Jimmy menatap istrinya dengan tatapan tak percaya disertai bingung. Bagaimana mungkin mereka mendapatkan Renata sebagai menantu jika saat ini sudah ada Ivana—menantu sah mereka.
“Mami gila!” tegur Jimmy.
Tania mendecak kesal, tidak terima dengan perkataan sang suami. “Aku tidak gila, Pi. Bukankah Papi juga tahu apa rencana kita?”
“Rencanamu lebih tepatnya,” ralat Jimmy. Lelaki paruh baya itu sudah mulai jengah dengan istrinya.
“Terserah.Tapi Papi dan Levin sudah setuju, kan, dengan rencana ini. Semua juga demi perusahaan keluarga Papi, bukan untuk mami saja,” cecar Tania dengan kesal.
Semua rencana yang telah tersusun memang atas ide Tania. Awalnya Jinmy menolak akan ide gila istrinya, namun melihat putra semata wayangnya juga setuju, ia pun setuju. Memang benar, semua demi mengembalikan kejayaan JN Corp.
Pelaku korupsi memang telah ditemukan dan mendapat hukuman setimpal. Akan tetapi, kerugian perusahaan akibat penggelapan uang itu berimbas ke mana-mana, bahkan Levin sudah mengajukan proposal ke beberapa investor. Hanya saja belum ada yang setuju. Para investor masih ragu dengan JN Corp. yang dalam keadaan di ujung tanduk.
Satu-satunya perusahaan yang mau menawarkan bantuan adalah Adhitama Group, perusahaan Yuda—papa Ivana. Tentu Tania tidak menyia-nyiakan hal tersebut, pun ia sudah memantau keluarga itu selama bertahun-tahun. Sehingga munculah ide untuk menjodohkan putra tunggalnya dengan putri sulung Adhitama.
“Oke, terus apa yang akan Mami lakukan?” tanya Jimmy lagi.
“Sementara kita harus—tunggu, itu suara mobil Levin. Kita lanjutkan pembicaraan ini nanti. Jangan sampai gadis lugu itu tahu rencana kita,” ujar Tania.
Jimmy hanya mengangguk. Tubuhnya lelah, belum beristirahat barang sebentar, setelah acara pernikahan yang selesai sore, mereka langsung ke rumah Yuda, dan sekarang menjelang malam masih mendengar ocehan Tania.
Sementara Levin masih memarkirkan mobil di garasi. Tidak ada percakapan di antaranya dan Ivana. Mereka sama-sama hanyut dengan pikiran masing-masing.
Ivana segera menurunkan barang-barangnya dari bagasi mobil, sementara Levin langsung melenggang pergi setelah membukakan pintu bagasi. Ivana memijat pangkal hidung lelah melihat kelakuan Levin yang masih tampak dingin serta enggan berinteraksi dengannya.
“Kak Levin tidak mau membantuku membawa barang!” ujar Ivana sedikit keras karena Levin berjalan di depannya dengan jarak 20 meter.
“Manja sekali, apa susahnya bawa sendiri,” jawab Levin dengan jengkel. Pemuda itu membalikkan badan menghadap Ivana, menatap remeh gadis itu.
Ivana tersenyum manis, ia tidak marah ataupun tersinggung dengan ucapan Levin. Ia sadar, orang seperti Levin harus dibaik-baiki supaya luluh.
“Aku bukannya manja, Kak. Tapi ... tangan Ivana, kan, cuma dua. Bagaimana membawa semuanya bersamaan?” tanya Ivana dengan wajah yang dibuat seakan-akan tengah kebingungan.
“Angkat satu-satu, bolak-balik.” Levin menjawab dengan ketus. Ia mengakui gadis di depannya terlihat begitu manis dan menggemaskan di waktu bersamaan. Tapi tetap saja ia tidak akan melibatkan perasaan pada pernikahannya.
“Kak Levin bagaimana, sih. Kalau bolak-balik capek, dong. Ini sudah malam, aku juga ingin segera istirahat,” dumel Ivana mulai jengkel dengan Levin.
