“Rigel! Kau sedang apa?” Nada mendekati Rigel yang sedang berdiri di tepi pantai.
“Nada … a-ku ingin berbicara denganmu.”
“Ada apa?”
“Apakah kau akan percaya, jika aku selalu mencintaimu dalam keadaan apa pun?”
“Mengapa kau bertanya seperti itu?”
“Jawab saja, Nada.”
“Aku akan selalu mencoba untuk percaya, karena aku juga akan melakukan hal yang sama.”
“Syukurlah, aku senang mendengarnya.” Rigel tersenyum sambil mengusap pucuk kepala Nada dengan lembut. Nada tersenyum setelah mendapat perlakuan manis dari Rigel.
Ketika mereka masih larut untuk menyelami manik masing-masing, tanpa mereka sadari ada sebuah ombak besar datang dari tengah pantai.
Ombak itu datang menghempas Rigel ke tepian dan menyeret Nada ke arah pantai. Nada berteriak sekuat tenaga memanggil nama Rigel yang sedang berusaha berlari ke tengah pantai untuk menolong Nada.
Nada sudah terombang-ambing di tengah pantai dan Rigel semakin sulit untuk menjangkaunya karena ombak yang datang semakin kuat.
Nada sudah hampir pasrah dan terus memanggil Rigel berharap untuk diselamatkan. Namun, ombak yang semakin besar membuatnya semakin tak berdaya. Nada semakin tenggelam di dalam gelapnya air, ia masih dapat melihat Rigel dengan samar.
“RIGEL!” Nada langsung membuka matanya dan bernapas terengah-engah. Mimpi yang baru saja ia alami rasanya seperti sangat nyata, bahkan ia sedang meneteskan air mata sekarang.
Nada melihat ke arah jendela dan melihat kondisi diluar sudah terang. Ia melihat jam yang berada di nakas menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit. Nada mencoba bangkit dari tempat tidur untuk segera membersihkan diri.
“Argh!” Nada memekik tertahan saat merasakan kepalanya yang masih berdenyut nyeri. Ia kembali duduk di ranjangnya.
Nada mencoba memijat pelan bagian kepalanya yang masih berdenyut nyeri. Beberapa menit ia habiskan untuk menetralkan rasa sakit yang mendera kepalanya, kemudian ia berhasil menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Nada menatap cermin besar di depannya, terlihat wajah berantakan dengan mata sembab, hidung merah, dan bibir yang pucat. “Kau pasti bisa melalui hari ini dengan baik. Semangat!” ucap Nada pada dirinya sendiri.
Nada sudah selesai bersiap untuk menuju ke sekolah. Kepalanya masih saja terasa sakit, tetapi ia harus tetap masuk karena tidak mau dianggap sebagai seorang pengecut yang lari dari masalah, terlebih ia harus menjadi juri lomba cerdas cermat antar kelas hari ini.
Sarah dan Farhan terkejut, ketika melihat putrinya menuruni tangga dengan seragam lengkap beserta rompi merah yang diberikan oleh mister Dandi sebagai hukuman.
“Selamat pagi, Ayah. Selamat pagi, Bunda.” Nada menyapa kedua orang tuanya yang sedang bersiap untuk sarapan di meja makan.
Sarah mendekati putrinya yang sudah duduk di seberang kursi yang ia duduki. “Kamu masih demam, Sayang. Istirahat di rumah dulu, ya?” ucap Sarah setelah meraba dahi Nada.
Nada menggeleng. “ Nada sudah cukup sehat, Bunda. Lagi pula, Nada harus menjadi juri lomba cerdas cermat, nanti.”
“Kamu yakin?” tanya Farhan yang mencemaskan putrinya. Nada hanya mengangguk dan tersenyum tipis menanggapi pertanyaan Farhan. “Baiklah kalau begitu, nanti ayah antar, ya?” imbuhnya.
“Iya, Yah,” jawab Nada sembari mengambil nasi goreng yang berada di depannya.
Pagi itu, suasana di meja makan milik keluarga Farhan sudah tak sama lagi. Mentari yang biasanya selalu ceria, mulai meredup ditelan luka yang ditorehkan oleh banyak orang.
***
“Ternyata masih punya muka buat datang ke sekolah.”
“Outfit terbaru siswa teladan angkatan ke-13.”
“Selamat pagi, Siswa teladan!”
