“Astaga, Sayang! Kamu kenapa?” Sarah berteriak histeris setelah melihat kondisi putrinya yang baru saja memasuki pintu rumah.
“Aku baik-baik saja, Bunda.” Nada tersenyum simpul ke arah bundanya.
“Apanya yang baik-baik saja?” Sarah sedikit meninggikan suaranya, bagaimana bisa Nada menyebut bahwa ia baik-baik saja dengan kondisi wajah pucat penuh dengan peluh tak lupa seragam putihnya yang terkena noda darah.
“Hanya mimisan biasa, Bunda. Tak perlu khawatir. Nada ke atas dulu ya.” Nada memilih untuk segera pergi ke kamarnya karena tubuhnya terasa semakin lemas.
Sesampainya di kamar, Nada segera membersihkan dirinya dan berganti baju. Ia berbaring di tempat tidurnya dan mulai memejamkan mata. Ia berharap semua hal berat ini segera berlalu dan ia bisa hidup normal seperti sedia kala.
Nada terbangun pukul tujuh malam dan hampir melewatkan jam makan malamnya. Ia sudah merasa lebih segar dan memutuskan untuk segera membasuh wajahnya. Nada bergegas ke ruang makan untuk makan malam bersama orang tuanya.
“Sayang! Bunda baru mau ke kamar. Apa sekarang sudah lebih baik?” tanya Sarah yang melihat putrinya berjalan menuju ke meja makan.
“Sudah, Bunda,” jawab Nada dengan senyum simpulnya.
Farhan dan Sarah merasa kehilangan diri Nada yang sebenarnya. Senyum merekah milik Nada sudah tidak pernah terlihat, matanya yang selalu berbinar juga mulai meredup.
“Ya sudah, ayo makan!” Farhan menuntun tangan sang putri untuk duduk di sampingnya.
Nada menyantap makan malamnya dengan tenang tanpa ada satu patah kata pun yang terucap dari bibir tipisnya. Padahal, biasanya Nada selalu menceritakan seluruh kegiatan yang ia lalui kepada kedua orang tuanya.
Nada langsung pergi ke kamarnya setelah makan malam usai. Ia tak lagi berbincang dengan orang tuanya seperti kebiasaannya dulu. Seluruh keceriannya sudah direnggut oleh ucapan dan perbuatan menyakitkan yang ia terima sebagai hukuman dari perilakunya.
Nada berdiri di balkon kamarnya sambil memandang indahnya gemerlap bintang yang ada di langit. “Memang benar, kau hanya akan terlihat saat bersinar terang. Saat cahayamu mulai redup satu persatu orang yang mengenalmu juga akan pergi,” ucap Nada sembari menunjuk satu bintang yang paling terang di langit malam tersebut.
***
Seluruh rangkaian jeda semester sudah terlewati, siswa-siswi Elcordova sudah bisa memulai liburannya hari ini. Nada tetap keluar menjadi juara pertama dan Rigel tetap berada di posisi kedua.
“Ayah bangga sama kamu, Sayang! Anak ayah benar-benar hebat.” Farhan mengusap kepala anaknya dengan bangga.
“Bunda juga bangga sama kamu, Sayang!” Sarah mengecup kening putrinya dengan penuh rasa sayang.
Nada hanya mampu tersenyum tipis, kalau bukan seperti ini keadaannya, Nada pasti sudah menjadi anak yang paling bahagia karena dukungan dari orang tuanya.
“Percuma punya anak pintar tapi akhlaknya buruk. Pintar, tapi suka melanggar aturan.” Seorang wali siswa mengolok Nada di depan orang tuanya. Sarah sudah menarik napas untuk membalas perkataan ibu itu tentang anaknya.
“Sudah, Bun. Biarkan saja!” lerai Farhan.
Nada memilih untuk berjalan mendahului kedua orang tuanya untuk menuju mobil milik mereka. Sesampainya di mobil Nada langsung menumpahkan air mata yang ia tahan sejak tadi.
“Sayang, sudah jangan dengarkan ucapan orang lain. Kamu manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan. Sekarang kamu sudah sadar dan meminta maaf atas kesalahan yang kamu perbuat, itu sudah cukup sayang.” Sarah memeluk Nada yang sedang menangis tersedu di jok mobil bagian belakang.
“Nada minta maaf, sudah membuat Ayah dan Bunda malu,” ucap Nada sambil menahan isakannya.