“Kalau tidak mau capek sekarang, angkat saja besok pagi. Jangan mempersulit dirimu,” cecar Levin tidak mau kalah.
“Tapi, kan—”
“Teruskan perdebatan kalian di dalam!” sela Tania dengan tegas, “Apa tidak malu, suara kalian terdengar sampai dalam. Bagaimana jika ada tetangga yang mendengar, hah!” lanjutnya.
“Mami berlebihan.”
Ivana masih mematung dengan tangan kiri memegang gagang koper serta tangan kanan yang membawa kardus. Melihat wajah ibu mertuanya yang tampak murka membuat nyalinya menciut. Tapi ia hanya ingin mengakrabkan diri dengan Levin, suaminya.
“Ivana, ayo masuk! Biar Papi bantu kalau Levin tidak mau,” tawar Jimmy mengagetkan Ivana dari lamunannya.
“Ah, ti–tidak perlu, Pi. Nanti biar Ivana bawa sendiri,” sahut Ivana dengan senyum canggung.
Tania mendengus tidak suka. Sejak awal ia tidak menyukai gadis yang terlihat lugu ini menjadi menantunya. ‘Aku akan membuatmu seperti hidup di neraka sampai kakakmu itu ditemukan,’ ujar Tania dalam hati.
Jimmy hendak melangkah menuju tempat Ivana berdiri, namun Tania lebih dulu menarik tangannya untuk segera masuk ke rumah. Membiarkan kedua pengantin baru itu menyelesaikan urusan mereka.
“Kak Levin....” lirih Ivana. Matanya mengerjap pelan menampilkan wajah polos menggemaskan. Ia bermaksud merayu Levin untuk membantunya membawa barang.
“Dasar gadis menyebalkan!” sentak Levin. Ia melangkah lebar menuju Ivana, merebut koper dari tangan gadis itu dengan kasar dan segera berlalu masuk rumah.
“Kak Levin lebih menyebalkan!” sengit Ivana tak ingin kalah. Ia mengekori langkah lebar Levin dengan bibir mendumal.
“Aish! Lama-lama aku bisa gila punya istri seperti dia,” gumam Levin, namun masih bisa didengar oleh Ivana.
Ivana tersenyum puas mendengar gumaman Levin. Setidaknya pemuda tampan itu masih merespon apa yang Ivana katakan dan perbuat. Meskipun dengan sikap kasar seperti itu.
Ketika memasuki rumah, mereka melihat Jimmy dan Tania sedang duduk di sofa ruang keluarga dengan TV menyala. Ivana membungkuk sopan pada kedua mertuanya sebelum mengikuti Levin menuju kamar ‘mereka'. Namun, baru mencapai anak tangga pertama, suara Tania mengejutkan Levin dan Ivana.
“Levin, setelah mengantar istrimu ke kamar, datanglah ke ruang kerja papimu, kita perlu bicara,” ujar Tania mutlak. Wanita paruh baya itu menekankan kata istri saat mengucapkan kalimat tersebut.
Levin menganggukkan kepala tanda setuju, sementara Ivana mengerutkan dahi dengan tatapan bertanya. Ia penasaran apa yang akan mertua dan suaminya bicarakan, apa hal tersebut ada sangkut pautnya dengan dirinya, pikir Ivana.
“Mami mau membicarakan apa lagi, sih. Kita semua sama-sama capek, kenapa tidak menunggu besok pagi saja?” tanya Jimmy yang terlihat kesal pada istrinya.
“Ini penting, Papi cukup diam kalau tidak mau bicara,” sahut Tania tak kalah ketus.
****
Levin menaruh koper Ivana di depan lemari dengan kasar sebelum berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Berbeda dengan Levin, Ivana justru duduk di pinggir kasur dengan santai, ia masih enggan menata barang-barangnya sebelum sang pemilik kamar memberi hak. Lagipula Ivan tidak tahu tempat mana yang diperbolehkan Levin untuk menaruh barang Ivana.
