"Jelaskan! Bagaimana bisa putri bungsu anda menggantikan kakaknya, Tuan Adhitama?”
Yuda menatap Jimmy yang berdiri di depannya. “Maaf, Tuan. Silakan duduk terlebih dahulu, kita bicarakan masalah ini dengan kepala dingin."
Pernikahan Ivana dan Levin memang tetap terlaksana, sudah terlanjur, pikir mereka. Lagipula kedua pihak keluarga tidak mungkin membiarkan tamu undangan menunggu. Meskipun Levin harus mengulang beberapa kali karena nama Renata yang terus ia sebut, padahal di kertas sudah tertulis nama Ivana.
Setelah semua rangkaian acara selesai, kedua pihak keluarga berkumpul di kediaman keluarga Adhitama untuk meminta penjelasan. Mereka sudah menyewa orang untuk membereskan sisa acara. Beruntung oma Levin tidak ikut pertemuan karena masalah kesehatan, bisa tambah runyam jika wanita tua itu ikut.
Ivana duduk di sebelah sang mama dengan perasaan campur aduk. Ia merasa bersalah karena mengikuti rencana papanya untuk menggantikan Renata. Kepalanya menunduk, tidak berani menatap Levin yang duduk di depannya dengan angkuh.
“Ckk, kalian sudah menodai kepercayaan keluarga kami,” cibir Tania dengan melipat tangan di depan dada. Wanita paruh baya berpenampilan modis itu menatap remeh Yuda dan Windy yang duduk di depannya.
“Kami tidak bermaksud begitu, Mbak.” Windy mencoba memberi pengertian pada Tania.
“Lalu apa?” tanya Tania dengan nada yang terdengar kesal.
Yuda menghela napas pelan, mau tidak mau ia memang harus menjelaskan keadaan sebenarnya pada mereka. Ia menatap Windy yang duduk di sampingnya, melihat pasangan hidupnya mengangguk meyakinkan Yuda.
“Renata pergi.”
Jimmy membelalakkan mata. “Apa? Pergi?”
“Tepat seminggu sebelum pernikahan, Renata pergi tanpa meninggalkan pesan. Bahkan kami tidak tahu ke mana dia pergi, ka–kami—” Windy terisak pelan di bahu suaminya, tidak sanggup melanjutkan perkataannya. Wanita paruh baya bersanggul itu pun merasakan rindu pada putri sulungnya.
Baik Tania, Jimmy ataupun Levin tidak tahu harus berkata apa lagi. Semua sudah terlanjur. Setidaknya salah satu putri keluarga Adhitama tetap menjadi bagian dari keluarga mereka. Meskipun mereka tidak tahu apa yang bisa didapatkan dari gadis cantik itu.
“Mau bagaimanapun sudah terlanjur juga. Kita tidak bisa menolak apalagi memutar waktu kembali,” sahut Jimmy setelah beberapa saat terdiam. Mungkin di antara mereka bertiga hanya Jimmy yang mau menerima keadaan.
“Ivana harus tinggal dengan kami,” celetuk Tania. Lebih terdengar seperti perintah daripada pernyataan.
Ivana mendongak, ia belum siap berpisah dengan orang tuanya. Gadis itu pun tidak terlalu mengenal Levin yang kini menjadi suaminya. Ditambah pemuda berahang tegas itu terus menatapnya dengan tatapan dingin. Tapi, ibu mertuanya terlihat seperti orang yang tidak menerima penolakan.
Ivana mengakui bahwa Levin begitu tampan bak Dewa Yunani, rahang tegas, hidung mancung bak perosotan, mata sipit yang menawan, serta bibir berisi yang terlihat sexy. Tapi aura yang ditampakkan pemuda itu begitu kuat dan mendominasi. Sedikitnya Ivana takut Levin marah dan membencinya karena menggantikan Renata.
“Ta–tapi, Tante...” lirih Ivana.
‘Ckk, sok lugu sekali, sialan! Gagal sudah gara-gara gadis lugu ini,” cibir Tania dalam hati.