Nada melewati lorong sekolah dengan olok-olokan yang menemani setiap langkahnya. Ia sekuat tenaga menahan gejolak di dalam hatinya.
Nada memasuki kelas dengan tenang karena tak ada yang menyambut ataupun menyapanya. Padahal sebelum ada kejadian ini, Nada selalu mendapat sambutan teriakan heboh dari teman-teman sekelasnya.
Bita dan Mitta juga tak mendekatinya, itu membuat hati Nada semakin sakit. Benar, ia telah melakukan kesalahan, tetapi apakah balasan seperti ini yang harus ia dapatkan?
Nada melanjutkan langkahnya menuju loker untuk menyimpan tas miliknya. Tanpa Nada sadari, Bita mengamati setiap langkah Nada dengan tatapan cemas karena wajahnya yang memucat.
“Hey! Perlombaan cerdas cermat akan segera dimulai, ayo cepat pergi ke aula!” Teriakan dari anak kelas sebelah membuat seisi kelas Nada bersorak heboh dan hampir seluruh murid beranjak bersama untuk menuju aula.
Nada mengembuskan napasnya, kemudian mulai beranjak menuju aula. Langkah Nada terhenti ketika ia tak sengaja mendengar percakapan dua orang guru yang berada di dekat lobi. Nada bersembunyi di balik tembok untuk memastikan kebenaran ucapan yang ia dengar.
“Berarti miss Karin yang akan menggantikan miss Sintya dan mister Dandi?” ucap seorang guru perempuan.
“Iya benar, miss Karin akan merangkap jabatan miss Sintya dan mister Dandi yaitu menjadi ketua dan wakil ketua pembina olympic club,” sahut guru perempuan lainnya.
“Astaga! Aku tak bisa membayangkan jika seorang guru yang arogan seperti miss Karin menjadi ketua pembina olympic club.”
“Benar! Namun, mau bagaimana lagi? Semua sudah terjadi.”
Nada terkejut dengan kenyataan yang didapatkan setelah mendengar percakapan dua guru tersebut. Nada semakin merasa bersalah, miss Sintya dan mister Dandi dilepas jabatannya mungkin karena kesalahan yang ia perbuat.
Nada memutuskan untuk tetap melangkah menuju aula, mau bagaimanapun ia harus menuntaskan amanah terakhirnya sebagai juri lomba cerdas cermat sebelum pergantian pengurus yang baru.
Nada menaiki lift hingga lantai lima di mana tempat lomba cerdas cermat berlangsung. Nada yang tetap menggunakan rompi merahnya nekat memasuki aula yang sudah diisi oleh ratusan siswa Elcordova.
“Hey! Kamu! Siswa rompi merah sepertimu tak pantas memasuki ruangan ini,” miss Karin menghardik Nada yang baru saja mencapai meja yang dikhususkan untuk para juri.
“Ma-maaf Miss, tetapi saya sudah diamanahi untuk menjadi juri pada perlombaan kali ini.”
“Kamu pikir, siswa berompi merah sepertimu pantas menjadi juri?”
Nada tak menjawab, ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan bibirnya yang mulai bergetar.
“Sudah ada Mitta dan Bita yang akan menggantikan murid bermuka dua sepertimu.”
“Keluar, kamu! Bersihkan taman depan dan jangan beristirahat sebelum perlombaan ini selesai!” ucap miss Karin. “Bukan hanya kamu, tetapi kamu juga,” imbuh miss Karin sembari menunjuk ke arah Rigel yang sedang mematung di ambang pintu aula. “Tunggu apa lagi? Ayo, kerjakan!”
Nada berlari keluar dari aula dengan air mata yang mulai mengalir di pipinya. Ia berlari tanpa melihat arah, sehingga ia menabrak miss Sintya yang hendak menuju aula.
“Nada! Ada apa?” miss Sintya yang terkejut langsung menghentikan langkah Nada. “Nada! Kamu sakit? Wajahmu pucat sekali,” imbuhnya dengan sangat khawatir.
Bukan menjawab pertanyaan miss Sintya, Nada malah langsung bersimpuh dan merapalkan kata maaf berulang kali.
“Maafkan Nada, Miss. Sungguh maafkan, Nada.”
“Nada, bangun. Ada apa?”
Nada menggeleng. “Nada permisi dulu ya, Miss?”
“Loh … mau kemana? Bukannya kamu jadi juri hari ini?”