“Ah! Capeknya,” desah Ivana sambil merebahkan separuh tubuh di kasur dengan kaki menjuntai. Beruntung ia sudah mandi dan membersihkan diri saat di rumah orang tuanya.
Ivana meraih ponsel di saku, menatap lekat deretan pesan yang ia kirim pada kakaknya. Tidak ada satupun yang dibalas oleh Renata, entah apa yang ada di pikiran gadis itu, setelah memberi harapan pada Ivana justru menghilang tanpa kabar.
Ivana yakin, Renata tengah menyembunyikan sesuatu. Kakaknya tidak mungkin pergi begitu saja dari tanggung jawab tanpa ada hal yang mendasari. Yang Ivana tahu, kakaknya adalah orang yang selalu ada di garda depan untuk melindunginya. Tidak pernah membiarkan orang membuat Ivana menangis. Jadi kepergian Renata tiba-tiba merupakan suatu hal ganjil yang perlu dipertanyakan.
Masih teringat jelas di memori Ivana, Renata selalu membelanya saat orang tua mereka memaksa sesuatu di luar kehendak Ivana. Apalagi setiap ada pertemuan atau pesta perusahaan, Ivana tidak akan pernah mau ikut meskipun dipaksa, ia berani menolak karena Renata membelanya. Sebagai ganti, Renata yang akan diperkenalkan sebagai putri Adhitama. Bukannya Ivana tidak ingin diakui sebagai putri Adhitama, hanya saja orang lain memandang hanya karena status sosial, bukan karena siapa dia.
“Ck! Pemalas! Kenapa belum membereskan barang-barangmu!” sentak Levin mengagetkan Ivana. Pemuda itu berdiri di depan pintu kamar mandi dengan pakaian santai serta handuk menyampir di pundak.
“Memangnya aku boleh menaruh barangku di sembarang tempat? Emm, maksudku di meja atau lemari mana saja,” cicit Ivana.
“Terserah. Asalkan jangan membuka laci terbawah dari nakas samping tempat tidur,” ujar Levin. Ia menaruh handuk di jemuran yang ada di balkon kamar.
Ivana mengangguk patuh, ia bergegas menata barang-barangnya supaya lekas istirahat. Untungnya Ivana tidak membawa terlalu banyak barang, hanya pakaian, make up, peralatan mandi, serta apa saja yang ia perlukan untuk kuliah. Untuk tas dan sepatu, ia tidak terlalu membawa banyak. Lagipula Ivana bukan tipe orang yang suka mengoleksi tas dan sepatu.
“Jangan keluar dari kamar! Setelah membereskan barangmu segera istirahat!” perintah Levin.
“Siap! Terima kasih sudah perhatian, Kak,” ujar Ivana dengan senyum lebar dan mata berbinar.
‘Cih! Terlalu percaya diri, aku hanya tidak ingin kamu mendengar pembicaraanku dengan orang tuaku, bodoh!” cibir Levin dalam hati.