“Begitukah caramu memanggil ibu mertuamu?” Suara Levin menyentakkan Ivana. Ia tidak menyangka Levin akan mengatakan hal tersebut.
“Ha? Ma–maaf, aku hanya tidak tahu harus memanggil apa,” sahut Ivana gelagapan. Ia sungguh tidak nyaman dengan tatapan nyalang yang dilayangkan Levin padanya. Pun Ivana mendengar pemuda berahang tegas itu mendecak beberapa kali.
“Sayang, kamu harus memanggil mertuamu dengan sebutan Mami dan Papi.” Suara lembut Windy sangat menenangkan bagi Ivana.
Windy tersenyum teduh. Sebenarnya ia juga berat berpisah dengan putri bungsunya, tapi sekarang Ivana sudah menjadi hak suaminya—Levin. Ia mengelus pelan lengan Ivana untuk meyakinkan putrinya.
“Jadi, bagaimana? Kamu mau, kan?” tanya Tania terdengar tidak sabar.
Yuda mengangguk setuju, begitu pula dengan Windy. Mereka yakin keluarga Narendra akan menjaga Ivana dengan baik.
Ivana menautkan kedua tangannya di bawah meja. Ia gugup, bahkan ingin mengatakan sesuatu rasanya begitu mengganjal di tenggorokan. Tidak ada pilihan lain, ia memang harus mengatakan keinginannya setelah menikah.
“Ta–tapi, Ivana masih kuliah. Apa nanti Kak Levin masih membolehkan Ivana kuliah?” tanya Ivana hati-hati, “Ah! Kakak tidak perlu khawatir aku tidak akan lalai dan menjalankan kewajiban menjadi seorang istri. Lagipula sebentar lagi Ivana lulus kuliah,” lanjutnya cepat.
‘Bodoh! Aku sama sekali tidak peduli padamu,” batin Levin.
“Iya, terserah kamu,” jawab Levin dengan ketus.
Yuda menatap tak suka pada Levin. Sikap pemuda itu pada putrinya terlihat kurang baik. Ia ingin menegur Levin, tapi di sisi lain Yuda sadar, bisa jadi pemuda itu menjadi begitu karena mengira akan menikah dengan Renata.
Setelah menemukan kesepakatan, Ivana bersiap mengemas pakaian dan barang yang ingin ia bawa ke rumah Levin. Jimmy dan Tania telah pergi lebih dulu, tersisa Levin yang menunggu Ivana mengemas barang. Pemuda itu duduk di kasur Ivana, terlihat santai memainkan ponsel tanpa peduli atensi Ivana.
“Kak Levin, apa Kakak marah padaku?” tanya Ivana setelah selesai berkemas, namun Levin masih cuek memainkan ponsel.
“Kak...” panggilnya lagi.
Levin mendengus, memasukkan ponsel ke saku dengan kasar. Matanya menatap nyalang Ivana yang berdiri di depan lemari dengan koper dan beberapa kardus. Ia berdiri menghampiri Ivana dengan sedikit kasar meraih koper Ivana.
“Cerewet sekali. Sudahlah, kalau sudah selesai ayo!” ajak Levin sambil menggeret koper Ivana dengan kasar.
‘Aku semakin yakin kak Levin tidak terima. Rasa bersalahku jadi semakin bertambah jika begini,’ batin Ivana.
***
Sementara itu, Tania pulang membawa perasaan geram dan jengkel. Ia tidak menyangka semua terasa gagal hanya dalam hitungan menit. Rencana yang sudah ia susun selama bertahun-tahun nyaris gagal. Meskipun tidak sepenuhnya gagal, tapi Tania tidak pernah memperkirakan kemungkinan lain. Sekarang Tania harus memutar kembali otaknya untuk menyusun plan B.
“Sialan! Gagal sudah punya menantu kaya!” geram Tania dengan suara keras. Wanita paruh baya itu mendudukkan pantatnya di sofa depan TV sambil melempar tas ke atas meja.