Nada menggeleng dan tersenyum samar, kemudian berlalu meninggalkan miss Sintya yang masih terpaku di tempatnya.
Miss Sintya mulai melangkah menuju ke aula karena merasa ada yang sedang tidak beres. Benar saja, sesampainya di aula miss Sintya melihat Bita, Mitta, Revan dan Fito yang sedang duduk di kursi juri, yang seharusnya diduduki oleh Nada, Bita, Rigel dan Revan.
“Permisi, Miss Karin. Mengapa semua juri cerdas cermat diganti?” tanya miss Sintya.
“Untuk apa mempertahankan anak seperti mereka? Ada pengganti yang lebih baik untuk mengharumkan nama sekolah ini,” jawab miss Karin dengan sinis.
“Tetapi mengganti juri tanpa mengkonfirmasi kepada Nada dan Rigel akan menyakiti perasaan mereka, Miss.”
“Apa saya terlihat peduli?” Miss Karin menaikkan sebelah alisnya. “Jangan membuat acara ini terlambat, Miss Sintya yang terhormat.”
Miss Sintya mulai menatap seluruh hadirin yang ada di aula, kemudian berjalan menuju kursinya sambil menahan gejolak amarah yang sudah ingin meluap.
***
Nada mulai membersihkan taman yang ada di depan setiap kelas. Ia sedang mencabuti rumput yang berada di sekitar tanaman.
“Jangan melamun! Tanganmu bisa terluka.” Sebuah suara berat menyapa telinga Nada. Nada menoleh dan mendapati Rigel sedang berada di belakangnya. “Wajahmu pucat, kau sakit?”
“Tidak, aku baik-baik saja.”
“Jangan dipaksakan! Pikirkan dirimu, jangan han⸺” Perkataan Rigel tak berlanjut karena ia melihat ada darah yang menetes dari hidung Nada.
“Astaga! Hidungmu berdarah.” Rigel mulai mendekati Nada dan mengeluarkan sebuah sapu tangan untuk mengusap darah yang mengalir dari hidung Nada.
“Aku antar ke unit kesehatan, ya?” ucap Rigel dengan khawatir.
“A-aku bisa sendiri,” ucap Nada bergetar sambil menahan pening di kepalanya.
Nada langsung bangkit, tetapi tubuhnya malah terhuyung ke belakang. Rigel dengan sigap langsung menangkap tubuh Nada. Nada langsung berusaha melepas tangan Rigel yang berada di bahunya.
“Nada! Jangan keras kepala!” Rigel sedikit meninggikan suaranya.
“Rigel! Ini akan memperparah semuanya. Aku tak apa, percayalah!” Nada mencoba meyakinkan Rigel dengan senyuman tipisnya.
Nada mulai melangkah, meninggalkan Rigel yang masih menatapnya dengan tatapan sendu. Rigel juga bersalah, tetapi ia tak mendapat penghakiman yang menyakitkan seperti yang dirasakan oleh Nada.
“Aku akan selalu mencintaimu apa pun yang terjadi, Nada,” ucap Rigel dengan lirih.
