"Aku akan tetap tinggal di apartemen, kasihan kalau nggak ada yang nempatin selama dua puluh hari," ucap Nesya membuat keputusan."Kamu tinggalin aku di sini maksudnya?" tanya Kiara panik. Ia masih tak percaya jika sahabatnya ini datang hanya untuk mengantarkan baju gadis itu dalam isian koper."Kan, aku udah bilang sayang, bakal sering datang ke sini ngunjungin kamu. Ada Bu Mery, Bu Susi, dan Pak Jodi yang jagain kamu. Tapi jangan lupa, ada singa di rumah ini," canda gadis itu membuat semua orang tampak melongo.Ya, Lehon memang telah kembali dari kantor dan berdiri tepat di belakang gadis itu."Apa? Siapa yang kamu maksud singa?" tantang Lehon.Nesya segera mundur kemudian meraih tas kecilnya. "Aku pamit ya semua...." Berlari terbirit-birit sebab tidak sanggup berurusan dengan bosnya itu."Dasar ... hahaha..." Mery tertawa akan kelakuan gadis itu."Kenapa lagi dia bisa ada di sini, Nenek? Rumah ini menjadi sangat ramai dan sempit," cecar Lehon yang sangat tidak terima dengan kebera
Sudah cukup lama sejak Kiara tak mengunjungi ayahnya. Rasa rindu yang cukup besar sungguh membuatnya terganggu. Walau begitu, sebisa mungkin ia menyembunyikan hal itu di depan orang-orang yang ada di rumah ini.Hari itu, hari libur bagi Nesya untuk membawa Kiara memeriksakan tangannya. Sesungguhnya, hati kecil gadis itu menaruh rasa cemburu dan iri yang teramat dalam. Namun, Kiara bukanlah orang lain yang sepantasnya ia benci."Kamu kok selalu diperhatiin sama Pak Lehon?" tanyanya di atas motor membuat Kiara sedikit mencubitnya. "Apa-apaan sih kamu, Nes. Jangan cemburu loh. Pak Lehon ngelakuin ini semua agar aku cepat-cepat pergi dari rumahnya. Aku juga udah minta tolong sebelumnya, makanya kamu libur sekarang.""Ha, beneran?""Ya, iya dong!""Nah, gimana aku nggak cemburu coba. Kamu bahkan udah minta, berarti dia benar-benar peduli sama kamu, Kia. Masa iya permintaanmu dikabulin segala, kan hebat."Kiara sedikit membengkokkan kepalanya untuk menilik raut wajah sahabatnya di kaca spi
"Sudah puas seharian?" tanya Lehon yang ternyata sedang menyidak Jodi dan Susi. Pria itu tampak sedang menegaskan aturan di rumah itu. Bahkan tidak terlalu peduli dengan kekesalan yang ditunjukkan oleh neneknya.Kiara baru saja sadar dengan apa yang tengah terjadi. Ia perlahan masuk kemudian membuka sepatunya. Tak lupa, menengok ke belakang untuk memastikan keadaan Nesya yang ternyata sudah benar-benar kembali. Mau tidak mau dirinya harus tetap masuk dan mengikuti acara sidak yang sedang dijalankan oleh Lehon."Ssst!" Mery berusaha memberi instruksi agar gadis ini tak melakukan kesalahan. Dengan begitu, ia tidak perlu ikut dalam perangkap yang dipasang oleh cucunya itu."Ck!" Lehon sadar dengan perbuatan neneknya kemudian mendongak ke arah Kiara yang tengah berjalan terjingkat-jingkat. "Kemari, tidak ada alasan sakit atau apa."Mendengar panggilan itu, pupus sudah harapan kedua wanita itu untuk kabur dari Lehon."Sudah puas seharian? Katanya pergi ngecek kesehatan, tapi nyatanya apa?
