Hari yang dinanti keluarga Adhitama dan Narendra—kecuali kedua mempelai—akhirnya tiba. Pernikahan dua pewaris itu dilaksanakan besok pagi. Mereka akan melangsungkan prosesi pernikahan di sebuah hotel ternama di Jakarta.
“Sayang, kamu sudah siap?” tanya Windy dari ambang pintu kamar Ivana.
“Siap tidak siap, Ma,” sahut Ivana sedikit lesu.
Windy masuk kamar anaknya ketika melihat Ivana masih terdiam di depan meja rias. Malam ini keluarga Adhitama akan menginap di hotel tempat Ivana menikah. Mereka harus tiba di hotel sebelum keluarga Narendra.
Windy berdiri di belakang Ivana. Tangannya mengelus rambut Ivana dengan sayang. “Apapun yang terjadi nanti, ingat, mama selalu ada untuk kamu.”
“Kenapa lama sekali, sih!” teriak Yuda dari lantai 1.
“Iya, Pa. Ini mau turun!” sahut Windy dengan suara tak kalah keras.
Begitu tiba di hotel, mereka langsung menuju kamar yang sudah dipesan. Ivana berada di suit room nomor 7, sedangkan orang tuanya di nomor 6. Kamar mereka berada di lantai 2 dan berada 1 lantai dengan ballroom hotel—tempat prosesi nikah.
“Kak Renata bohong,” gumam Ivana. Matanya menatap sendu layar ponsel yang menampilkan fotonya dengan Renata.
Renata memang tidak menghubungi Ivana lagi setelah malam itu. Beberapa kali Ivana menghubungi nomornya, namun yang menjawab operator. Akhirnya Ivana pasrah dan berakhir memendam harapan akan kedatangan Renata.
“Ngomong-ngomong Kak Levin itu seperti apa orangnya? Tampan? Pasti. Baik? Belum tentu, sih. Semoga dia baik sama aku, sehingga rasa menyesalku untuk menerima pernikahan tidak terlalu dalam,” monolog Ivana sebelum memejamkan mata.
Pernikahan Ivana dan Levin yang awalnya menggunakan konsep modern berubah menyandang tema ‘Betawi Modern' tepat sehari sebelum pernikahan. Oma Levin bersikukuh ingin memasukkan unsur betawi asli dalam pernikahan cucu tunggalnya. Lagipula kedua belah pihak asli Betawi. Mereka setuju, dengan syarat tidak semua prosesi pernikahan persis adat betawi. Jadi diambil kesepakatan hanya baju pengantin yang menyandang adat Betawi. Beruntung, mereka mempunyai banyak kenalan yang mampu menyewakan baju adat pengantin.
Ya, hanya baju pengantin, karena kedua pihak keluarga sudah menyewa wedding organizer ternama. Tidak mungkin mereka membatalkan begitu saja hanya karena 1 permintaan.
“Kamu cantik sekali, Sayang,” puji Windy pada putri bungsunya.
Saat ini ia menemani Ivana yang di rias di kamar hotel. Ivana gugup karena sebentar lagi prosesi akad nikah.
“Aku takut mereka tahu, Ma.” Keringat dingin membasahi dahi Ivana, pun tangannya basah akan keringat.
“Semua akan baik-baik saja, Sayang. Kamu percaya mama, kan?” Tangan Windy terulur mengelus lengan Ivana untuk memberi kekuatan. “Jangan terlalu gugup, lihatlah wajahmu berkeringat,” lanjut Windy.
Ivana tampil cantik dan menawan dengan baju kurung teratai warna putih serta selendang sarung songket. Kepalanya dihiasi sanggul sawi asing serta kembang goyang sebanyak lima buah, sangat pas di wajah cantiknya. Sebenarnya Ivana keberatan untuk memakai sanggul. Tapi karena sudah menjadi ketentuan, jadi ia memilih menurut.
Tak hanya sanggul, kepala Ivana pun dihias sepasang burung Hong dan diberi tanda merah di dahi bergambar bulan sabit sebagai penanda mempelai wanita masih gadis ketika menikah. Untuk riasan wajah, Ivana memilih riasan yang tidak terlalu tebal. Ditambah ia memakai cadar dari kain sifon dan wolfis dengan hiasan brukat gliter yang serasi dengan pakaian yang dikenakan. Memakai cadar adalah inisiatif Ivana, karena ia tidak ingin keluarga Narendra melihat wajahnya sebelum akad nikah selesai.
