baya dengan sanggul dikepalanya itu melenggang masuk ke kamar Ivana. Ia berdiri di sisi kasur tempat putrinya duduk, tangannya terulur untuk mengelus surai Ivana.
Ivana mendongak, menatap mamanya dengan penuh tanya. Bukankah menjelaskan keadaan yang sebenarnya lebih baik daripada berbohong?
“Begini, Sayang. Kamu tahu, kan, keluarga Narendra termasuk terpandang, sejajarlah sama keluarga kita, Adhitama. Undangan sudah disebar ke berbagai penjuru. Kolega bisnis, teman, kerabat, bahkan media pun tahu berita pernikahan putra keluarga Narendra dan Adhitama. Coba kamu pikir, bagaimana jika tiba-tiba ada pemberitaan pembatalan pernikahan? Tentu kedua belah pihak akan dirugikan, Sayang,” jelas Windy pada putrinya.
Pikiran Ivana berkecamuk, apa yang harus ia lakukan. Antara menuruti kemauan orang tua atau egonya. Demi Tuhan, ia hanyalah gadis berusia 21 tahun, masih ingin menikmati masa muda, bukan ingin menjadi mama muda.
“Seharusnya Mama dan Papa takut keluarga Narendra menuntut kalian jika ketahuan berbohong, bukan malah memaksaku untuk menikahi putra mereka,” kelakar Ivana dengan menatap kedua orang tuanya bergantian. Rupanya gadis itu masih berusaha meloloskan diri.
“Jangan mengelak!” tegas Yuda. Ia tahu putrinya hanya beralasan.
Baru kali ini seumur hidup Ivana merasakan kecewa pada kakak dan orang tuanya. Sebagai putri bungsu keluarga terpandang, ia bukan tipe gadis menye-menye yang menuntut untuk selalu dimanja. Tapi bukan berarti ia tidak berprinsip. Apalagi menikah bukan hal yang sepele.
“Sudah, sekarang kamu pikirkan dulu, Sayang. Sudah hampir malam, kamu mandi dan renungkan. Setelah makan malam kita bicarakan lagi,” ujar Windy. Wanita paruh baya itu tidak mau terlalu memaksa Ivana.
“Ayo, Pa!” ajak Windy pada suaminya. Tangannya menggaet lengan Yuda seraya melangkah meninggalkan kamar Ivana.
Sepeninggal orang tuanya, Ivana menatap kosong pintu kamar. Rasanya tidak menyangka bisa terlibat dalam perjanjian konyol dua keluarga itu. Perlahan air matanya menetes membasahi pipi.
‘Sangat konyol, seharusnya mereka mendukungku bukan hanya mementingkan pandangan orang lain,’ keluh Ivana dalam hati.Tangan gadis itu meraih ponsel dari nakas, mencoba menelepon nomor kakaknya, lagi-lagi operator yang menjawab. Ke mana perginya putri sulung Adhitama? Bahkan ia tidak meninggalkan pesan sama sekali pada keluarga.
“Mengapa kakak pergi? Seharusnya kakak menolak perjodohan itu jika ujungnya begini, mana sosok Renata yang katanya profesional dan tidak pernah ingkar janji,” monolog Ivana. Ia terisak pelan sambil menggulung diri dalam selimut.
Sementara Yuda dan istrinya yakin Ivana tidak akan menolak menggantikan Renata. Mereka tahu betul, putri bungsunya mengedepankan keluarga dibanding segalanya. Bahkan kini mereka tampak santai menunggu putrinya bergabung untuk makan malam.
“Sini, Sayang,” panggil Windy saat ekor matanya menangkap Ivana berjalan ke arah mereka.
“Segera makan! Setelah ini kita bicarakan masalah tadi,” perintah Yuda.
Ivana hanya menganggukkan kepala tanda setuju. Papanya yang seperti ini tampak menakutkan. Mata elangnya menatap tajam seakan mampu melubangi apapun yang ditatap.
Makan malam keluarga Adhitama tidak berjalan seperti biasa. Biasanya mereka berbincang santai sambil menyantap hidangan. Tapi, kini suasananya berbeda.
“Ikut papa ke ruang kerja,” perintah Yuda pada Ivana saat melihat pergerakan putrinya hendak menaiki tangga.
“Jadi ... apa keputusanmu?” tanya Yuda tanpa basa basi. Ia duduk di kursi kerja dengan Ivana di seberangnya.
