Yuda menatap lekat putri bungsunya dengan tatapan mengintimidasi. Sungguh tidak sabar menanti untaian kata yang akan terlontar dari bibir Ivana.
“Sampai kapan kamu diam?” tanya Yuda.
Ivana mengangkat kepala, menatap papanya dengan mata berkaca-kaca. “Baiklah."
Lelaki paruh baya itu mengangkat sebelah alis. Tangannya bersedekap dada tidak bermaksud menyahut perkataan Ivana. Menatap lekat wajah cantik putrinya yang menampakkan kepasrahan.
“A–Aku mau menikah, Pa,” ujar Ivana. Pada akhirnya kalimat itu lolos dari bibir tipisnya.
Tidak ada pilihan lain, semua Ivana lakukan demi keluarga. Sekeras apapun ia menolak, pernikahan itu tetap terjadi. Ia menautkan kedua tangan di bawah meja untuk mengurangi rasa gugup. Bukan gugup akan tatapan tajam papanya, tapi ia gugup karena belum yakin 100℅ dengan keputusan yang diambil.
“Bagus. Itu baru anak papa. Kamu sudah mengambil keputusan yang tepat, Nak. Papa yakin kamu pasti tidak membiarkan keluarga kita menanggung malu.” Yuda tersenyum lebar. Kelegaan menyusup di hatinya setelah mendengar keputusan Ivana.
“Tidak semudah itu,” celetuk Ivana.
Yuda mengatupkan bibir. Kini senyumnya berubah menjadi tatapan bertanya. “Apa lagi?”
“Aku ada syarat untuk ini, Pa.”
“To the point, jangan berbelit-belit.”
Ivana menghela nafas berat. Sedikit ragu untuk meloloskan sebuah kalimat yang menurutnya impas sebagai pengganti keputusan besarnya. Ia hanya takut Yuda menolak syarat yang diminta.“Aku akan benar-benar menggantikan kak Renata jika sampai hari H dia belum kembali. Tapi, jika sebelum hari H kak Renata kembali, aku tidak mau.”
Yuda terkekeh. “Kamu yakin? Papa tidak yakin Renata akan pulang sebelum pernikahan.”
Sejujurnya Ivana juga tidak yakin, tapi ia percaya kemungkinan kecil seperti itu bisa saja terjadi. ‘Kak, pulanglah! Jangan sampai kakak menyesal karena mengorbankan adik kesayanganmu ini,’ jerit hati Ivana.
“Papa terima syarat kamu. Tapi bukan sampai hari pernikahan. Kita tunggu Renata sampai H-1,” putus Yuda, “Tidak ada tawar-menawar lagi!” lanjutnya dengan tegas saat matanya melihat Ivana hendak membuka mulut.
Ivana menganggukkan kepala dengan pasrah. Tidak ada yang bisa merubah semua, kecuali kehadiran Renata. “Ivana ke kamar dulu, Pa.” Ucapan Ivana hanya dibalas anggukan oleh Yuda.
***
Suara musik dari speaker menggema di sebuah ruangan yang minim cahaya. Si pemilik ruangan mengetuk-ngetukkan jari pada ujung meja, seakan menikmati alunan musik.
Tampak siluet pemuda yang duduk berwibawa di kursi putar. Ia sedikit bersiul seiring lagu yang berputar. Dering ponsel yang memekakkan telinga mengalihkan atensinya. Tapi ia enggan untuk sekedar mengambil ponsel dan masih menikmati alunan lagu. Berkali-kali ponselnya berdering, ia mendecak mematikan speaker sambil meraih ponsel untuk menjawab panggilan.
“Hmm,” ujarnya malas.
[Kamu di mana?] tanya sebuah suara dari seberang pada pemuda itu.
“Masih di kantor.”
[Ingat, besok kita ada makan siang dengan keluarga Adhitama.]
“Ckk, aku tahu. Sudah aku tutup banyak berkas yang harus dipelajari.” Pemuda itu menutup telepon secara sepihak. Ia memijat pangkal hidung merasakan pening.
Deritan pintu yang dibuka kasar dari luar mengalihkan atensi pemuda itu dari berkas-berkas yang berserakan di meja. Seorang pemuda berambut coklat masuk dan memandang sengit si pemilik ruangan. Alisnya menukik dengan tangan terkepal, siap meluapkan emosi.
“Kau gila Levin!” bentaknya pada Levin—Pemuda yang ada di ruangan. Dadanya naik turun menetralkan deru nafas dan detak jantung.
“Wah! Saudaraku, tumben malam-malam ke sini? Kapan pulang dari Kanada?” tanya Levin santai pada pemuda itu yang tidak lain sepupunya—Raka.