Ben tampak senang sebab bisa bebas sehari lebih awal. Ia mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang telah menahannya sejauh ini, sebab dirinya bisa lebih paham akan kesalahannya. Pria itu tampak berjalan keluar dari sana, namun ia tak segera pulang, malah ke lain tempat.Beberapa saat kemudian, ia sudah tampak duduk berhadapan dengan Bimo. Ia menyalim pria itu terlebih dahulu dan menanyakan kedatangan Kiara akhir-akhir ini. Sesungguhnya, ia hanya penasaran apakah gadis itu memberi tahu kelakuan buruknya kepada ayahnya."Dia bilang kamu sibuk, Nak. Kalau sibuk, apa salahnya bawa dia aja bersama kamu?" kata Bimo seketika membuat partikel-partikel jahat di tubuhnya seolah bangun dan tersenyum."Dia sudah dewasa, Om. Aku hanya bisa mengingatkan dia kalau ada kesalahan dan membantunya ketika butuh. Dia sudah bekerja sekarang. Aku lihat, hal itu memicu senyuman untuk terus melekat di bibirnya, secara tidak sadar dia bisa hidup dengan tenang."Bimo tampak tersenyum senang. "Terima kasi
"Bosan sekali," ucap Mery merasa kesal sebab tidak tahu harus melakukan apa."Iya. Aku juga, Nek." Kiara singkat yang malah membuat Mery semakin kebingungan. Kedua wanita itu benar-benar tampak sangat dekat membuat Susi sedikit tidak suka pada gadis itu. Bagaimana tidak, ia menjadi seolah tersisihkan dan malah lebih banyak menghabiskan waktu bersama Jodi.Kini, Mery dan Kiara bahkan tiduran di lantai sebab hari cukup terik dan tidak boleh menggunakan AC. "Bu, di sofa saja, nanti bisa masuk angin," ucap Susi yang sama sekali tidak digubris oleh Mery.Entah mengapa, wanita tua itu merasa jika belakangan ini Susi semakin cerewet setiap harinya."Susi, kalau kamu nggak mau bergabung dengan kami nggak apa-apa. Tapi, biarkan kami untuk tiduran di sini. Kami capek, kepanasan," keluh Mery yang memang masih berkeringat setelah baru saja kembali dari rumah sakit memeriksakan tangan Kiara."Nek, yuk kita ke sofa aja," ajak Kiara.Tampak jika Susi terhenti untuk mengetahui jawaban Mery. Ia akan
Lehon telah tiba di gedung perusahaannya ketika ia menunggu Nesya datang. Tatkala gadis itu telah kelihatan dan benar seperti dugaannya, diantar oleh Ben. Ia segera keluar dari mobil, menyeimbangi langkah gadis itu."Eh, Pak Lehon. Selamat pagi, Pak." Nesya menyapa dengan bersikap sopan. Lehon yang sebenarnya berniat naik bersama-sama dengan gadis itu, pun harus membalas sapaan itu. Ia bahkan menunggu gadis itu ketika mengabsen."Ada apa, Pak?" "Kamu mau ke atas, kan? Saya juga, kebetulan.""Ke atas ngapain, Pak?" tanya Nesya yang berhasil membuat Lehon mengerutkan dahi. Ia sungguh bingung dan beberapa saat setelahnya, wajahnya memasang senyum sumringah dan sedikit menahan malu. Ia baru sadar jika ruangannya ada di lantai satu. "Kamu ikut saya, sekarang!" Melangkah cepat dan besar untuk masuk ke ruangannya. Namun, ia segera kembali untuk mengabsen. Cukup konyol dalam pandangan orang yang tengah bersamanya kala itu.
Kiara baru saja tiba di tempat di mana ayahnya telah terbujur kaku. Sebentar lagi, tubuh pria itu akan dimasukkan ke dalam tempat peristirahatan terakhirnya, yaitu peti. Gadis yang sejak kemarin telah menahan tangis dalam diam tak lagi dapat menahannya. Ia keluar dari mobil dengan langkah gontai. Tubuhnya melemas. Air mata yang sebenarnya sejak tadi sudah bercucuran, kini semakin membanjiri wajahnya."Ayah. Ayah. Ini aku, Ayah. Bangun, Ayah. Lihat aku. Ini aku ... Kiana. Ayah...."Teriakan yang hampir menghabiskan suaranya itu masih tak membuatnya puas. Ia menampar wajahnya sendiri untuk menyadarkan dirinya, berharap jika ini semua hanya mimpi.Perlahan tapi pasti, ia mencoba mendekati tubuh ayahnya itu, melihat goresan di tangannya. Iya, Bimo benar-benar melakukan bunuh diri."Aaa ... Ayah, aku nggak bisa. Aku nggak akan bisa tanpa Ayah. Aku nggak punya alasan hidup selain Ayah. Jangan tinggalkan aku, Ayah. Bangunlah, Ayah. Bimo Hernanda, apa kau tidak mendengar tangisan putrimu ini
Hari yang sangat tidak mengenakkan bagi Nesya. Gadis itu bangun setelah tidur hanya dua jam. Ia terkejut ketika melihat jam telah menunjuk ke angka tujuh."Astaga!" pekiknya panik. Ia menjambak rambutnya selama beberapa saat sebelum akhirnya memutuskan untuk bergerak.Ia menatap wajahnya di kaca. Ia kebingungan sebab tidak tahu cara memasak. Beberapa hari ini, ia masih bisa merasa aman dan tenang sebab Ben telah mempersiapkan segala sesuatunya.Walau begitu, ia tetap harus berangkat bekerja. Terlebih lagi, tak ingin menyia-nyiakan pekerjaan yang telah ia selesaikan. Baginya pembalasan dendam terbaik adalah dengan melewati setiap tantangan dari musuhnya."Setengah jam!" Iya, dalam setengah jam ia bisa menyelesaikan urusan dengan dirinya sendiri, walau sekarang rumah itu tampak sangat berantakan. "Tenang, Nes. Tenang. Kita akan beresin semua kekacauan ini setelah kembali dari kantor. Ok?"Gadis itu memantapkan diri untuk berangkat. Tatkala ia telah menutup pintu dan sedikit membungkuk u