Jimmy hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan istrinya. Ia segera berlalu menuju lemari es, mengambilkan air dingin untuk sang istri yang kepalanya mendidih. Istrinya yang seperti itu sangat sulit dikendalikan.
“Sudahlah, Mi. Minum dulu, kenapa marah terus, sih. Lagipula mereka sama-sama putrinya Yuda. Itu artinya Ivana juga kaya,” tukas Jimmy sambil menyerahkan gelas berisi air dingin pada istrinya. Setelahnya, ia turut duduk di samping Tania yang wajahnya masih mengeras.
“Bagaimana tidak marah, Pi. Semua gagal gara-gara gadis itu pergi! Dan perlu Papi tahu, belum tentu Ivana-Ivana itu punya kekayaan sendiri seperti Renata!” sentak Tania setelah meneguk air di gelas sampai tandas. Ia meletakkan gelas di meja dengan kasar.
“Terus sekarang Mami mau bagaimana?”
Tania masih diam, terbersit bayangan selama bertahun-tahun ia mengamati keluarga Adhitama tanpa sepengetahuan suami dan anaknya. Semua ia lakukan untuk mengetahui celah dari keluarga itu.
Dari awal Tania sudah mengincar Renata yang punya kemampuan di bidang bisnis, bahkan sampai mempunyai saham sendiri di Adhitama Group. Di samping itu, gadis itu juga sukses menjadi desainer terkenal hingga luar negeri.
Selama penyelidikan, Tania tidak pernah tahu jika Renata mempunyai adik kandung. Karena setiap ada pertemuan perusahaan hanya Renata yang mendampingi Yuda dan Windy. Fakta baru itu begitu mengejutkan, apalagi saat ini gadis itu menjadi menantu Tania.
Sialnya, Ivana hanya anak kuliahan yang terlihat tidak tertarik pada dunia bisnis. Tania tidak bisa membiarkan rencananya bertahun-tahun berakhir sia-sia.
“Aku harus menyelidiki Ivana, siapa tahu gadis itu punya kekayaan sendiri atas namanya,” gumam Tania.
“Hah! Mami ngomong apa?” tanya Jimmy, ia mendengar istrinya bergumam tapi tidak bisa menangkap apa yang Tania bicarakan.
“Papi tahu rencana mami, kan? Kita harus bisa mewujudkan rencana itu bagaimanapun caranya,” ujar Tania menggebu-gebu.
Jimmy mengangguk paham, sebenarnya lelaki paruh baya itu masih ragu dengan rencana mereka. Tapi, ia terpaksa harus mewujudkan itu demi menyelamatkan perusahaan keluarga. Apalagi perusahaan itu nyaris gagal di bawah kepemimpinannya, dan sekarang putra tunggal mereka yang harus menanggung.
“Lalu, apa rencana Mami selanjutnya?”
Tania menyeringai. “Kita harus menemukan Renata dan mendapatkannya.”