“Hentikan omong kosongmu itu, sebaiknya kau berubah, mau sampai kapan seperti ini? Apa kau tidak pernah berpikir bahwa pernikahan ini akan merugikan kedua belah pihak,” cecar Raka.
Raka seperti orang kesetanan saat mendengar berita Levin akan menikah dengan putri sulung keluarga Adhitama. Ia yakin, pasti ada maksud tersembunyi mengapa bibinya—mami Levin—tiba-tiba ingin menjodohkan Levin dengan Renata.
Levin Narendra, putra tunggal pemilik JN Corp. yang kini menjabat sebagai CEO di perusahaan tersebut setelah papinya—Jimmy Narendra—menyatakan pensiun. Pemuda berahang tegas dengan hidung mancung itu tidak ada bedanya dengan CEO pada umumnya. Ia mewarisi jiwa ambisius dari maminya.
Levin memutar bola mata dan mendecak, sepupunya ini terlalu ikut campur. “Memangnya kenapa dengan pernikahanku?”
“Aku tahu kau punya orang lain Levin!” tegas Raka.
“Itu bukan urusanmu.”
Raka duduk di seberang Levin. Orang seperti Levin memang harus dihadapi dengan kepala dingin. “Aku tahu, tapi … Ah, sudahlah! Ceritakan, bagaimana bisa bibi memintamu menikah dengan Renata.”
“Kau mengenal wanita itu?” tanya Levin pada Raka. Ia terkejut, pasalnya Raka terlihat gampang menyebut nama Renata seakan sudah akrab.
Raka mendengus. “Memangnya itu penting. Jangan berdalih, cepat ceritakan!”
Jika sudah seperti ini, mau tidak mau Levin harus menceritakan pada Raka. Bagaimanapun, ia sudah menganggap penuda yang lebih tua setahun itu sebagai kakak sekaligus teman. Sangat sulit menyimpan rahasia pada pemuda yang lebih pendek beberapa centi darinya itu.
“Sabar, Dude. Pernikahanku dan Renata memang dirancang sedemikian oleh keluargaku, terutama mami. Seperti pernikahan bisnis pada umumnya, semua dilakukan untuk memperkuat bisnis,” jelas Levin.
“Tidak masuk akal, jika hanya ingin memperkuat bisnis, kita bisa mengajukan kerja sama pada Adhitama Group.” Raka menatap Levin dengan tatapan tak percaya. Ia yakin ada sesuatu yang masih di sembunyikan.
“Tidak sesederhana itu, Rak. JN Corp. sedang dilanda badai dan nyaris gulung tikar. Ada penggelapan dana hampir 1M dan banyak supliyer yang mogok karena kita belum membayar bahan pokok yang masuk ke perusahaan. Aku sebagai satu-satunya penerus tentu tidak bisa tinggal diam. Salah satu cara adalah dengan menikahi putri sulung Adhitama. Meskipun sejujurnya, aku tidak tahu alasan di balik itu semua. Aku hanya menjalankan apa yang bisa membantu perusahaan ini.”
Penjelasan Levin membuat Raka terperangah. Ia baru satu tahun di Kanada dan sudah terjadi banyak hal. Rasa salah menyusup di dada Raka. Seharusnya dia bisa membantu Levin mempertahankan perusahaan.
JN Corp. Perusahaan yang bergerak di bidang pakan. Banyak produk makanan dari perusahaan ini yang sudah terjual luas. Namun, jika suplyer bahan pokok mogok, otomatis mengganggu pergerakan perusahaan.
“Tapi ini juga salah, Levin. Aku akan kembali menjadi manajer keuangan di JN Corp.”
Levin tertawa renyah. “Itu memang tugasmu, Dude.”
“Apapun alasanmu aku tidak setuju kau menikah. Apa kau tidak takut nantinya akan menjadi boomerang bagi hidupmu?”
Levin mengerti kekhawatiran Raka. Tapi jiwa ambisius dalam dirinya lebih mendominasi. Perusahaan ini adalah hartanya, jantung keluarga, persetan dengan yang lain. Tidak peduli cara yang ditempuh benar atau salah. Tidak ada salahnya berkorban di awal, yang penting hasil akhir memuaskan.
“Jangan melibatkan orang yang tidak bersalah pada masalah keluarga kita, Levin,” nasihat Raka, “Apalagi kau tidak punya perasaan padanya,” lanjutnya.
“Sudahlah! Aku sedang tidak ingin mendengar ocehanmu. Lebih baik kau keluar,” usir Levin sambil mengibaskan tangan.
Raka mendengus, dengan sedikit tergesa keluar dari ruangan Levin. Tidak lupa ia membanting pintu ruangan tersebut.