“Tidak, Sayang. Orang lain tidak berhak menghakimi putri ayah yang cantik ini. Sudah, ya. Semua ini sudah cukup untuk kamu, kamu berhak merasa bahagia lagi.” Farhan mengusap punggung putrinya yang sedang berada di pelukan Sarah.
Setelah dirasa Nada cukup tenang. Farhan mulai melajukan mobilnya menuju suatu tempat yang mungkin membuat Nada sedikit merasa terhibur.
Sebuah restoran bintang 3 yang merupakan tempat favorit Nada, menjadi tujuan mereka saat ini. Nada sangat suka berkunjung di restoran tersebut karena ada menu favoritnya yaitu es krim vanila jumbo dengan topping chocochips melimpah serta spaghetti bolognaise yang rasanya tak tertandingi.
“Kenapa kita berhenti di sini?” tanya Nada dengan suara seraknya.
“Kita akan makan bersama untuk merayakan peringkat pertama yang sudah kamu raih, Sayang.” Farhan tersenyum senang ke arah Nada.
“Tidak, Ayah. Seperti kata Bunda, aku tidak berhak mendapat liburan kali ini. Kita pulang saja.” Nada menatap kosong ke arah jendela.
“Sayang, maafkan bunda telah berkata seperti itu. Kamu berhak bahagia. Sekarang kita turun dan pesan seluruh makanan yang kamu sukai,” ucap Sarah yang masih setia menemani putrinya di jok belakang.
“Mari, Tuan putri.” Farhan membuka pintu mobil sambil menengadahkan tangan untuk menyambut tangan putrinya.
Nada tersenyum simpul sambil menerima uluran tangan Farhan. Sarah tersenyum melihat interaksi antara suami dan putrinya tersebut, ia berharap keceriaan Nada dapat kembali seperti semula.
“Kamu mau pesan apa, Sayang?” Farhan memberikan buku menu kepada Nada
“Aku⸺” Ucapan Nada terpotong ketika ia melihat Rigel memasuki restoran bersama kedua orang tuanya dan satu gadis cantik yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
“Sayang ….” Sarah mengusap tangan Nada sembari mengikuti arah pandangan putrinya tersebut. “Lihat apa?” lanjutnya.
“Eum … tidak, Bun. Aku pesan es krim vanila saja, Yah.”
“Makannya?” tanya Farhan kembali.
Nada hanya menggeleng mendengar tawaran Farhan. Nafsu makannya yang sudah menurun semakin hilang setelah melihat Rigel pergi bersama perempuan lain.
***
Liburan semester sudah usai, waktunya Nada kembali ke sekolah. Sekolah yang dulunya menjadi salah satu tempat ternyaman, sekarang berubah menjadi sebuah tempat yang sangat menyakitkan bagi Nada.
Nada tetap menjadi pribadi yang pendiam, bahkan ia menolak seluruh ajakan orang tuanya untuk pergi berlibur. Ia memilih berdiam diri di kamarnya sambil belajar materi untuk kelas 9, menulis cerita, belajar menyulam atau kegiatan positif lainnya yang bisa ia lakukan di dalam kamar. Sesekali Nada hanya keluar untuk membantu bundanya di klinik hewan atau mengikuti ayahnya berkeliling peternakan dan pabrik.
“Sayang … nanti pulang jam dua, kan?” Sarah bertanya pada Nada.
“Benar, Bunda. Ada apa?”
“Nanti ikut Bunda, ya?”
“Kemana?”
“Bertemu dengan teman Bunda.” Sarah tersenyum kepada Nada.
“Baiklah.” Selalu jawaban singkat yang dilontarkan oleh Nada, tak ada lagi cerita heboh di meja makan. Sarah dan Farhan hanya menanggapi dengan senyum tipis.
Nada diantar oleh Farhan menuju sekolahnya. Sepanjang perjalanan Nada tak mengalihkan perhatiannya dari pemandangan pinggir jalan yang ia lewati.
“Nah … sudah sampai,” ucap Farhan membuyarkan lamunan Nada.
“Nada turun dulu, ya. Terima kasih, Ayah.” Nada mencium punggung tangan milik Farhan yang kemudian dibalas dengan kecupan lama di keningnya.
“Hati-hati, Sayang. Ingat pesan ayah, kamu berhak bahagia kembali. Oke?” Farhan mengusap lembut kepala Nada.