Ivana menunduk, tangan gadis itu meremat kuat ujung piyama yang dikenakannya. Matanya bergulir ke segala arah, ia belum mempunyai keputusan pasti.
“Vana!” tegas Yuda.
“Tidak, Pa! Keputusanku tetap tidak. Aku tidak bisa menikah dengan orang yang tidak aku kenal sama sekali,” ujar Ivana mengutarakan keputusannya.
Yuda memijat pangkal hidung. “Kamu lupa, tidak semudah itu.”
Ivana mendongak menatap Yuda dengan tatapan kecewa. “Lalu apa gunanya papa meminta pendapatku? Pernikahan adalah sesuatu yang sakral, bukan hanya modal persatuan dua keluarga.”
“Kamu akan bahagia, Ivana. Papa tahu Levin Narendra, calon suamimu itu lelaki yang baik. Dia hanya seseorang yang gila kerja, bukan gila wanita,” kata Yuda.
Ivana mulai terisak pelan, bahu sempitnya tampak naik turun. Apapun alasannya, Ivana tidak ingin menikah dalam waktu dekat.
“Memangnya kamu mau di cap anak durhaka?” tanya Yuda dengan tajam.
Pertanyaan Yuda sontak membuat Ivana mengangkat kepala, mata bulatnya menatap lurus ke arah papanya. Ia menggelengkan kepala setelah terdiam beberapa saat, kemudian menanyakan sesuatu yang mengganjal di pikirannya.
“Apa keluarga Narendra mengancam Papa?” tanya Ivana dengan hati-hati. Karena, yang gadis itu tahu, papanya bukan tipe orang yang menggampangkan sesuatu tanpa berpikir.
“Kamu pikir papa siapa? Tidak ada ancam-mengancam dalam hal ini. Semua murni dengan niat baik kita menyatukan dua keluarga. Kamu percaya sama papa, semua akan baik-baik saja,” ujar Yuda memelankan suaranya.
Saat ini keyakinan Ivana masih setipis tisu yang gampang terkoyak. Menurutnya sangat tidak masuk akal jika niat baik berujung kebohongan. Kalau memang niat baik, pasti keluarga Narendra mengerti keadaan.
“Apa perlu Ivana meyakinkan keluarga Narendra? Jika itu niat baik pasti—”
“Cukup! Jangan mendebat,” potong Yuda,
“Bukan masalah niat baik atau buruk. Papa juga paham mereka akan mengerti. Tapi yang kita bicarakan di sini harga diri keluarga kita, Ivana. Mengapa kamu tidak mengerti juga, hah!” cecar Yuda dengan suara meninggi.
Pipi Ivana kembali dibasahi air mata yang bahkan belum mengering sempurna. Ia mengepalkan kedua tangannya sampai kuku-kuku jari tangan memutih.
“Kamu pikir papa mengambil keputusan dengan gampang? Semua ini papa lakukan untuk masa depanmu. Pendamping hidup pilihanmu kelak belum tentu lebih baik daripada Levin, percaya papa, Nak.” Yuda mulai memelankan suaranya.
Memang tidak ada jalan lain selain meminta Ivana menggantikan Renata. Yuda yakin, Levin tidak akan menolak. Toh, mereka sama cantiknya. Meskipun Yuda sendiri mengakui putri bungsunya lebih menarik dengan wajah cantik dan manis, sepasang mata bulat dengan bulu mata yang lentik, pipi bulat sedikit berisi serta bibir tipis kemerahan menambah kesan cantik, imut, dan manis. Sedangkan si sulung cantik dengan wajah dewasanya.
“Mungkin kamu memang ingin melihat keluarga kita malu,” cibir Yuda.
“Bukan begitu...,” lirih Ivana.
“Apalagi! Gantikan kakakmu menikah, kalau masih mau dianggap putri Adhitama!” ancam Yuda dengan tatapan tajam dan seringai di bibir.
Kepala Ivana berdenyut sakit, bibirnya terkunci rapat, tidak mampu membalas perkataan papanya. Entah jalan apa yang akan ia pilih.