Jimmy menatap istrinya dengan tatapan tak percaya disertai bingung. Bagaimana mungkin mereka mendapatkan Renata sebagai menantu jika saat ini sudah ada Ivana—menantu sah mereka.“Mami gila!” tegur Jimmy.Tania mendecak kesal, tidak terima dengan perkataan sang suami. “Aku tidak gila, Pi. Bukankah Papi juga tahu apa rencana kita?”“Rencanamu lebih tepatnya,” ralat Jimmy. Lelaki paruh baya itu sudah mulai jengah dengan istrinya.“Terserah.Tapi Papi dan Levin sudah setuju, kan, dengan rencana ini. Semua juga demi perusahaan keluarga Papi, bukan untuk mami saja,” cecar Tania dengan kesal.Semua rencana yang telah tersusun memang atas ide Tania. Awalnya Jinmy menolak akan ide gila istrinya, namun melihat putra semata wayangnya juga setuju, ia pun setuju. Memang benar, semua demi mengembalikan kejayaan JN Corp.Pelaku korupsi memang telah ditemukan dan mendapat hukuman s
adi apa rencana Mami? Cepat katakan, sebelum Ivana curiga,” desak Levin.Saat ini mereka berada di ruang kerja Jimmy sesuai dengan keinginan Tania sebelumnya. Jimmy duduk di sofa ruang itu dengan Tania di sampingnya, sedangkan Levin berada di depan orang tuanya di sofa single.“Pertama kita harus ikut keluarga Adhitama mencari Renata, kalau perlu kita harus menemukan gadis itu terlebih dahulu, lalu meyakinkannya untuk menjadi istri Levin,” papar Tania pada kedua lelaki itu.“Lalu bagaimana dengan Ivana?” tanya Jimmy, sejujurnya lelaki paruh baya itu mulai menerima Ivana sebagai menantu.“Ivana akan menjadi urusan Mami. Sebelum Renata ditemukan, Mami akan membuat gadis itu mendapat banyak tekanan selama tinggal di sini. Oh, iya! Mami juga akan meminta bantuan Raka untuk mencari tahu apa saja tentang Ivana, terutama kekayaan atas namanya sendiri.” Tania tersenyum puas, otak liciknya sangat mudah memutar
Ivana melangkah dengan lesu ke perpustakaan fakultas Sastra. Ia begitu lelah, mertuanya tidak mengizinkannya berangkat kuliah menggunakan mobil sendiri. Bahkan untuk naik taksi pun tidak diizinkan, dengan alasan supaya Ivana belajar hidup sederhana. Terpaksa ia harus naik angkot untuk ke kampus. “Capeknya,” lirih Ivana. Gadis itu menelungkupkan kepala di atas salah satu meja perpustakaan. Matanya melirik jam di pergelangan tangan, ternyata sudah lewat sepuluh menit dari waktu yang dijanjikan. Gadis itu mendesah lega, konsultasi skripsinya dengan dosen pembimbing nyaris gagal jika saja ia terlambat lebih dari 15 menit. Beruntung sang dosen masih memberi keringanan karena kebetulan beliau masih ada kelas sampai sepuluh menit ke depan. Sehingga jadwal konsultasi diundur sampai setengah jam ke depan. Sambil menunggu waktu konsultasi, Ivana memanfaatkan untuk tidur sejenak. Ia menyembunyikan wajahnya di lipatan lengan di atas meja.
"Ivana!” “Sepupu kak Levin!” Ivana dan pemuda itu saling menunjuk satu sama lain. Sedangkan Marisa menatap penuh tanya pada keduanya. “Kalian saling kenal?” tanyanya setelah terdiam beberapa saat. Ivana mengangguk kaku. Ia masih menatap tak percaya ke arah Raka. Bagaimana sepupu Levin itu bisa mengenal Marisa? Pikirnya. Sementara Raka pun melakukan hal yang sama, tapi ia lebih bisa mengontrol ekspresi yang awalnya terlihat terkejut menjadi biasa saja.“Kamu kenal sepupu kak Levin, Cha?” tanya Ivana setelah tersadar dari rasa terkejut.“Dia pacarku, Van.” Marisa berujar dengan rona samar di pipi. Raka yang melihat itu menggigit bibir bawah menahan pekikan karena terlalu gemas dengan pacarnya.Marisa dan Raka memang telah lama berkencan. Hubungan mereka sudah berjalan selama tiga tahun, sejak Marisa SMA. Awal mula mereka saling mengenal karena Raka tak sengaja menyenggol Marisa saat jogging di taman. Menyebabkan ponsel gadis itu