adi apa rencana Mami? Cepat katakan, sebelum Ivana curiga,” desak Levin.Saat ini mereka berada di ruang kerja Jimmy sesuai dengan keinginan Tania sebelumnya. Jimmy duduk di sofa ruang itu dengan Tania di sampingnya, sedangkan Levin berada di depan orang tuanya di sofa single.“Pertama kita harus ikut keluarga Adhitama mencari Renata, kalau perlu kita harus menemukan gadis itu terlebih dahulu, lalu meyakinkannya untuk menjadi istri Levin,” papar Tania pada kedua lelaki itu.“Lalu bagaimana dengan Ivana?” tanya Jimmy, sejujurnya lelaki paruh baya itu mulai menerima Ivana sebagai menantu.“Ivana akan menjadi urusan Mami. Sebelum Renata ditemukan, Mami akan membuat gadis itu mendapat banyak tekanan selama tinggal di sini. Oh, iya! Mami juga akan meminta bantuan Raka untuk mencari tahu apa saja tentang Ivana, terutama kekayaan atas namanya sendiri.” Tania tersenyum puas, otak liciknya sangat mudah memutar
Ivana melangkah dengan lesu ke perpustakaan fakultas Sastra. Ia begitu lelah, mertuanya tidak mengizinkannya berangkat kuliah menggunakan mobil sendiri. Bahkan untuk naik taksi pun tidak diizinkan, dengan alasan supaya Ivana belajar hidup sederhana. Terpaksa ia harus naik angkot untuk ke kampus. “Capeknya,” lirih Ivana. Gadis itu menelungkupkan kepala di atas salah satu meja perpustakaan. Matanya melirik jam di pergelangan tangan, ternyata sudah lewat sepuluh menit dari waktu yang dijanjikan. Gadis itu mendesah lega, konsultasi skripsinya dengan dosen pembimbing nyaris gagal jika saja ia terlambat lebih dari 15 menit. Beruntung sang dosen masih memberi keringanan karena kebetulan beliau masih ada kelas sampai sepuluh menit ke depan. Sehingga jadwal konsultasi diundur sampai setengah jam ke depan. Sambil menunggu waktu konsultasi, Ivana memanfaatkan untuk tidur sejenak. Ia menyembunyikan wajahnya di lipatan lengan di atas meja.
"Ivana!” “Sepupu kak Levin!” Ivana dan pemuda itu saling menunjuk satu sama lain. Sedangkan Marisa menatap penuh tanya pada keduanya. “Kalian saling kenal?” tanyanya setelah terdiam beberapa saat. Ivana mengangguk kaku. Ia masih menatap tak percaya ke arah Raka. Bagaimana sepupu Levin itu bisa mengenal Marisa? Pikirnya. Sementara Raka pun melakukan hal yang sama, tapi ia lebih bisa mengontrol ekspresi yang awalnya terlihat terkejut menjadi biasa saja.“Kamu kenal sepupu kak Levin, Cha?” tanya Ivana setelah tersadar dari rasa terkejut.“Dia pacarku, Van.” Marisa berujar dengan rona samar di pipi. Raka yang melihat itu menggigit bibir bawah menahan pekikan karena terlalu gemas dengan pacarnya.Marisa dan Raka memang telah lama berkencan. Hubungan mereka sudah berjalan selama tiga tahun, sejak Marisa SMA. Awal mula mereka saling mengenal karena Raka tak sengaja menyenggol Marisa saat jogging di taman. Menyebabkan ponsel gadis itu
“Aku tidak mau menikah!”“Tapi kamu harus mau, Ivana. Papa tidak bisa membiarkan keluarga kita malu di depan tuan dan nyonya Narendra!” tegas Yuda pada putrinya.“Tapi ... kenapa harus aku?” tanya Ivana dengan suara lirih. Mata gadis itu terlihat sayu.Yuda menghela napas lelah. Sebenarnya, ia pun enggan untuk mengorbankan sang buah hati. Di sisi lain, janji tetaplah janji, ia tidak bisa mengingkari begitu saja.“Memang siapa lagi kalau bukan kamu?”Ivana terdiam, apa yang dikatakan Yuda memang benar. Tidak ada orang lain yang bisa menggantikan posisi tersebut. Seharusnya sang kakak—Renata—yang harus menikah. Namun, gadis itu melarikan diri sejak dua hari yang lalu. Sedangkan rencana pernikahan itu ada atas usulan keluarga Narendra dengan dalih memperkuat koneksi bisnis.Keluarga Adhitama tentu tidak menolak niat baik tersebut. Terlebih, putri sulungnya&mdash