“Oke, Yah.” Nada mengimbuhi senyum tipis di akhir katanya.
Nada mulai menyusuri lorong sekolah dengan langkah perlahan dan posisi kepala yang menunduk. Sudah tak ada sindiran pedas yang mengiringi jalannya, hanya sesekali terdengar suara berbisik orang-orang yang tengah ia lewati.
Dahulu Nada selalu bersemangat untuk duduk di kursi paling depan, tetapi saat ini ia memilih kursi tunggal yang berada di sudut paling belakang. Ia tak peduli dengan masalah penglihatannya, ia hanya ingin berhenti menjadi sebuah pusat perhatian.
***
“Ada yang bisa menjawab soal nomor 2? Caranya hampir sama seperti yang nomor 1.” Mister Dandi selaku guru matematika sedang mencoba berinteraksi dengan siswi kelas 9B. “Tak ada yang mau menjawab?” imbuhnya sembari memandang muridnya satu persatu sampai pandangannya jatuh pada siswi yang sedang menundukkan kepala di kursi paling pojok kelas tersebut.
“Nada, biasanya kamu paling semangat untuk mengerjakan soal di papan tulis. Apakah kamu belum memahaminya?”
“Saya sudah paham, Mister.”
“Kenapa tidak mencoba mengerjakan di depan?”
"Eum … Mungkin ada siswa lain yang bisa mengerjakan, Mister." Nada kembali menunduk memandangi buku catatan yang sudah tertera jawaban dari soal yang diberikan oleh mister Dandi.
Mister Dandi memandang sendu Nada, banyak yang berubah dari dirinya. "Tidak! Mister ingin Nada yang mengerjakan nomor 2, silakan dikerjakan di depan!"
"Ba-baik, Mister."
Nada melangkah menuju papan tulis dengan kepala yang masih ia tundukan.
"Bagus, jawaban beserta caranya sudah benar," ujar mister Dandi memuji Nada.
"Terima kasih, Mister."
Pelajaran ditutup usai Nada kembali ke tempat duduknya. Nada mengeluarkan bekalnya di saat seluruh teman-temannya berhamburan menuju kantin.
"Nada, kamu tidak ke kantin?" tanya mister Dandi yang masih sibuk membereskan buku-bukunya.
"Tidak, Mister."
"Kenapa?"
"Saya bawa bekal, Mister."
Mister Dandi hanya tersenyum samar mendengar penuturan Nada. Ia merasa Nada mulai berubah dan menjadi anak yang lebih tertutup.
"Ya, sudah. Mister ke kantor dulu, ya?"
"Baik, Mister."
"Nada…." panggil mister Dandi yang membuat Nada menolehkan kepalanya. "Kamu harus kembali menjadi anak yang ceria, kamu berhak bahagi lagi," imbuhnya.
Lagi-lagi hanya senyuman simpul yang mampu Nada berikan.
"Aku tidak akan kembali menjadi Nada yang dulu, tidak akan kembali menjadi pusat perhatian, tidak lagi menjadi bintang. Agar saat aku berbuat sesuatu yang mengecewakan, hanya aku yang akan merasa kecewa dan tidak akan ada pihak lain yang harus disalahkan." ucap Nada dalam hati.