Sementara Levin di kamar berbeda berdecak beberapa kali. Dari semua orang, Levin adalah yang paling tidak setuju dengan usul omanya. Ia masih betah mematut diri di depan cermin untuk mengamati penampilannya berkali-kali.
“Jika cermin bisa bicara, pasti akan protes dan memilih pecah daripada kau tatap tajam seperti itu. Berhenti bercermin, Dude,” cibir Raka sedikit jengah dengan tingkah laku Levin.
“Aku hanya merasa tidak cocok, Rak."
“Siapa bilang? Cocok, kok. Sudahlah, duduk dulu. Sebentar lagi prosesi akad nikah,” kata Raka dengan menarik pelan ujung jas yang Levin kenakan.
Levin mengamati penampilannya sekali lagi, jas rebet, kain sarung plakat, hem, jas putih, dan kopiah warna senada melekat sempurna di tubuh tegapnya. Ia terlihat tampan, rahang tegasnya menantang setiap orang untuk menyentuhnya. Pun hidung mancung yang menambah kesan gagah.
“Sia-sia aku mendesain gaun mahal kalau berakhir tak terpakai,” keluh Levin. Matanya menatap nanar gaun putih yang digantung rapi dalam kamar. Rencananya ia akan menyerahkan gaun itu pada Renata kemarin pagi. Namun, karena perubahan mendadak itu, ia mengurungkan niatnya.
“Apa kau sudah bertemu Renata?” tanya Raka.
“Belum, terakhir bertemu makan malam saat kami dijodohkan,” sahut Levin dengan wajah malas saat otaknya memutar memori 1 bulan lalu.
“Lah! Kau tidak pdkt padanya?”
Levin memutar bola mata malas. “Pdkt apanya, setelah perjodohan, Renata pergi ke Paris untuk mempersiapkan Fashion Week yang ia ikuti. Kau tahu sendiri, dia merupakan desainer yang sedang naik daun.” Raka mengangguk paham.
“Levin, sudah waktunya akad,” panggil Tania pada putranya, “Jangan sampai salah,” lanjutnya.
“Mami tenang saja, cukup diam dan perhatikan,” ketus Levin. Ia merasa jengkel dengan Tania yang mengingatkannya setiap waktu. ‘Please, aku bukan anak kecil, Mi,’ jerit Levin dalam hati.
Levin duduk di kursi yang telah disediakan di depan altar, berhadapan dengan penghulu. Akad nikah akan disaksikan langsung oleh semua undangan. Mata sipitnya mengedar ke seluruh penjuru ruangan yang sudah penuh tamu undangan. Ia hanya perlu menunggu Renata dan kedua orang tuanya.
Pintu ballroom terbuka, menampakkan mempelai wanita yang diapit orang tuanya. Keluarga Narendra tersenyum lega melihat pengantin yang mereka yakini ‘Renata' itu melangkah masuk beriringan dengan orang tuanya. Postur tubuh Ivana dan Renata yang hampir sama cukup mengecoh. Apalagi berbekal riasan dan cadar yang menutupi sebagian wajah membuat keluarga Narendra tidak curiga sama sekali.
‘Ah! Begini rasanya menikah. Demi Tuhan, aku gugup sekali,’ jerit Ivana dalam hati. Ia mengeratkan rangkulan di lengan papanya, menyalurkan rasa gugup ditatap ratusan pasang mata.
Mata bulatnya sesekali melirik ke segala arah untuk melihat sekitar. Sesekali berbinar melihat indahnya dekorasi pernikahan.
Lantai menuju altar bertaburan bunga putih dengan hiasan lampu taman di sisi kanan-kiri. Semua dekorasi didominasi warna putih sesuai keinginan Levin. Tidak ada foto preweeding atau sejenisnya, di setiap sisi berhias rangkaian bunga dengan warna senada.
Ivana duduk di samping Levin dengan gugup. Kedua tangan bertautan saling meremas. Matanya bergulir menatap papanya yang kini duduk di depan Levin serta sang mama yang duduk di sebelahnya. Windy memberi senyum teduh pada Ivana untuk meyakinkan putri bungsunya.
“Baiklah, sudah bisa dimulai?” tanya penghulu. Semua mengangguk setuju.
Ivana berharap semua berjalan lancar. Namun, tidak saat giliran Levin mengucapkan ikrar.
“Saya terima nikahnya Iv—Ivana? Loh! Kok, Ivana.” Levin melebarkan mata baru menyadari namanya berbeda. Ia bahkan lupa mengucapkan kalimat tersebut menggunakan mikrofon.