“Astaga, Sayang! Kamu kenapa?” Sarah berteriak histeris setelah melihat kondisi putrinya yang baru saja memasuki pintu rumah.“Aku baik-baik saja, Bunda.” Nada tersenyum simpul ke arah bundanya.“Apanya yang baik-baik saja?” Sarah sedikit meninggikan suaranya, bagaimana bisa Nada menyebut bahwa ia baik-baik saja dengan kondisi wajah pucat penuh dengan peluh tak lupa seragam putihnya yang terkena noda darah.“Hanya mimisan biasa, Bunda. Tak perlu khawatir. Nada ke atas dulu ya.” Nada memilih untuk segera pergi ke kamarnya karena tubuhnya terasa semakin lemas.Sesampainya di kamar, Nada segera membersihkan dirinya dan berganti baju. Ia berbaring di tempat tidurnya dan mulai memejamkan mata. Ia berharap semua hal berat ini segera berlalu dan ia bisa hidup normal seperti sedia kala.Nada terbangun pukul tujuh malam dan hampir melewatkan jam makan malamnya. Ia sudah merasa lebih segar dan memutuskan untuk
Dua orang remaja berbeda jenis kelamin sedang berlarian di gang-gang sempit perumahan sekitar taman kota. Mereka memutuskan untuk bersembunyi di belakang bak sampah ujung jalan perumahan tersebut. Suara napas mereka saling bersahut tak beraturan, keringat juga mulai membanjiri tubuh masing-masing.“Apakah mereka masih mengejar kita?” tanya remaja perempuan dengan sedikit berbisik dan napas terengah-engah.“Kurasa tidak, aku akan melihatnya sebentar.” Remaja laki-laki bergerak sedikit mendekati ujung bak sampah.“Aman, ayo kita keluar.” Remaja laki-laki itu menggamit lengan remaja perempuan.Mereka keluar dari persembunyian dan kembali berjalan ke jalan raya dengan melewati jalan yang berbeda dari sebelumnya. Mereka bersyukur orang-orang yang mengejar tadi tidak berhasil menemukan mereka berdua, sehingga rahasia besar mereka masih aman terjaga. Kedua remaja itu sudah bisa berjalan dengan santai karena suasana sekitar cuk
“Nada! Bagaimana?” Dua orang gadis berlari tergopoh-gopoh menghampiri Nada yang baru saja keluar dari sebuah ruangan. Nada hanya terdiam dan menunduk, hal tersebut membuat kedua gadis itu khawatir. “Nada, katakan sesuatu jangan membuatku khawatir,” ucap salah satu di antara mereka. Nada tiba-tiba mengangkat kepalanya dan tersenyum manis ke arah kedua gadis tersebut. “Tenang saja, kita tunggu pengumumannya dua jam lagi.” Kedua gadis itu akhirnya dapat bernapas sedikit lega. Mereka adalah Tsabita Maura Anindya yang biasa dipanggil Bita dan Sellameitta Rhiyadina Safitri yang biasa dipanggil Mitta. Keduanya adalah sahabat baik Nada sejak pertama kali mereka menginjakkan kaki di Cordova Junior High Schooll. Saat ini, Nada beserta tujuh siswa Cordova Junior High School sedang mengikuti festival perlombaan terbesar tingkat sekolah menengah pertama. Mereka adalah Nada, Rigel, Bitta, Mitta, Revan, Fito dan Daren yang mengikuti lomba sesuai dengan keahlian masi
Hari ini adalah hari terakhir masa karantina para peserta lomba. Mereka mendapat pembimbingan khusus selama dua minggu penuh.Mereka benar-benar disibukkan dengan belajar, sehingga tidak ada waktu untuk bersenang-senang. Namun, khusus di hari terakhir, mereka hanya diwajibkan untuk mengerjakan atau melakukan tes kemampuan. Setelah itu, mereka akan dibebaskan untuk bermain keliling vila.“Akhirnya! Soal-soal ini benar-benar membuatku gila,” gerutu Nada setelah mengerjakan seratus soal fisika dan biologi. Nada memutuskan untuk keluar dari kamar, kemudian menuju ruang berlatih debat dan pidato.“Bita dan Mitta masih sibuk berlatih, aku jalan-jalan sendiri saja kalau begitu. Pikiranku butuh yang segar-segar.” Nada bermonolog, kemudian ia berjalan menuju ke bagian samping vila tersebut. “Wah … ada sungai di sana, ini sangat menyegarkan mata,” ucap Nada setelah melihat sungai dan sawah yang berada di sekeliling vila.