Dua orang remaja berbeda jenis kelamin sedang berlarian di gang-gang sempit perumahan sekitar taman kota. Mereka memutuskan untuk bersembunyi di belakang bak sampah ujung jalan perumahan tersebut. Suara napas mereka saling bersahut tak beraturan, keringat juga mulai membanjiri tubuh masing-masing.“Apakah mereka masih mengejar kita?” tanya remaja perempuan dengan sedikit berbisik dan napas terengah-engah.“Kurasa tidak, aku akan melihatnya sebentar.” Remaja laki-laki bergerak sedikit mendekati ujung bak sampah.“Aman, ayo kita keluar.” Remaja laki-laki itu menggamit lengan remaja perempuan.Mereka keluar dari persembunyian dan kembali berjalan ke jalan raya dengan melewati jalan yang berbeda dari sebelumnya. Mereka bersyukur orang-orang yang mengejar tadi tidak berhasil menemukan mereka berdua, sehingga rahasia besar mereka masih aman terjaga. Kedua remaja itu sudah bisa berjalan dengan santai karena suasana sekitar cuk
“Nada! Bagaimana?” Dua orang gadis berlari tergopoh-gopoh menghampiri Nada yang baru saja keluar dari sebuah ruangan. Nada hanya terdiam dan menunduk, hal tersebut membuat kedua gadis itu khawatir. “Nada, katakan sesuatu jangan membuatku khawatir,” ucap salah satu di antara mereka. Nada tiba-tiba mengangkat kepalanya dan tersenyum manis ke arah kedua gadis tersebut. “Tenang saja, kita tunggu pengumumannya dua jam lagi.” Kedua gadis itu akhirnya dapat bernapas sedikit lega. Mereka adalah Tsabita Maura Anindya yang biasa dipanggil Bita dan Sellameitta Rhiyadina Safitri yang biasa dipanggil Mitta. Keduanya adalah sahabat baik Nada sejak pertama kali mereka menginjakkan kaki di Cordova Junior High Schooll. Saat ini, Nada beserta tujuh siswa Cordova Junior High School sedang mengikuti festival perlombaan terbesar tingkat sekolah menengah pertama. Mereka adalah Nada, Rigel, Bitta, Mitta, Revan, Fito dan Daren yang mengikuti lomba sesuai dengan keahlian masi
Hari ini adalah hari terakhir masa karantina para peserta lomba. Mereka mendapat pembimbingan khusus selama dua minggu penuh.Mereka benar-benar disibukkan dengan belajar, sehingga tidak ada waktu untuk bersenang-senang. Namun, khusus di hari terakhir, mereka hanya diwajibkan untuk mengerjakan atau melakukan tes kemampuan. Setelah itu, mereka akan dibebaskan untuk bermain keliling vila.“Akhirnya! Soal-soal ini benar-benar membuatku gila,” gerutu Nada setelah mengerjakan seratus soal fisika dan biologi. Nada memutuskan untuk keluar dari kamar, kemudian menuju ruang berlatih debat dan pidato.“Bita dan Mitta masih sibuk berlatih, aku jalan-jalan sendiri saja kalau begitu. Pikiranku butuh yang segar-segar.” Nada bermonolog, kemudian ia berjalan menuju ke bagian samping vila tersebut. “Wah … ada sungai di sana, ini sangat menyegarkan mata,” ucap Nada setelah melihat sungai dan sawah yang berada di sekeliling vila.
“Nada! Rigel! Kalian….”“Bi-bita! A-aku bisa jelaskan semua ini.” Nada terkejut ketika Bita mendapati dirinya sedang menikmati pemandangan malam berdua dengan Rigel.Bita terdiam di tempatnya, masih mencerna semua yang ia lihat. Rigel yang sedang merangkul pundak Nada dengan posesif, membuatnya langsung berpikir bahwa mereka memiliki hubungan yang serius. Nada menggamit tangan Bita untuk duduk di sebuah kursi yang berada di rooftop itu.“Bita, aku bisa jelaskan semuanya, tetapi aku mohon jangan katakan hal ini pada siapa pun.” Nada memohon dengan mata berkaca-kaca. Bita mengangguk luluh karena tatapan memohon dari Nada.Nada menjelaskan hubungannya dengan Rigel yang sudah berjalan selama lebih dari satu tahun. Hubungan itu sudah mereka jalani selama lima belas bulan, dimulai dari semester kedua kelas tujuh hingga saat ini.Nada dan Rigel terpaksa menutupi hubungan mereka karena tidak mau memperburuk