“Aku tidak mau menikah!”“Tapi kamu harus mau, Ivana. Papa tidak bisa membiarkan keluarga kita malu di depan tuan dan nyonya Narendra!” tegas Yuda pada putrinya.“Tapi ... kenapa harus aku?” tanya Ivana dengan suara lirih. Mata gadis itu terlihat sayu.Yuda menghela napas lelah. Sebenarnya, ia pun enggan untuk mengorbankan sang buah hati. Di sisi lain, janji tetaplah janji, ia tidak bisa mengingkari begitu saja.“Memang siapa lagi kalau bukan kamu?”Ivana terdiam, apa yang dikatakan Yuda memang benar. Tidak ada orang lain yang bisa menggantikan posisi tersebut. Seharusnya sang kakak—Renata—yang harus menikah. Namun, gadis itu melarikan diri sejak dua hari yang lalu. Sedangkan rencana pernikahan itu ada atas usulan keluarga Narendra dengan dalih memperkuat koneksi bisnis.Keluarga Adhitama tentu tidak menolak niat baik tersebut. Terlebih, putri sulungnya&mdash
Yuda menatap lekat putri bungsunya dengan tatapan mengintimidasi. Sungguh tidak sabar menanti untaian kata yang akan terlontar dari bibir Ivana.“Sampai kapan kamu diam?” tanya Yuda.Ivana mengangkat kepala, menatap papanya dengan mata berkaca-kaca. “Baiklah."Lelaki paruh baya itu mengangkat sebelah alis. Tangannya bersedekap dada tidak bermaksud menyahut perkataan Ivana. Menatap lekat wajah cantik putrinya yang menampakkan kepasrahan.“A–Aku mau menikah, Pa,” ujar Ivana. Pada akhirnya kalimat itu lolos dari bibir tipisnya.Tidak ada pilihan lain, semua Ivana lakukan demi keluarga. Sekeras apapun ia menolak, pernikahan itu tetap terjadi. Ia menautkan kedua tangan di bawah meja untuk mengurangi rasa gugup. Bukan gugup akan tatapan tajam papanya, tapi ia gugup karena belum yakin 100℅ dengan keputusan yang diambil.“Bagus. Itu baru anak papa. Kamu sudah mengambil keputusan yang
Ivana sudah berkutat di dapur saat jam menunjukkan angka 6 pagi. Ia ingin mengalihkan pikirannya dengan memasak.Langkah kaki terdengar mendekat ke arah Ivana. Tanpa menoleh, Ivana yakin itu mamanya. Karena maid yang bertugas memasak memang diliburkan saat akhir pekan. Sebaliknya, tugas itu diambil alih Ivana atau mamanya.“Apa yang kamu lakukan, Van?”Ivana mematikan kompor setelah menyelesaikan masakan lalu menoleh. Windy berdiri tepat di belakangnya. Wanita paruh baya itu terlihat sudah segar, berbeda dengan Ivana yang masih ... Err ... belum mandi.“Aku memasak nasi goreng dan omelet telur kesukaan kak Renata,” jawab Ivana.Windy tersenyum teduh. Ia yakin putri bungsunya pasti merindukan sang kakak. Karena ia merasakan hal sama. “Kamu kangen kakak?”“Iya, Ma. Apa kak Renata tidak akan pulang?” tanya Ivana dengan tatapan sendu.Masih dengan senyum m
“Hampir ketahuan.”“Kamu yang terlalu parno.”Yuda mengabaikan ucapan Windy, bergegas mengambil air di kulkas dan meneguknya dengan tergesa. Ia butuh sesuatu untuk membasahi tenggorokannya yang mengering. Meskipun terlihat biasa saja, namun Yuda tidak kalah tegang dengan Windy saat keluarga Narendra menanyakan Renata.Windy menyusul suaminya ke dapur. Terlihat Yuda sedang duduk di meja makan dengan menelungkupkan kepala di atas meja. Bahunya baik turun dengan nafas tersengal-sengal.“Sudahlah, Pa. Tenangkan pikiranmu, lagipula—” Windy menghentikan ucapannya saat sebuah seruan terlebih dahulu terdengar.“Ivana pulang!”Ivana mengernyit heran melihat rumah yang tampak sepi. Padahal, ia melihat mobil papanya ada di garasi. Bukankah berarti mereka sudah pulang? Pikirnya. Ia melangkah gontai menuju kamar, namun langkahnya terhenti ketika melihat kedua orang tuanya duduk di me