“Dasar sinting! Tanpa tujuan itu aku juga tidak mau menikahi putri sulung Adhitama. Sial! Masih banyak berkas yang belum kuperiksa,” dengus Levin. Matanya menatap malas berkas yang menumpuk di meja.
Ivana sudah berkutat di dapur saat jam menunjukkan angka 6 pagi. Ia ingin mengalihkan pikirannya dengan memasak.Langkah kaki terdengar mendekat ke arah Ivana. Tanpa menoleh, Ivana yakin itu mamanya. Karena maid yang bertugas memasak memang diliburkan saat akhir pekan. Sebaliknya, tugas itu diambil alih Ivana atau mamanya.“Apa yang kamu lakukan, Van?”Ivana mematikan kompor setelah menyelesaikan masakan lalu menoleh. Windy berdiri tepat di belakangnya. Wanita paruh baya itu terlihat sudah segar, berbeda dengan Ivana yang masih ... Err ... belum mandi.“Aku memasak nasi goreng dan omelet telur kesukaan kak Renata,” jawab Ivana.Windy tersenyum teduh. Ia yakin putri bungsunya pasti merindukan sang kakak. Karena ia merasakan hal sama. “Kamu kangen kakak?”“Iya, Ma. Apa kak Renata tidak akan pulang?” tanya Ivana dengan tatapan sendu.Masih dengan senyum m
“Hampir ketahuan.”“Kamu yang terlalu parno.”Yuda mengabaikan ucapan Windy, bergegas mengambil air di kulkas dan meneguknya dengan tergesa. Ia butuh sesuatu untuk membasahi tenggorokannya yang mengering. Meskipun terlihat biasa saja, namun Yuda tidak kalah tegang dengan Windy saat keluarga Narendra menanyakan Renata.Windy menyusul suaminya ke dapur. Terlihat Yuda sedang duduk di meja makan dengan menelungkupkan kepala di atas meja. Bahunya baik turun dengan nafas tersengal-sengal.“Sudahlah, Pa. Tenangkan pikiranmu, lagipula—” Windy menghentikan ucapannya saat sebuah seruan terlebih dahulu terdengar.“Ivana pulang!”Ivana mengernyit heran melihat rumah yang tampak sepi. Padahal, ia melihat mobil papanya ada di garasi. Bukankah berarti mereka sudah pulang? Pikirnya. Ia melangkah gontai menuju kamar, namun langkahnya terhenti ketika melihat kedua orang tuanya duduk di me
Hari yang dinanti keluarga Adhitama dan Narendra—kecuali kedua mempelai—akhirnya tiba. Pernikahan dua pewaris itu dilaksanakan besok pagi. Mereka akan melangsungkan prosesi pernikahan di sebuah hotel ternama di Jakarta.“Sayang, kamu sudah siap?” tanya Windy dari ambang pintu kamar Ivana.“Siap tidak siap, Ma,” sahut Ivana sedikit lesu.Windy masuk kamar anaknya ketika melihat Ivana masih terdiam di depan meja rias. Malam ini keluarga Adhitama akan menginap di hotel tempat Ivana menikah. Mereka harus tiba di hotel sebelum keluarga Narendra.Windy berdiri di belakang Ivana. Tangannya mengelus rambut Ivana dengan sayang. “Apapun yang terjadi nanti, ingat, mama selalu ada untuk kamu.”“Kenapa lama sekali, sih!” teriak Yuda dari lantai 1.“Iya, Pa. Ini mau turun!” sahut Windy dengan suara tak kalah keras.Begitu tiba di hotel, mereka langsung menuju
"Jelaskan! Bagaimana bisa putri bungsu anda menggantikan kakaknya, Tuan Adhitama?”Yuda menatap Jimmy yang berdiri di depannya. “Maaf, Tuan. Silakan duduk terlebih dahulu, kita bicarakan masalah ini dengan kepala dingin."Pernikahan Ivana dan Levin memang tetap terlaksana, sudah terlanjur, pikir mereka. Lagipula kedua pihak keluarga tidak mungkin membiarkan tamu undangan menunggu. Meskipun Levin harus mengulang beberapa kali karena nama Renata yang terus ia sebut, padahal di kertas sudah tertulis nama Ivana.Setelah semua rangkaian acara selesai, kedua pihak keluarga berkumpul di kediaman keluarga Adhitama untuk meminta penjelasan. Mereka sudah menyewa orang untuk membereskan sisa acara. Beruntung oma Levin tidak ikut pertemuan karena masalah kesehatan, bisa tambah runyam jika wanita tua itu ikut.Ivana duduk di sebelah sang mama dengan perasaan campur aduk. Ia merasa bersalah karena mengikuti rencana papanya untuk menggantik