"Jelaskan! Bagaimana bisa putri bungsu anda menggantikan kakaknya, Tuan Adhitama?”Yuda menatap Jimmy yang berdiri di depannya. “Maaf, Tuan. Silakan duduk terlebih dahulu, kita bicarakan masalah ini dengan kepala dingin."Pernikahan Ivana dan Levin memang tetap terlaksana, sudah terlanjur, pikir mereka. Lagipula kedua pihak keluarga tidak mungkin membiarkan tamu undangan menunggu. Meskipun Levin harus mengulang beberapa kali karena nama Renata yang terus ia sebut, padahal di kertas sudah tertulis nama Ivana.Setelah semua rangkaian acara selesai, kedua pihak keluarga berkumpul di kediaman keluarga Adhitama untuk meminta penjelasan. Mereka sudah menyewa orang untuk membereskan sisa acara. Beruntung oma Levin tidak ikut pertemuan karena masalah kesehatan, bisa tambah runyam jika wanita tua itu ikut.Ivana duduk di sebelah sang mama dengan perasaan campur aduk. Ia merasa bersalah karena mengikuti rencana papanya untuk menggantik
Jimmy menatap istrinya dengan tatapan tak percaya disertai bingung. Bagaimana mungkin mereka mendapatkan Renata sebagai menantu jika saat ini sudah ada Ivana—menantu sah mereka.“Mami gila!” tegur Jimmy.Tania mendecak kesal, tidak terima dengan perkataan sang suami. “Aku tidak gila, Pi. Bukankah Papi juga tahu apa rencana kita?”“Rencanamu lebih tepatnya,” ralat Jimmy. Lelaki paruh baya itu sudah mulai jengah dengan istrinya.“Terserah.Tapi Papi dan Levin sudah setuju, kan, dengan rencana ini. Semua juga demi perusahaan keluarga Papi, bukan untuk mami saja,” cecar Tania dengan kesal.Semua rencana yang telah tersusun memang atas ide Tania. Awalnya Jinmy menolak akan ide gila istrinya, namun melihat putra semata wayangnya juga setuju, ia pun setuju. Memang benar, semua demi mengembalikan kejayaan JN Corp.Pelaku korupsi memang telah ditemukan dan mendapat hukuman s
adi apa rencana Mami? Cepat katakan, sebelum Ivana curiga,” desak Levin.Saat ini mereka berada di ruang kerja Jimmy sesuai dengan keinginan Tania sebelumnya. Jimmy duduk di sofa ruang itu dengan Tania di sampingnya, sedangkan Levin berada di depan orang tuanya di sofa single.“Pertama kita harus ikut keluarga Adhitama mencari Renata, kalau perlu kita harus menemukan gadis itu terlebih dahulu, lalu meyakinkannya untuk menjadi istri Levin,” papar Tania pada kedua lelaki itu.“Lalu bagaimana dengan Ivana?” tanya Jimmy, sejujurnya lelaki paruh baya itu mulai menerima Ivana sebagai menantu.“Ivana akan menjadi urusan Mami. Sebelum Renata ditemukan, Mami akan membuat gadis itu mendapat banyak tekanan selama tinggal di sini. Oh, iya! Mami juga akan meminta bantuan Raka untuk mencari tahu apa saja tentang Ivana, terutama kekayaan atas namanya sendiri.” Tania tersenyum puas, otak liciknya sangat mudah memutar
Ivana melangkah dengan lesu ke perpustakaan fakultas Sastra. Ia begitu lelah, mertuanya tidak mengizinkannya berangkat kuliah menggunakan mobil sendiri. Bahkan untuk naik taksi pun tidak diizinkan, dengan alasan supaya Ivana belajar hidup sederhana. Terpaksa ia harus naik angkot untuk ke kampus. “Capeknya,” lirih Ivana. Gadis itu menelungkupkan kepala di atas salah satu meja perpustakaan. Matanya melirik jam di pergelangan tangan, ternyata sudah lewat sepuluh menit dari waktu yang dijanjikan. Gadis itu mendesah lega, konsultasi skripsinya dengan dosen pembimbing nyaris gagal jika saja ia terlambat lebih dari 15 menit. Beruntung sang dosen masih memberi keringanan karena kebetulan beliau masih ada kelas sampai sepuluh menit ke depan. Sehingga jadwal konsultasi diundur sampai setengah jam ke depan. Sambil menunggu waktu konsultasi, Ivana memanfaatkan untuk tidur sejenak. Ia menyembunyikan wajahnya di lipatan lengan di atas meja.