“Sudah berapa lama?” Suara mister Dandi memecah keheningan yang terjadi.“Satu tahun lebih lima bulan, Mister,” jawab Rigel tanpa ragu.“Wah … sandiwara kalian benar-benar hebat. Haruskah miss memberi dua jempol untuk pengkhianatan yang kalian lakukan?” ucap miss Sintya kepada Rigel dan Nada.Nada kembali meneteskan air matanya, isakannya pun mulai samar terdengar. Terdengar sangat menyesakkan karena ia harus menahan isak tangisnya. Rigel hanya mampu menundukkan kepala sambil menahan sakit di hatinya karena mendengar isakan pilu yang tertahan dari Nada.Mister Dandi dan Miss Sintya juga ikut merasakan sakit yang sama, Rigel dan Nada adalah anak emas kesayangan mereka sejak pertama kali keduanya menginjakkan kaki di Cordova Junior High School.Tatapan iba tak bisa dilunturkan dari wajah keduanya. Namun, pelanggaran yang telah mere
“Rigel! Kau sedang apa?” Nada mendekati Rigel yang sedang berdiri di tepi pantai.“Nada … a-ku ingin berbicara denganmu.”“Ada apa?”“Apakah kau akan percaya, jika aku selalu mencintaimu dalam keadaan apa pun?”“Mengapa kau bertanya seperti itu?”“Jawab saja, Nada.”“Aku akan selalu mencoba untuk percaya, karena aku juga akan melakukan hal yang sama.”“Syukurlah, aku senang mendengarnya.” Rigel tersenyum sambil mengusap pucuk kepala Nada dengan lembut. Nada tersenyum setelah mendapat perlakuan manis dari Rigel.Ketika mereka masih larut untuk menyelami manik masing-masing, tanpa mereka sadari ada sebuah ombak besar datang dari tengah pantai.Ombak itu datang menghempas Rigel ke tepian dan menyeret Nada ke arah pantai. Nada berteriak sekuat tenaga memanggil nama Rigel yang sedang berusaha berlari ke tengah pa
“Astaga, Sayang! Kamu kenapa?” Sarah berteriak histeris setelah melihat kondisi putrinya yang baru saja memasuki pintu rumah.“Aku baik-baik saja, Bunda.” Nada tersenyum simpul ke arah bundanya.“Apanya yang baik-baik saja?” Sarah sedikit meninggikan suaranya, bagaimana bisa Nada menyebut bahwa ia baik-baik saja dengan kondisi wajah pucat penuh dengan peluh tak lupa seragam putihnya yang terkena noda darah.“Hanya mimisan biasa, Bunda. Tak perlu khawatir. Nada ke atas dulu ya.” Nada memilih untuk segera pergi ke kamarnya karena tubuhnya terasa semakin lemas.Sesampainya di kamar, Nada segera membersihkan dirinya dan berganti baju. Ia berbaring di tempat tidurnya dan mulai memejamkan mata. Ia berharap semua hal berat ini segera berlalu dan ia bisa hidup normal seperti sedia kala.Nada terbangun pukul tujuh malam dan hampir melewatkan jam makan malamnya. Ia sudah merasa lebih segar dan memutuskan untuk
“Rigel! Kau sedang apa?” Nada mendekati Rigel yang sedang berdiri di tepi pantai.“Nada … a-ku ingin berbicara denganmu.”“Ada apa?”“Apakah kau akan percaya, jika aku selalu mencintaimu dalam keadaan apa pun?”“Mengapa kau bertanya seperti itu?”“Jawab saja, Nada.”“Aku akan selalu mencoba untuk percaya, karena aku juga akan melakukan hal yang sama.”“Syukurlah, aku senang mendengarnya.” Rigel tersenyum sambil mengusap pucuk kepala Nada dengan lembut. Nada tersenyum setelah mendapat perlakuan manis dari Rigel.Ketika mereka masih larut untuk menyelami manik masing-masing, tanpa mereka sadari ada sebuah ombak besar datang dari tengah pantai.Ombak itu datang menghempas Rigel ke tepian dan menyeret Nada ke arah pantai. Nada berteriak sekuat tenaga memanggil nama Rigel yang sedang berusaha berlari ke tengah pa
“Sudah berapa lama?” Suara mister Dandi memecah keheningan yang terjadi.“Satu tahun lebih lima bulan, Mister,” jawab Rigel tanpa ragu.“Wah … sandiwara kalian benar-benar hebat. Haruskah miss memberi dua jempol untuk pengkhianatan yang kalian lakukan?” ucap miss Sintya kepada Rigel dan Nada.Nada kembali meneteskan air matanya, isakannya pun mulai samar terdengar. Terdengar sangat menyesakkan karena ia harus menahan isak tangisnya. Rigel hanya mampu menundukkan kepala sambil menahan sakit di hatinya karena mendengar isakan pilu yang tertahan dari Nada.Mister Dandi dan Miss Sintya juga ikut merasakan sakit yang sama, Rigel dan Nada adalah anak emas kesayangan mereka sejak pertama kali keduanya menginjakkan kaki di Cordova Junior High School.Tatapan iba tak bisa dilunturkan dari wajah keduanya. Namun, pelanggaran yang telah mere