Jimmy menatap istrinya dengan tatapan tak percaya disertai bingung. Bagaimana mungkin mereka mendapatkan Renata sebagai menantu jika saat ini sudah ada Ivana—menantu sah mereka.“Mami gila!” tegur Jimmy.Tania mendecak kesal, tidak terima dengan perkataan sang suami. “Aku tidak gila, Pi. Bukankah Papi juga tahu apa rencana kita?”“Rencanamu lebih tepatnya,” ralat Jimmy. Lelaki paruh baya itu sudah mulai jengah dengan istrinya.“Terserah.Tapi Papi dan Levin sudah setuju, kan, dengan rencana ini. Semua juga demi perusahaan keluarga Papi, bukan untuk mami saja,” cecar Tania dengan kesal.Semua rencana yang telah tersusun memang atas ide Tania. Awalnya Jinmy menolak akan ide gila istrinya, namun melihat putra semata wayangnya juga setuju, ia pun setuju. Memang benar, semua demi mengembalikan kejayaan JN Corp.Pelaku korupsi memang telah ditemukan dan mendapat hukuman s
adi apa rencana Mami? Cepat katakan, sebelum Ivana curiga,” desak Levin.Saat ini mereka berada di ruang kerja Jimmy sesuai dengan keinginan Tania sebelumnya. Jimmy duduk di sofa ruang itu dengan Tania di sampingnya, sedangkan Levin berada di depan orang tuanya di sofa single.“Pertama kita harus ikut keluarga Adhitama mencari Renata, kalau perlu kita harus menemukan gadis itu terlebih dahulu, lalu meyakinkannya untuk menjadi istri Levin,” papar Tania pada kedua lelaki itu.“Lalu bagaimana dengan Ivana?” tanya Jimmy, sejujurnya lelaki paruh baya itu mulai menerima Ivana sebagai menantu.“Ivana akan menjadi urusan Mami. Sebelum Renata ditemukan, Mami akan membuat gadis itu mendapat banyak tekanan selama tinggal di sini. Oh, iya! Mami juga akan meminta bantuan Raka untuk mencari tahu apa saja tentang Ivana, terutama kekayaan atas namanya sendiri.” Tania tersenyum puas, otak liciknya sangat mudah memutar
Ivana melangkah dengan lesu ke perpustakaan fakultas Sastra. Ia begitu lelah, mertuanya tidak mengizinkannya berangkat kuliah menggunakan mobil sendiri. Bahkan untuk naik taksi pun tidak diizinkan, dengan alasan supaya Ivana belajar hidup sederhana. Terpaksa ia harus naik angkot untuk ke kampus. “Capeknya,” lirih Ivana. Gadis itu menelungkupkan kepala di atas salah satu meja perpustakaan. Matanya melirik jam di pergelangan tangan, ternyata sudah lewat sepuluh menit dari waktu yang dijanjikan. Gadis itu mendesah lega, konsultasi skripsinya dengan dosen pembimbing nyaris gagal jika saja ia terlambat lebih dari 15 menit. Beruntung sang dosen masih memberi keringanan karena kebetulan beliau masih ada kelas sampai sepuluh menit ke depan. Sehingga jadwal konsultasi diundur sampai setengah jam ke depan. Sambil menunggu waktu konsultasi, Ivana memanfaatkan untuk tidur sejenak. Ia menyembunyikan wajahnya di lipatan lengan di atas meja.
"Ivana!” “Sepupu kak Levin!” Ivana dan pemuda itu saling menunjuk satu sama lain. Sedangkan Marisa menatap penuh tanya pada keduanya. “Kalian saling kenal?” tanyanya setelah terdiam beberapa saat. Ivana mengangguk kaku. Ia masih menatap tak percaya ke arah Raka. Bagaimana sepupu Levin itu bisa mengenal Marisa? Pikirnya. Sementara Raka pun melakukan hal yang sama, tapi ia lebih bisa mengontrol ekspresi yang awalnya terlihat terkejut menjadi biasa saja.“Kamu kenal sepupu kak Levin, Cha?” tanya Ivana setelah tersadar dari rasa terkejut.“Dia pacarku, Van.” Marisa berujar dengan rona samar di pipi. Raka yang melihat itu menggigit bibir bawah menahan pekikan karena terlalu gemas dengan pacarnya.Marisa dan Raka memang telah lama berkencan. Hubungan mereka sudah berjalan selama tiga tahun, sejak Marisa SMA. Awal mula mereka saling mengenal karena Raka tak sengaja menyenggol Marisa saat jogging di taman. Menyebabkan ponsel gadis itu