"Ivana!” “Sepupu kak Levin!” Ivana dan pemuda itu saling menunjuk satu sama lain. Sedangkan Marisa menatap penuh tanya pada keduanya. “Kalian saling kenal?” tanyanya setelah terdiam beberapa saat. Ivana mengangguk kaku. Ia masih menatap tak percaya ke arah Raka. Bagaimana sepupu Levin itu bisa mengenal Marisa? Pikirnya. Sementara Raka pun melakukan hal yang sama, tapi ia lebih bisa mengontrol ekspresi yang awalnya terlihat terkejut menjadi biasa saja.“Kamu kenal sepupu kak Levin, Cha?” tanya Ivana setelah tersadar dari rasa terkejut.“Dia pacarku, Van.” Marisa berujar dengan rona samar di pipi. Raka yang melihat itu menggigit bibir bawah menahan pekikan karena terlalu gemas dengan pacarnya.Marisa dan Raka memang telah lama berkencan. Hubungan mereka sudah berjalan selama tiga tahun, sejak Marisa SMA. Awal mula mereka saling mengenal karena Raka tak sengaja menyenggol Marisa saat jogging di taman. Menyebabkan ponsel gadis itu
“Aku tidak mau menikah!”“Tapi kamu harus mau, Ivana. Papa tidak bisa membiarkan keluarga kita malu di depan tuan dan nyonya Narendra!” tegas Yuda pada putrinya.“Tapi ... kenapa harus aku?” tanya Ivana dengan suara lirih. Mata gadis itu terlihat sayu.Yuda menghela napas lelah. Sebenarnya, ia pun enggan untuk mengorbankan sang buah hati. Di sisi lain, janji tetaplah janji, ia tidak bisa mengingkari begitu saja.“Memang siapa lagi kalau bukan kamu?”Ivana terdiam, apa yang dikatakan Yuda memang benar. Tidak ada orang lain yang bisa menggantikan posisi tersebut. Seharusnya sang kakak—Renata—yang harus menikah. Namun, gadis itu melarikan diri sejak dua hari yang lalu. Sedangkan rencana pernikahan itu ada atas usulan keluarga Narendra dengan dalih memperkuat koneksi bisnis.Keluarga Adhitama tentu tidak menolak niat baik tersebut. Terlebih, putri sulungnya&mdash
Yuda menatap lekat putri bungsunya dengan tatapan mengintimidasi. Sungguh tidak sabar menanti untaian kata yang akan terlontar dari bibir Ivana.“Sampai kapan kamu diam?” tanya Yuda.Ivana mengangkat kepala, menatap papanya dengan mata berkaca-kaca. “Baiklah."Lelaki paruh baya itu mengangkat sebelah alis. Tangannya bersedekap dada tidak bermaksud menyahut perkataan Ivana. Menatap lekat wajah cantik putrinya yang menampakkan kepasrahan.“A–Aku mau menikah, Pa,” ujar Ivana. Pada akhirnya kalimat itu lolos dari bibir tipisnya.Tidak ada pilihan lain, semua Ivana lakukan demi keluarga. Sekeras apapun ia menolak, pernikahan itu tetap terjadi. Ia menautkan kedua tangan di bawah meja untuk mengurangi rasa gugup. Bukan gugup akan tatapan tajam papanya, tapi ia gugup karena belum yakin 100℅ dengan keputusan yang diambil.“Bagus. Itu baru anak papa. Kamu sudah mengambil keputusan yang
Ivana sudah berkutat di dapur saat jam menunjukkan angka 6 pagi. Ia ingin mengalihkan pikirannya dengan memasak.Langkah kaki terdengar mendekat ke arah Ivana. Tanpa menoleh, Ivana yakin itu mamanya. Karena maid yang bertugas memasak memang diliburkan saat akhir pekan. Sebaliknya, tugas itu diambil alih Ivana atau mamanya.“Apa yang kamu lakukan, Van?”Ivana mematikan kompor setelah menyelesaikan masakan lalu menoleh. Windy berdiri tepat di belakangnya. Wanita paruh baya itu terlihat sudah segar, berbeda dengan Ivana yang masih ... Err ... belum mandi.“Aku memasak nasi goreng dan omelet telur kesukaan kak Renata,” jawab Ivana.Windy tersenyum teduh. Ia yakin putri bungsunya pasti merindukan sang kakak. Karena ia merasakan hal sama. “Kamu kangen kakak?”“Iya, Ma. Apa kak Renata tidak akan pulang?” tanya Ivana dengan tatapan sendu.Masih dengan senyum m