Yuda menatap lekat putri bungsunya dengan tatapan mengintimidasi. Sungguh tidak sabar menanti untaian kata yang akan terlontar dari bibir Ivana.“Sampai kapan kamu diam?” tanya Yuda.Ivana mengangkat kepala, menatap papanya dengan mata berkaca-kaca. “Baiklah."Lelaki paruh baya itu mengangkat sebelah alis. Tangannya bersedekap dada tidak bermaksud menyahut perkataan Ivana. Menatap lekat wajah cantik putrinya yang menampakkan kepasrahan.“A–Aku mau menikah, Pa,” ujar Ivana. Pada akhirnya kalimat itu lolos dari bibir tipisnya.Tidak ada pilihan lain, semua Ivana lakukan demi keluarga. Sekeras apapun ia menolak, pernikahan itu tetap terjadi. Ia menautkan kedua tangan di bawah meja untuk mengurangi rasa gugup. Bukan gugup akan tatapan tajam papanya, tapi ia gugup karena belum yakin 100℅ dengan keputusan yang diambil.“Bagus. Itu baru anak papa. Kamu sudah mengambil keputusan yang
Ivana sudah berkutat di dapur saat jam menunjukkan angka 6 pagi. Ia ingin mengalihkan pikirannya dengan memasak.Langkah kaki terdengar mendekat ke arah Ivana. Tanpa menoleh, Ivana yakin itu mamanya. Karena maid yang bertugas memasak memang diliburkan saat akhir pekan. Sebaliknya, tugas itu diambil alih Ivana atau mamanya.“Apa yang kamu lakukan, Van?”Ivana mematikan kompor setelah menyelesaikan masakan lalu menoleh. Windy berdiri tepat di belakangnya. Wanita paruh baya itu terlihat sudah segar, berbeda dengan Ivana yang masih ... Err ... belum mandi.“Aku memasak nasi goreng dan omelet telur kesukaan kak Renata,” jawab Ivana.Windy tersenyum teduh. Ia yakin putri bungsunya pasti merindukan sang kakak. Karena ia merasakan hal sama. “Kamu kangen kakak?”“Iya, Ma. Apa kak Renata tidak akan pulang?” tanya Ivana dengan tatapan sendu.Masih dengan senyum m
“Hampir ketahuan.”“Kamu yang terlalu parno.”Yuda mengabaikan ucapan Windy, bergegas mengambil air di kulkas dan meneguknya dengan tergesa. Ia butuh sesuatu untuk membasahi tenggorokannya yang mengering. Meskipun terlihat biasa saja, namun Yuda tidak kalah tegang dengan Windy saat keluarga Narendra menanyakan Renata.Windy menyusul suaminya ke dapur. Terlihat Yuda sedang duduk di meja makan dengan menelungkupkan kepala di atas meja. Bahunya baik turun dengan nafas tersengal-sengal.“Sudahlah, Pa. Tenangkan pikiranmu, lagipula—” Windy menghentikan ucapannya saat sebuah seruan terlebih dahulu terdengar.“Ivana pulang!”Ivana mengernyit heran melihat rumah yang tampak sepi. Padahal, ia melihat mobil papanya ada di garasi. Bukankah berarti mereka sudah pulang? Pikirnya. Ia melangkah gontai menuju kamar, namun langkahnya terhenti ketika melihat kedua orang tuanya duduk di me
Hari yang dinanti keluarga Adhitama dan Narendra—kecuali kedua mempelai—akhirnya tiba. Pernikahan dua pewaris itu dilaksanakan besok pagi. Mereka akan melangsungkan prosesi pernikahan di sebuah hotel ternama di Jakarta.“Sayang, kamu sudah siap?” tanya Windy dari ambang pintu kamar Ivana.“Siap tidak siap, Ma,” sahut Ivana sedikit lesu.Windy masuk kamar anaknya ketika melihat Ivana masih terdiam di depan meja rias. Malam ini keluarga Adhitama akan menginap di hotel tempat Ivana menikah. Mereka harus tiba di hotel sebelum keluarga Narendra.Windy berdiri di belakang Ivana. Tangannya mengelus rambut Ivana dengan sayang. “Apapun yang terjadi nanti, ingat, mama selalu ada untuk kamu.”“Kenapa lama sekali, sih!” teriak Yuda dari lantai 1.“Iya, Pa. Ini mau turun!” sahut Windy dengan suara tak kalah keras.Begitu tiba di hotel, mereka langsung menuju