“Nada! Rigel! Kalian….”“Bi-bita! A-aku bisa jelaskan semua ini.” Nada terkejut ketika Bita mendapati dirinya sedang menikmati pemandangan malam berdua dengan Rigel.Bita terdiam di tempatnya, masih mencerna semua yang ia lihat. Rigel yang sedang merangkul pundak Nada dengan posesif, membuatnya langsung berpikir bahwa mereka memiliki hubungan yang serius. Nada menggamit tangan Bita untuk duduk di sebuah kursi yang berada di rooftop itu.“Bita, aku bisa jelaskan semuanya, tetapi aku mohon jangan katakan hal ini pada siapa pun.” Nada memohon dengan mata berkaca-kaca. Bita mengangguk luluh karena tatapan memohon dari Nada.Nada menjelaskan hubungannya dengan Rigel yang sudah berjalan selama lebih dari satu tahun. Hubungan itu sudah mereka jalani selama lima belas bulan, dimulai dari semester kedua kelas tujuh hingga saat ini.Nada dan Rigel terpaksa menutupi hubungan mereka karena tidak mau memperburuk
Hari ini adalah hari terakhir masa karantina para peserta lomba. Mereka mendapat pembimbingan khusus selama dua minggu penuh.Mereka benar-benar disibukkan dengan belajar, sehingga tidak ada waktu untuk bersenang-senang. Namun, khusus di hari terakhir, mereka hanya diwajibkan untuk mengerjakan atau melakukan tes kemampuan. Setelah itu, mereka akan dibebaskan untuk bermain keliling vila.“Akhirnya! Soal-soal ini benar-benar membuatku gila,” gerutu Nada setelah mengerjakan seratus soal fisika dan biologi. Nada memutuskan untuk keluar dari kamar, kemudian menuju ruang berlatih debat dan pidato.“Bita dan Mitta masih sibuk berlatih, aku jalan-jalan sendiri saja kalau begitu. Pikiranku butuh yang segar-segar.” Nada bermonolog, kemudian ia berjalan menuju ke bagian samping vila tersebut. “Wah … ada sungai di sana, ini sangat menyegarkan mata,” ucap Nada setelah melihat sungai dan sawah yang berada di sekeliling vila.
“Nada! Bagaimana?” Dua orang gadis berlari tergopoh-gopoh menghampiri Nada yang baru saja keluar dari sebuah ruangan. Nada hanya terdiam dan menunduk, hal tersebut membuat kedua gadis itu khawatir. “Nada, katakan sesuatu jangan membuatku khawatir,” ucap salah satu di antara mereka. Nada tiba-tiba mengangkat kepalanya dan tersenyum manis ke arah kedua gadis tersebut. “Tenang saja, kita tunggu pengumumannya dua jam lagi.” Kedua gadis itu akhirnya dapat bernapas sedikit lega. Mereka adalah Tsabita Maura Anindya yang biasa dipanggil Bita dan Sellameitta Rhiyadina Safitri yang biasa dipanggil Mitta. Keduanya adalah sahabat baik Nada sejak pertama kali mereka menginjakkan kaki di Cordova Junior High Schooll. Saat ini, Nada beserta tujuh siswa Cordova Junior High School sedang mengikuti festival perlombaan terbesar tingkat sekolah menengah pertama. Mereka adalah Nada, Rigel, Bitta, Mitta, Revan, Fito dan Daren yang mengikuti lomba sesuai dengan keahlian masi
Dua orang remaja berbeda jenis kelamin sedang berlarian di gang-gang sempit perumahan sekitar taman kota. Mereka memutuskan untuk bersembunyi di belakang bak sampah ujung jalan perumahan tersebut. Suara napas mereka saling bersahut tak beraturan, keringat juga mulai membanjiri tubuh masing-masing.“Apakah mereka masih mengejar kita?” tanya remaja perempuan dengan sedikit berbisik dan napas terengah-engah.“Kurasa tidak, aku akan melihatnya sebentar.” Remaja laki-laki bergerak sedikit mendekati ujung bak sampah.“Aman, ayo kita keluar.” Remaja laki-laki itu menggamit lengan remaja perempuan.Mereka keluar dari persembunyian dan kembali berjalan ke jalan raya dengan melewati jalan yang berbeda dari sebelumnya. Mereka bersyukur orang-orang yang mengejar tadi tidak berhasil menemukan mereka berdua, sehingga rahasia besar mereka masih aman terjaga. Kedua remaja itu sudah bisa berjalan dengan santai karena suasana sekitar cuk