“Nada! Rigel! Kalian….”“Bi-bita! A-aku bisa jelaskan semua ini.” Nada terkejut ketika Bita mendapati dirinya sedang menikmati pemandangan malam berdua dengan Rigel.Bita terdiam di tempatnya, masih mencerna semua yang ia lihat. Rigel yang sedang merangkul pundak Nada dengan posesif, membuatnya langsung berpikir bahwa mereka memiliki hubungan yang serius. Nada menggamit tangan Bita untuk duduk di sebuah kursi yang berada di rooftop itu.“Bita, aku bisa jelaskan semuanya, tetapi aku mohon jangan katakan hal ini pada siapa pun.” Nada memohon dengan mata berkaca-kaca. Bita mengangguk luluh karena tatapan memohon dari Nada.Nada menjelaskan hubungannya dengan Rigel yang sudah berjalan selama lebih dari satu tahun. Hubungan itu sudah mereka jalani selama lima belas bulan, dimulai dari semester kedua kelas tujuh hingga saat ini.Nada dan Rigel terpaksa menutupi hubungan mereka karena tidak mau memperburuk
“Sudah berapa lama?” Suara mister Dandi memecah keheningan yang terjadi.“Satu tahun lebih lima bulan, Mister,” jawab Rigel tanpa ragu.“Wah … sandiwara kalian benar-benar hebat. Haruskah miss memberi dua jempol untuk pengkhianatan yang kalian lakukan?” ucap miss Sintya kepada Rigel dan Nada.Nada kembali meneteskan air matanya, isakannya pun mulai samar terdengar. Terdengar sangat menyesakkan karena ia harus menahan isak tangisnya. Rigel hanya mampu menundukkan kepala sambil menahan sakit di hatinya karena mendengar isakan pilu yang tertahan dari Nada.Mister Dandi dan Miss Sintya juga ikut merasakan sakit yang sama, Rigel dan Nada adalah anak emas kesayangan mereka sejak pertama kali keduanya menginjakkan kaki di Cordova Junior High School.Tatapan iba tak bisa dilunturkan dari wajah keduanya. Namun, pelanggaran yang telah mere
“Astaga, Sayang! Kamu kenapa?” Sarah berteriak histeris setelah melihat kondisi putrinya yang baru saja memasuki pintu rumah.“Aku baik-baik saja, Bunda.” Nada tersenyum simpul ke arah bundanya.“Apanya yang baik-baik saja?” Sarah sedikit meninggikan suaranya, bagaimana bisa Nada menyebut bahwa ia baik-baik saja dengan kondisi wajah pucat penuh dengan peluh tak lupa seragam putihnya yang terkena noda darah.“Hanya mimisan biasa, Bunda. Tak perlu khawatir. Nada ke atas dulu ya.” Nada memilih untuk segera pergi ke kamarnya karena tubuhnya terasa semakin lemas.Sesampainya di kamar, Nada segera membersihkan dirinya dan berganti baju. Ia berbaring di tempat tidurnya dan mulai memejamkan mata. Ia berharap semua hal berat ini segera berlalu dan ia bisa hidup normal seperti sedia kala.Nada terbangun pukul tujuh malam dan hampir melewatkan jam makan malamnya. Ia sudah merasa lebih segar dan memutuskan untuk
“Rigel! Kau sedang apa?” Nada mendekati Rigel yang sedang berdiri di tepi pantai.“Nada … a-ku ingin berbicara denganmu.”“Ada apa?”“Apakah kau akan percaya, jika aku selalu mencintaimu dalam keadaan apa pun?”“Mengapa kau bertanya seperti itu?”“Jawab saja, Nada.”“Aku akan selalu mencoba untuk percaya, karena aku juga akan melakukan hal yang sama.”“Syukurlah, aku senang mendengarnya.” Rigel tersenyum sambil mengusap pucuk kepala Nada dengan lembut. Nada tersenyum setelah mendapat perlakuan manis dari Rigel.Ketika mereka masih larut untuk menyelami manik masing-masing, tanpa mereka sadari ada sebuah ombak besar datang dari tengah pantai.Ombak itu datang menghempas Rigel ke tepian dan menyeret Nada ke arah pantai. Nada berteriak sekuat tenaga memanggil nama Rigel yang sedang berusaha berlari ke tengah pa
“Sudah berapa lama?” Suara mister Dandi memecah keheningan yang terjadi.“Satu tahun lebih lima bulan, Mister,” jawab Rigel tanpa ragu.“Wah … sandiwara kalian benar-benar hebat. Haruskah miss memberi dua jempol untuk pengkhianatan yang kalian lakukan?” ucap miss Sintya kepada Rigel dan Nada.Nada kembali meneteskan air matanya, isakannya pun mulai samar terdengar. Terdengar sangat menyesakkan karena ia harus menahan isak tangisnya. Rigel hanya mampu menundukkan kepala sambil menahan sakit di hatinya karena mendengar isakan pilu yang tertahan dari Nada.Mister Dandi dan Miss Sintya juga ikut merasakan sakit yang sama, Rigel dan Nada adalah anak emas kesayangan mereka sejak pertama kali keduanya menginjakkan kaki di Cordova Junior High School.Tatapan iba tak bisa dilunturkan dari wajah keduanya. Namun, pelanggaran yang telah mere