Yuda menatap lekat putri bungsunya dengan tatapan mengintimidasi. Sungguh tidak sabar menanti untaian kata yang akan terlontar dari bibir Ivana.“Sampai kapan kamu diam?” tanya Yuda.Ivana mengangkat kepala, menatap papanya dengan mata berkaca-kaca. “Baiklah."Lelaki paruh baya itu mengangkat sebelah alis. Tangannya bersedekap dada tidak bermaksud menyahut perkataan Ivana. Menatap lekat wajah cantik putrinya yang menampakkan kepasrahan.“A–Aku mau menikah, Pa,” ujar Ivana. Pada akhirnya kalimat itu lolos dari bibir tipisnya.Tidak ada pilihan lain, semua Ivana lakukan demi keluarga. Sekeras apapun ia menolak, pernikahan itu tetap terjadi. Ia menautkan kedua tangan di bawah meja untuk mengurangi rasa gugup. Bukan gugup akan tatapan tajam papanya, tapi ia gugup karena belum yakin 100℅ dengan keputusan yang diambil.“Bagus. Itu baru anak papa. Kamu sudah mengambil keputusan yang
Ivana sudah berkutat di dapur saat jam menunjukkan angka 6 pagi. Ia ingin mengalihkan pikirannya dengan memasak.Langkah kaki terdengar mendekat ke arah Ivana. Tanpa menoleh, Ivana yakin itu mamanya. Karena maid yang bertugas memasak memang diliburkan saat akhir pekan. Sebaliknya, tugas itu diambil alih Ivana atau mamanya.“Apa yang kamu lakukan, Van?”Ivana mematikan kompor setelah menyelesaikan masakan lalu menoleh. Windy berdiri tepat di belakangnya. Wanita paruh baya itu terlihat sudah segar, berbeda dengan Ivana yang masih ... Err ... belum mandi.“Aku memasak nasi goreng dan omelet telur kesukaan kak Renata,” jawab Ivana.Windy tersenyum teduh. Ia yakin putri bungsunya pasti merindukan sang kakak. Karena ia merasakan hal sama. “Kamu kangen kakak?”“Iya, Ma. Apa kak Renata tidak akan pulang?” tanya Ivana dengan tatapan sendu.Masih dengan senyum m
“Hampir ketahuan.”“Kamu yang terlalu parno.”Yuda mengabaikan ucapan Windy, bergegas mengambil air di kulkas dan meneguknya dengan tergesa. Ia butuh sesuatu untuk membasahi tenggorokannya yang mengering. Meskipun terlihat biasa saja, namun Yuda tidak kalah tegang dengan Windy saat keluarga Narendra menanyakan Renata.Windy menyusul suaminya ke dapur. Terlihat Yuda sedang duduk di meja makan dengan menelungkupkan kepala di atas meja. Bahunya baik turun dengan nafas tersengal-sengal.“Sudahlah, Pa. Tenangkan pikiranmu, lagipula—” Windy menghentikan ucapannya saat sebuah seruan terlebih dahulu terdengar.“Ivana pulang!”Ivana mengernyit heran melihat rumah yang tampak sepi. Padahal, ia melihat mobil papanya ada di garasi. Bukankah berarti mereka sudah pulang? Pikirnya. Ia melangkah gontai menuju kamar, namun langkahnya terhenti ketika melihat kedua orang tuanya duduk di me
Hari yang dinanti keluarga Adhitama dan Narendra—kecuali kedua mempelai—akhirnya tiba. Pernikahan dua pewaris itu dilaksanakan besok pagi. Mereka akan melangsungkan prosesi pernikahan di sebuah hotel ternama di Jakarta.“Sayang, kamu sudah siap?” tanya Windy dari ambang pintu kamar Ivana.“Siap tidak siap, Ma,” sahut Ivana sedikit lesu.Windy masuk kamar anaknya ketika melihat Ivana masih terdiam di depan meja rias. Malam ini keluarga Adhitama akan menginap di hotel tempat Ivana menikah. Mereka harus tiba di hotel sebelum keluarga Narendra.Windy berdiri di belakang Ivana. Tangannya mengelus rambut Ivana dengan sayang. “Apapun yang terjadi nanti, ingat, mama selalu ada untuk kamu.”“Kenapa lama sekali, sih!” teriak Yuda dari lantai 1.“Iya, Pa. Ini mau turun!” sahut Windy dengan suara tak kalah keras.Begitu tiba di hotel, mereka langsung menuju