“Nada! Rigel! Kalian….”“Bi-bita! A-aku bisa jelaskan semua ini.” Nada terkejut ketika Bita mendapati dirinya sedang menikmati pemandangan malam berdua dengan Rigel.Bita terdiam di tempatnya, masih mencerna semua yang ia lihat. Rigel yang sedang merangkul pundak Nada dengan posesif, membuatnya langsung berpikir bahwa mereka memiliki hubungan yang serius. Nada menggamit tangan Bita untuk duduk di sebuah kursi yang berada di rooftop itu.“Bita, aku bisa jelaskan semuanya, tetapi aku mohon jangan katakan hal ini pada siapa pun.” Nada memohon dengan mata berkaca-kaca. Bita mengangguk luluh karena tatapan memohon dari Nada.Nada menjelaskan hubungannya dengan Rigel yang sudah berjalan selama lebih dari satu tahun. Hubungan itu sudah mereka jalani selama lima belas bulan, dimulai dari semester kedua kelas tujuh hingga saat ini.Nada dan Rigel terpaksa menutupi hubungan mereka karena tidak mau memperburuk
Hari ini adalah hari terakhir masa karantina para peserta lomba. Mereka mendapat pembimbingan khusus selama dua minggu penuh.Mereka benar-benar disibukkan dengan belajar, sehingga tidak ada waktu untuk bersenang-senang. Namun, khusus di hari terakhir, mereka hanya diwajibkan untuk mengerjakan atau melakukan tes kemampuan. Setelah itu, mereka akan dibebaskan untuk bermain keliling vila.“Akhirnya! Soal-soal ini benar-benar membuatku gila,” gerutu Nada setelah mengerjakan seratus soal fisika dan biologi. Nada memutuskan untuk keluar dari kamar, kemudian menuju ruang berlatih debat dan pidato.“Bita dan Mitta masih sibuk berlatih, aku jalan-jalan sendiri saja kalau begitu. Pikiranku butuh yang segar-segar.” Nada bermonolog, kemudian ia berjalan menuju ke bagian samping vila tersebut. “Wah … ada sungai di sana, ini sangat menyegarkan mata,” ucap Nada setelah melihat sungai dan sawah yang berada di sekeliling vila.
“Nada! Bagaimana?” Dua orang gadis berlari tergopoh-gopoh menghampiri Nada yang baru saja keluar dari sebuah ruangan. Nada hanya terdiam dan menunduk, hal tersebut membuat kedua gadis itu khawatir. “Nada, katakan sesuatu jangan membuatku khawatir,” ucap salah satu di antara mereka. Nada tiba-tiba mengangkat kepalanya dan tersenyum manis ke arah kedua gadis tersebut. “Tenang saja, kita tunggu pengumumannya dua jam lagi.” Kedua gadis itu akhirnya dapat bernapas sedikit lega. Mereka adalah Tsabita Maura Anindya yang biasa dipanggil Bita dan Sellameitta Rhiyadina Safitri yang biasa dipanggil Mitta. Keduanya adalah sahabat baik Nada sejak pertama kali mereka menginjakkan kaki di Cordova Junior High Schooll. Saat ini, Nada beserta tujuh siswa Cordova Junior High School sedang mengikuti festival perlombaan terbesar tingkat sekolah menengah pertama. Mereka adalah Nada, Rigel, Bitta, Mitta, Revan, Fito dan Daren yang mengikuti lomba sesuai dengan keahlian masi
Dua orang remaja berbeda jenis kelamin sedang berlarian di gang-gang sempit perumahan sekitar taman kota. Mereka memutuskan untuk bersembunyi di belakang bak sampah ujung jalan perumahan tersebut. Suara napas mereka saling bersahut tak beraturan, keringat juga mulai membanjiri tubuh masing-masing.“Apakah mereka masih mengejar kita?” tanya remaja perempuan dengan sedikit berbisik dan napas terengah-engah.“Kurasa tidak, aku akan melihatnya sebentar.” Remaja laki-laki bergerak sedikit mendekati ujung bak sampah.“Aman, ayo kita keluar.” Remaja laki-laki itu menggamit lengan remaja perempuan.Mereka keluar dari persembunyian dan kembali berjalan ke jalan raya dengan melewati jalan yang berbeda dari sebelumnya. Mereka bersyukur orang-orang yang mengejar tadi tidak berhasil menemukan mereka berdua, sehingga rahasia besar mereka masih aman terjaga. Kedua remaja itu sudah bisa berjalan dengan santai karena suasana sekitar cuk