"Jelaskan! Bagaimana bisa putri bungsu anda menggantikan kakaknya, Tuan Adhitama?”Yuda menatap Jimmy yang berdiri di depannya. “Maaf, Tuan. Silakan duduk terlebih dahulu, kita bicarakan masalah ini dengan kepala dingin."Pernikahan Ivana dan Levin memang tetap terlaksana, sudah terlanjur, pikir mereka. Lagipula kedua pihak keluarga tidak mungkin membiarkan tamu undangan menunggu. Meskipun Levin harus mengulang beberapa kali karena nama Renata yang terus ia sebut, padahal di kertas sudah tertulis nama Ivana.Setelah semua rangkaian acara selesai, kedua pihak keluarga berkumpul di kediaman keluarga Adhitama untuk meminta penjelasan. Mereka sudah menyewa orang untuk membereskan sisa acara. Beruntung oma Levin tidak ikut pertemuan karena masalah kesehatan, bisa tambah runyam jika wanita tua itu ikut.Ivana duduk di sebelah sang mama dengan perasaan campur aduk. Ia merasa bersalah karena mengikuti rencana papanya untuk menggantik
Jimmy menatap istrinya dengan tatapan tak percaya disertai bingung. Bagaimana mungkin mereka mendapatkan Renata sebagai menantu jika saat ini sudah ada Ivana—menantu sah mereka.“Mami gila!” tegur Jimmy.Tania mendecak kesal, tidak terima dengan perkataan sang suami. “Aku tidak gila, Pi. Bukankah Papi juga tahu apa rencana kita?”“Rencanamu lebih tepatnya,” ralat Jimmy. Lelaki paruh baya itu sudah mulai jengah dengan istrinya.“Terserah.Tapi Papi dan Levin sudah setuju, kan, dengan rencana ini. Semua juga demi perusahaan keluarga Papi, bukan untuk mami saja,” cecar Tania dengan kesal.Semua rencana yang telah tersusun memang atas ide Tania. Awalnya Jinmy menolak akan ide gila istrinya, namun melihat putra semata wayangnya juga setuju, ia pun setuju. Memang benar, semua demi mengembalikan kejayaan JN Corp.Pelaku korupsi memang telah ditemukan dan mendapat hukuman s
adi apa rencana Mami? Cepat katakan, sebelum Ivana curiga,” desak Levin.Saat ini mereka berada di ruang kerja Jimmy sesuai dengan keinginan Tania sebelumnya. Jimmy duduk di sofa ruang itu dengan Tania di sampingnya, sedangkan Levin berada di depan orang tuanya di sofa single.“Pertama kita harus ikut keluarga Adhitama mencari Renata, kalau perlu kita harus menemukan gadis itu terlebih dahulu, lalu meyakinkannya untuk menjadi istri Levin,” papar Tania pada kedua lelaki itu.“Lalu bagaimana dengan Ivana?” tanya Jimmy, sejujurnya lelaki paruh baya itu mulai menerima Ivana sebagai menantu.“Ivana akan menjadi urusan Mami. Sebelum Renata ditemukan, Mami akan membuat gadis itu mendapat banyak tekanan selama tinggal di sini. Oh, iya! Mami juga akan meminta bantuan Raka untuk mencari tahu apa saja tentang Ivana, terutama kekayaan atas namanya sendiri.” Tania tersenyum puas, otak liciknya sangat mudah memutar
Ivana melangkah dengan lesu ke perpustakaan fakultas Sastra. Ia begitu lelah, mertuanya tidak mengizinkannya berangkat kuliah menggunakan mobil sendiri. Bahkan untuk naik taksi pun tidak diizinkan, dengan alasan supaya Ivana belajar hidup sederhana. Terpaksa ia harus naik angkot untuk ke kampus. “Capeknya,” lirih Ivana. Gadis itu menelungkupkan kepala di atas salah satu meja perpustakaan. Matanya melirik jam di pergelangan tangan, ternyata sudah lewat sepuluh menit dari waktu yang dijanjikan. Gadis itu mendesah lega, konsultasi skripsinya dengan dosen pembimbing nyaris gagal jika saja ia terlambat lebih dari 15 menit. Beruntung sang dosen masih memberi keringanan karena kebetulan beliau masih ada kelas sampai sepuluh menit ke depan. Sehingga jadwal konsultasi diundur sampai setengah jam ke depan. Sambil menunggu waktu konsultasi, Ivana memanfaatkan untuk tidur sejenak. Ia menyembunyikan wajahnya di lipatan lengan di atas meja.